Oleh
I Made Purna
Balai Kajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional Bali-NTT-NTB
A. PENDAHULUAN
Dewasa ini kita menghadapi tantangan mahabesar akibat dampak globalisasi terutama dalam aspek demografi, teknologi, ekonomi, organisasi, ekologi, dan ideologi. Akhir-akhir ini telah terjadi kepunahan dan kerapuhan etika publik yang digerus oleh kekuatan komersialisasi, konsumerisme dan vulgarisme. Terjadinya distorsi kehidupan maupun kerapuhan etika publik telah disikapi oleh Bapak Presiden RI. Susilo Bambang Yudhoyono tatkala membuka acara Pertemuan Puncak Peranan Hukum dalam Memajukan Akses Keadilan Masyarakat Marginal dalam Konteks HAM. Beliau mengemukakan bahwa dalam ranah hukum terekam adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Hasil pengamatan lapangan dalam berbagai ranah kehidupan publik dapat dilihat bahwa, bukan sebatas kesenjangan yang terwujud melainkan paradok antara teks dan konteks (das sollen dengan das sein) merefleksikan adanya distorsi dan degradasi etika kekuatan publik (Geriya, 2006).
Hidup berpura-pura mewarnai kehidupan masyarakat dewasa ini. Para tokoh politik belum sepenuhnya dimaknai untuk kepentingan rakyat senyatanya, melainkan hanya untuk kepentingan kelompok bahkan pribadi. Di bidang birokrasi, etika birokrasi (birokrat) diharapkan terbangun ke arah good govermance. Kenyataannya ditubuh Legislatif masih berlomba-lomba terlibat KKN, sehingga usaha pemberdayaan ekonomi rakyat susah terwujud. Hidup keseharian di masyarakat susah mencari orang jujur yang komit yang didasari nilai-nilai Pancasila, khususnya nilai spiritual. Fenomena ini dirasakan akan terus berjalan dan susah dibendung. Jika fenomena ini tidak disikapi dengan arif maka kita akan kehilangan identitas budaya, kehilangan nilai sejarah yaitu merupakan ciri yang muncul karena seseorang itu merupakan anggota dari sebuah kelompok etnik tertentu. Kuat dan tidak identitas budaya suatu kelompok etnik atau bangsa itu sangat tergantung pada proses pembelajaran yang diprogramkan oleh pemerintah melaui kebijakan pemerintah dalam masyarakat bersangkutan. Unsur-unsur pembelajaran yang dimaksud yaitu : (1) penerimaan tradisi ; (2) sifat bawaan; (3) bahasa; (4) agama; (5)keturunan dari suatu kebudayaan (Liliweri, 2002).
Modal budaya yang tepat untuk mengatasi dampak globalisasi seperti tersebut di atas kita harus banyak belajar dari sejarah, tradisi lama atau memaknai tradisi lama yang banyak mengajari kearifan hidup, kearifan lokal dan keunggulan lokal.
Belajar berdasarkan sejarah dan tradisi, terutama tradisi yang mengandung nilai sejarah. Karena dengan prinsip belajar dari masa lampau bukan saja mungkin, akan tetapi malah bisa dianggap fungsi penting dari belajar sejarah demi menghadapi masa kini dan masa yang akan datang, seperti yang dikatakan oleh Ankersmit: Pengkajian Sejarah dapat mengajarkan kepada kita bagaimana dalam situasi tertentu kita harus bertindak, inilah latar belakang pepatah “ histori magistra vitae”, sejarah bertindak sebagai guru dalam menangani masalah kehidupan (1987).
Dari tradisi lama dan fungsi reflektif inspiratif sejarah sangat memungkinkan manusia belajar dari kearifan lokal yang mengandung nilai sejarah seperti halnya peristiwa perang heroik mulai dari perang Buleleng (1846), Perang Jagaraga (1846), Perang Kusamba (1849), Puputan Badung (1906), Puputan Kulungkung (1908) dan perang perebutan kemerdekaan (1948) yaitu Puputan Marga. Nilai-nilai apa yang bisa dipetik untuk menghadapi masa kini? Dan bagaimana mengembangkan kesadaran lebih mantap untuk menghadapi masa datang? Sebagai perwaris nilai-nilai “ Puputan” tentu harus mampu memahaminya sebagai salah satu potensi untuk membangun ketahanan budaya Bali. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa betapa strategisnya sebenarnya fungsi sejarah dan tradisi dalam menghadapi permasalahan kehidupan manusia di era globalisasi ini. Sebetulnya Bali tidak perlu malu jika melandasi kehidupannya melalui rujukan sejarah. Jangan memiliki pandangan keliru dan menganggap bahwa cara-cara yang telah ada diwariskan pada kita adalah bersifat tradisional, tidak modern, bahkan harus dibangun kesadaran bahwa ini merupakan cara yang paling baik dan benar, sehingga tidak boleh dihindari atau dikesampingkan, di era kesejagatan ini.
B. KETAHANAN BUDAYA
Ketahanan budaya muncul bersamaan dengan munculnya istilah ketahanan nasional, pada tahun 1980-an. Ketahanan nasional awalnya merupakan sebuah konsep yang diharapkan dapat mamayungi berbagai modal nasional, yang memiliki banyak dimensi, sehingga sifatnya sangat umum. Ketahanan budaya menurut Sri Edi Ahimsa Putra adalah kemampuan suatu budaya untuk membuat sebagian atau keseluruhan unsur-unsurnya tetap ada dan tetap memberikan sumbangan berharga bagi kehidupan masyarakat. Dengan demikian ketahanan budaya dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu masyarakat untuk membuat sebagian atau keseluruhan unsur-unsur budayanya tetap ada dan tetap memberikan sumbangan tertentu bagi keberlangsungan hidup masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini , unsur-unsur budaya lokal dapat dijadikan pedoman oleh warga masyarakat pendukungnya.
Ketahanan budaya sedikit banyak dipengaruhi oleh keluasan cakupan budaya bersangkutan. Makin luas cakupan kebudayaan itu, makin sulit bagi kebudayaan bersangkutan untuk tetap mempertahankan keseluruhan unsur-unsur budayanya. Berkenaan dengan luasnya cakupan kebudayaan di Indonesia, sehingga kebudayaan dibedakan menjadi : a) kebudayaan lokal / etnik; dan b) kebudayaan nasional / Indonesia. Budaya lokal (bisa ukurannya etnik dan bisa bukan) adalah seperangkat simbol-simbol yang digunakan oleh sejumlah individu yang tinggal di sebuah daerah tertentu. Budaya lokal ini dalam banyak kasus merupakan budaya sebuah atau beberapa komunitas, yakni sebuah kesatuan sosial yang didasarkan pada tempat tinggal. Budaya lokal ini sering kali merupakan sub-sub budaya dari suatu budaya etnis, tetapi bisa juga bukan. Hal ini sedikit banyak bergantung pada batas-batas lokalitas atau daerah tersebut serta besar kecilnya jumlah pendukung budaya etnis tertentu. Di Indonesia lokalitas ini bisa berupa sebuah propinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan atau banjar.
Sedangkan budaya nasional dalam konteks Indonesia dapat didefinisikan sebagai perangkat simbol yang dihasilkan dan digunakan oleh orang Indonesia. Kriteria “ hasil “ dan “ guna “ perlu diperhatikan, karena kriteria “ hasil “ dianggap lebih penting dari kriteria “ menggunakan”. Banyak orang Indonesia yang menggunakan unsur-unsur budaya yang tidak dihasilkan oleh orang Indonesia. Sebagian unsur-unsur “ asing “ ini memang telah dianggap sebagai bagian dari budaya Indonesia tersebut, tetapi sebagian yang lain belum.
Dari dua tataran budaya tersebut, dewasa ini manghadapi masalahnya masing-masing dalam menghadapi ketahanan budaya, dan dalam banyak hal, dua tataran ini harus bekerjasama untuk meningkatkan ketahanan nilai sejarah yang diwujudkan dalam bentuk kearifan lokal. Karena itu dalam menghadapi Hari Puputan Badung yang keseratus tidak mengherankan kalau peristiwa tersebut diperingati secara istimew, karena masyarakat badung ingin memaknai sesuai dengan konteks jaman.
C. NILAI SEJARAH “ PUPUTAN BADUNG “ SEBAGAI KEARIFAN LOKAL ETNIK BALI
Kata puputan berasal dari bahasa Bali yaitu dari kata puput, yang artinya selesai. Puputan dapat diartikan sebagai unsur yang sudah sampai pada taraf penyelesaian terakhir. Menurut Miguel Civvarubias kata puputan diistilahkan dengan Feight to the end bertempur sampai akhir, sampai titik darah penghabisan. Sedangkan menurut Korn, perang puputan baru dilakukan apabila berada dalam keadaan terjepit. Di saat pertempuran akan tetap mengamuk sampai detik terakhir dan bila perlu menghabisi jiwanya sendiri agar tidak sampai tertangkap hidup-hidup oleh musuh. Dengan demikian istilah perang puputan dapat diartikan perang habis-habisan, dimana pemimpin dan anak buahnya ikut tewas bersama-sama menghadapi musuh. Mati bersama-sama dalam perang dapat dibuktikan dalam peristiwa puputan seperti dalam Puputan Badung, Puputan Klungkung, Jagaraga, dan Margarana. Secara relegius didasari oleh kepercayaan “mati ring rana swarga, meninggal di medan perang adalah swarga (alam swah dalam bhur- bwah-swah).
Lahirnya tindakan Puputan oleh raja keluarga Puri dan rakyat Badung diawali dengan adanya laporan palsu yang dibuat oleh Kwee Tek Tjiang, dengan memalsu data kejadian terdamparnya perahu dagang memakai bendera Belanda yang bernama Sri Kumala di desa Tangtu, Sanur. Raja Badung telah dibuatkan laporan palsu, dengan menuduh rakyat Badung merampas perahu dan mencuri uang sebesar 3.700,- ringgit uang perak, serta 2.300,- uang kepeng. Atas kejadian itu raja Badung harus membayar kerugian pertama 3.000,- ringgit kemudian menjadi 5.173,- ringgit. Setelah ditelusuri, ternyata rakyat Badung menyatakan kejujurannya melalui sumpah cor, hingga menempuh jalur hukum melalui Majelis Raad Kertha Kerajaan Badung, namun semuanya ditolak oleh Van Heutz yang saat itu menjabat Gubernur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda di Batavia.
Raja Badung tetap tidak membayar seringgit pun, bahkan Raja Badung menuntut balik Pemerintah Hindia Belanda dengan tuntutatan 1.500,- ringgit setiap hari, sebagai ganti rugi blokade ekonomi yang dibuat oleh Pemerintah Belanda. Walaupun para pedagang Cina dan Bugis siap mengumpulkan uang untuk membayar ganti rugi itu. Demikian pula Raja Badung sebetulnya memiliki cukup uang untuk itu. Namun masalah ganti rugi di sini bukan lagi hanya masalah uang, tetapi telah menjadi masalah kedaulatan kerajaan Badung dan masalah kebenaran fakta yang dibuat oleh Kwee Tek Tjiang itu sendiri. Seperti apa yang dikemukakan oleh H.H. Van Kol yang dikutip oleh Ida Anak Agung Gde Agung : “orang yang jujur akan menyatakan bahwa (Raja Badung dan Tabanan) sadar akan kebenarannya ………… kekuatan sampai titik darah penghabisan“.
Dalam rangka menambah keyakinan untuk mempertahankan kebenaran sampai “puputan”, Raja Badung kemudian mengadakan perjalanan ke Tabanan untuk mempererat persahabatan antara kedua kerajaan. Kedua kerajaan ini sebetulnya sudah menjalin persahabatan sejak abad ke-19. Untuk memantapkan kedekatan persahabatan itu (di samping memang sama-sama satu keturunan), dari tanggal 14-19 Mei 1905, I Gusti Ngurah Rai Denpasar tinggal di Puri Tabanan. Dan pada saat itu pula kedua raja mengangkat sumpah di Pura Keluarga (Pemerajan Agung) kerajaan Tabanan, bahwa mereka akan saling membantu di medan perang dalam menghadapi Pemerintah Hindia Belanda.
Merasa sebagai satu keturunan, Raja Tabanan pun mengadakan kunjungan balasan ke Denpasar dari tanggal 23-30 Juni 1905. Tanggal 27 Juni 1905 diadakan sembahyang bersama di Pura Sakenan. Sejumlah besar rakyat Badung dan pembesar kerajaan ikut mengangkat sumpah yang dilakukan di Pura Taman Ayun, sehingga di mata pemerintah Kolonial, kedua kerajaan tersebut dianggap melakukan perlawanan terbuka dan akan diperhitungkan dalam ekspedisi militer. Atas dasar sumpah itu, akhirnya emosi, perasaan kepercayaan keagamaan raja, keluarga Puri dan rakyat Badung semakin bangkit. Masyarakat Badung sangat percaya bahwa kebenaran (dharma) pasti akan berada di atas kezaliman (adharma). Walaupun perjuangan tersebut harus melalui pengorbanan dan proses yang sangat panjang. Raja, keluarga Puri dan rakyat Badung menganggap pengorbanan dengan modal keberanian untuk berperang sebagai yadnya untuk membela kedaulatan kerajaan Badung. Sebagai pewaris sejarah yang berada di Badung dan Denpasar khususnya dan di Bali umumnya harus bisa membandingkan heroiknya peperangan Puputan Badung dengan Puputan Margarana yang menelan korban hanya 96 orang. Sedangkan peperangan Puputan Badung diperkirakan angka yang gugur paling rendah 400 orang dan tertinggi 7.000 orang. Demikian pula jumlah yang luka tidak bisa dihitung (lihat Agung, dkk.. 1999).
Oleh karana itu kegiatan pameran, seperti seminar pagelaran seni, napak tilas, penerbitan buku, festival dan lain-lain dalam rangka menyambut hari Puputan Badung perlu dilakukan secara terus menerus. Paling tidak ada 3 tujuan utama kegiatan yang berkaitan dengan Puputan Badung (bukan mengingat kekalahannya) yaitu : (1) Untuk mendoakan semoga jiwa yang ratusan orang yang gugur di medan laga itu mendapat kebahagiaan abadi. Walaupun ada ajaran dari sastra kita bahwa tanpa didoakan pun para pelaksana puputan itu pasti akan mendapatkan kebahagiaan yang abadi (moksa); (2) Untuk mengenang dan menyampaikan rasa bhakti dan hormat kita terhadap pengorbanan mereka; (3) Untuk menimba teladan hidup dari mereka. Sebab tidak sedikit dari para laskar Badung ragu-ragu dalam melawan pasukan Belanda, saat itu. Seperti yang ditunjukkan oleh Kepala Desa Renon yang menyerahkan diri kepada pasukan Belanda dan berbalik menikam dari belakang dengan memberi informasi tentang keberadaan laskar Badung, sehingga dia juga banyak diikuti oleh laskar Badung mengundurkan diri dari medan berperang, berbalik memihak Belanda.
D. INSPIRASI NILAI KESEJARAHAN YANG DIWARISKAN
Inspirasi dan nilai-nilai apa yang dapat kita ambil dari peristiwa heroik itu sebagai media ketahanan budaya Bali khususnya dan budaya Indonesia umumnya. Ada beberapa jawaban yang dapat diberikan pertanyaan trsebut.
1.Cita-cita yang pasti dan luhur
Walaupun ideologi untuk mempertahankan bangsa Indonesia pada saat terjadinya Puputan Badung (1906) bukan berskala nasional, melainkan sangat lokal. Akan tetapi penolakan untuk dijajah oleh orang asing berlaku universal sudah ada. Apalagi cara yang dipakai untuk menundukkan Kerajaan Badung dengan cara yang sangat licik (dengan memalsu laporan) dan menyimpang dari ajaran agama Hindu.
Tidak dikuasainya kerajaan Badung dari penjajahan bangsa asing sudah timbul saat itu. Ini merupakan cita-cita yang pasti, jelas dan luhur dari raja Badung dan seluruh keluarga puri baik Puri Kesiman, Denpasar, dan Pemecutan serta rakyat Badung. Raja I Gusti Gde Ngurah Denpasar gugur. Setelah raja gugur, yang masih hidup melanjutkan penyerbuan. Pada waktu itulah terjadi peristiwa yang mengerikan yang disaksikan oleh orang Belanda. Orang yang masih bisa berdiri menikam orang yang sudah luka parah sampai menghembuskan nafas terakhir. Wanita yang masih hidup menyerahkan dirinya untuk ditikam dan apabila orang yang sedang menikam tersungkur karena tertembak, maka laki dan atau wanita yang lain bangkit untuk melanjutkan. Ada sebagian melakukan bunuh diri dan sebagian wanita yang melepaskan emas kepada musuh. Sebagian para wanita berdiri tegak sambil mengumpat dan menunjuk kepada dadanya agar ditembak. Jika tidak mau ditembak, mereka menghabiskan nyawanya sendiri. Semua dari tindakan ini merupakan cara untuk mempertahankan cita-cita yaitu cita-cita tidak ingin dijajah oleh orang asing dan dengan jalan puputan akan mendapatkan swarga sesuai dengan ajaran agama Hindu. Apalagi keluarga puri dan rakyat Badung sudah mengetahui bahwa rajanya I Gusti Gde Ngurah Denpasar sudah gugur dalam medan perang, sehingga yang melakukan puputan tidak terbatas oleh para laskar, namun juga melibatkan anak-anak dan wanita. Pada saat itu pula di Puri Pemecutan telah terjadi peristiwa adat Mesatya, yang dilakukan oleh kekasih Raja Badung I Gusti Gde Ngurah Denpasar yaitu Anak Agung Ayu Oka. Padahal adat Mesatya sudah dilarang dua tahun sebelumnya oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Apa yang dilakukan oleh raja, keluarga puri dan rakyat Badung itu didasari oleh nilai budaya keiklasan dan kejujuran yang diintikan agam Hindu. Tindakan berani mati yang mereka lakukan bukan akibat candu dan arak, tetapi menyangkut rasa kesucian dan harapan kehidupan di swarga. Namun yang menjadi persoalan dewasa sekarang, apakah nilai-nilai budaya seperti ini masih ada yang mewarisi?
Bung Karno pernah mengatakan dan menyarankan agar kita menggantungkan cita-cita kita setinggi langit. Cita-cita membuat bangun pagi, membuat kita tahan lama bekerja di bawah terik matahari. Para pemimpin agar tidak mundur cita-citanya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, para siswa, mahasiswa tidak pudar dalam meraih prestasi dan lain-lain. Jika apa yang kita lakukan dikerjakan dengan rasa cinta, mengerjakan dengan sepenuh hati (bukan setengah-setengah), apalagi sebuah panggilan, maka kit apun telah menjadi pahlawan dalam lingkungan kita.
Setiap jaman sebenarnya menyediakan tantangan dan kesempatan bagi setiap orang untuk melakukan tindakan-tindakan mulia, besar dan bermakna, bila bekerja tidak hanya bagi diri sendiri tapi bagi kebaikan orang lain, orang banyak yang berkesinambungan. Raja Badung bila ingin aman, selamat dan mau mengorbankan harga diri, terima saja usul para pedagang Bugis dan Cina, sehingga denda yang dituntut oleh pemerintah Hindia Belanda terbayarkan, sehingga tidak harus mengambil jalan puputan.
2.Semangat pantang menyerah
Ketika Raja Badung mengumpulkan ribuan rakyat Badung di Denpasar dalam rangka persiapan untuk menolak tuntutan Belanda, para pedagang Cina dan Bugis secara bersama-sama telah mengusulkan agar mereka diperintahkan mengumpulkan uang untuk membayar ganti rugi yang dituntut Belanda. Usulan kedua kelompok pedagang itu ditolak oleh raja. Bahkan raja melawan dengan menuntut pemerintah Belanda membayar ganti rugi 1.500 ringgit setiap hari akibat blokade ekonomi. Sebetulnya Raja Badung mampu membayar ganti rugi yang dituntut pemerintah Belanda. Akar persoalannya bukan terletak pada mampu dan tidak mampu, melainkan pada persoalan kejujuran dan harga diri, dan kedaulatan kerajaan.
Dari segi peralatan perang yang dimiliki oleh kerajaan Badung, sangat kalah jauh dibandingkan dengan pemerintah Hindia Belanda. Namun Raja Badung tetap tidak mau menyerah. Karena Raja Badung sangat yakin keluarga puri dan rakyat Badung pasti akan mendukung. Jika telah memiliki cita-cita yang jelas dan bernilai luhur, rintangan, tantangan, godaan apapun ditemukan tidak akan menggoyahkannya. Dalam puputan Badung tidak mungkin menyerah dengan mudah seperti apa yang dilakukan oleh Tim Cristover Columbus pada saat menemukan benua Amerika abad ke-12. Setelah sebulan berlayar, anak buah Columbus sudah putus asa. Pulau yang diimpikan belum juga kelihatan. Mereka terus mendesak agar Columbus kembali ke Eropa (Spanyol). Tetapi setiap didesak, Columbus menjawab, “ayo kita teruskan sedikit lagi”, akhirnya benua Amerika ditemuka oleh Columbus walaupun benua itu sebelumnya sudah dihuni oleh suku bangsa Indian.
Untuk tidak mudah menyerah mungkin perlu kita pahami salah satu bait kata-kata bijak Bung Hatta yang ditujukan kepada Angkatan Muda Indonesia yaitu ; “ Angkatan Muda Indonesia sekarang mempunyai tugas untuk menjaga supaya keutuhan persatuan Indonesia itu terus kuat seperti karang yang terpancang di tengah-tengah lautan, tidak terusik oleh gelombang dan angin badai (2002)”. Jadi jangan mudah menyerah. Bila kita terus berjalan menuju ke arah cita-cita yang luhur dan jelas yang dilandasi oleh ajaran agama, pada suatu saat pasti akan tercapai.
3.Keberanian dengan Jiwa Ksatria
I Gusti Gde Ngurah Kesiman, I Gusti Gde Ngurah Denpasar, I Gusti Gde Ngurah Pemecutan, para laskar Badung pastilah bukan orang pengecut. Tidak bermental pengecut dapat disimak dari penolakan atas saran yang diberikan oleh raja Bangli kepada Raja Badung untuk melawan Belanda supaya menggunakan perang gerilya, dengan cara menarik laskar ke daerah pegunungan dan dari sana mengadakan perlawanan. Tetapi saran itu ditolak, karena raja dan rakyat Badung telah bertekad menghadapi tentara Kolonial.
Secara frontal sebagai salah satu ujud sikap kesatria, tingkah laku berani dengan jiwa kesatria juga dapat diamati pada saat menghadapi musuh sendirian. Mereka sering sendirian maju ke depan menyerang tentara Kolonial. Bahkan tentara Kolonial sendiri mengakui keberanian yang dimiliki laskar kerajan Badung luar biasa, walaupun pada akhirnya mereka tebus dengan kematian. Mereka dengan sadar memilih jalan sulit dan berbahaya. Mereka lebih baik memilih jalan yang jarang dilalui.
Pemberani dengan jiwa kesatria yang mengidentitaskan laskar kerajaan Badung sebetulnya dilandasi oleh nila-nilai kepahlawanan yang terdapat dalam wiracarita Mahabharata (khusus dalam Bhagawadgita) dan Ramayana. Dari kedua substansi wiracarita ini adalah tuntunan kepada laskar kerajaan Badung dikala mereka maju ke medan peperangan melawan adharma. Salah satu tuntunan adalah karmapala yaitu sebuah konsep yang memberikan penegasan bahwa mati di medan perang membela kebenaran, kedaulatan kerajaan Badung merupakan perbuatan kesatria sejati pasti akan memperoleh sorga sebagai pahalanya. Gugur sebagai kesatria sejati dalam medan perang adalah jalan mulia untuk menuju sorga. Apalagi fakta sudah pasti bahwa rakyat Badung tidak ada merampas perahu Sri Kumala yang terdampar tanggal 27 Mei 1904 di Pantai Sanur tersebut, apalagi mencuri sebagai tindakan yang dilarang oleh ajaran agama dan nilai-nilai budaya Bali.
Ada beberapa sastra tradisional yang mengamanatkan jika mati di medan perang, sorga akan diperoleh seperti :
a.Bhagawadgita ;
“ Berbahagialah para kesatria karena memperoleh kesempatan untuk bertempur. Tanpa dicari-cari baginya, pintu sorga telah terbuka ……. Andaikata tewas, engkau akan pergi ke swarga atau kalau menang engkau akan menikmati dunia ini. Maka itu bangkitlah ……….. bukankah tekadmu maju untuk bertempur “ (Pendit, 1978). Jika engkau tiada melakukan perang menegakkan kebenaran ini, meninggalkan kewajiban dan kehormatan maka dosa papalah bagimu. Orang akan terus membicarakan nama burukmu dan bagi seorang yang terhormat, kehilangan kehormatan sesungguhnya lebih buruk daripada kematian. Orang akan menganggap engkau pengecut karena lari dari pertempuran dan orang yang pernah memujamu merendahkan dengan penghinaan. Sesungguhnya tiada yang lebih sedih daripada hal itu “ (1978).
b.Manawa Dharmasastra
“………. Mengingat kewajiban seorang kesatria, jangan sekali-kali melarikan diri dari medan pertempuran, karena inilah satu-satunya jalan yang terbaik untuk memperoleh kebahagiaan ……… bunuh - membunuh dalam medan pertempuran, bertempur, dengan penuh usaha dan tidak melarikan diri, Sorga (swarga) pasti dapat dicapai” (Departemen Agama RI, 1973 : 378-379).
c.Nitisastra
“Seorang kesatria yang menang dalam perang akan menikmati kesenangan, kebesaran dan kebahagiaan, seorang kesatria yang mati di medan perang menuju sorga dilayani oleh para dewa dan bidadari. Jika mereka takut dalam peperangan, kemudian mati maka rohnya akan ditangkap dan disiksa oleh anak buah Betara Yama. Kalau masih hidup akan dicerca, dicemohkan, diolok-olok serta direndahkan “.
d.Geguritan Dharma Sesana ;
“…………. Yang artinya berperang untuk menemukan kebahagiaan dan jika gugur mendapatkan sorga “.
Dari keempat naskah tradisional tersebut di atas mengamanatkan, bahwa teologi Hindu mengajarkan berperang dengan membela kebenaran dan membela negeri telah menjanjika sorga dan akan bersatu dengan Maha Pencipta. Bersatu (menunggal) dengan Maha Pencipta merupakan tujuan akhir dari agama Hindu. Dengan nilai-nilai itulah pada masyarakat Bali muncul sebuah ungkapan yang antara lain berbunyi : “ eda pesan ngaba tatu mulih “ ; jangan sekali-sekali membawa luka pulang, lebih baik mati daripada cacat untuk seterusnya. Inilah yang perlu kita teladani dalam hidup ini. Cita-cita yang luhur dan cemerlang seringkali gagal karena kita tidak memiliki keberanian untuk mewujudkannya. Takut untuk memulai, takut mengambil resiko, takut gagal, apalagi setelah gagal ditertawakan orang. Karena lebih besar rasa takutnya, akhirnya kita sama sekali tidak berbuat. Padahal kesuksesan, keberhasilan hanya diperuntukkan buat orang yang berani.
4.Rela berkorban
Hidup ini memang menuntut pengorbanan yang dalam bahasa agama Hindu disebut yadnya. Yadnya adalah salah satu inti utama dari agama Hindu. Akan tetapi bagi orang kebanyakan yadnya diberi arti sempit, yaitu membuat upakara. Sehingga kita tidak menyalahkan pendapat orang luar Bali seperti pendapat K.M.Munski, yang mengatakan bahwa orang Hindu di Bali lebih banyak mengejar social ambiviors dalam praktek keagamaannya, dan karena mereka mengabaikan social responsibilitynya (Putra,2002). Padahal kata yadnya mengandung pengertian yang sangat luas, di antaranya ia juga diterapkan melalui semangat pengorbanan diri, pengorbanan egoisme, tidak menyakiti makhluk lain ciptaan Tuhan, ia punya makna sebagai tindakan berkurban yang melibatkan penolakan kenikmatan duniawi, tetapi memberikan pelayanan seperti memberikan api kepada deva-deva, hadiah makanan, kekayaan dan sebagainya, dibuat untuk melayani masyarakat, seperti kerja amal untuk manusia dan satwa.
Mahatma Gandhi mengatakan, yadnya adalah sebuah kata yang indah dan dinamis. Karena dengan perkembangan pengetahuan dan pengalaman dan dengan perubahan waktu arti kata yadnya juga berubah dan berkembang. Akan tetapi secara harfiah berarti persembahan dan pengorbanan termasuk persembahan dan pengorbanan jiwa, arta dalam berperang seperti apa yang dilakukan oleh Raja, keluarga puri, para laskar dan rakyat Badung. Mereka beryadnya bukan melalui upacara, melainkan dengan berperang.
PENUTUP
Dari uraian di atas, sebetulnya tidak mudah melupakan sejarah Puputan Badung. Apalagi setelah dikaji mengenai nilai-nilai budaya dan agama yang terkandung di balik peristiwa tersebut. Tentu sangat kompleks. Bukan sebatas perang fisik mempertahankan harga diri dari mempertahankan dan menegakkan kebenaran. Akan tetapi lebih mendalam yaitu kaitannya dengan filosofis hidup orang Bali yang bergama Hindu, yaitu menyatunya Atman dengan Paramatma (Ida Hyang Widhi Wasa).
Dengan demikian, melalui kasus peristiwa Puputan Badung tentu kita harus berani membuat kesepakatan, bahwa keberadan pelajaran sejarah dalam kurikulum bukan hanya “suplemen”. Tidak sedikit tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para pelaku sejarah perlu ditiru : tentang keberanian, tanggung jawab, cita-cita yang luhur, rela berkorban, dan lain-lain. Mari kita maknai nilai-nilai sejarah puputan itu sesuai dengan semangat zaman dan ikatan budaya zaman yang elingkupi diri kita. Sebab kata pahlawan bukan kata benda masa lalu yang sudah selesai makna. Tugas-tugas kepahlawanan berakhir kokoh dan berdiri tegaknya negara-bangsa yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bukan ia ada ketika kita datang ke taman pahlawan, atau saat memperingati hari puputan Badung setiap tanggal 20 September, atau sebatas melangsungkan upacara Maligia Jangkep, Tawur Agung, Pujawali di Pura Pedarman, serta mengangkat (Mabhiseka) Ratu seorang Cokorda.
Kata pahlawan adalah kata kerja dan di dalamnya ada dinamika yang tak mengenal kata henti dan akhir dan bisa dijadikan sumber nilai, sumber semangat (rasa`jengah), sumber patriotisme untuk ketahanan budaya bangsa. Di dalamnya ada cita-cita yang selalu menggelora untuk diwujudkan seperti nilai persatuan dan kesatuan, yang dimulai dari unit keluarga anggota puri (Puri Kesiman, Puri Satria/Denpasar, Puri Pemecutan dan Puri lainnya) sebagai paiketan pasemetonan puri yang ada di wilayah Badung bahkan Puri Tabanan, dan seluruh anggota masyarakat Badung khususnya dan Indonesia umumnya.
Kemerdekaan memang sudah terwujud, akan tetapi “kesejahteraan” masyarakat belum terwujud secara sempurna. Karena itu perlu hidup jujur, keberanian dan kesediaan untuk berkorban dan memiliki cita-cita yang selalu bernilai luhur. Kejujuran di tengah-tengah kehidupan seperti sekarang (dimana sedang digalakannya program untuk memberantas korupsi), karena tuntutan untuk memperoleh dan mempertahankan hidup, sering di antara kita ada yang tidak menghiraukan nilai kejujuran. Demikian pula membangun jiwa keberanian untuk melakukan sesuatu yang bermakna dan untuk kepentingan orang lain, masyarakat perlu ditingkatkan. Walaupun yang namanya ede koh ngomong sudah mendapat perhatian pada masyarakat Bali. Di tengah desakan hidup, berkata benar yang dilandasi oleh keberanian sudah mulai diperhatikan. Akan tetapi perlu ditingkatkan, apalagi tindakan yang dilandasi oleh nilai untuk bersedia berkorban untuk kepentingan orang banyak di era globalisasi ini. Karena era globalisasi sangat mementingkan hidup individual. Semoga!!!
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa Putra, Sri edi. 2005; “Kepercayaan Kebudayaan dan Globalisasi”. Makalah disampaikan dalam seminar “ Kepercayaan Masyarakat” oleh Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa: Yogyakarta.
Anonim. T.t. “Geguritan Dharma Sesana”. Koleksi Gedong Kirtya: Singaraja
Anonim, T.t. “Lontar Nitisastra”, Koleksi Perpustakaan Lontar Faksas: Unud.
Geriya, I Wayan. “ Ambruknya Etika Publik”. Dalam Bali Post. tahun
Meutia, 2002 . Bung Hatta’s Words of Wisdom. Yayasan Hatta:Jakarta.
Pendit,s,1978. Bhagawadgita. Lembaga Penyelenggara Penterjemah dan Penerbit Kitab Suci Weda dan Dharmapada. Depag RI: Jakarta .
Pudja dan Tjokorda Rai Sudharta, 1973. Manawa Dharmasastra. Lembaga Penterjemah Kitab Suci Weda.Depag RI: Jakarta.
Putra, N.P., 2002. “Puputan Margarana”, dalam Warta Hindu Dharma, No.429. Nopember.
Putra Agung, A.A. Gde, dkk, 1999. “ Puputan Badung 20 September 1906”. Perjuangan Raja dan Rakyat Badung Melawan Kolonial Belanda. Dekdikbud. RI.: Jakarta.
Tagel Eddy, I Wayan, 2004; “ Fungsi Sejarah dalam Memperkokoh Kesatuan Bangsa”, dalam Tantular, Jurnal Ilmu Sejarah, Edisi No.2 Tahun 2004. Faksas: Denpasar.
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Drs. I Made Purna, lahir di Desa Penarungan, Badung.
Awal pekerjaan sebagai PNS di Direktorat Jenderal Kebudayaan, Depdikbud Jakarta 1987 – 1997. S, sebagai Kasubag TU. BKSNT Bali 1997 – 2002. Kepala BKSNT Bali, NTB, NTT 2002 – sekarang.
Pendidikan S1 di Jurusan Antropologi Faksas. Unud., selesai tahun 1985. dan S2 di Bidang Kajian Budaya dengan penekanan pada Bidang Pengendalian Sosial, selesai tahun 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar