Label

Adi Sanjaya

Adi Sanjaya

Kamis, 10 Maret 2011

SEJARAH DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN

Kiranya sudah sering diungkapkan, di kalangan sejarawan maupun orang awam, bahwa sejarah sangat penting artinya bagi pendidikan pada umumnya, pendidikan karakter bangsa pada khususnya. Semangat untuk mendirikan tugu-tugu peringatan, patung-patung pahlawan nasional, museum-museum perjuangan dan lain sebagainya adalah mencerminkan kenyataan ini. Bahwasanya secara prinsip hal ini diakui oleh kalangan sejarawan, tercermin dari ungkapan seorang sejarawan bernama A.L. Rowse, bahwa: “it is evident that history a subject of great educational value” (telah terbukti bahwa sejarah adalah suatu bidang studi yang memiliki nilai pendidikan yang tinggi).
Namun di lain pihak kita juga sering menghadapi kenyataan yang menunjukkan bahwa nilai mendidik dari sejarah kelihatannya belum dihayati sebagaimana mestinya. Menghadapi kenyataan ini perlu ditinjau secara lebih mendalam dasar-dasar hubungan antara sejarah dan pendidikan.

Pengertian Pendidikan


Pendidikan dalam perspektif nasional, seperti ditegaskan oleh Ki Hajar Dewantara, dimaksudkan terutama sebagai “Pendidikan yang beralaskan garis hidup dari bangsa dan ditujukan untuk keperluan prikehidupan yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja sama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia diseluruh dunia”.
Mengenai pengertian pendidikan itu sendiri oleh Soegarda Poerbakawatja antara lain dirumuskan sebagai :
Semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, kecakapan serta keterampilan (cutuurroverdracht) kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkan agar dapat memenuhi fungsi hidupnya jasmaniah maupun rohaniah serta mampu memikul tanggungjawab moril dari segala perbuatannya.
Dengan singkat pendidikan dirumuskan oleh Simandjoentak sebagai “tindakan yang dengan sengaja dilakukan untuk membawa anak itu kearah yang dikehendaki”.
Betapapun batasan yang kita berikan mengenai pengertian pendidikan itu, kiranya unsur pokok yang patut diperhatikan adalah seperti yang dikemukakan oleh Ali Moetopo dalam bukunya “Strategi Kebudayaan” yaitu usaha mengembangkan daya-daya manusia supaya dengan itu manusia dapat membangun dirinya dan bersama dengan sesamanya membudayakan alam dan membangun masyarakatnya”. Pendekatan kultural yang terkandung dalam pengertian pendidikan mengacu terutama pada peranan pendidikan sebagai unsur pokok dari proses dasar dalam kehidupan manusia, yaitu sosialisasi dan enkulturasi yang pada pokoknya adalah pewarisan/penurunan nilai-nilai sosial kultural pada individu-individu anggota kelompok dalam rangka penyesuaian/pengintegrasian individu dalam kelompok.

Masa lampau dan pewarisan nilai

Dari gambaran di atas tadi kelihatan gambaran hubungan pendidikan dengan masa lampau, yakni berkisar di sekitar nilai-nilai, dalam hal ini nilai-nilai yang berkembang pada generasi terdahulu yang perlu diwariskan pada generasi masa kini, bukan saja untuk mengintegrasikan individu kedalam kelompok, tetapi lebih dari pada itu, sebagai bekal kekuatan untuk menghadapi masa kini bahkan juga masa yang akan datang. Lebih-lebih apabila kita menyadari tujuan pendidikan nasional kita, yang pada dasarnya ingin mengembangkan manusia yang berkepribadian, yang sadar akan kewajibannya untuk mengembangkan diri maupun bangsanya serta lingkungannya serta terbinanya hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan kelompok, dengan alam dan dengan tuhan Tuhan ang Maha Esa.
Mengembangkan manusia seperti yang digambarkan di atas dengan sendirinya memerlukan sarana motivasi yang kuat sebagai faktor penggerak dari dalam manusia sendiri. Dan apa yang kita katakan sarana motivasi yang bersifat kejiwaan itu tidak lain sesungguhnya yang sering kita sebut nilai-nilai, dalam hal ini nilai-nilai masa lampau yang telah teruji oleh jaman. Berbicara tentang nilai masa lampau, kita hakekatnya berbicara tentang makna dari sejarah. Dalam hubungan inilah kita perlu meninjau lebih lama posisi masa lampau (sejarah) dalam perspektif pendidikan. Seperti telah diungkapkan di muka, sejarah tak ubahnya sebagai memori pada seorang individu; maka dari itu sejarah pada hakekatnya menjalankan fungsi memori, yaitu mengambdikan pengalaman-pengalaman masyarakat di waktu yang lampau dalam bentuk ceritra, yang mula-mula bersifat ceritra lisan tetapi kemudian berkembang menjadi ceritra-ceritra tertulis yang kritis.
Pengalaman masa lampau yang diabadikan melalui sejarah ini sewaktu-waktu bisa menjadi bahan pertimbangan bagi suatu masyarakat dalam menghadapi problem-problem yang dihadapinya. Mengutip kembali ucapan Renier, dimana dia katakan bahwa “without our past we are unable to construct ideas about the consequences of our actions” ; atau yang lebih tegas lagi tercermin pada ucapan Collingwood seperti telah dikutip pula dimuka, yaitu:
…… knowing yourself means knowing what you can do; and since nobody knows what he can do until he tries, the only clue to what man can do is what man has done, the value of history, then, is that it teaches us what man has done and what man is”.
Demikianlah kalau tadi kita katakan bahwa pendidikan adalah usaha mengembangkan daya-daya manusia, maka kata-kata mutiara dari Collingwood ini jelas menunjang pengertian itu, sebab bukankah menggambarkan daya manusia tidak lain berarti menyadari kemampuan manusia dan bukankan kita baru tahu kemampuan kita apa bila kita telah melakukan sesuatu atau tegasnya dari apa yang telah kita lakukan atau secara lebih luasnya dari masa lampau kita. Ini berlaku bagi individu-individu maupun bagi kelompok masyarakat secara keseluruhan (atau suatu bangsa). Keadaan ini bisa dipertegas dengan apa yang diucapkan oleh A.L Roswe bahwa “……the truth is that without the sense of history human life as we know it would unthinkabel: history is as fundamental to our life as that” (…..yang benar adalah tanpa rasa sejarah kehidupan manusia, seperti kita ketahui adalah sesuatu yang sulit dibayangkan; sejarah pada hakekatnnya sama mendasarnya dengan kehidupan kita sendiri).
Pendek kata, apabila pendidikan dianggap sebagai suatu usaha, bahkan sebagai suatu investasi dalam mencapai suatu tujuan nasional, maka sejarah adalah merupakan sumber kekuatan untuk menggerakkan usaha atau investasi tersebut. Semakin kita menyadari nilai sejarah, semakin kita punya kekuatan untuk menumbuhkan sifat/watak/ kemampuan yang diinginkan. Hal ini sesuai dengan ucapan filosof R.B. Parry bahwa: “trough education men acquire the civillzation of thepast, and are enabled to take part in the civillzation of the present and make the civillzation of the future” (melalui pendidikan manusia mendapatkan unsur-unsur peradaban masa lampau, dan memungkinkan baik untuk mengambil peranan dalam peradaban masa kini maupun untuk membentuk peradaban dimasa yang akan datang)
Dari uraian di atas ini sudah jelas kiranya benang merah hubungan antara sejarah dan pendidikan, dimana proses pendidikan mungkin bahkan tidak bisa berjalan tanpa dukungan sejarah, karena sejarahlah hakekatnya yang memberikan bahan-bahan bagi berjalannya proses pengembangan daya-daya manusia yang menjadi inti pokok dari pendidikan tersebut.

Pewarisan nilai dan kesadaran sejarah

Namun perlu disadari benar-benar peristiwa masa lampau (sejarah) tidak dengan sendirinya akan mempuyai arti bagi masa kini dan masa yang akan datang. Dengan kata lain, sejarah tidak dengan sendirinya akan berfungsi bagi proses pendidikan yang menjurus kearah penumbuhan dan pengembangan karakter bangsa. Boleh dikatakan ada suatu prasyarat untuk menjadikan sejarah ada dalam posisi yang fungsional dalam perspektif pendidikan. Prasyarat tersebut tidak lain dari pada apa yang disebut kesadaran sejarah, yang oleh Soejatmoko digambarkan sebagai :
….. suatu orientasi intelektuil, suatu sikap jiwa yang perlu untuk memahami secara tepat paham kepribadian nasional. Kesadaran sejarah ini membimbing manusia kepada pengertian mengenai dir sendiri sebagai bangsa, kepada self understanding of nation, kepada sangkan peran suatu bangsa, kepada persoalan what we are, why we are what we are.
…….kesadaran sejarah juga kita perlukan sebagai suatu cara untuk melihat realitas sosial yang kita hadapi dengan segala problemanya bukan saja sebagai masalah-masalah moril yang memerlukan jawaban ya atau tidak, putih atau hitam, melainkan supaya kita juga mampu untuk melihat masalah-masalah sosial termasuk segi morilnya, sebagai masalah-masalah historis yang memerlukan cara-cara penghadapan historis pula.
Dengan demikian secara singkat bisa dikatakan bahwa kesadaran sejarah yang menyangkut kondisi kejiwaan yang menunjukkan tingkat penghayatan pada makna dan hakekat sejarah bagi masa kini dan masa yang akan datang, menjadi dasar pokok bagi berfungsinya makna sejarah dalam perspektif pendidikan. Sehubungan dengan itu, maka pertanyaan penting yang kianya perlu diajukan ialah seberapa jauh kesadaran sejarah tersebut telah tumbuh dalam kehidupan nasional kita.
Dalam penerbitan khusus majalah prisma (17-8-1976) yang mengajukan tema “Sejarah Indonesia Antara Dongeng dan Kenyataan” ada dimuat ungkapan perasaan T Mulya Lubis yang antara lain mengatakan:
Saya curiga apakah ada kesadaran sejarah dikalangan generasi muda. Kalau ada pembagian generasi 20-an, 45 atau 66 saya takut itu hanya dapat ditangkap oleh sekelompok kecil saja. “Generasi muda merasa asing, tidak intens dan miskin dengan penghayatan sejarah”.
Apabila cetusan perasaan T. Mulya Lubis ini bisa dianggap mencerminkan situasi penghayatan sejarah dikalangan masyarakat kita (terutama dikalangan generasi mudanya), tentu saja ini menunjukkan tingkat kesadaran sejarah yang masih memprihatinkan. Pengakuan seperti ini perlu kita perhatikan apabila kita berpikir mengambil sesuatu dari sejarah dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan nasional. T. Mulya Lubis mengatakan: “kemiskinan sejarah dikalangan orang tua kita. Dan saya curiga apakah dengan kemiskinan sejarah orang tua kita itu, kita dapat mengambil pelajaran”.
Kata-kata T. Mulya Lubis sengaja dikutip disini karena bisa dianggap menunjukkan problema yang sebenarnya apabila kita meletakkan peristiwa sejarah dalam perspektif pendidikan. Generasi tua perlu pertama-tama meningkatkan kesadaran sejarah untuk bisa menanamkan kesadaran sejarah pada generasi yang lebih muda. Atau seperti dikemukakan oleh Soedjatmoko, kita perlu menyadari bahwa “sejarah adalah urusan kita semua, seluruh bangsa Indonesia dan bukan merupakan hak atau kewajiban eksklusif dari pada ahli sejarah saja”. 15)
Kalau kita sekarang harus mencari sumber timbulnya problema di atas ini, maka rupanya kita terutama harus berpaling pada penduidikan dan pengajaran sejarah disekolah-sekolah (termasuk diperguruan tinggi) disamping di masyarakat sendiri. Berbicara tentang pendidikan/pengajaran sejarah di sekolah, maka masalahnya terletak baik pada intensitas serta materi pengajarannya, maupun (bahkan iniyang lebih-lebih lagi pentingnya) dalam hal metode pengajarannya. Menarik sekali untuk ditinjau lebih jauh mengenai, metode pengajaran sejarah itu, karena kelihatannya disinal terutama harus ditumpahkan perhatian dan harapan bagi berkembanganya penghayatan sejarah yang menuju pada kesadaran sejarah tersebut. Khusunya mengenai pendidikan/pengajaran sejarah di perguruan tinggi, Soedjatmoko mengeriti cara-cara tradisional dengan mengatakan “buanglan cara-cara mengajar yang mengutamakan fakta sejarah. Pengetahuan belaka tentang fakta sejarah bukanlah membikin seseorang menjadi ahli sejarah” 16). Selanjutnya dia menganjurkan :
Pengajaran sejarah hendaknya diselenggarakan sebagai suatu avontuur bersama dari pengajar maupun yang diajar. Dalam konsepsi ini maka bukan hafalan fakta, melainkan riset bersama antara guru dan mahasiswa menjadi metode utama. Dengan jalan ini maka si mahasiswa langsung dihadapkan dengan tantangan intelektuil yang memang merupakan ciri khas dari pada sejarah sebagai ilmu. Demikian pula dia dilibatkan langsung dalam suatu engagement baru dengan arti sejarah untuk hari kini. Dia menjadi peserta, pelaku dalam usaha ‘penemuan diri’ bangsa kita sendiri. 17)
Apa yang dikemukakan Soedjatmoko ini memang merupakan trend baru dalam metode pengajaran sejarah di sekolah, seperti tercermin pada kata-kata R. Douch “….. the need for children to be involved in history and that they should see it not as a film which they simply watch, but as continuing play in which they themselves are actors”. Atau juga seperti ucapan Sartono Katodirdjo bahwa “apabila sejarah hendak tetap berfungsi dalam pendidikan maka harus dapat menyesuaikan diri terhadap situasi sosial dewasa ini. Jika studi sejarah terbatas pada pengetahuan fakta-fakta akan menjadi steril dan mematikan segala minat terhadap sejarah.
Demikian atas dasar pernyataan ini, lebih-lebih dirasakan perlunya mengembangkan metodologis yang baru dalam pendidikan/pengajaran di sekolah. Pendekatan seperti ‘inquiry approach” 20) dengan sasaran-sasaran kegiatan berupa “sejarah lokal” dalam perspektif sejarah nasional dianggap lebih bisa membawa anak-anak didik kita untuk menghayati sejarah secara lebih maksimal. Sehingga dengan pendidikan bisa dihindarkan suasana indoktrinasi dalam pelajaran sejarah seperti yang dilakukan oleh T. Mulya Lubis dalam uraianya yang disinggung di atas tadi.
Masalah lain yang kiranya perlu pula disoroti ialah mengenai buku-buku sejarah, khususnya yang bersangkutan dengan peristiwa-peristiwa kepahlawanan. Para guru sejarah umumnya mengeluh bahwa meskipun menyadari tugasnya untuk mengajarkan masa lampau kita dengan lebih menarik, tetapi mereka tidak bisa berbuat banyak karen tidak/belum adanya buku pegangan yang memadai baik isi maupun cara penyajiannya. Maka dari itu maka ini merupakan tantangan yang besar bagi ahli-ahli sejarah kita dan kalangan dunia pendidikan/keguruan untuk mengatasi masalah ini, terutama apabila kita ingin penghauatan sejarah secara lebih memadai.
Oleh karena pendidikan yang dimaksudkan disini adalah pendidikan dalam arti luas, maka kita juga perlu memikirkan usaha-usaha atau saran bagi pengembangan kesadaran sejarah bagi keseluruhan masyarakat kita. Untuk tujuan itu kita biasanya berpikir ke arah pendirian monumen-monumen, patung-patung, museum-museum dan lain-lain yang semacam itu untuk mempringati peristiwa-peristiwa bersejarah. Hanya saja dalam hubungan ini, barangkali kita perlu merenung sejenak berhubung dengan suatu artikel di Harian Kompas (20-9-1979) yang bernada protes terhadap pendirian patung Proklamator, karena dianggap kurang berarti dengan usaha-usaha nyata seperti pendirian perpustakaan yang lengkap dengan buku-buku ilmu penegtahuan. Ini barang kali bisa dihubungkan dengan kesalahpahaman yang sering terjadi tentang arti sebuah monumen sejarah, terutama yang berupa patung, dimana dalam hal ini sering dianggap bahwa kita berhadapan dengan patungnya semata-mata sebagai benda mati. Namun bagaimanapun juga, artikel di atas ini mungkin mengandung hikmah, yaitu paling sedikit mengingatkan kita bahwa andaikata generasi muda (penulisnya rupanya dari kalangan pemuda) ada yang berpendapat demikian, itu adalah termasuk kesalahan generasi pewaris, karena tidak mendidik mereka untuk bisa melihat makna yang tersirat pada patung tersebut. Kita tidak mampu untuk membangkitkan imaginasi mereka, sehingga mampu menyuruh patung itu seakan-akan berbicara tentang nilai-nilai masa lampau yang diwakilinya. Pendek kata, membangun penghayatan sejarah melalui monumen-monumen sejarah, tidaklah berarti sekedar membangun saja sebagai benda mati, tapi yang penting mengembangkan pengertian bahwa itu hanya sebagai alat imaginasi untuk menerobos ke masa lampau. Dan ini juga memerlukan orang-orang, apakah itu guru sejarah ataukah tokoh-tokoh masyarakat yang sudah lebih dulu punya kemampuan dibidang itu.
Masih banyak kiranya usaha-usaha atau cara-cara yang bisa ditempuh dalam menumbuhkan kesadaran sejarah tersebut, tapi yang penting dalam hal ini adalah sifat komunikatif dari media tersebut, disamping cara mengungkapkannya yang merangsang bagi sentuhan ke peristiwa ke masa silam

****

Tidak ada komentar: