Label

Adi Sanjaya

Adi Sanjaya

Kamis, 10 Maret 2011

HUKUM SEJARAH

Apabila kita memasalahkan dalam bagian yang lalu bahwa sejarah punya kekhususan-kekhususan dalam menerangkan peristiwa sejarah dibandingkan dengan ilmu-ilmu alamiah, maka pertanyaan yang timbul ialah apakah sejarah mungkin dan perlu memformulasikan hukum-hukum yang berlaku (general laws) dalam kerjanya ?

Unsur Perulangan dalam Ilmu-Ilmu Alamiah

Untuk menjawab pertanyaan di atas kita perlu pertama-tama melihat bagaimana para scientist sampai pada perumusan hukum umum yang bermanfaat dalam usaha menjelaskan gejala-gejala alam yang mereka pelajari. Dalam hubungan ini perlu diketahui adanya unsur pokok yang dimiliki oleh ilmu-ilmu alamiah yang memungkinkan perumusan hukum tersebut. Unsur tersebut adalah “perulangan” (recurrence). Perulangan berarti bahwa gejala-gejala yang diselidiki bisa diulangi-ulangi wujudnya seperti wujud semula, atau lebih tepatnya “bahwa pengamatan gejala itu dapat diulangi orang lain (reproducible)”. Sehubungan dengan dimungkinkannya perulangan ini, maka dimungkinkan diadakannya eksperimen (percobaan) di laboratorium atau di lapangan, yaitu mewujudkan kembali bentuk semula dari gejala tersebut sebanyak yang diinginkan, sehingga dengan dasar ini dimungkinkan diadakannya pengamatan yang intensif terutama untuk mengidentifikasikan keajegan-keajegan dari gejala tersebut. Apabila keajegan/keteraturan itu telah bisa diidentifikasikan, maka “meumuman” (dalil-dalil) bisa dirumuskan, yang berarti pula general laws telah bisa diwujudkan. Contoh yang paling populer dalam hal ini, ialah bagaimana orang sampai pada perumusan hukum bahwa setiap benda yang dipanaskan akan memuai. Gejala benda dipanaskan ini, kita ketahui, bisa diulang-ulang wujudnya dan ini memungkinkan dilakukannya eksperimen untuk mengamati gejala tersebut, dimana bisa diidentifikasikan keajegan berupa memuainya benda-benda apabila dipanaskan. Dengan demikian untuk selanjutnya semua gejala alam yang menyangkut pemuaian akan bisa dijelaskan dengan dalil di atas tadi (bahwa benda dipanaskan akan memuai).

Unsur Perulangan pada Sejarah
Bagaimana dengan peristiwa sejarah? Apakah peristiwa sejarah itu bisa diulangi ? Dengan kata lain, apakah sejarah itu berulang ? Meskipun ucapan Perancis ada mengatakan : “I’histoire, se repete” (sejarah itu berulang), tetapi kalau diperhatikan lebih dalam pernyataan ini rupanya perlu dipersoalkan.
Sejarah berulang berarti bahwa peristiwa-peristiwa yang membentuk sejarah itu bisa terjadi lebih satu kali. Padahal kita ketahui dari uraian terdahulu bahwa salah satu kekhasan dari peristiwa sejarah ialah bahwa peristiwa sejarah itu bersifat unik (khusus) artinya tergantung pada tempat, waktu dan situasi tertentu, di samping sangat berkaitan dengan unsur pikiran manusia yang melatar belakangi peristiwa tersebut. Keadaan ini sering disebut asas “kondisionalitas” dari peristiwa sejarah, yang mana ini justru menghalangi dilaksanakannya perulangan yang sempurna dari peristiwa sejarah. Jadi peristiwa sejarah pada dasarnya sekali terjadi tidak bisa diulangi lagi, meskipun ada yang melihat adanya unsur pararelisme (kesejajaran) pada sejumlah peristiwa sejarah (tapi tidak dalam arti identik). Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya ucapan “sejarah berulang” tidak berlaku pada peristiwa sejarah seperti yang ditegaskan oleh Renier “history can not repeat itself” (sejarah tidak bisa mengulangi dirinya sendiri).
Sebagai konskwensi dari kenyataan ini, dengan sendirinya unsur pokok lainnya yang tidak bisa dipisahkan dari kerja para scientist yaitu eksperimen juga sulit diwujudkan dalam sejarah. Hal ini juga ditegaskan Renier bahwa “…. Al scientist are agreed that there can be no scientific knowlwdge without experiments”, sedang di lain pihak dia juga menyatakan “… there can be no historical knowledge dependent upon experimentation”. (tidak ada pengetahuan sejarah yang tergantung pada eksperimentasi). Padahal seprti ditegaskan oleh Gazalba “tanpa perulangan, tak dapat kita melakukan eksperimen. Tanpa eksperimen tidak dapat kita memastikan hukum”. Pernyataan ini menyebabkan kita bertanya kembali, apakah sejarah mungkin memformulasikan hukum dalam kerjanya?

Hukum dalam Sejarah
Terlepas dari kenyataan bahwa sejarawan lebih tertarik pada peristiwa-peristiwa khusus yang mana memang ditentukan pula oleh sifat kondisionalitas dari peristiwa sejarah, maka kalau sejumlah peristiwa sejarah disejajarkan (diperbandingkan) kelihatannya ada pula unsur-unsur persamaannya (pararelismenya), di samping unsur kekhususannya. Misalnya apabila kita memperbandingkan sejumlah perang demikian pula apabila kita mengamati sejumlah revolusi yang pernah terjadi di dunia ini, maka unsur-unsur umumnya dari dua jenis peristiwa di atas yang bisa diidentifikasikan ialah unsur perang dan unsur revolusi dengan sejumlah unsur-unsur umum yang dikandungnya. Unsur-unsur umum disini bisa disifatkan terutama sebagai kecenderungan-kecenderungan umum (general tendencies), bukan hukum-hukum yang pasti seperti dalam ilmu-ilmu alamiah. Nugroho Notosusanto menggunakan konsep “peristiwa unik” (unique event) yang menjadi perhatiam utama sejarah. Studi sejarah yang menekankan unsur ke-umuman ini juga menjadi ciri menonjol dari studi filsafat sejarah yang disebut filsafat spekulatif yang merupakan suatu renungan metafisis yang bertujuan mencapai suatu pengertian tantang jalannya sejarah secara keseluruhan atau untuk mencapai apa yang oleh Walsh disebut sebagai “the meaning and purposes of the whole historical process”. (arti dan tujuan dari keseluruhan proses sejarah).
Pandangan spekulatif seperti di atas ini teruma didasarkan atas anggapan bahwa terlepas dari banyaknya kekhususan-kekhususan yang diperlihatkan oleh peristiwa sejarah, dianggap masih mungkin dilihat bentuk-bentuk tertentu dari jalannya peristiwa sejarah yang menggambarkan suatu rencana keseluruhan (overall plan), rencana mana memberi kejelasan bagi peristiwa-peristiwa khusus dari sejarah dan yang memungkinkan kita bisa memandang proses sejarah dalam suatu arti tertentu. Pemikiran-pemikiran spekulatif dalam sejarah ini terutama berkembang di Eropah daratan yang antara lain dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Giambattista Vico dari Italia (bukunya : The New Science) Johann Gottfried Herder dari Jerman (bukunya : Ideas toward a Philosopy of the History of Man), G.W.F. Hegel juga dari Jerman (bukunya : Lectures on the Philosopy of History) dan lain-lain.
Dengan demikian, maka kalau kita bisa menerima unsur-unsur ke-umuman ini pada sejarah berarti pula bahwa hukum-hukum sejarah bisa dirumuskan, meskipun dengan watak yang sangat berbeda dengan hukum pada ilmu-ilmu alamiah. Paling sedikit kita bisa mengambil rumusan Gazalba bahwa hukum sejarah “tidak lain keteraturan yang dapat diserap pada sejumlah kejadian yang memberikan rupa persamaan pada perubahan-perubahan keadaan tertentu dalam sejarah”.
Dari rumusan di atas kelihatan keterbatasan dari sifathukum sejarah, karena keteraturan yang menjadi unsur utama dari suatu hukum dikaitkan dengan suatu kondisi tertentu, yaitu sepanjang keteraturan itu bisa diserap pada sejumlah kejadian yang berarti pula tidak ada jaminan bahwa keteraturan itu bisa diterapkan pada setiap kejadian, dan bahwa kejadian-kejadian itu dibatasi hanya kejadian yang punya rupa persamaan, bukan kejadian yang memang benar-benar sama (identik). Dengan kata lain, hukum (keteraturan) itu berlaku apabila bisa dilihat unsur-unsurnya pada peristiwa; kalau tidak maka berarti hukum itu tidak berlaku. Jadi seperti ditegaskan oleh Renier “it obeys the events, and we have no logical ground for the belief that events obey the law (bahwa keteraturan itulah yang mengikuti peristiwa-peristiwa, dan kelihatannya tidak ada dasar yang logis/kuat bagi suatu kepercayaan, bahwa peristiwa-peristiwalah yang mengikuti hukum).

Prediksi dalam Sejarah
Kalau memang demikian sifat hukum sejarah, maka timbul pertanyaan apakah kita mungkin melakukan prediksi dalam sejarah, yang mana prediksi itu merupakan salah satu unsur pokok lainnya dalam ilmu-ilmu alamiah. Seperti diketahui prediksi itu dimungkinkan karena mungkinnya dirumuskan hukum-hukum yang pasti dalam ilmu-ilmu alamiah itu. Prediksi sebenarnya tidak lain daripada berlakunya hukum dikemudian hari, bilamana saja suatu gejala alam memenuhi unsur-unsur yang tercakup dalam hukum tersebut.
Dengan dasar pikiran seperti di atas, maka sudah bisa dibayangkan kesulitan bagi sejarah untuk memprediksi. Memang pula banyak sejarawan yang beranggapan bahwa bukan saja hal ini tidak mungkin dilakanakan, tapi juga bukan tujuan dari sejarawan. Secara ekstrim Vico menyatakan “… the true historian never prophesies”. (sejarawan yang benar-benar sejarawan tidak pernah meramalkan). Dalam hal ini Renier menganggap lebih tepat pernyataan “the historian cannot prohesy” (sejarawan sulit meramalkan), karena dia berkeyakinan bahwa memang oleh keterbatasan perulangan dari peristiwa sejarah, maka sejarawan sulit melakukan prediksi tapi sebagai manusia pribadi dia bisa saja meng-ekspresikan pandangan-pandangan tentang masa yang akand atang dengan melihat unsur-unsur permanen dibalik peristiwa-peristiwa. Dia lebih cenderung mengikuti anggapan sejarawan Belanda. Blok, yang antara lain dikutipnya sebagai mengatakan”
The knowledge the detailed knowledge of the past cannot, of course, lead us, historians, to an infallible prediction of what will taka place tomorrow or the day after, but it can and must serve to a better understanding of the present. And a good understansing of the present is one of the best guarantees of a wise treatment of this present with a view to the things which the future will bring us.

(Pengetahuan, maksudnya pengetahuan mendetail dari masa lampau tentu saja tidak mungkin menuntun sejarawan ke arah prediksi yang bebas dari kesalahan (akurat) tentang apa yang akan terjadi besok atau kemudiannya, tapi ia akan memberikan pengertian yang lebih baik tentang masa kini. Dan pengetahuan yang baik akan masa kini adalah salah satu jaminan bagi perlakuan yang bijaksana terhadap situasi masa kini dengan perspektif masa depan yang mungkin memberikan sesuatu (yang baik) bagi kita semua.
Dengan demikian, keterbatasan untuk memprediksi pada sejarah, tidak menghalangi usaha untuk memproyeksikan pengalaman pengalaman masa lampau ke situasi masa kini dan bahkan situasi yang akan datang meskipun tidak dengan landasan prediksi yang kokoh seperti dilakukan oleh para scientist. Jadi dengan terutama memperhatikan apa yang oleh Nugroho Notosusanto dikategorikan sebagai kejadian massal manusia masih mungkin merumuskan pandangan-pandangan tentang situasi masa kini dan masa yang akan datang, dengan kata lain berlajar dari sejarah.

Tidak ada komentar: