Label

Adi Sanjaya

Adi Sanjaya

Kamis, 10 Maret 2011

KARAKTERISTIK SEJARAH SEBAGAI ILMU DAN PENGARUH ILMU-ILMU SOSIAL


1.Karakteristik Sejarah Sebagai Ilmu

Meskipun telah banyak dibahas bagaimana sejarah sebagai studi kritis-analitis telah mengambil konsep-konsep teoretik dari ilmu-ilmu lain, namun masih sering diajukan pertanyaan klasik bagaimana sebenarnya karakteristik sejarah sebagai ilmu. Memang ada alasan untuk menampilkan pertanyaan seperti itu, apalagi kalau kita tahu masih ada variasi dari karya-karya sejarah dari yang sangat naratif, yaitu yang hanya menampilkan ceritera sejarah yang kurang kritis, sampai yang sudah kritis-analitis, yaitu yang sudah mengandung kerangka teoretik. Bahkan di negeri Barat pun, tempat lahirnya studi sejarah kritis, orang malah masih sering melihat sejarah sebagai suatu seni, khususnya seni sastra. Memang di lain pihak, sudah banyak yang menegaskan tidak usah disangsikan lagi sifat keilmuan dari sejarah, seperti antara lain dikatakan oleh Moh. Hatta, “…bahwa tidak ada alasan untuk meragukan sifat keilmuan sejarah, ... karena sejarah telah ditulis menggunakan hukum-hukum sebab-akibat, walaupun masih sederhana (lihat Hatta, 1979:45). Hal ini juga secara khusus ditegaskan Bury, bahwa “history is simply a science, no less and no more” yang kemudian dikomentari oleh Collingwood bahwa “…it must be a science of some special kind” (Collingwood, 1973: 249).
Untuk bisa lebih memahami yang dimaksud sejarawan Inggris Collingwood di atas, marilah kita menelusuri klasifikasi ilmu yang pernah berkembang di dunia Barat.
Berkembangnya rasionalisme di Eropa abad ke-17, mendorong tumbuhnya aliran filsafat positivisme yang bertolak dari prinsip kesatuan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada prosedur pokok J. Dewey How we think (1910): (1) A feeling of perplexy; (2) The definition of the problem; (3) Sugesting and testing hypothesis; (4) Development of the best solution by resoning; and (5) Testing of the conclution followed by reconsideration of necessary. Disederhanakan menjadi (1) merasakan adanya masalah, (2) merumuskan masalah, (3) menetapkan hipotesis atau membuat pertanyaan-pertanyaan penelitian, (4) menetapkan sumber data yang dijadikan objek penelitian, (5) membuat instrument untuk melakukan penelitian, (6) pengumpulan data, (7) melakukan klasifikasi/ analisis data, (8) menguji hipotesis atau pembahasan hasil penelitian, (9) kesimpulan/ rekomendasi (Setiadi, 2006:15). Lebih sederhana lagi (1) observasi/ eksperimen, (2) formulasi konsep-konsep/teoretis (3) serta verifikasi.
Atas dasar langkah-langkah ini, tentu dengan sendirinya semua bidang studi yang tidak memenuhi prosedur pokok seperti itu, tidak termasuk kategori ilmu. Metode dasar keilmuan itu sering disebut bersifat nomotetis, yang tujuan utamanya meluruskan hukum-hukum yang berlaku umum, membuat generalisasi (generall lows).
Di pihak lain, sekitar awal abad ke-19 di Eropah, berkembang pula faham historis-hermeneutis yang pada dasarnya menolak monisme metode keilmuan, seperti yang dikembangkan dan diikuti oleh kaum Positivis. Golongan ini lebih menekankan tujuan ilmu yang bersifat ideografis, yaitu usaha untuk membuat gambaran khusus fenomena kemanusiaan (verstehen). Kelompok ini, dipelopori oleh Windelbaud, Rickert, dan William Dilthey yang mengklasifikasikan ilmu menjadi dua, yaitu:
(1) Ilmu dunia luar (naturwissenschaften), ilmu-ilmu alam.
(2) Ilmu-ilmu tentang mengertikan dunia “dalam” (Geisteswissenschaften):
Humanities
Human studies
Cultural studies
Ilmu-ilmu kemanusiaan:
Sejarah
Ilmu ekonomi
Sosiologi
Antropologi
Psikologi
Perbandingan agama
Ilmu hukum
Ilmu politik
Filologi
Kritik sastra.
Bagaimanakah kedudukan sejarah kalau dikaitkan dengan klasifikasi ilmu seperti di atas tadi? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu ditinjau lebih jauh ciri umum dari prosedur kerja yang biasa ditempuh oleh ilmu natural (natural science). Pada dasarnya ilmu atau ilmu pengetahuan itu dianggap paling sedikit harus menunjukkan 6 (enam) ciri-ciri berikut.
1.Menemukan kebenaran, yaitu adanya kesadaran sebelumnya bahwa kegiatan itu untuk mencapai kebenaran, ada rencana yang matang (proposal). Jadi suatu kegiatan ilmiah itu adalah kegiatan dengan proposal yang matang, bukan kegiatan kebetulan saja.
2.Memiliki Metode Ilmiah, yaitu bahwa untuk mencapai kebenaran itu ditempuh procedural yang sudah dipersiapkan sebelumnya yang disebut metode keilmuan.
3.Disusun Secara Sistematis, dimaksudkan hasil langkah- langkah metodis itu kemudian disusun secara runut, dihubung-hubungkan secara sistematis dan logis (teratur) menurut disiplin yang ditentukan.
4.Hasilnya Objektif, maksudnya disyaratkan agar hasil kegiatan ilmiah itu, hasilnya menunjukkan tingkat obyektivitas yang tinggi.
5.Hukum Umum (generall lows), dimaksudkan bahwa hasil kegiatan ilmiah tersebut menunjukkan kebenaran-kebenaran umum, hukum-hukum umum, generalisasi.
6.Guna Prediksi/Peramalan, bahwa dengan hokum-hukum atau kebenaran-kebenaran umum yang dirumuskan, kemudian dimungkinkan untuk dilaksanakannya peramalan-peramalan ilmiah (prediksi) dalam menghadapi gejala-gejala alam.
Hal inilah yang disebut dengan dasar pikiran positivis, berbeda dengan aliran hermeneutic, atau humaniora.

Kemudian berbekal pengertian itu, yang perlu diperhatikan ialah: seberapa jauhkah prosedur kerja yang dilaksanakan dalam sejarah memenuhi ciri-ciri umum dari ilmu seperti yang digambarkan golongan positivis di atas tadi?
Untuk memenuhi ciri yang pertama, kedua, dan ketiga, kiranya bukanlah merupakan kesulitan bagi studi sejarah. Bahwasanya para sejarawan memang dengan sadar berusaha menemukan/mewujudkan fakta tentang peristiwa-peristiwa masa lampau bukanlah hal yang perlu diragukan. Demikian pula bahwa mereka menggunakan cara-cara tertentu yang menuntut kecermatan metode dan metodologi bagi penemuan serta pengujian jejak-jejak sejarah, juga tidak asing di kalangan sejarawan. Khususnya dalam kegiatan heuristik (cara-cara menemukan jejak sejarah) dan kemudian apa yang disebut kritik sejarah (pengujian jejak dengan teknik-teknik pengujian tertentu), masih menunjukkan aspek-aspek metode keilmuan yang tinggi, karena prinsip-prinsip metode sejarah telah biasa digunakan jauh sebelumnya dalam filologi. Metode sejarah juga menekankan usaha mensistematiskan/mengkategorikan fakta-fakta sedemikian rupa sehingga terbentuk suatu hubungan fakta-fakta yang secara intrinsik memberikan arti bagi keseluruhan peristiwa masa lampau yang ingin dibangun seperti yang tercermin pada prinsip koligasi. Walsh menegaskan semua hal ini sebagai “…that history can be described as scientific in one respect at any rate, namely that it is a study with its own recognized methods, which must be mastered by anyone who hopes to be proficien in it” (bahwa sejarah bisa dianggap bersifat ilmiah dalam satu hal, yaitu bahwa sejarah merupakan suatu studi dengan metodenya sendiri yang telah diakui yang harus dikuasai oleh siapa pun yang ingin professional di bidang sejarah). Demikianlah masalahnya, kalau dihubungkan sifat keilmuan sejarah dengan ciri-ciri ilmu lain (positivis).
Berbicara masalah obyektivitas misalnya dalam kegiatan kesejarahan, maka akan timbul problema yang menyangkut bagian-bagian dari kegiatan sejarah, karena subyektivitas tidak bisa dihindarkan. Sebagai kelanjutan dari kritik sejarah, maka sejarawan harus melalui langkah membuat interpretasi terhadap fakta-fakta sejarah dan selanjutnya memilihnya untuk disusun dalam suatu ceritera sejarah. Langkah interpretasi serta penulisan ceritera sejarah inilah yang dalam banyak hal menyangkut kegiatan yang bersifat subyektif dari sejarawan. Dengan kata lain, sejarawan bertindak sebagai Nabi Sang Kala dalam memaknai peristiwa sejarah terkait dengan waktu, karena fakta sejarah tidak memiliki arti apa-apa kata Poper kalai tidak kita yang memberikan arti.
Kembali ke masalah utama, ciri ilmu yang menekankan usaha untuk mencapai generalisasi atau perumusan-perumusan kebenaran- kebenaran umum menimbulkan masalah bagi sejarah. Sejarawan biasanya tidak menjadikan generalisasi sebagai tujuan utamanya dalam studi sejarah. Sejarawan lebih memusatkan perhatian pada usaha menerangkan, untuk kemudian mengertikan jalan yang sebenarnya dari peristiwa-peristiwa khusus, yaitu kejadian-kejadian dalam dimensi waktu, tempat serta kondisi-kondisi tertentu. Memang acapkali juga kita temukan pernyataan-pernyataan sejarawan yang bernada menekankan kebenaran umum itu, seperti apabila mereka berbicara tentang sifat-sifat umum dari revolusi, di samping kekhususan dari masing-masing revolusi seperti Revolusi Prancis, Revolusi Amerika, Revolusi Rusia, Revolusi Indonesia dan lain-lain, tapi penilaian yang bersifat kebenaran umum ini berbeda dengan membuat generalisasi yang terjadi pada ilmu (science), terutama dalam persoalan pemilihan topik, bahwa apa yang dikerjakan oleh sejarawan dalam hal ini tidak berlaku untuk seluruh jaman dan segala situasi/kondisi. Masalahnya adalah seperti yang dikatakan oleh sejarawan Inggris, E.H. Carr bahwa: “but do not suppose that generalization permits us to construct some vast scheme of history into which specificevents must be fitted” (tapi janganlah berpikir bahwa generalisasi memungkinkan kita untuk membangun kerangka sejarah yang kokoh ke dalam mana peristiwa-peristiwa khusus bisa dicocokkan).
Jadi sejarawan, menurut Carr, pada dasarnya tidak asing dengan usaha merumuskan kebenaran umum itu, tapi kelihatannya perumusan hal yang umum itu tidak bisa dipisahkan dengan usaha menekankan hal yang berlaku khusus.
Apabila kita memasalahkan generalisasi dalam sejarah, maka ini erat berkaitan dengan permasalahan yang menyangkut ciri lain dari ilmu yaitu masalah prediksi (peramalan ilmiah). Secara umum bisa dikatakan bahwa sejarawan, karena tidak mengutamakan generalisasi seperti dalam ilmu natural, juga kurang memperhatikan prediksi sebagai tujuan akhir dari kegiatan penulisan sejarah. Malah beberapa sejarawan praktis menegaskan bahwa begitu sejarawan berpikir untuk melakukan prediksi, saat itu pula dia pada hakikatnya berhenti sebagai sejarawan, dia telah menjadi seorang futurolog. Ini tentu berbeda dengan ilmu (science), yang pada perumusan generalisasi-generalisasi tersebut hakikatnya telah terkandung kecenderungan ramalan tentang sesuatu yang bisa terjadi di masa dating, apabila keadaan seperti yang terumuskan pada generalisasi terpenuhi. Ini sulit untuk dipikirkan bisa terjadi dalam hubungan dengan generalisasi terbatas yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa khusus seperti digambarkan di atas, paling-paling bisa terjadi seperti yang digambarkan oleh Carr bahwa …
“ in so doing, he provides general guides for future action which, though not specific predictions, are both valid and useful. but he can not predict specific events, because the specific is unique and because the element of accident enters into it” (bahwa dengan membuat generalisasi, meskipun sifatnya terbatas sejarawan sedikitnya bisa memberikan tuntunan-tuntunan umum bagi tindakan-tindakan di masa datang, yang meskipun bukan merupakan prediksi spesifik, bisa juga dianggap valid dan bermanfaat. Yang jelas memang dia tidak mungkin meramalkan peristiwa-peristiwa spesifik sebab sesuatu yang spesifik adalah sesuatu yang unik dengan element kejadian itu ikut mewarnainya).

Dengan gambaran di atas, kiranya bisa dipahami sifat keilmuan dari sejarah. Namun perlu disadari bahwa adanya kecenderungan baru untuk makin memperhatikan unsur generalisasi dalam sejarah, sampai-sampai ada pernyataan bahwa “boleh dikatakan semua sejarawan menggunakan generalisasi di dalam penulisannya, tetapi tingkatan penggunaannya tidaklah sama. Ada semacam spektrum nilai dari madzab unik sampai kepada filsuf sejarah”. Seperti di Amerika Serikat misalnya dibedakan adanya madzab unik, madzab dengan generalisasi yang sangat terbatas, madzab interpretatif, madzab komparatif dan madzab nomothetis. Secara umum dianggap bisa dibedakan antara aliran deskriptif, yaitu yang lebih cenderung membuat generalisasi yang sangat terbatas. Dan aliran teoretis, yaitu aliran yang menekankan generalisasi di lingkungan sejarawan, meskipun untuk itu sejarawan perlu meminjam generalisasi yang telah dirumuskan oleh ilmu-ilmu lain terutama ilmu-ilmu sosio-kultural.

2.Karakteristik Studi Sejarah sebagai Akibat Pengaruh Ilmu Ilmu Sosial

Seperti telah diuraikan di bagian akhir Bab II, kecenderungan ke arah penekanan generalisasi dalam studi sejarah sejalan dengan kecenderungan menekankan dimensi struktural dari peristiwa sejarah (tindakan manusia). Di situ juga ditekankan melalui analisis struktural bisa diungkapkan secara lebih eksplisit faktor-faktor kondisional yang memiliki hubungan kausal dengan peristiwa sejarah.
Untuk lebih memahami karakteristik studi sejarah analitik structural, ada baiknya dibandingkan kembali ciri-ciri uraian sejarah deskriptif naratif dengan sejarah deskriptif analitik itu:
Sejarah deskriptif naratif, meskipun sudah menekankan sifat kritis, terutama menyangkut keakuratan sumber-sumber sejarahnya, namun masih menampilkan ciri-ciri berikut:
(1)belum menggunakan konsep-konsep teoretik atau kerangka berpikir terutama dalam menganalisis hubungan-hubungan kausal dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa;
(2)hubungan kausal sebenarnya juga diperhatikan, namun tidak secara eksplisit ditampilkan;
(3)hal-hal di atas ini tidak mengherankan menjadi ciri utama sejarah naratif karena yang menjadi tujuan akhir penulisan sejarahnya adalah gambaran urut-urutan peristiwa atau unsur prosesual peristiwa;
(4)hal ini sejalan dengan anggapan/pandangan sejarah yang hakikatnya bersifat sebagai peristiwa unik (sekali terjadi dan tidak akan terulang lagi), sehingga karena itu pula tidak ada usaha menunjukkan struktur atau pola-pola peristiwa;
(5)bisa ditumbuhkan satu sifat lain dari sejarah naratif, yaitu lebih menekankan peran tokoh-tokoh/elitee penguasa sebagai penentu peristiwa, dengan kata lain hanya menonjolkan aspek politik dalam perkembangan sejarah.

Sebaliknya sejarah deskriptif analitis atau analitis structural, lebih menampilkan ciri-ciri sebagai berikut:
(1)menekankan pemanfaatan konsep-konsep, teori serta kerangka berpikir, yang umumnya diambil dari ilmu-ilmu sosial, dalam membahas kompleksitas hubungan peristiwa;
(2)hal di atas ini terkait dengan tujuan akhir studi sejarah yang lebih menekankan pembahasan struktur peristiwa, berupa pola-pola hubungan-hubungan kausal, dari pada gambaran prosesual peristiwa;
(3)di sini struktur peristiwa/hubungan kausal sejarah menjadi eksplisit dan memberi corak pada pembahasan peristiwa daripada hanya bersifat implisit dalam gambaran kronologis peristiwa;
(4)dengan demikian yang menjadi pusat perhatian pembahasan tidak hanya peristiwa politik, tapi berbagai aspek kehidupan yang tercermin dalam peristiwa, dan karena itu pula tidak hanya menaruh perhatian pada tokoh-tokoh politik/kekuasaan, namun juga bisa rakyat kebanyakan atau komponen masyarakat noneliteis;
(5)di sini jelas, yang ingin ditampilkan adalah struktur serta pola-pola umum dari peristiwa, yang berarti pula penekanannya bukan pada peristiwa sebagai sesuatu yang unik.
Atas dasar perbandingan di atas bisa dibuat ilustrasi misalnya dari sejarah kerajaan Majapahit. Dalam perspektif sejarah deskriptif naratif yang diutamakan adalah menyelusuri asal-usul serta perkembangan sejarah (aspek genesis), yakni dari mulai berdirinya kerajaan sampai akhirnya mengalami keruntuhan. Yang dipentingkan di sini deskripsi peristiwa pada setiap tahap perkembangan serta rangkaian kronologisnya (prosesualnya) dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Untuk tujuan itu, maka uraian tersebut biasanya terfokus pada tokoh-tokoh utama peristiwa (elite politik/kekuasaan), seperti raja dan pembantu-pembantu utamanya (para patih, pendeta istana dan lain-lain). Sedang rakyat biasa hanya digambarkan sebagai figur latar pada setiap peristiwa. Esensi materi peristiwa umumnya berupa tindakan atau perilaku individual maupun sosial yang nampak dalam kehidupan sehari-hari para penguasa tersebut. Jadi tidak ada upaya untuk mengungkap unsur-unsur rakyat jelata yang ada di balik peristiwa. Demikian juga tidak nampak usaha mengungkap hubungan-hubungan kausal yang lebih intens (mendalami) antara peristiwa satu dengan peristiwa lainnya, atau tindakan satu dengan tindakan lain dari para pelaku sejarah.
Sebaliknya sejarah deskriptif analitik, disebut juga sejarah struktural tentang Majapahit yang lebih memfokuskan diri pada aspek-aspek khusus dari rangkaian peristiwa tersebut. Ini terutama menyangkut aspek yang dianggap penting dianalisis untuk menjelaskan berbagai latar belakang hubungan kausal (singular maupun jamak) di antara fenomena sejarah yang terkait. Aspek-aspek khusus tersebut, bisa dikaitkan dengan berbagai aspek penomena, misalnya fenomena politik yang menyangkut struktur birokrasi yang mendukung pemerintahan Majapahit. Ini bisa dikaitkan misalnya dengan konsep kosmogoni atau konsep mandala dan konsep kultus dewa raja masalah pola-pola konflik antarelite, masalah intrik-intrik politik di antara para birokrat kerajaan, dan lain-lain. Semuanya ini akan mampu menjelaskan terjadinya pergolakan politik yang terjadi sepanjang jaman Majapahit (lihat Geldern).
Sedangkan yang terkait dengan fenomena sosial, aspek-aspek khusus yang penting diperhatikan adalah masalah sistem pelapisan sosial jaman Majapahit, masalah pola hubungan pemimpin (raja) dengan rakyat/pengikut, masalah posisi dan peran para ulama/ pendeta terutama dalam ikut menggerakkan terjadinya konflik-konflik politik, dan lain-lain. Semuanya ini penting untuk menjelaskan ketegangan-ketegangan sosial di lingkungan kerajaan yang sering terkait dengan upaya-upaya perebutan kekuasaan, di antara para elitee kekuasaan itu sendiri.
Khusus menyangkut fenomena sosial di pedesaan sangat penting dibahas tentang elitee desa dengan struktur kepemimpinannya. Di samping itu juga tentang struktur kepemilikan tanah dan hubungan kebergantungan antara pemilik-penggarap; masalah kemiskinan struktural di pedesaan, dan lain-lain. Di lain pihak, khusus untuk fenomena kehidupan perkotaan yang biasanya terkait dengan pertumbuhan kota-kota perdagangandi daerah pesisir, menarik untuk diidentifikasi hal-hal seperti faktor-faktor pertumbuhan suatu kota sebagai pusat perdagangan lokal maupun internasional, perkembangan kota sebagai pemukiman multietnik, urbanisasi berlatar politik (menyingkir dari kekuasaan agraris yang represif), perbanditan, bekel, kubayan, penguasaan tanah, dan lain-lain.
Seperti diketahui analisis fenomena sosial di pedesaan, terutama untuk memahami dinamika masyarakat pedesaan yang secara sepintas sering dilihat sangat statis, pada hal dalam kasus-kasus tertentu bisa terjadi misalnya mobilitas penduduk bila penduduk merasa ada perlakuan tidak adil oleh para elite penguasa di atasnya. Sedangkan fenomena pertumbuhan kehidupan kota jaman Majapahit, terutama penting dipahami untuk menjelaskan mengapa perkembangan kota menjadi saingan dan ancaman bagi kekuasaan pusat Majapahit.
Hal-hal di atas ini hanya merupakan sebagian kecil dari berbagai fenomena sejarah yang dapat diungkap menggunakan kerangka teoretis atau perspektif atau spektrum dalam penulisannuya.

Daftar Rujukan Utama

Carr, E.H. 1972. What is History?. New York : Alfred A Knopf.
Collingwood, R.G. 1973. The Idea of History. London : Oxford University Press.

Hatta, Moh. 1979. Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan . Jakarta : Penerbit Mutiara.

Kartodirdjo, Sartono. 1970. “Metodologi Max Weber dan Wilhelm Dilthey”, dalam Lembaran Sejarah no. 6, Fak. Sastra, UGM Yogyakarta.

Notosusanto, Nugroho. 1964. “Teori Sejarah : Perananyan dalam Rangka Studi Sejarah” dalam MISI, no. 1.

Notosusanto, Nugroho. 1979. Sejarah Demi Masa Kini. Jakarta : UI Press.

Renier, G.J. 1961. History, Its Purpose and Method. London : G. Allen & Unwin Ltd.

Setiadi, Elly M. (dkk.) 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Pradana Media Group.

Walsh, W.H. 1970. An Introduction to Philosophy of History. London : Hutchimson University Library.

Tidak ada komentar: