Label

Adi Sanjaya

Adi Sanjaya

Kamis, 10 Maret 2011

Tinjauan tentang Partai Politik

Sistem Kepartaian

Sistem kepartaian adalah suatu mekanisme interaksi antarpartai politik dalam sebuah sistem politik yang berjalan (Agustino 2007: 112). Maksudnya, karena tujuan utama dari partai politik ialah mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program yang disusun berdasarkan ideologi tertentu, maka untuk merealisasikan program-program tersebut partai-partai politik yang ada berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam suatu sistem kepartaian.
Secara klasik, merujuk pada teori Maurice Duverger (1967: 207), terdapat beberapa sistem kepartaian yang bisa digunakan dalam merealisasikan interaksi antarpartai dalam suatu sistem politik, yakni: one-party sistem (sistem satu partai), two-party sistem (sistem dua partai), serta multy-party sistem (sistem banyak partai).
Sistem kepartaian yang disebutkan oleh Maurice Duverger tersebut setidaknya sejenis dengan apa yang diutarakan oleh Stein Rokkan serta Giovani Sartori. Misalnya merujuk pada teori Rokkan (1968), selain melihat sistem kepartaian dari variabel lain yang perlu diperhitungkan dalam suatu sistem kepartaian, yakni variabel distribusi kekuatan minoritas dalam partai (distribution of minority party strength).
Sejalan dengan teori Duverger dan Rokkan, Giovani Sartori dalam bukunya Parties and Party Sistem: A Framework for Analysis (1976) mengutarakan bahwa tidak hanya jumlah partai yang perlu diperhatikan dalam suatu sistem kepartaian tetapi juga jarak ideologis antarpartai dalam sistem itu sendiri menjadi sangat penting artinya untuk memahami perilaku partai politik. Oleh karena itu, Sartori mengkategorikan sistem kepartaian menjadi: (1) predominant-party sistem, yaitu sistem kepartaian yang menggambarkan kurang adanya perbedaan ideologi yang tajam antara partai-partai yang berinteraksi, atau dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan pandangan ideologis, sehingga yang terbangun adalah partai politik yang memiliki perspektif tunggal (dominan); (2) moderate-pluralism sistem adalah suatu sistem kepartaian yang menyediakan ruang bagi lebih dari dua partai untuk saling bersaing dalam pemilihan umum; (3) polarized pluralism sistem merupakan sistem kepartaian yang terpolarisasi biasanya berwujud di negara-negara yang heterogen secara sosio-kultural.
Dalam hal ini tentu saja terdapat kebaikan dan keburukan dari sistem kepartaian yang ada. Pertama, sistem partai tunggal identik dengan sistem politik totaliter dan atau sistem politik komunisme. Karena dalam sistem politik tersebut semesta politik dihegemoni dan dikooptasi oleh rezim berkuasa. Rezim tidak menghendaki pandangan yang berbeda dengan episteme yang dibangun oleh pemerintah. Kedua, sistem dua partai menyediakan ruang gerak bagi dua partai untuk bersaing guna mendapatkan dan atau mempertahankan otoritasnya dalam suatu sistem politik. Dalam sistem ini terbangun secara pasti antara partai berkuasa dengan partai oposisi. Ketiga, sistem multipartai adalah sistem kepartaian yang terdiri atas dua atau lebih partai yang dominan. Sistem multipartai merupakan produk dari struktur masyarakat yang pluralis, heterogen serta majemuk. Namun sistem ini memunculkan hipotesis-hipotesis, seperti sukarnya untuk menghasilkan pemenang pemilihan umum yang mutlak dan absolut dan adanya kekuatan politik yang terbangun pada legislatif (Leo, 2007: 114-119).

Partai Politik

Pada dasarnya, politik tidak lebih dari sekadar alat untuk mencapai tujuan (Ranuwiharjo, 2000 dalam Malik, 2002: 4). Menurut Baasir, politik modern adalah politik kepartaian dan sarana untuk mencapai tujuan dalam negara demokrasi adalah partai politik. Dalam hal ini partai politik adalah aktor utama dalam suatu sistem politik yang bertugas menghubungkan antara rakyat dengan pemerintah (Baasir, 2004: 33).
Partai politik dapat didefinisikan sebagai suatu pertambatan yang diorganisasikan untuk mendukung suatu azas atau suatu perumusan kebijaksanaan yang menurut saluran-saluran konstitusi dicoba menjadikannya sebagai dasar penentu bagi pemerintahan (MacIver, 1980: 350). Seorang ahli Sigmund Neumann (1963: 352) dalam hal ini memberikan definisi partai politik sebagai berikut.
Partai politik adalah organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada menguasai kekuasaan pemerintahan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Dengan demikian partai politik merupakan perantara besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengkaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas.
Pernyataan di atas mengandung maksud bahwa organisasi merupakan sebuah organisasi politik di dalam suatu masyarakat yang demokratis. Lebih lanjut Madani (2003) menjelaskan bahwa ”organisasi politik juga berfungsi sebagai sosialisasi politik”. Sosialisasi politik adalah proses dimana seseorang memperoleh pandangan, orientasi, dan nilai-nilai dari masyarakat dimana masyarakat mewariskan norma-norma dan nilai-nilai dari suatu generasi ke generasi berikutnya.
Agustino juga mengemukakan tentang definisi partai politik sebagai ”suatu organisasi yang mempunyai fungsi sebagai penyalur artikulasi dan agregasi kepentingan publik yang paling mapan dalam sebuah sistem politik modern” (Agustino, 2007: 100).
Lebih lanjut lagi Budiardjo mengemukakan tentang definisi partai politik, yaitu ”suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan kebijaksanaan- kebijaksanaan mereka” (Budiardjo, 1991: 160-161; lihat pula Budiardjo, 1998: 16).
Sedangkan di dalam Undang-undang RI Nomor 31 tahun 2002 disebutkan tentang definisi partai politik yaitu ”organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum” (Aritonang dan Hutasuhut, 2003).
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan secara sederhana bahwa partai politik sejatinya memang merupakan ”jembatan” antara rakyat dan pemerintah. Yang perlu digarisbawahi juga adalah bahwa partai politik merupakan salah satu pilar dan institusi demokrasi yang penting, selain lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, pemilihan umum serta pers yang independen (Agustino, 2007: 100).
Sedikitnya terdapat tiga alasan mengapa partai politik dibutuhkan dalam konteks pelembagaan dirinya. Pertama, partai politik adalah kendaraan utama bagi terwujudnya perwakilan politik. Kedua, partai politik adalah mekanisme utama bagi penyelenggaraan pemerintahan, dan ketiga, partai politik adalah saluran utama untuk memelihara akuntabilitas demokratis (IMD[Institute for Multiparty Democracy], 2006: 10; lihat pula Baasir, 2004: 43). Merujuk pada pemahaman dasar tersebut, maka dapat ditarik suatu simpulan bahwa partai politik memiliki peran dan fungsi yang berbeda dengan kelompok kepentingan lainnya.
Dalam negara demokratis, partai politik menyelenggarakan beberapa fungsi (Budiardjo, 1991: 163-166; lihat pula Budiardjo, 1998: 18-19; Agustino, 2007: 104-106) sebagai berikut.
a.Partai sebagai sarana komunikasi
b.Partai sebagai sarana sosialisasi politik
c.Partai sebagai sarana recruitment politik
d.Partai sebagai sarana pengatur konflik (conflict management)
e.Partai politik sebagai ruang bagi lahirnya partisipasi politik
f.Partai politik sebagai alat kontrol politik
g.Partai politik sebagai agregator dan artikulator kepentingan konstituennya
Mengenai klasifikasi partai, Budiardjo (1991) lebih lanjut menyebutkan beberapa klasifikasi partai politik. Dilihat dari komposisi dan fungsi anggotanya, partai politik dapat dibagi menjadi dua yaitu Partai Massa dan Partai Kader. Partai massa mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota, sedangkan Partai kader mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja dari anggotanya. Kemudian jika dilihat dari segi sifat dan orientasi, partai politik dapat dibagi menjadi Partai Lindungan (patronage party) dan Partai Ideologi atau Partai Azas (weltanschauungs atau programmatic party). Partai lindungan umumnya memiliki organisasi nasional yang kendor, disiplin yang lemah dan biasanya tidak terlalu mementingkan pemungutan iuran secara teratur. Sedangkan partai ideologi atau partai azas biasanya mempunyai pandangan hidup yang digariskan dalam kebijaksanaan pimpinan dan berpedoman pada disiplin partai yang kuat dan mengikat.

Ideologi Partai Politik

Berbicara mengenai partai politik, tentu saja tidak terlepas dari ideologi yang melatarbelakangi keberadaan partai tersebut. Ideologi yang melatarbelakangi sebuah partai politik merupakan sebuah ideologi politik. Ideologi politik adalah kumpulan ide, gagasan dan visi secara komprehensif tentang proses pembentukan, pembagian, pengelolaan dan penggunaan kekuasaan dalam masyarakat, khususnya negara (Bowo F., 2009). Sedangkan menurut Thomas Koten ideologi secara sederhana dapat dimengerti sebagai keseluruhan pandangan, cita-cita, nilai-nilai dasar, dan keyakinan-keyakinan yang dijadikan pedoman normatif kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, karena dianggap mampu membangkitkan kesadaran berbangsa dan bernegara dan dapat memberikan orientasi dan motivasi dalam perjuangan kehidupan berkebangsaan dan kebernegaraan (Koten, 2008).
Karena itu, ideologi politik partai politik dapat dipahami sebagai sistem kepercayaan yang memberikan kesadaran dan pencerahan-pencerahan pembenar mengenai kehidupan politik demi menggalang motivasi, hingga tercapainya tujuan-tujuan yang digariskan partai politik. Artinya, ideologi dalam partai politik berperan sangat strategis sebagai landasan legitimasi politik yang sekaligus memberi penuntun bagi seluruh kebijakan dan perilaku politik, serta sebagai tali pengikat aktivitas-aktivitas politik. Maurice Duverger dalam hal ini menyebut kelompok-kelompok yang terikat oleh suatu ideology tertentu (termasuk partai politik) sebagai kelompok-kelompok ideologis (Duverger, 2007).
Ideologi politik mencakup (1) perilaku yang didasari sebuah nilai atau norma yang kemudian mempengaruhi pelaku-pelaku politik dalam ekspresi-ekspesi ideologisnya, (2) kegiatan dalam aspirasi sangat berpengaruh pada sikap dan tindakan pelaku politik untuk mempengaruhi para penguasa kebijakan dalam negara dan (3) untuk mempengaruhi rakyat tentang nilai-nilai agama sebagai orientasi utama dalam setiap bidang kehidupan (Anonim, 2009).
Ideologi politik suatu partai akan mudah kita analisa dari langkah-langkah dan aktivitas politik partai tersebut. Walaupun begitu memang terdapat banyak partai politik yang mencoba untuk merangkum bahkan mengkodifikasikan ideologi partainya. Bahkan ideologi partai tersebut seringkali dipamerkan pula oleh partai dalam bentuk propaganda atau agitasinya, hal ini tidak lain dan tidak bukan di maksudkan utnuk menggaet dan mengorganisasikan massa dan kader partai politik (bila partai membedakan antara massa dan kader). Jelas, hal ini seakan menjadikan ideologi politik sebagai jualan yang dilakukan partai politik. Meski propaganda dan agitasi tersebut belum tentu sesuai dengan kerja-kerja dan strategi partainya (Akira, 2007).
Beberapa contoh ideologi lainnya termasuk: marxisme, anarkisme, kapitalisme, komunisme, komunitarianisme, konservatisme, neoliberalisme, demokrasi kristen, fasisme, monarkisme, nasionalisme, nazisme, liberalisme, libertarianisme, sosialisme, dan demokrat sosial. Namun, di Indonesia tidak semua ideologi tersebut berkembang. Merujuk gagasan dari presiden pertama Indonesia, Soekarno, setidaknya terdapat tiga ideologi politik yang mendominasi masyarakat Indonesia, yaitu Nasionalis, Islam dan Marxis (Bowo F, 2009). Merujuk pada tulisan dari Dwi Bowo dan dilengkapi oleh Indra Postar (2009), penjelasan dari ketiga ideologi tersebut serta ideologi kebangsaan, yaitu ideologi Pancasila, adalah sebagai berikut.

a)Ideologi Nasionalisme

Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa atau kelompok manusia yang menjadi penduduk resmi suatu negara. Pada abad ke-18 kata “nation” menjadi lebih luas artinya setelah Parlemen Revolusi Prancis menyebut diri mereka sebagai “assemblee nationale” yang menandai transformasi institusi politik tersebut, dari sifat eksklusif yang hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan ke sifat egaliter di mana semua kelas meraih hak yang sama dengan kelas elite dalam berpolitik.  Ideologi nasionalis adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.
Pada masa pergerakan nasional, muncul beberapa organisasi sosial politik yang berideologi nasionalis, seperti Indische Partij (IP) dan Partai Nasional Indonesia serta beberapa organisasi lain (lihat pula Harjono, 1997: 28-34). Pada era Orde Lama, partai-partai berideologi nasionalis ini semakin banyak jumlahnya. Orde Baru menjadi titik dimana partai-partai nasionalis harus dibentuk menjadi satu partai, yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan baru mendapat kebebasan lagi setelah Reformasi bergulir di Indonesia.

b)Ideologi Marxis

Marxisme adalah filosofi politik dan praktek yang berasal dari karya Karl Marx dan Friedrich Engels. Menurut ideologi tersebut perubahan sosial menuju masyarakat tanpa kelas diawali dengan kesadaran dan perjuangan kaum proletar yang selalu teraniaya oleh kaum borjuis.  Sebagai bangsa yang sebelum era kemerdekaan senantiasa mengalami penindasan dari kekualatan imperialis kapitalis Belanda, maka marxisme menjadi inspirasi bagi sebagian pemuda Indonesia dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Partai politik yang paling jelas menganut ideologi ini adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) yang setelah Gerakan 30 September 1965 dinyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia (lihat pula Sargent, 1986: 108-159).

c)Ideologi Islamis (Agama)

Secara keseluruhan terdapat suatu ciri bahwa ideologi keagamaan (islam) senantiasa mendasarkan pemikiran, Cita-cita serta moralnya pada suatu ajaran agama tertentu. Gerakan-gerakan politik yang mendasar pada suatu ideologi keagamaan lazimnya sebagai sauatu reaksi atas ketidakadilan, penindasan, serta pemaksaan terhadap suatu bangsa, etnis, ataupun kelompok yang mendasarkan pada suatu agama.
Religius telah menjadi ciri tersendiri bagi Indonesia.  Sejak awal sejarah perkembangan bangsa Indonesia, masyarakat Indonesia sudah menganut politheisme.  Politheisme secara harfiah berasal dari bahasa Yunani poly dan theoi yang berarti banyak Tuhan.  Politeisme sebagai sebuah bentuk kepercayaan yang mengakui adanya lebih dari satu Tuhan merupakan penjelasan bagi kegandrungan banyak masyarakat Indonesia hingga saat ini terhadap hal-hal yang berbau klenik, mistis dan gaib.  Pada perjalanan sejarah selanjutnya Islam menjadi agama terbesar yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia.  Sebagai sebuah agama yang memiliki konsep holistik, maka pembicaraan tentang pandangan hidup masyarakat Indonesia tidak dapat lepas dari ideologi Islam.
Pada perjalanan sejarah perjuangan kemerdekaan, organisasi sosial politik yang berideologi islam cukup banyak keberadaannya. Sebut saja Sarekat dagang Islam yang didirikan oleh H. Samanhudi di Surakarta yang selanjutnya berubah nama menjadi Sarekat Islam (Setyohadi, 2004: 22). Begitu pula Muhammadiyah yang menjadi salah satu kekuatan sosial politik di masa pergerakan nasional, dan sampai era Reformasi sekarang ini, sudah terbentuk partai-partai yang melandaskan diri berideologi islam, khususnya Muhammadiyah, yaitu Partai Amanat Nasional (PAN).
Munculnya tiga aliran besar dalam percaturan politik Indonesia pada masa pergerakan nasional sampai demokrasi terpimpin, memunculkan sikap dari Soekarno untuk menyatukannya menjadi ideologi Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis). Namun, setelah G 30 S 1965, komunis menjadi sebuah ideologi terlarang di Indonesia sehingga sampai sekarang hanya muncul dua ideologi dalam perpolitikan Indonesia, nasionalis dan islamis.

d)Ideologi Pancasila

Pancasila sebagai ideologi memiliki karakter utama sebagai ideologi nasional. Ia adalah cara pandang dan metode bagi seluruh bangsa indonesia untuk mencapai cita-citanya, yaitu masyarakat yang adil dan makmur.
Pancasila adalah ideologi kebangsaan karena ia digali dan dirumuskan untuk kepentingan membangun negara bangsa Indonesia. Pancasila yang memberi pedoman dan pegangan bagi tercapainya persatuan dan kesatuan dikalangan warga bangsa dan membangun pertalian batin antara warga negara dengan tanah airnya (Indra Postar, 2009; lihat juga Rodee, 2002).
Relevansi Pancasila sebagai ideologi dalam kehidupan politik bangsa Indonesia antara lain terletak pada kualitas yang terkandung dalam dirinya. Di samping itu relevansinya juga terletak pada posisi komparatifnya terhadap ideologi-ideologi lain sehingga bangsa kita yang meyakininya memahami dan menghayati betul mengapa Pancasila adalah ideology yang terbaik untuk dipakai sehingga landasan dan sekaligus tujuan dalam membangun dirinya di berbagai bidang kehidupan (Alfian, 1992).

Faktor-faktor Pendorong Tumbuhnya Partai Politik

Indonesia adalah negara demokrasi yang menganut sistem demokrasi pancasila. Dalam memilih pemimpin dan wakil rakyat dilaksanakan melalui pemilihan langsung dari, untuk dan oleh rakyat. Dalam mewujudkan cita-cita demokrasi yang juga cita cita bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dalam alenia 4 pembukaan UUD 1945, maka keberadaan partai politik sebagai wahana penyalur aspirasi masyarakat perlu diadakan/dibentuk yang pelaksanaannya diatur sesuai ketentuan perundangan yang berlaku, yang diperkuat oleh pasal 28 UUD 1945 yang mengatur kebebasan berserikat dan berkumpul. Pada pemilu Tahun 2009 terdapat 44 partai Politik yang menyuarakan aspirasi masyarakat konstituennya. Jumlah yang cukup banyak jika dibandingkan dengan keberdaan partai Politik dinegara-negara maju. Lihatlah di Australia, Amerika dan negara penganut demorasi lainnya yang rata-rata dibawah 5 Partai politik. Dari perspektif kajian ekonomis keberadaan partai politik dalam jumlah besar tentunya tidak efektif dan efisien baik dari segi pembiayaan dan manajemen operasional maupun pengawasannya.
Di Indonesia kebebasan berpolitik memang tengah mengalami euforia, yang dimulai sejarah jatuhnya Orde baru pada tahun 1997 yang ditandai dengan lahirnya Orde reformasi yang oleh sebagian pihak dikatakan sebagai reformasi yang kebablasan. Reformasi di segala bidang yang bergulir sejak tahun 1997 telah membawa dampak yang nyata bagi pelaksanaan pembangunan hingga dewasa ini. Partai-partai politik tumbuh subur bagaikan jamur di musim hujan turut mewarnai percaturan politik di Indonesia. Merujuk pada tulisan dari Setiawan, ada beberapa hal menarik yang dapat dijadikan bahan kajian tentang eksistensi partai politik pasca reformasi adalah sebagai berikut.
a)Tumbuhnya Budaya Berpolitik
Pasca tumbangnya Orde Baru kehidupan berpolitik masyarakat dapat dikatakan mendapat angin segar. Masyarakat sudah tidak lagi takut untuk menyalurkan pendapat serta aspirasi politiknya kepada partai yang dikehendaki. Tidak ada lagi campur tangan kekuasaan untuk mengafiliasikan ormas kepada parpol tertentu dan sebagainya. Pendek kata surga kebebasan berpolitik telah datang di kalangan masyarakat Indonesia. Fenomena yang menarik untuk hal ini adalah munculnya pertai-partai politik dengan platform yang beragam yang mengatasnamakan masyarakat konstituennya yang dimotori mayoritas oleh tokoh-tokoh nasional yang sangat berpengaruh. Jika boleh dikatakan bahwa tumbuhnya partai-partai politik ini bukan saja dilatarbelakangi oleh kepentingan politik tokoh-tokoh tententu yang menginginkan kekuasaan di republik ini namun juga telah tumbuhnya budaya berpartai politik. Masyarakat cenderung berbondong-bondong mendirikan partai politik hanya untuk sekadar membuktikan eksistensi politiknya.
Memang dari segi kehidupan berpolitik hal tersebut fair dan bukan merupakan larangan namun demikian tumbuhnya budaya berpolitik masyarakat yang tidak dibarengi dengan kontrol yang ketat dari pemerintah justru akan menimbulkan hasil yang kontra produktif seperti ditungganginya partai politik oleh kepentingan-kepentingan asing yang menggunakannya sebagai alat untuk menggerakkan/mempengaruhi kekuasaan demi keuntungan pribadi/golongan dan sebagainya. Pendek kata budaya berpolitik masyarakat harus diimbangi dengan regulasi dan pengawasan yang optimal agar tidak menimbulkan ekses yang tidak diinginkan.
Di sisi lain masyarakat cenderung lebih sensitif dalam menyuarakan aspirasi politiknya. Dalam hal ini golongan masyarakat terpecah menjadi 2 golongan besar yaitu partisipan dan non partisan (golput), yang merupakan hak masyarakat. Dua hal tersebut merupakan manifestasi kebebasan hak berpolitik masyarakat yang juga merupakan bagian dari hak asasi, yaitu hak untuk memilih dan dipilih yang harus dijunjung tinggi dan dihormati. Bagaimanapun itulah demokrasi, pilihan hidup bangsa yang telah dipilih untuk menyangga kehidupan demokrasi bangsa ini dengan segala resikonya.
b)Kebebasan Menyuarakan Aspirasi
Dengan terbukanya pintu demokrasi selebar-lebarnya, masyarakat sudah tidak lagi menjadi obyek politik, namun sudah berubah aktif menjadi subyek politik. Suara masyarakat menjadi demikian bernilainya untuk menentukan masa depan bangsa. Kebebasan tersebut pada saat diarahkan dengan benar melalui saluran politik yang ada, maka akan menjadi manfaat, akan tetapi kalau bergerak bebas, justru akan menjadi “bola liar” yang pada gilirannya dapat menjadi kelompok oposan yang merugikan pemerintah. Kebebasan menyusarakan aspirasi selain diarahkan pada wadah yang telah ada juga harus dikontrol sedemikian rupa sehingga tetap berada pada koridor yang ada, penggunaan sarana/media komunikasi masa pun harus diarahkan pada proses penghidupan politik yang kondusif yang mengakomodir semua aspirasi masyarakat sebagai bentuk kearifan lokal.
c)Meningkatnya Peran pemerintah dalam fasilitasi kehidupan Politik
Meningkatnya peran pemerintah dalam kehidupan berpolitik, bukan hanya diwujudkan dalam hal pemenuhan logistik pada pesta domokrasi saja. lebih jauh biaya operasional partai politik juga perlu dipikirkan. Hal ini sangat penting untuk menghindari eksploitasi sumber daya ekonomi msayarakat secara tidak sah untuk kepentingan-kepentingan tertentu. hal ini bukan berarti pemberdayaan sumber daya masyarakat dikesampingkan tapi justru diadakan semacam proporsi yang ideal sehingga akuntabilitas peran serta dan operasionalisasi partai politik sebagai wadah penentu masa depan bangsa tidak hanya didominasi oleh tokoh beruang seperti yang selama ini terjadi, dan bukan hanya berdasarkan partrimonial dan peran tokokh-tokoh kuat dibalik layar yang berperan banyak dalam hal setoran partai. Peningkatan akuntabilitas pemerintah dan peningkatan peran serta masyarakat dalam pembiayaan politik secara proporsional menjadi kunci untuk mewujudkan parpol yang bersih dan akuntabel.
e)Konspirasi Politik
Dewasa ini konspirasi politik sangat kental mewarnai sistem demokrasi yang selama ini kita anut. Kita bisa melihat ajang bagi-bagi menteri yang pada hakekatnya hanya bagi -bagi kekuasaan. Terlihat bahwa sistem politik hanya dijadikan sarana untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan, alat untuk mensubordinasi pihak-pihak lemah dan bargaining dengan pihak-pihak yang kuat. Koaliasi bukan merupakan bentuk penyatuan aspirasi untuk menyejahterakan masyarakat, namun hanya menyatukan suara yang hasil akhirnya adalah kursi kekuasaan. Kesejahteraan masyarakan hanya menjadi second opinion untuk diwujudkan.
f)Dinamika Kepercayaan Masyarakat terhadap Partai Politik
Masyarakat yang semakin cerdas kian mampu memilih. Uang (money politics) tidak lagi menjadi satu-satunya alat yang efektif untuk membeli suara masyarakat. Peran media, sarana komunikasi, dan banyak faktor lain yang menjadi pertimbangan masyarakat untuk memilih. Akibatnya tingkat penerimaan masyarakat sangat tergantung pada trust pada rapor tokoh, gencarnya peran mass media, money politics, track record tokoh/calon pemimpin dan sebagainya. Hal tersebut berlangsung dalam situasi yang berlainan. hal inilah yang kemudian menjadikan masyarakat menjadi sedemikian sensitif untuk memilih. Terjadinya trust maupun distrust dari masa ke masa akan sangat bergantung pada situasi, dan berfluktuasi seiring dengan tingkat kepercayaan masyarakat pada hasil sistem politik selama ini.
g) Konflik Politik
Tak dapat disangkal keberadaan partai politik juga menimbulkan perpecahan, friksi dan pertentangan-pertentangan baik dalam lingkup internal maupun eksternal parpol, bahkan efeknya terasa dalam scope nasional. Untuk itu perlu kiranya dipikirkan adanya mekanisme yang mengatur afiliasi partai politik berdasarkan kedekatan visi dan misi dan platform dalam rangka mengefisienkan kinerja partai politik dan juga yang tidak kalah penting yaitu untuk mengurangi friksi yang terjadi sehingga eksistensi partai politik benar-benar merupakan cerminan suara hati masyarakat dan bukan hanya sekadar keinginan elit politik belaka.
h) Efektivitas Kinerja Partai Politik
Dengan banyaknya partai kinerja sistem politik kita bisa dinilai belum optimal. Hal ini bisa dilihat bahwa keberhasilan sistem politik selama ini hanya didasarkan pada proses bukan pada output bahkan outcome/impact. Berapapun partai politik, asalkan sah, legal dan memenuhi ketentuan dapat berpartisipasi dalam sistem politik berapapun cost yang harus dikeluarkan nampaknya bukan masalah. Mungkin jika pemilu pimpinan daerah dan negara ini dijadikan sekolah dan untuk mengentaskan pengangguran mungkin Indonesia ini sudah makmur.
i)Ekses Politik dalam pembangunan
Dengan maraknya partai politik dan berlangsungnya sistem politik yang selama ini kita terapkan nampaknya diperlukan adanya reformasi sistem politik yang ada. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain (a) pengurangan jumlah parpol dan mengafiliasikan partai berplatform sama; (b) mengevaluasi sistem pemilihan langsung dan atau mengefisienkannya sehingga dapat terukur input dan outputnya; (c) mereduksi ekses politik dalam pembangunan seperti terjadinya instabilitas perekonomian nasional, menurunnya tingkat kepercayaan dunia internasional, perpecahan dan intrik-intrik nasional, terabaikannya budaya lokal dan sebagainya. Pendek kata masih banyak yang harus kita lakukan untuk memperbaiki republik ini.
j)Faktor Ekonomi
Ekonomi merupakan komponen yang cukup penting dalam perjalanan roda sebuah partai politik. Ekonomi, dalam hal ini uang, adalah penggerak suatu organisasi politik (partai politik). Dalam sistem politik Indonesia, partai politik yang terdaftar juga mendapat ” jatah” suntikan dana dari APBN. Dengan uang parpol dapat menjalankan program-programnya. Dan dengan uang pula suatu parpol akan bisa tumbuh besar dengan banyaknya suara pemilih (pendukung) karena akhir-akhir ini kian marak praktek politik uang (money politic) dari Pemilu tingkat nasional sampai di daerah-daerah (Pilkada). Politik uang menjadi sebuah penyakit karatan bagi pelaksanaan demokrasi, dan politik uang juga mencederai etika politik yang santun dan dengan tujuan yang mulia (Windia, 2009). Besarnya pengaruh faktor ekonomi dan keuangan suatu partai, maka fluktuasi ekonomi juga akan berpengaruh pada eksistensi suatu partai politik.
****

2 komentar:

Unknown mengatakan...

makasih atas infonya membantu banget :)
jangan lupa kunjungi blog saya :
http://alexanderandrea05.blogspot.com

Unknown mengatakan...

makasih atas infonya membantu banget :)
jangan lupa kunjungi blog saya :
http://alexanderandrea05.blogspot.com