Persembahan berupa ilmu pengetahuan lebih bermakna dibandingkan dengan persembahan materi
Label
- agama (5)
- budaya (15)
- Others (2)
- pendidikan (21)
- politik (11)
- sejarah (33)
- Tahukah Anda? (4)
Adi Sanjaya
Kamis, 10 Maret 2011
PENGERTIAN DAN MANFAAT METODOLOGI DALAM STUDI SEJARAH
1.Pengertian Metodologi dalam Studi Sejarah
Pengertian metodologi sangat terkait dengan kata metode. Metodologi sebenarnya berasal dari metode (dari bahasa Yunani “metodos”) dan logi (dari bahasa Yunani “logos”). Metode atau metodos berarti cara-cara atau prosedur untuk melakukan sesuatu penyelidikan, penelitian dari suatu ilmu. Sedangkan kata logi atau logos berarti ilmu atau kajian tentang objek studi (studi sejarah). Dengan demikian secara harfiah, etimologi dari kata metodologi bisa diartikan ilmu atau kajian tentang metode (science of method), cara atau prosedur, yang maksudnya adalah analisis tentang cara-cara, prinsip-prinsip atau prosedur yang akan menuntun, mengarahkan dalam penyelidikan satu bidang ilmu. Di sini adalah ilmu sejarah yaitu kenyataan tentang peristiwa yang terjadi di masa lampau, untuk disusun dijadikan sebuah cerita sejarah (bandingkan dengan Sjamsuddin, 1996:2).
Praktek penelitian sejarah, dapat dilihat metode dan metodologi merupakan dua perangkat kegiatan yang pada dasarnya berbeda tapi punya tujuan yang sama, yaitu mendapatkan pengetahuan yang cermat dan benar tentang peristiwa yang terjadi di masa lalu (pengetahuan sejarah). Seperti ditegaskan oleh Sartono Kartodirdjo (1992:ix) pada intinya metode menyangkut “bagaimana orang memperoleh pengetahuan” (how to know), sedangkan metodologi adalah ilmu tentang “untuk tahu bagaimana harus mengetahui” (to know how to know).
Dalam kegiatan penulisan sejarah, melalui metode para sejarawan akan menggunakan cara-cara serta prosedur atau teknik untuk merekonstruksi peristiwa sejarah sehingga menjadi suatu ceritera yang menggambarkan secara akurat apa yang benar-benar terjadi (as actuality), kapan terjadinya, di mana terjadinya, siapa pelakunya, bagaimana kejadiannya serta mengapa terjadi (5 W+H). Jadi melalui metode diperoleh pengetahuan asal-usul peristiwa (eksplanasi genesis) untuk menghasilkan satu bentuk ceritera yang sering disebut deskriptif naratif.
Sedangkan melalui metodologi para sejarawan ingin mengupayakan mendapat penjelasan (eksplanasi sejarah) yang lebih rinci dan mendalam, terutama tentang mengapa dan bagaimana sesuatu peristiwa itu bisa terjadi. Untuk itu perlu penjelasan sejarah analitis-kritis terhadap unsur-unsur kausal, kondisional, serta kontekstual peristiwanya lebih jauh, sehingga bisa dibangun pola-pola, kecenderungan-kecenderungan, hukum-hukum terbatas, serta struktur peristiwa sejarah itu. Tentu saja, upaya menghasilkan penjelasan sejarah lebih konprehensif seperti itu memerlukan alat serta perangkat analisis berupa pendekatan (approach) atau sudut pandang, serta konsep teoretik yang dapat menuntun sejarawan untuk dapat mengeksplanasi, mengklarifikasi mengapa dan bagaimana sesuatu peristiwa itu terjadi. Pendekatan analisis seperti ini akan menghasilkan gambaran sejarah yang disebut deskriptif analitik atau sejarah kritis-analitis (lihat Kartodirdjo, 1992, lihat pula Kartowijoyo, 1994:xii).
Atas dasar pembahasan di atas sudah tentu seorang ahli metodologi dalam studi sejarah di samping harus menguasai metode atau prosedur kerja sejarawan, tetapi juga sangat dibutuhkan agar mendalami aspek-aspek teori, konsep-konsep yang dapat dijadikan perangkat analisisnya dalam mengkaji sebuah peristiwa sejarah yang pada dasarnya bersifat kompleks, karena menyangkut fenomena manusia dengan kehidupannya di masa lampau. Dengan kata lain, seorang sejarawan professional, dewasa ini dituntut agar menguasai metode (meliputi kemampuan heuristik, kritik sumber, interpretasi, serta penulisan ceritera sejarah) dan juga metodologi sejarah (menyangkut penguasaan perangkat analisis serta teori-teori ilmu sosial, ilmu kemanusiaan, dan sebagainya). Jadi sangat kompleks tuntutan keilmuan bagi seorang agar dapat mejadi seorang sejarawan yang professional.
2. Manfaat Metodologi dalam Studi Sejarah
Dari uraian di atas bisa disimpulkan, apabila tujuan sejarawan hanya untuk menyusun ceritera sejarah sebagai satu gambaran deskriptif naratif saja, langkah-langkah teknis metodis, seperti: (1) heuristik, (2) kritik, (3) interpretasi dan (5) penulisan ceritera sejarah yang mau ditulis. Prosedur ini diikuti secara ketat kiranya dianggap sudah cukup memadai. Namun, atas dasar anggapan bahwa peristiwa sejarah sering bersifat sangat kompleks, karena menyangkut fenomena manusia yang bersifat multidimensional, maka diperlukan pisau analisis yang lebih memadai yang disebut metodologi itu. Di sinilah kita melihat manfaat dari metodologi dalam studi peristiwa masa lalu (sejarah).
Perangkat metodologis utama yang diperlukan studi sejarah dalam memenuhi tugas baru sejarawan profesional ini adalah kerangka teoretis yang memadai dan relevan. Di sinilah pula kita melihat karakteristik pemanfaatan metodologi dalam studi sejarah, yaitu digunakannya konsep-konsep teoretik sosio-kultural dalam penyusunan sejarah, pekerjaan yang tidak biasa dilakukan dalam penyusunan sejarah deskriptif-naratif. Oleh karena, studi sejarah sendiri tidak memiliki tradisi pengembangan teori seperti ilmu sosial lainnya, yang ada adalah tradisi filsafat sejarah kritis, maka dari itu, penggunaan metodologi sejarah banyak mengambil kerangka teori dalam analisisnya dari ilmu-ilmu sosial seperti: dari sosiologi, antropologi, ekonomi, psikologi, ilmu politik dan lain-lainnya, di samping menggunakan filsafat kritis sejarah yang telah berkembang sebelumnya. Hal ini, akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan selanjutnya.
Dengan digunakannya berbagai perangkat analisis yang didukung oleh berbagai teori ilmu-ilmu sosio-kultural, maka studi sejarah bisa diperkaya dengan menampilkan corak-corak baru dari disiplin keilmuannya, seperti yang akan diuraikan di belakang. Yang pasti di sini juga, terlihat peranan penting metodologi sejarah, yaitu dimungkinkannya untuk dikembangkan berbagai studi khusus atau tematik dari dimensi-dimensi peristiwa sejarah yang sebelumnya kurang mendapat perhatian memadai. Dengan kata lain, melalui metodologi sejarah dimungkinkan membuat penekanan-penekanan khusus dari studi sejarah, secara tematis dengan format ilmu-ilmu sosio-kultural tadi. Dengan demikian, akan muncul sejarah ekonomi, sejarah sosial, sejarah kebudayaan, sejarah wanita (bias gender), dan sejarah tematik lainnya berdasarkan format ilmu sosio-kultural yang digunakan.
Pertama-tama melalui peranan penting metodologi studi sejarah menjadi lebih mampu menajamkan kajian-kajiannya menyangkut masalah hubungan-hubungan kausal dalam sejarah dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan “why” (mengapa) dan “how” (bagaimana bisa terjadi seperti itu) dalam peristiwa sejarah. Semuanya ini untuk mampu mengantarkan pembacanya menjadi lebih paham dan mengerti peristiwa yang terjadi si masa lalu itu (verstehen).
Di samping itu, terkait dengan hal tersebut di atas, studi sejarah lebih mungkin di arahkan ke sifat “nomotetis” dalam analisisnya, yaitu untuk menemukan pola-pola, kecenderungan-kecenderungan struktur dan aspek-aspek keumuman (generalisasi terbatas) lainnya dari peristiwa sejarah. Memang karena karakteristik peristiwa sejarah yang bersifat unik (einmalig) (terjadi sekali dan tidak mungkin diulang lagi), menyebakan hasil karya sejarawan dianggap lebih bernuansa ideografis, yaitu hanya menggambarkan peristiwa unik atau khusus seperti terlihat dalam sejarah deskriptif-naratif. Walaupun demikian, studi sejarah akan lebih berkontribusi secara pragmatis- praktis apabila mampu mengidentifikasikan unsur-unsur keumuman dari peristiwa masa lampau, untuk bisa dijadikan pegangan dalam memprediksi masa yang akan datang. Terutama akan sangat berguna bagi guru sejarah dalam mengajak peserta didiknya menggunakan cerita sejarah sebagai bekal mengantisipasi berbagai perubahan dan tantangan yang tidak menentu menghadangnya di masa akan datang.
Hal yang terakhir ini, terutama bisa dikaitkan dengan kepentingan untuk mengidentifikasikan unsur “sinkronis” penelitian sejarah dalam rangka menemukan struktur peristiwa sejarah, di samping unsur “diakronis” (prosesual secara kronologis) yang menjadi ciri utama peristiwa sejarah, dalam kaitan menggambarkan perubahan dan perkembangan (kontinuitas dan diskontinuitasnya) .
Penemuan pola-pola atau struktur peristiwa sejarah, sangat bermanfaat untuk menjelaskan kompleksitas kehidupan manusia yang tercermin dalam peristiwa sejarah yang memiliki sifat multidimensional itu.
Kebermanfaatan yang dapat dikembangkan dengan dukungan metodologis seperi dikemukakan di atas, di lain pihak dapat juga membebaskan studi sejarah dari belenggu yang berlebihan pada kajian peristiwa politik (menyangkut tokoh-tokoh orang besar, perubahan dinasti, kekuasaan dan peristiwa politik semata). Karena melalui kajian yang didasari oleh teori-teori yang diambil dari ilmu-ilmu sosio-kultural, studi sejarah akan mampu mengarahkan perhatiannya dalam analisis-analisis pada kelompok-kelompok masyarakat secara luas, yang sering tidak kalah peran pentingnya dalam perkembangan dan perubahan masyarakat yang juga menyangkut peristiwa sejarah yang berisifat sosio-kultural.
Sejalan dengan yang dikemukakan di atas, maka ada keuntungan khusus yang bisa dicapai oleh studi sejarah dengan memerankan metodologi, yaitu dimungkinkannya kajian-kajian sejarah memasuki lebih jauh lingkungan ilmu-ilmu sosio-kultural, di samping dalam posisi awalnya sebagai kajian humaniora. Tentu saja perlu dibuat catatan bahwa makin berperannya metodologi dalam studi sejarah hendaknya tidak dimaknai sebagai diabaikannya sifat-sifat dasar kajian sejarah, seperti bentuk dasarnya sebagai gambaran deskriptif-naratif peristiwa sejarah yang terkait dengan sifat ideografis sejarah, yaitu penekanan pada proses (diakronis-kronologis) dan sifat-sifat lain sebagai studi humaniora, karena rasa waktu (sense of time) adalah ciri utama studi sejarah.
Bahkan terkadang saya curiga pada kajian berlebihan menonjolkan teori ilmu sosio-kultural itu, sejarah kehilangan makna dan jati dirinya sebagai studi pristiwa masa lampau terkait dengan waktu (deskriptif- kronologis), berubah menjadi ilmu sosial-budaya yang kehilangan makna (kendal kaput bingin). Dengan demikian rasa waktu, aras waktu, dimensi perkembangan dan perubahan dari kelampaunnya menuju masa mutakhir tidak ada. Sehingga sejarah berubah menjadi sosiologi masa lampau, antropologi masa lampau, ekonom masa lampau, paling-paling komparasi masa lampau (titik acuan tertentu) dengan jaman pembahasnya, tampa kronologis. Jika itu terjadi maka metodologi sejarah mengalami kegagalan sebagai alat analisis, tetapi sejarah berubah menjadi diperalat atau dilukai dan dibedah oleh pisau analisisnya sendiri.
Hal ini perlu direnungkan dan dapat dikaji dalam beberapa karya skripsi dan tesis mahasiswa sejarah yang terlihat larut dengan citra pisau analisisnya. Dan lebih menyedihkan lagi jika pembimbingnya memang tidak mau berpikir historis, karena telah berpaling dengan “selingkuhan lain” sehingga melupakan istri aslinya. Al hasil, kita menjadi berdosa mencetak pendidik guru sejarah, berkeahlian lebih militan bidang ilmu sosio-kultural yang diharap menjadi bahan pisau analisis saja dalam membangun cerita sejarah, atau menjelaskan peristiwa sejarah yang lebih akurat.
Daftar Rujukan Utama
Ankersmit, F.R. 1987, Refleksi tentang Sejarah (terjemahan). Jakarta, PT. Gramedia.
Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogya : PT. Tiara Wacana
Sjamsuddin, Helius. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta: Proyek Pendidikan Tenaga Akademik. Ditjen Dikti, Dep. P dan K.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar