Label

Adi Sanjaya

Adi Sanjaya

Kamis, 10 Maret 2011

Reformasi dan Perubahan di Indonesia

Oleh: Adi Sanjaya, S.Pd.


Reformasi adalah sebuah jargon politik yang sangat populer dalam corpus besar politik Indonesia selama beberapa tahun terakhir, menyusul gelombang krisis ekonomi yang dimulai pada pertengahan Juli 1997. Pada awal 1998 sejumlah intelektual terkemuka mempunyai ortodoksi baru bahwa krisis ekonomi tidak semata-mata disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi semata, tetapi juga faktor politik (Sutoro Eko, 2004: 53). Lebih lanjut Eko mengutip Andrew MacIntyre (1999), yang memperlihatkan bahwa krisis ekonomi di ndonesia disebabkan oleh penyakit institusional yang kronis seperti merosotnya kredibilitas pemerintah di mata publik, sistem politiknya yang tidak demokratis dan mekanisme pembuatan keputusan yang terpusat di tangan Presiden Soeharto.
Reformasi dipahami secara mendasar sebagai bentuk perubahan, demikian pula revolusi. Revolusi sering dipahami sebagai perubahan total dan cepat. Revolusi sosial, demikian Theda Skocpol (1988), adalah perubahan cepat dan mendasar dalam masyarakat dan struktur kelas suatu negara; dan revolusi tersebut dibarengi bahkan menyebabkan terjadinya pemberontakan kelas bawah.
Berbeda dengan revolusi, makna dan cakupan reformasi hampir tidak pernah dirumuskan secara tegas (Sutoro Eko, 2004: 57). Dalam studi demokratisasi, reformasi sering dimaknai sebagai liberalisasi politik yang dikendalikan oleh rezim atau transisi yang diawali oleh inisiatif dari atas. Juan Linz (1978, dalam Linz dan Stephan, 1996) misalnya, memperkenalkan konsep reforma (reformasi) yang dibedakan dengan ruptura (penggulingan). Menurut Linz, reforma adalah jalur transisi dari atas, yaitu ketika penguasa mengambil inisiatif untuk memulai transisi antara lain dengan menggelar liberalisasi politik, mengurangi kontrol represifnya, merombak aturan main politik, serta menggelar pemilihan umum yang demokratis untuk mengurangi rezim otoritarian. Sebaliknya ruptura adalah jalur transisi dari bawah yang diawali oleh gelombang aksi massa atau oposisi yang berhasil menggulingkan penguasa.
Eko (2004: 59) mengatakan bahwa ”keputusan rezim memulai reformasi menuju demokrasi biasanya terjadi karena didasari pertimbangan kelompok elite”. Pertimbangan-pertimbangan kelompok elite tersebut berpendapat bahwa kepentingan-kepentingan mereka jangka panjang akan lebih bisa terjamin bila diperjuangkan dalam lingkungan yang demokratis. Reformasi tidak sekadar dimaknai sebagai tindakan disengaja oleh penguasa, tetapi juga mencakup perubahan dalam konteks pemerintahan (governance). Michael Bratton dan Nicholas van de Walle (1994) yang dikutip oleh Eko (2004) menjelaskan tentang reformasi politik sebagai berikut.
Reformasi politik adalah reformasi atau perubahan kepemerintahan (governance), yang mencakup tiga aspek utama: (1) perubahan sistem kepartaian dan sistem pemilihan umum yakni amandemen terhadap perangkat pemerintahan yang menjamin kompetisi aktor-aktor atau partai politik dan partisipasi publik secara bebas; (2) perubahan konstitusional yaitu amandemen terhadap konstitusi yang menghasilkan pembatasan kekuasaan penguasa atau negara; dan (3) perubahan administratif yang menciptakan birokrasi lebih rasional, efisien, fleksibel, dan bertanggungjawab.
Rumusan Michael Bratton dan Nicholas van de Walle itu barangkali bisa dimaknai sebagai reformasi total di bidang politik, yaitu menghasilkan perubahan struktur politik (pemerintahan) secara total. Lebih mudahnya, konsepsi itu bisa dimaknai sebagai ”reformasi total”. Berbeda dengan reformasi parsial, yang oleh Donald Share (1987, dalam Eko, 2004:60) diidentikkan dengan kejatuhan penguasa atau pemimpin yang diikuti dengan euforia politik.
Di indonesia, istilah ”reformasi total” terkait dengan demokrasi yang mulai populer sejak tahun 1998. Dalam wacana publik, reformasi rupanya mempunyai dua target: (1) target maksimal yang mencakup pencabutan Undang-undang politik, amandemen UUD 1945, penghapusan dwifungsi ABRI, penghapusan KKN, dan penguatan otonomi daerah; (2) target minimal yaitu mundurnya Presiden Soeharto dari jabatannya. Target maksimal itu secara teoretis identik dengan ”reformasi total” atau reformasi, sedangkan target minimal identik dengan ”reformasi parsial” atau ekstriksi (Sutoro Eko, 2004: 60).
Reformasi sebagai suatu proses demokratisasi politik ternyata menjadi sebuah transisi pemerintahan yang terencana. Transisi Indonesia menuju demokrasi sejak jatuhnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 dari kekuasaannya yang dipegang selama lebih dari 30 tahun tidak mungkin dimundurkan (point of no return). Reformasi muncul seteleh Indonesia mengalami krisis politik dan ekonomi pada tahun 1997 dan 1998 (Nordholt dan Samuel, 2004: 1). Perubahan Indonesia menuju demokrasi jelas sangat dramatis. Setelah lebih dari tiga dasawarsa berada di bawa kekuasaan represif, Indonesia mengalami liberalisasi politik dan demokratisasi. Hasilnya, Indonesia kini mulai disebut-sebut sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, persisnya disebut third largest democracy in the world (Azra, 2005: x)
Pada tanggal 21 Mei 1998 Soeharto akhirnya mengundurkan diri setelah mendapat tekanan keras dari para kaum reformis (Syafiie, 2002: 37; Setyohadi, 2004, 2004: 201-203). Pengunduran diri Soeharto adalah akibat gerakan mahasiswa yang begitu besar, bahkan sampai menduduki gedung DPR/MPR (lihat Hikmah, 2002; Mahfud MD, 1999: 289-291). Pada tanggal 18 Mei Harmoko sebagai Ketua MPR terang-terangan meminta Soeharto mengundurkan diri demi kepentingan nasional (Ricklefs, 2008: 691). Amien Rais (1998: 13-15) menyebutkan ada beberapa alasan mengapa suksesi kepemerintahan Soeharto perlu dilakukan, yaitu:
a)Pemimpin nasional yang sekarang ini telah berlangsung sejak 1967, sehingga pada tahun 1998 telah berjalan 30 tahun. Pernyataan tersebut dikaitkan dengan aksioma politik oleh Lord Acton, yaitu ”power tens to corrupt, and absolute power tends to corrupt absolutely”.
b)Pimpinan nasional atau elite yang terlalu lama berkuasa dapat melahirkan penyakit kultur individu (the cult of individu) yang pernah terjadi pada era demokrasi terpimpin.
c)Suksesi, rotasi, atau regenerasi elite adalah sebuah keharusan dalam sistem demokrasi.
d)Kelompok elite yang terlalu lama memegang kekuasaan atau pemerintahan cenderung mengalami penumpulan visi dan misi.
e)Sebuah lapisan elite yang sudah kelewat lama memegang kekuasaan atau pemerintahan secara perlahan akan meyakini bahwa dirinya adalah personifikasi stabilitas dan eksistensi negara.
Selanjutnya pengganti beliau Wakil Presiden Prof. Dr. Ing. Bacharudin Jusuf Habibie yang menurut konstitusi menggantikan beliau dengan mengucapkan sumpah di Istana Merdeka Jakarta, karena tidak mungkin dilangsungkan di gedung DPR/MPR. Berbagai kontroversi pun muncul terhadap proses pengambilan sumpah oleh B.J. habibie (Syafiie, 2002: 37).
Pasca runtuhnya rezim orde baru dalam era menuju reformasi dewasa ini, muncul cita-cita yang amat kuat untuk membangun kerangka sosial dan politik bagi terbentuknya masyarakat madani seperti yang didambakan bagi terwujudnya kembali demokrasi (Culla, 1999: 217), atau yang kita kenal dengan istilah redemokratisasi. Salah satu perspektif yang perlu ditekankan dalam hal ini adalah otonomi daerah. Dalam hal ini Haris, dkk (2006: 23) menyatakan demikian.
Otonomi daerah merupakan bagian penting dari reformasi politik dan bagi bangsa kita, reformasi ini tak lain dari redemokratisasi-penegakan atau pembangunan kembali demokrasi di seluruh tanah air. Demokrasi merupakan rasional politik tertinggi, sebagai ”a three layered checks and balances political rationality”.
Secara politis, desentralisasi kewenangan pada masing-masing daerah menjadi perwujudan dari suatu tuntutan reformasi seperti direfleksikan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (Widjaja, 2002: 1). Otonomi daerah memberikan kewenangan kepada daerah, baik Provinsi, Kabupaten, maupun kotamadya untuk mengatur rumah tangga daerahnya sendiri, sehingga proses demokratisasi akan lebih terjamin (lihat Adisubrata, 1999: 9).

Tidak ada komentar: