Label

Adi Sanjaya

Adi Sanjaya

Kamis, 10 Maret 2011

KETERKAITAN STUDI SEJARAH
DAN BEBERAPA ILMU SOSIALi

a.Pengantar
Seperti dalam beberapa literatur terlihat bahwa telah terjadi upaya saling dukung antara studi sejarah dan ilmu-ilmu sosio-kultural lainnya. Hal ini tidak lain, karena dalam banyak hal terlihat keterkaitan antara konsep kasus studi sejarah dan konsep-konsep ilmu sosial tersebut. Untuk lebih memperjelas saling hubungan sejarah dan ilmu-ilmu sosial itu di bawah dibahas lebih lanjut asas-asas studi sejarah di satu sisi, dan ilmu-ilmu sosial di sisi lain.
b.Keterkaitan Studi Sejarah dengan Beberapa Ilmu Sosial Lainnya
a.Sejarah dan Geografi
Untuk melihat hubungan antara konsep sejarah dan geografi; perlu pertama-tama dirumuskan konsep utama dari sejarah itu sendiri. Seperti diketahui sejarah secara konseptual menunjuk pada aktivitas manusia dalam dimensi temporal (waktu). Dimensi temporal itu terkandung di dalamnya unsur gerak, perubahan, perkembangan atau tingkatnya atas dinamika waktu. Dengan demikian konsep inti sejarah menyangkut berbagai aktivitas manusia yang menampilkan gerak perubahan dari satu masa ke masa berikutnya yang merupakan satu rangkaian kronologis dengan berbagai fenomena kontektual yang ada di dalamnya.
Berbicara masalah peristiwa sebagai fenomena yang selalu berubah kontekstual sudah jelas bahwa tidak mungkin membayangkan satu peristiwa (apapun bentuk peristiwanya) tanpa faktor ruang (tempat) dimana peristiwa itu berlangsung. Kalau hal ini dihubungkan dengan prinsip menjelaskan peristiwa yang biasanya dirumuskan dengan sImbol 5W + 1H (What, Where, When, Who, Why and How) maka jelas di sini unsur “where” menunjuk unsur ruang/tempat (spasial) dalam sejarah. Jelas di sini unsur temporal (sejarah) dan spasial (geografi) tersebut bertemu (lihat Daldjoni, 1989).
Aspek keruangan dalam aktivitas kehidupan manusia bisa dalam bentuk karakteristik fisik geografisnya (menyangkut bentuk permukaan tanahnya, iklimnya, kualitas kesuburan tanah dan lain-lainnya. Juga bisa menyangkut karakteristik ekologisnya (hubungan simbiosis antara manusia dan lingkungan alamnya), karakteristik demografisnya (kependudukan), serta karakteristik kehidupan ekonomisnya (berbagai jenis mata pencaharian penduduk yang dilatarbelakangi kondisi habitatnya). Interaksi antara aspek temporal dan spasial ini berimplikasi pada berbagai wacana serta analisis sejarah, seperti analisis geopolitik, menyangkut hubungan perkembangan sejarah politik dan faktor geografis (ingat peran laut atau selat dalam perkembangan sejarah Indonesia, lihat selanjutnya Lombard, 1996:11-18). Kesatuan geopolitis ini juga terefleksi pada analisis kewilayahan yang ikut menentukan karakteristik peradaban manusia seperti peradaban “Potamis” (peradaban aliran sungai seperti Mesopotania, Babilonia dan Mesir), peradaban “Thalassis” (peradaban Laut Tengah pada jaman Yunani-Romawi), serta peradaban “Oceanis” (peradaban Samudera pada jaman dominasi bangsa-bangsa Eropah) (lihat Kartodirdjo, 1992 : 131-132).
Bahkan juga wacana serta anlisis kesejarahan kontemporer (terutama sesudah Perang Dunia II) banyak dilatarbelakangi oleh hubungan faktor kesejarahan dan kewilayahan. Istilah-istilah seperti “Dunia Ketiga” sebagai imbangan “Dunia Pertama” dan “Dunia Kedua”; istilah kelompok-kelompok bangsa utara (negara-negara maju) dan bangsa-bangsa selatan (negara-negara berkembang/miskin). Semuanya ini hakikatnya merupakan perpaduan konsep kesejarahan dan kewilayahan serta konsep geopolitis-ekonomis.

b.Sejarah dan Sosiologi
Apabila sejarah bisa dikatakan merupakan kajian aktivitas manusia dalam dimensi temporal (waktu), maka sosiologi terutama memfokuskan studinya pada aktivitas manusia (dalam masyarakat) dalam dimensi relationalnya (interaksinya) antar individu dengan individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok. Interaksi ini menghasilkan struktur, proses serta dinamika hubungan sosial. Atas dasar pusat perhatian di atas ini, maka sosiologi biasanya membahas konsep-konsep tentang pola-pola tindakan sosial (struktur serta sistem sosial), kelompok-kelompok sosial, stratifikasi sosial, status serta peran sosial, pranata atau lembaga sosial, integrasi serta disintegrasi sosial, dinamika/perubahan sosial, dan beberapa aspek khusus hubungan sosial lainnya (lihat lebih lanjut Sukanto, 1990).
Konsep-konsep sosiologi seperti di atas ini nampaknya sudah banyak digunakan dalam studi sejarah terutama untuk memperkokoh argumentasi dalam penjelasan sejarah yang terkait dengan jawaban “why” dan “how” dalam fenomena peristiwa sejarah. Seperti ditekankan oleh Sartono Kartodirdjo, untuk menerangkan “mengapanya” perlu dibuat analisis yang dapat dilakukan secara canggih dengan bantuan konsep-konsep sosiologis; faktor-faktor atau variabel-variabel apakah yang mempengaruhi timbulnya gejala atau kejadian tertentu (lihat Kartodirdjo, 1992:144). Di sini terlihat cara berpikir sosiologis yang mau memperjelas hubungan kausal unsur-unsur peristiwa dengan melacak kondisi serta konteks sosialnya.
Lebih lanjut dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo betapa pentingnya konsep-konsep serta teori sosiologi dalam membahas aspek-aspek peristiwa yang terkait dengan struktur sosial, sistem politik, jaringan interaksi, organisasi sosial, kepemimpinan, pola kelakuan, perubahan sosial, dan lain-lainnya. Secara keseluruhan bisa disimpulkan bahwa studi sejarah yang menekankan analisa sosial struktural tidak mungkin berhasil dengan baik tanpa melibatkan konsesi serta teori-teori sosiologis (lihat Sudjatmoko, 1995: 305).

c.Sejarah dan Antropologi
Apabila sosiologi kita ketahui sangat menaruh perhatian terhadap pola-pola hubungan sosial (interaksi) dengan segala dimensi permasalahannya, maka antropologi sangat menekankan dalam studinya sistem gagasan/ide serta sistem nilai yang melatarbelakangi hubungan-hubungan berpola dari tindakan manusia. Dengan kata lain, bila melalui sosiologi kita bisa mengidentifikasi berbagai pola tindakan manusia sesuai konteks sosialnya, maka melalui antropologi kita bisa mengetahui sistem nilai budaya yang menjadi sumber mengapa satu individu atau kelompok individu bertindak sesuai dengan pola-pola tertentu itu. Di sini kita bisa memahami sistem nilai budaya sebagai konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga satu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai (berharga/penting dalam hidup) yang berfungsi memberi arah/orientasi bagi warga masyarakat tertentu (lihat Koentjaraningrat, 1989: 190).
Bila diamati setiap masyarakat pada dasarnya memiliki sejumlah sistem nilai budaya yang ikut berperan mempolakan tindakan-tindakan anggota masyarakatnya. Sejumlah penelitian telah dilakukan di lingkungan para antropolog untuk mengidentifikasi berbagai sistem nilai budaya yang hidup di berbagai lingkungan masyarakat tertentu. Diantaranya sangat terkenal hasil penelitian suami-istri C. & F. Kluckhohn yang menyimpulkan bahwa berbagai sistem nilai budaya itu pada dasarnya bisa dikembalikan pada lima permasalahan dasar yang menjadi acuan sistem nilai budaya (Koentjaraningrat, 1989: 191). Kelima masalah dasar tersebut meliputi :
(1)masalah habitat hidup manusia (MH), yaitu menyangkut bagaimana manusia memandang hidup ini, apa sesuatu yang bersifat sementara dan karena itu tidak menjadi tujuan utama atau sebaliknya sesuatu yang perlu disempurnakan sebagai tujuan utama;
(2)masalah hakikat karya manusia (MK), menyangkut bagaimana manusia memandang karya/kerja, apakah sebagai syarat hidup, sebagai upaya mencapai kedudukan terhormat atau demi karya itu sendiri;
(3)masalah hakikat waktu (MW), menyangkut bagaimana manusia memandang dimensi waktu, apakah yang utama waktu lampau, atau yang penting masa kini atau orientasi waktu ke depan;
(4)masalah hakikat hubungan manusia dengan alam (MA), apakah manusia harus menyerah pada alam, atau malah harus menguasai alam, atau menjaga keselarasan diantara keduanya;
(5)masalah hakikat hubungan manusia dengan sesamanya (MM), apakah bersifat otonom (individualistis) atau tidak mungkin bebas/lepas dari yang lain (komunalistis) atau mementingkan hubungan hierarkhis/ vertikal.

Kelima dasar sistem nilai ini tentunya sangat tergantung pada pandangan hidup atau ideologi yang tumbuh dan diyakini oleh masing-masing masyarakat (seluruhnya atau sebagian besarnya).
Dari uraian di atas sudah jelas bahwa bila studi sejarah lebih menekankan pendekatan analisis struktural, dan ingin memahami lebih dalam latar belakang hubungan kausal pola-pola tindakan manusia (seperti yang ditekankan dalam studi sosiologi) maka bagian antropologi tentang sistem nilai budaya menjadi sangat penting. Satu pola tindakan yang ditunjukkan satu kelompok masyarakat melalui kajian antropologi bisa mengungkap lebih jauh dasar sikap serta motivasi yang mendorong tindakan tersebut, karena sikap dan motivasi itu sendiri hakikatnya bersumber pada sistem nilai yang dianut pelaku tindakan.
Secara lebih luas studi antropologi akan sangat bermanfaat bagi studi sejarah terutama yang terkait dengan dinamika masyarakat (khususnya jaman kontemporer) yang memang terkait dengan pergeseran-pergeseran nilai budaya akibat dampak globalisasi seperti yang terjadi sekarang ini (lihat Kuntowijoyo, 1987 : 1-33, lihat pula Soedjatmoko, 1995 : 264).


d.Sejarah dan Ilmu Politik
Diantara berbagai cabang ilmu sosisal yang sejak semula dianggap sangat dekat (bahkan sering dianggap identik) dengan studi sejarah adalah studi politik. Hal ini bisa dikaitkan dengan ucapan ahli politik Inggris, yang dikutip Koentjaraningrat “politik adalah sejarah masa kini dan sejarah adalah politik masa lampau (dikutip dalam Kartodirdjo, 1992 : 148). Kedekatan studi sejarah dan politik juga terlihat dari kenyataan bahwa substansi uraian sejarah, terutama dalam rangka sejarah deskriptif naratif (sejarah konvensional) didominasi oleh masalah politik (aktivitas para penguasa politik dalam berbagai aspek kiprahnya).
Bila disimak lebih dalam terlihat bahwa konsep-konsep dasar dalam ilmu politik terutama menyangkut konsep pemupukan kekuasaan serta distribusi kekuasaan. Pemupukan kekuasaan terutama berarti bagian satu kekuasaan itu dicapai dan kemudian terus diupyakan untuk dipertahankan. Ini bisa dilaksanakan oleh seorang pemimpin lokal, ataupun kemudian oleh pemimpin yang lebih luas kekuasaan yaitu para raja yang biasanya dikokohkan dengan sistem kepercayan/keagamaan tertentu. Kemudian setelah jaman feodal berlaku dan berkembangnya negara-negara nasional muncul berbagai bentuk pemimpin negara dengan dikokohkan oleh sistem-sistem ideologi tertentu.
Mengenai distribusi kekuasaan, ini terutama menyangkut bagaimana kekuasaan itu didiversifikasikan/ diferensiasikan diantara beberapa kelompok pemimpin/ penguasa. Diversifikasi ini bervariasi dari yang paling otoriter sampai yang bersifat demokratis.
Konsep-knsep dasar ilmu politik ini memang mengarahkan studi politik biasanya berkisar disekitar proses serta fenomena kepemimpinan, otoritas, ideoplogi, organisasi serta perangkat-perangkat sistem politik yang terkait dengan implementasi konsep-konsep tersebut di atas. Pada waktu studi sejarah mulai lebih menekankan analisis struktural dalam kajiannya maka muncullah yang biasanya disebut sejarah politik “gaya baru”. Yang dimaksud di sini adalah bahwa fenomena politik dalam sejarah itu tidak hanya dideskripsikan sebagai narasi tentang pergulatan/perbuatan kekuasaan serta perilaku politik formal, tapi mulai diperdalam tentang jalinan komplek antara kelas, status dan kekuasaan. Juga mulai dikaji hubungan kompleks antara aspek-aspek kepentingan sosial, kultural serta ekonomi (konglomerasi politik) di lingkungan satu masyarakat atau bangsa, bahkan yang menyangkut kondisi/situasi antarbangsa (globalisasi politik) (lihat Nugroho, 2001: 3-27).
Dengan demikian studi-studi sejarah politik kontemporer benar-benar memerlukan keterlibatan konsep-konsep serta kerangka teoretik dari ilmu politik modern.

e.Sejarah dan Ilmu Ekonomi
Sebagaimana halnya dengan aktivitas politik dalam kehidupan manusia studi sejarah juga sejak awal memperhatikan aspek-aspek ekonomi dalam perkembangan sejarah. Hal ini karena biasanya jatuh bangunnya kekuasaan politik sangat terkait pula dengan faktor-faktor ekonomi pendukung kekuasaan tersebut. Namun, sejalan dengan sifat uraian yang cenderung deskriptif, sejarah politik dalam konteks sejarah konvensional gambaran sejarah ekonominya yang belum bersifat sangat kompleks, sehingga belum memerlukan kerangka analisis (teori) yang kompleks pula.
Dilihat dari substansinya konsep-konsep dasar dari ilmu ekonomi terutama menyangkut aktivitas manusia dalam dimensi produksi serta distribusi benda-benda ekonomi. Secara lebih khusus aktivitas manusia dalam bidang ekonomi menyangkut pola-pola produksi dan distribusi sepanjang sejarah dari pola-pola yang bersifat agraris/subsistem sampai perkembangan ke arah industrialisasi canggih jaman modern sampai era globalisasi sekarang ini. Perkembangan ini juga ditunjang oleh perangkat-perangkat penunjang aktivitas produksi serta distribusi seperti transportasi, sarana prasarana perdagangan, perbankan, pemasaran dan sebagainya.
Yang menarik pula bahwa fenomena kehidupan ekonomi manusia terutama di jaman modern ini sangat terkait dengan berbagai aspek kehidupan manusia, misalnya menyangkut tranformasi/mobilitas sosial, kekerasan social, pengangguran, kemiskinan struktural, hubungan perburuhan, dan lain-lain. Juga keterkaitan adanya intervensi kekuasaan dan ideologi terutama menyangkut sistem kolonialisme, kapitalisme serta kekuatan-kekuatan globalisasi kontemporer yang menimbulkan ketegangan-ketegangan lanjutan antara kekuatan-kekuatan industri di satu pihak dan bangsa-bangsa penghasil bahan mentah di pihak lain.
Berbagai aspek fenomena aktivitas ekonomi manusia yang digambarkan terakhir ini tentu saja menimbulkan kompleksitas kehidupan manusia. Hal ini semua menyebabkan pelukisan sejarah ekonomi yang bersifat deskriptif- naratif seperti yang digambarkan di bagian awal pasal ini, menjadi tidak memadai yang mengisyaratkan pula diperlukannya berbagai dukungan metodologi serta kerangka teoretis yang lebih canggih untuk mampu membuat analisis yang lebih memadai. Dengan kata lain, bila sejarah ingin mengembangkan pendekatan analitik struktural dalam kajiannya tentang aktivitas ekonomi manusia, tentunya perlu mengambil cara-cara yang telah dikembangkan dalam studi-studi analitik ekonomi beserta teori-teori pendukungnya (lihat Soedjatmoko, 1995 : 351).

f.Sejarah dan Psikologi Sosial
Sebenarnya studi sejarah juga sudah lama memperhatikan faktor psikologi dalam melukiskan peristiwa sejarah, maka dari itu telah lama dikenal apa yang disebut “psychohistory” (sejarah kejiwaan). Namun sesuai karakteristik studi sejarah konvensional, tujuannya hanya untuk mendukung gambaran yang bersifat deskriptif naratif tentang aktor sejarah dengan latar belakang kejiwaannya. Aktor di sini biasanya adalah tokoh-tokoh sejarah terkenal seperti raja-raja yang menunjukkan gejala kejiwaan yang aneh-aneh.
Jadi pada awalnya studi sejarah lebih memperhatikan pelaku-pelaku sejarah yang hanya berkisar pada tokoh sentral saja. Tapi kemudian sejak awal XX, juga pelaku sejarah yang non-elite seperti kelompok-kelompok massa, seperti kelompok petani atau buruh atau penduduk kumuh di perkotaan, dianggap penting peranannya dalam peristiwa sejarah. Semenjak itu para ahli sejarah lebih tertarik mengidentifikasi aspek kejiwaan dari perilaku kolektif seperti niob, riot, gerakan sosial bahkan revolusi yang bersifat meluas yang melibatkan satuan bangsa. Aspek kejiwaan yang menjadi perhatian utama di sini adalah gejala sosial yang bersifat patologis (cenderung menyimpang dari keadaan normal), seperti provokasi ke arah keresahan sosial, krisis identitas, berkembangnya ideologi/keyakinan yang mendorong mobilisasi massa dan sejenisnya tentu saja menarik perhatian, di sini peran para tokoh pemimpin massa yang menjadi penggerak (motivator, agitator dan katalisator) gerakan massa. Ini semua adalah bidang yang didalam psikologi dikenal sebagai psikologi sosial, khususnya patologi sosial. Di sini sebenarnya bertemu antara teori-teori psikologi/ patologi sosial dengan teori-teori sosiologi massa (tentang kerumunan), bahkan bisa merambah ke teori-teori budaya menyangkut sistem nilai budaya atau ideologi dengan berbagai pendekatan metodologis yang mendukungnya (lihat Sarwono, 2003).
Apabila sejarah ingin mengalihkan fokus perhatiaannya pada gerakan-gerakan sosial seperti banyak dilakukan sejarah sosial tentu saja penguasaan teori-teori serta metodologi terkait sangat diperlukan.


3. Pengaplikasian teori-teori ilmu sosial dalam studi Sejarah Analitik Struktural.

Dalam uraian di atas telah ditekankan pentingnya pemanfaatan metodologi (teori ilmu sosio-kultural) dalam pengembangan studi sejarah ke arah sifat analitik struktural. Permasalahannya kemudian adalah apa yang dimaksud dengan teori dan bagaimana penerapannya dalam studi sejarah.
Ada banyak batasan tentang teori dalam konteks studi ilmiah, tapi secara lebih sederhana teori pada dasarnya azas atau hukum yang menjadi dasar satu anggapan ilmiah yang dihasilkan dari satu rangkaian kajian mendalam dalam satu bidang disiplin keilmuan tertentu. Dalam satu aktivitas keilmuan teori itu memiliki sejumlah fungsi, yaitu :
(1)memberikan penjelasan sementara (tentatif) terhadap permasalahan yang diajukan di awal penelitian;
(2)memberikan arah dalam melacak data serta menentukan seleksi data dalam pengamatan/ pengumpulan data;
(3)membentuk perspektif peneliti terhadap objek studi, termasuk menentukan berbagai pendekatan teori bantuan yang diperlukan;
(4)membantu mengorganisasikan data/fakta dalam satu kerangka berpikir yang mendukung sistem analisis peneliti.
Secara keseluruhan teori dapat mengarahkan langkah-langkah (prosedur) penelitian untuk memantapkan teori yang digunakan atau merevisinya, menolaknya untuk mewujudkan teori-teori dari proses pengamatan dunia empiris yang dijadikan objek penelitian. Dalam hubungan ini, suatu proses penelitian sering dianggap sebagai kegiatan melingkar, mulai dari gejala yang dirumuskan sebagai masalah. Untuk menjelaskan/menjawab masalah tersebut diperlukan satu atau sejumlah teori yang dijadikan landasan kerangka berpikir (kalau dianggap perlu juga sebagai landasan merumuskan hipotesis). Dengan bantuan kerangka berpikir (teori) itu masalah penelitian yang diajukan dicoba dihadapkan pada dunia empiris (kenyataan di lapangan) dengan melaksanakan sejumlah pengamatan (pengumpulan data/informasi lapangan) dengan bantuan instrumen atau pengamatan langsung (observasi). Sejumlah data informasi lapangan ini yang dihimpun dengan berbagai cara kemudian dianalisis dengan metode-metode analisis yang relevan (yang sudah diarahkan oleh teori yang telah dipilih). Hasil analisis itu pada dasarnya berupa azas-azas atau konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang hakikatnya berupa kebenaran-kebenaran umum (generalisasi) terkait dengan fenomena yang dijadikan sumber masalah. Generalisasi ini pada dasarnya tidak lain juga sebuah teori yang seperti dikemukakan di atas bisa memperkuat teori awal yang digunakan atau merevisinya atau bahkan menolaknya sehingga ini merupakan teori baru. Prosedur kerja penelitian seperti dikemukakan di atas ini dalam teori ilmu pengetahuan sering disebut prinsip “logico hypotico verifikasi” (lihat Sumantri, 1986).
Sebenarnya ada variasi model penggunaan teori dalam penelitian, tergantung pada model/paradigma keilmuan yang dipilih. Yang diuraikan di atas ini umumnya bersumber dari model positivis yang menekankan upaya merumuskan/menemukan hukum/generalisasi dalam tujuan penelitiannya seperti banyak dilakukan dalam ilmu-ilmu alamiah dan beberapa cabang ilmu sosial tertentu seperti ekonomi, psikologi dan sebagian dalam sosiologi. Sedangkan untuk sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya ada juga model pendekatan lain yang sering disebut historio-hermenentis atau pendekatan interpretatif. Namun, dari berbagai model pendekatan tersebut yang jelas peranan teori digunakan terutama untuk membangun kerangka berpikir (metodologi) dalam mengarahkan penelitian terutama pada bagian analisisnya. Jadi teori terutama digunakan untuk membantu proses analisis permasalahan yang bersifat kompleks dan multidimensional termasuk dalam studi sejarah yang menekankan pendekatan analitikstruktural.

Daftar Rujukan Utama

Daldjoni, N. 1982. Geografi Kesejarahan I & II. Bandung : Penerbit Alumni.

Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogya : Tiara Wacana.

Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogya : Tiara Wacana.

Koentjaraningrat. 1989. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksara Baru.

Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa : Silang Budaya. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Nugroho, Heru. 2001. Negara, Pasar dan Keadilan Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Sarwono, Sarlito Wirawan. 2003. Teori-Teori Psikologi Sosial (Saduran dari Buku Asli, Theories of Sosial Psychology tulisan M.E. Shaw & P.R. Costanzo). Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Soedjatmoko (ed.). 1995. Historiografi Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi : Satu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers.

Tidak ada komentar: