Label

Adi Sanjaya

Adi Sanjaya

Selasa, 12 Oktober 2010

PURA MEKAH DI BALI: HARAM MEMPERSEMBAHKAN DAGING BABI (SUATU PERSPEKTIF KAJIAN BUDAYA)

Abstrak
Kajian ini menunjukkan bahwa pemakaian label Mekah pada pura maupun pelinggih di Bali berkaitan dengan pengaruh Islam. Hal ini bisa karena kontak dagang sehingga melahirkan pemujaan terhadap Dewa Pedagang Islam, pemujaan terhadap roh leluhur Islam, pengembangan toleransi beragama yang sekaligus berarti menghindarkan Bali dari serangan kerajaan-kerajaan Islam, dan menghilangkan kutukan karena kemungkinan adanya pembunuhan terhadap orang Islam. Pura sebagai tempat suci memiliki struktur, yakni halamannya terbagi menjadi dua, yakni jaba dan jeroan (Pura Dalem Mekah dan Pura Ratu Mekah) dan ada pula terbagi tiga, yakni jaba, jaba tengah, dan jeroan (Pura Negara Gambur Anglayang. Pada halaman jeroan terdapat aneka pelinggih yang bentuknya beragama, sesuai dengan fungsinya. Pura maupun pelinggih berorientasi ke gunung atau kea rah matahari terbit (arah sacral). Pura memiliki aneka fungsi, bergantung pada jenisnya. Pura Dalem Mekah dan Pura Ratu Mekah adalah pura keluarga, berfungsi sebagai tempat memuja roh leluhur dan dewa-dewa Hindu. Pura Negara Gambur Anglayang adalah pura fungsional, berfungsi sebagai tempat memuja Dewa Perdagangan, Dewa Pabean atau Dewa Kesejahteraan. Hal ini tercemin pada nama-nama dewa yang dipuja pada pelinggih dan sistem ritualnya. Di balik kesemuanya itu ada berbagai ideologi yakni ideologi Tri Hita Karana, Multikulturalisme, ideologi pasar (Pura Negara Gambur Anglayang), dan ideologi patriarki, dan ideologi gender.

Kata-kata kunci: Pengaruh Islam, struktur dan fungsi pura, ideologi.

Abstract
This study shows that the use of label Mecca toward the temple and pelinggih in Bali is related with Islamic influence. This could be because of trading contact and create the temple toward the God of Muslim traders, the temple of Muslim ancestor, the development of religious tolerance which was mean to avoid Bali from the attact of the Muslim Kingdoms and vanished a curse that was caused of the possibility of the murder the Muslim. Temple as a holy place has a structure, such its field devided into two part, jaba and jeroan (Pura DAlem Mekah and Pura Ratu Mekah), there is also temple which is devided into three part, such jaba, jaba tengah, and jeroan (Pura Negara Gambur Anglayang) On the field of jeroan consisted of any kind of pelinggih, based on its function. Temple and pelinggih are oriented toward mountain or toward the sun shine (holy direction). Temple has many functions depended on its kind. Pura Dalem Mekah and Pura Ratu Mekah is family temple, functioned as the place to worship the ancestors and Hindu’s gods. Pura Negara Gambur Anglayang is a functional temple, functioned as the place to worship the God of traders, God of custom or God of prosperity. This is reflected on the names of gods which is worshiped on pelinggih and its ritual system. Behind of all there are ideologies such Tri Hita Karana ideology, Multiculturalism, market ideology (Pura Negara Gambur Anglayang), patriarch ideology and gender ideology.

Keyword: Islamic influence, the structure and function of temple, ideology

1. Pendahuluan
Pulau Bali memiliki banyak sekali pura, sehingga tidak mengherankan jika Pulau Bali disebut pula Pulau Seribu Pura atau Palau Kahyangan. Pura-pura ini kebanyakan memakai label ke-Hidu-an atau ada pula yang memakai label lokal, yakni bahasa Bali ((Tim Redaksi Bali Post, 2006; Soebandi, 1981, 1983 1998; Putra, 1989). Namun, di balik itu ada pura maupun pelinggih di Bali yang berlabel ke-Islam-an, yakni memakai kata Mekah (Ali, 1978; Hoesein, 1981; Armstrong, 2001). Hal ini dapat dicermati pada nama Pura Dalem Mekah dan Pura Ratu Mekah di Desa Ubung, Denpasar, dan Pelinggih Ratu Mekah yang terdapat pada Pura Dadia di Kota Singaraja dan Pura Negara Gambur Anglayang di Desa Pakraman Kubutambahan Buleleng.
Pura-pura atau pelinggih seperti ini amat menarik, tidak semata-mata karena labelnya, tetapi juga karena ada tradisi yang unik. Misalnya, tidak boleh mempersembahkan daging babi sehingga mengingatkan pada pengharaman daging babi yang berlaku pada Agama Islam. Khusus dalam kaitannya dengan Pura Ratu Mekah, Binoh, Ubung ada keunikan lainnya, yakni pertama, keluarga pemilik pura ini mengenal tradisi sunat sebagaimana yang berlaku dalam Agama Islam. Kedua, kiblat pada saat pemimpin ritual mempersembahkan sesajen adalah ke barat. Hal ini mengingatkan pada kiblat sebahyang orang Islam adalah ke barat (Mekah). Kedua tradisi ini berbeda dengan tradisi adalam Agama Hindu. Agama Hindu tidak mengharamkan daging babi. Kiblat sebahyang Agama Hindu adalah kaja (ke gunung) atau kangin (arah matahari terbit) (Atmadja, 1998).
Walaupun pura/pelinggih yang berlabel Mekah memiliki keunikan, namun kajian terhadapnya sangat kurang, sehingga dapat dikatakan termargnalisasi secara akademik. Berkenaan dengan itu maka pura/pelinggih Ratu Mekah tidak saja menarik untuk, tetapi juga amat penting. Ada beberapa masalah yang menarik dikaji, latar belakang pemakaian nama Mekah, struktur dan fungsi pura/pelinggih, makna ritual dan ideologi yang ada dibaliknya. Dalam rangka mengkaji masalah ini digunakan pendekatan kualitatif yang bertumpu pada teori kritis sebagaimana yang lazim digunakan dalam Kajian Budaya (Cultural Studies). Jawaban atas pertanyaan ini dapat dipaparkan sebagai berikut.


Gambar 1. Pura Dalem Mekah di Ubung, Denpasar Utara (label Pura Dalem Mekah Menempel di Kori – pintu masuk ke halaman belakang – jeroan pura).


Gambar 2. Kori (pintu masuk) ke jeroan Pura Ratu Mekah Banjar Binoh, Ubung, Denpasar Utara (label Pura Ratu Mekah menempel di kori). Di sebelah kanan pelinggih Ratu Mekah yang terdapat pada Pura Negara Gambur Anglayang Desa Pakraman Kubutambahan, Buleleng.



2. Pembahasan
Berdasarkan penelusuran kancah ada tiga pura yang berlabel Mekah, yakni Pura Dalem Mekah dan Pura Ratu Mekah yang keduanya terletak di Desa Ubung Despasar, serta Pura Dalem Mekah di Desa Pakraman Kukuh, Tabanan. Ada dua pura yang di dalamnya memuat pelinggih yang berlabel Mekah, yakni Pelinggih Ratu Mekah pada suatu Pura Dadia di Kota Singaraja, dan Pura Negara Gambur Anglayang di Desa Pakraman Kubutambahan, Buleleng. Pura maupun pelinggih ini amat mudah dijangkau, karena terletak di pinggir jalan raya. Pura Dalem Mekah dan Pura Ratu Mekah Ubung letaknya tidak jauh dari Terminal Bus Ubung. Pura Dalem Mekah Kukuh, menyatu dengan objek wisata kera Alam Kedaton. Pura Dadia Singaraja, berada di tengah-tengah kota Singaraja. Sedangkan Pura Negara Gambur Anglayang, terletak pada suatu tegalan yang tidak jauh dari jalan raya jurusan Singaraja – Amalapura. Pendek kata, pihak-pihak yang ingin mengunjungi pura maupun pelinggih ini, dilihat dari faktor keterjangkauan tidak ada kendala yang serius.

2.1 Latar Belakang Pemakaian Nama Mekah
Latar belakang pemberian nama Mekah pada pura maupun pelinggih, ternyata tidak mudah mengungkapkannya secara pasti, karena jejak sejarah tertulis tidak ada. Jejak sejarah yang dipakai hanya ceritra lisan yang dikenal oleh pemilik pura. Bedasarkan jejak sejarah lisan dapat disimpulkan bahwa ada beberapa alasan yang menyebabkan lahirnya label Mekah antara lain adalah kontak dagang. Gagasan ini berlaku pada Pelinggih Ratu Mekah di Pura Negara Gambur Anglayang Kubutambahan. Lokasi pura ini pada kawasan pantai yang konon dahulu merupakan pelabuhan yang bernama Tebanding. Pelabuhan ini banyak dikunjungi oleh pedagang Islam antara lain dari Jawa. Masyarakat setempat yakin bahwa kedatangan para perdagang Islam ke pelabuhan Tebading tidak bisa dilepaskan dari dorongan dan perlindungan suatu kekuatan adikodrati. Kedatangan pedagang Islam ke Palabuhan Tebandung membawa kesejahteraan pada masyarakat lokal. Sebagai ucapan terima kasih atas kedatangan dan kesejahteraan yang diberikan oleh para pedagang Islam, maka masyarakat lokal memuja kekuatan adikodrati yang ada di baliknya.
Berkenaan dengan itu mereka membangun Pelinggih Ratu Mekah. Jadi, pelinggih ini berfungsi untuk memuja kekuatan adikodrati atau Dewa Pedagang Islam (Mekah) yang memberikan kesejahteraan kepada masyarakat Desa Pakraman Kubutambahan. Dengan mengacu kepada Lapian (2008), Lombard (1996, 1996a), Agung 1998; Ricklefs (1995), pada abad ke XV-XVI Bali memang ramai dikunjungi oleh pedagang Islam. Ada kemungkinan pedagang Islam berkunjung ke Pelabuhan Tebanding, yakni tempat berdirinya Pura Negara Gambur Anglayang guna mengambil persediaan logistik (beras dan air – di dekat pura terdapat mata air), kain kasar, dan budak. Perdagangan ini berkaitan dengan pusat kekuasaan lokal, yakni Desa Pakraman Bulian. Desa ini merupakan desa tua yang dahulunya dipimpin oleh penguasa lokal yang bergelar jero pasek.
Pura Dalem Mekah dan Pura Ratu Mekah tergolong ke dalam pura keluarga. Atmadja (1998) menunjukkan, bahwa fungsi pura keluarga adalah sebagai tempat untuk memuja roh leluhur dan dewa-dewa Hindu. Berkenaan dengan itu maka dapat dipastikan, bahwa Pura Dalem Mekah dan Pura Ratu Mekah terkait dengan pemujaan terhadap roh leluhur yang beragama Islam. Orang Islam ini adalah perantau dari Jawa, lalu menetap di Desa Ubung maupun Desa Kukuh. Mereka tidak saja menetap, tetapi juga kawin dengan wanita lokal. Keluarga Muslim ini sangat adaptif dengan lingkungan sisiobudayanya. Namun, setelah pasangan suami istri Muslim ini meninggal dunia, karena pola asuh yang tidak Islami, maka anak-anaknya tidak meneruskan agama Islam orang tuanya, melainkan mengikuti Agama Hindu yang dianut komunitasnya. Keluarga Hindu wajib mendirikan Pura Keluarga. Dalam Konteks inilah mereka mendirikan pura keluarga guna memuja roh leluhurnya yang beragama Islam sehingga lahir pura keluarga yang bernama Pura Dalem Mekah dan Pura Ratu Mekah. Pendirian pura seperti ini tidak bisa pula dilepaskan dari pola keberagamaan nenek moyang mereka, yakni bersifat Islam sinkretik.
Khusus untuk Pelinggih Ratu Mekah di suatu pura dadia Singaraja, mungkin bermakna berlainan daripada pelinggih ratu mekah yang lainnya. Hal ini disadarkan pada bentuk bangunan, yakni tugu dan letaknya paling belakang. Gejala ini menandakan, bahwa pelinggih ini diperuntukkan bagi roh atau makhluk halus yang tidak bisa disamakan dengan dewa. Karena itu, mungkin bahwa pelinggih ini terkait dengan tradisi madewa jelma sebagaimana yang berlaku di Desa Pakraman Kayu Putih, Buleleng. Tradisi ini berkaitan dengan adanya pembunuhan terhadap orang Islam. Dalam rangka menetralisir kutukan, maka mereka membuat Pelinggih Ratu Mekah.
Latar belakang lainnya adalah toleransi beragama antara Agama Hindu dan Islam. Hal ini bisa terjadi, karena keduanya memberikan peluang bagi adanya toleransi agama. Misalnya, Agama Hindu memiliki ajaran tat twam asi (persaudaraan universal) dan ahimsa (nirkekerasan), ditambah lagi adanya kearifan lokal, misalnya desa-kala-patra (biarkan berbeda, karena terkait dengan lokalitas, kesejarahan, dan kreativitas manusia dalam menjawab kondisi). Sebaliknya, Agama Islam memiliki Piagam Madinah yang juga memberikan peluang bagi adanya toleransi (Atmadja, 2008, 2008a). Belum terhitung lagi adanya pola ke-Islam-an orang Islam yang datang ke Bali adalah bercorak sinkretik sehingga mudah beradaptasi dengan Agama Hindu. Bahkan yang tidak kalah pentingnya, orang Bali sengaja membangun toleransi, tidak hanya karena kedatangan orang Islam membawa keuntungan secara ekonomis, tetapi juga untuk menghindarkan penyerangan kerajaan-kerajaan Islam, terutama dari Jawa. Sebab, jika orang Islam di Bali dimusuhi, maka kerajaan-kerajaan Islam di Jawa akan menyerang Bali. Alasannya, selain karena hasrat kekuasaan dan mencari barang-barang rampasan, terkait pula dengan dalih membela saudaranya yang tertindas. Dengan demikian, tidak mengherankan jika orang Bali membuat pura/pelinggih berlabel Mekah, sebaliknya orang Islam menerimanya dengan baik, sesuai dengan dalil di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.

2.2 Struktur Pura/Pelinggih
Pengamatan kancah menunjukkan, bahwa Pura Dalem Mekah Kukuh, Pura Dalem Mekah Ubung, Pura Ratu Mekah Binoh dan Pura Dadia Singaraja memiliki struktur halaman yang sama, terbagi dua, yakni jeroan (utama mandala) dan jaba (nista mandala). Jeroan, kepala atau hulu bernilai utama atau sacral, sehingga tidak mengherankan jika halaman ini ditembok guna melindungi dan memisahkannya dengan alam profane di luar pura. Sebaliknya, jaba sama dengan kaki, bersifat profane sehingga tidak bertembok. Pintu masuk dari jaba ke jeroan adalah kori. Kori tidak hanya sebagai pintu masuk dari jaba ke jeroan (alam profane ke sacral), tetapi juga berkhasiat religius-magis, yakni menyucikan orang yang masuk ke jeroan. Jadi, dengan melewati kori, maka orang yang masuk ke jeroan secara otomatis menjadi sacral – tidak menodari kesucian jeroan.
Jika pura-pura tersebut menganut tata halaman terbagai dua (jaba dan jeroan atau dwi mandala), maka Pura Negara Gambur Anglayang menganut tri mandala (tiga alam), yakni jeroan, jaba tengah, dan jaba. Jeroan adalah sacral, jaba tengah bersifat semi sacral dan profane dan jaba sepenuhnya bersifat profane. Sebagaimana lazimnya, jeroan dan jaba tengah pun dilindungi dengan tebok penyengker. Pintu masuk dari jaba ke jaba tengah, jaba tengah ke jeroan berbentuk candi bentar. Fungsinya sama dengan kori, yakni selain sebagai pintu masuk dari halaman yang satu ke halaman yang lainnya, juga berfungsi untuk menimbulkan suasana kesakralan bagi orang-orang yang berkunjung ke pura. Jeroan adalah ruang paling sacral sehingga tidak mengherankan jika di jeroan dijumpai aneka pelinggih. Bentuk, nama dan fungsi pelinggih amat beragam, bergantung pada fungsinya. Pura Dalem Mekah Kubuh, Pura Dalem Mekah Ubung, Pura Ratu Mekah Binoh, dan Pura Dadia Singaraja berjenis sama, yakni pura keluarga (pura dadia). Berkenaan dengan itu maka pelinggih yang ada di pura-pura ini berfungsi sama, yakni selain diperuntukkan bagi pemujaan terhadap roh leluhur yang beragama Islam, diperuntukkan pula bagi roh leluhur yang beragama Hindu. Bahkan yang tidak kalah pentingnya dewa-dewa Hindu mendapatkan pula perhatian, misalnya Dewa Siwa sebagai Dewa Matahari. Bangunan yang terkait dengan pelayanan sosial bagi pendukung pura, tersedia pula pada pura-pura ini. Misalnya, bale gong (tempat menabuh gong), dapur, bale kulkul (tempat kentongan), bale pesandekan (tempat mengaso), dll.
Kondisi yang sama berlaku pada Pura Negara Gambur Anglayang Kubutambahan. Di jeroan terdapat aneka bangunan yang bentuk dan namanya, disesuaikan dengan fungsinya. Pura ini adalah pura fungsional, yakni pura yang dipuja oleh sekelompok orang yang berprofesi sama, yakni pedagang, sehingga Pura Negara Gambur Anglayang bisa disebut Pura Pedagang atau Pura Pabean – terkait dengan pelabuhan Tebanding (saat ini dipuja oleh warga Desa Pakraman Kubutambahan, tidak lagi hanya kaum pedagang). Bukti-bukti yang bisa dipakai dasar untuk menunjukkan, bahwa pura ini adalah Pura Pedagang, tidak saja terlihat pada Pelinggih Ratu Agung Dalem Mekah (pedagang Islam), tetapi juga pada pelinggih lainnya, yakni Ratu Agung Syahbandar (pedagang Cina) Geertz, 2000), Ratu Agung Melayu (pedagang Melayu), dan Ratu Bagus Sundawan (pedagang Sunda). Dalam dunia perdagangan uang berperan penting, sehingga wajar jika pada pura ini terdapat Pelinggih Ratu Gede Siwa Rambut Sedana (dewa uang). Pura-pura di Bali selalu ada kemungkinan mendapatkan tambahan bangunan baru sesuai dengan dinamika masyarakat lokal. Pura Negara Gambur Anglayang pun mendapatkan tambahan pelinggih baru, misalnya Pelinggih Bhatara Sri Dwijendra (pemujaan terhadap roh suci pahlawan kebudayaan Dang Hyang Nirartha), Padmasana – berfungsi sebagai tempat memuja Siwa sebagai Dewa Matahari, dll. Bangunan yang ada di komplek Pura Negara Gambur Anglayang selain sebagai tempat suci untuk memuja dewa-dewa dan roh suci, ada pula bangunan yang berfungsi sebagai pelayanan sosial, yakni dapur, bale gong, bale pesandekan (tempat mengaso), bale kulkul, dll.
Pura-pura ini berkiblat ke arah yang dianggap sacral dalam kosmologi Hindu, yakni gunung (kaja) dan matahari terbit (kangin). Hal ini berkaitan dengan makna gunung (kaja) sebagai alam dewa-dewa dan sumber kehidupan bagi manusia – berlaku pula untuk matahari (kangin) adalah sumber kehidupan (Atmadja, 1998). Kondisi ini menimbulkan implikasi, jika orang bersembahyang adalah menghadap ke gunung (kaja) atau ke matahari terbit (kangin). Kecuali Pura Ratu Mekah Binoh, salah satu rangkaian ritualnya, ditujukan kea rah barat, yakni mengacu kepada Mekah dan sekaligus juga asa-asul menek moyangnya yang beragama Islam diyakini berasal dari Jawa, yakni wong Solo.

2.3 Makna Pura dan Sistem Ritual
Nama Mekah yang melekat pada Pura Dalem Mekah, Pura Ratu Mekah, dan Pelinggih Ratu Mekah yang terletak pada pura dadia di kota Singaraja, memberikan petunjuk, bahwa berdasarkan fungsi pura, yakni Pura Keluarga, maka ada bukti yang kuat, bahwa pura ini terkait dengan pemujaan roh leluhur pemilik pura, yakni ada yang beragama Islam. Mereka tidak berkeberatan memakai label Mekah, tidak hanya karena realitas, yakni nenek moyang mereka ada yang berama Islam - menurut Agama Hindu wajid dipuja, karena bagian dari ajaran Pitra Yadnya (Parisada Hindu Dharma, 1972), tetapi bisa jadi karena ke-Islam-an nenek moyang mereka bercorak sinkretik. Gagasan ini sejalan dengan pendapat Purwadi dan Dwiyanto (2006), Mulkham (2000), dan Sholikhin (2008), bahwa Islam di Indonesia (lebih-lebih pada saat pergulatan para Wali Songo) sangat bersifat sinkterik – ajaran Syekh Siti Jenar. Bahkan, menurut Geertz (1981) pada tahun 1950-an Agama Islam di Jawa masih kuat bercorak sinkretik. Penyembahan kepada nenek moyang yang beragama Islam sinkretik amat penting, bahkan bisa jadi mereka adalah cikal – bakal keluarga yang bersangkutan. Hal ini yang menyebabkan, mereka memakai label Mekah untuk pura keluarganya - Pura Dalem Mekah atau Pura Ratu Mekah. Hal ini bisa dibandingkan dengan nama pura dadia, misalnya memakai nama Pasek Gelgel, karena mereka yakin nenek moyangnya berasal dari nenek moyang Gelgel – nama soroh atau klen.
Berkenaan dengan adanya Islam sinkretik, maka menarik dikemukakan fakta yang ada di Dalem Purancak di Desa Ubung. Pada kompleks pura ini terdapat sebuah pelinggih yang diperuntukkan bagi orang Islam. Ceritra rakyat mengisahkan, bahwa di Desa Ubung dahulu pernah ada sekumpulan orang Islam. Mereka sangat aktif me-banjar, yakni ikut pada berbagai kegiatan dalam masyarakat, termasuk di dalam kegiatan di pura. Jadi, aktivitas mereka tidak berbeda daripada orang Bali Hindu, sehingga mereka diterima secara baik oleh komunitas Hindu. Hal inilah yang menyebabkan mereka diberikan ruang untuk membangun pelinggih yang bercorak ke-Islam-an pada komplek Pura Dalem Purancak. Pendek kata, dengan adanya pola Islam yang sinkretik, maka orang Hindu maupun Islam merasa aman menggunakan label Mekah. Bahkan, masyarak pun menerimanya secara baik, karena mereka melihat tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua agama tersebut, kecuali kiblat sembahyangnya. Penerimaan inilah mengakibatkan label Mekah tetap dipakai sampai sekarang.
Namun kasus Pura Negara Gambur Anglayang, tidak kalah menariknya. Walaupun tidak berlabel Mekah – hanya menggunakan label Pelinggih Ratu Agung Dalem Mekah, namun makna Mekah sangat penting. Hal ini dapat dicermati pada pelinggih-nya, yakni memakai padmasana. Dalam tradisi arsitektur Hindu di Bali, padmasana adalah pelinggih yang lazim diperuntukkan bagi pemujaan terhadap dewa Hindu, misalnya Siwa. Berkenaan dengan itu berarti bahwa posisi Ratu Agung Dalem Mekah sebagai Dewa Pedagang Islam, tidak kalah pentingnya daripada dewa-dewa Hindu. Gagasan ini diperkuat pula oleh letak Pelinggih Ratu Agung Dalem Mekah, yakni berjejer dengan Pelinggih Ratu Siswa Rambut Sedana – Dewa Uang. Posisi ini sepertinya menyiratkan, bahwa pedagang Islam membawa berkah paling banyak sehingga harus ditempatkan pada jajaran (setelah) Pelinggih Ratu Siwa Rambut Sedana.
Ritual yang berlangsung pada pura-pura ini bisa dibagi tiga jenis, yakni: pertama, ritual yang terkait dengan hari peresmian pura (pemelaspasan) yang disebut ritual piodalan. Kedua, ritual yang terkait dengan hari-hari raya atau hari penting menurut pandangan Agama Hindu, misalnya Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Saraswati, purnama, tilem (bulan mati penuh), dll. Ketiga, ritual insidental, yakni ritual kadangkala sesuai dengan kebutuhan, misalnya ritual memohon penyembuhan. Peserta ritual untuk pura keluarga, yakni Pura Dalem Mekah, Pura Ratu Mekah, dan Pura Dadia Singaraja adalah anggota keluarga yang bersangkutan. Sedangkan untuk Pura Negara Gambur Anglayang, karena berfungsi sebagai pura fungsional, bahkan saat ini diposisikan sebagai milik desa pakraman, maka peserta ritualnya adalah warga Desa Pakraman Kubutambahan Peserta ritual tidak lagi hanya pedagang, tetapi warga desa secara keseluruhan. Mengingat bahwa Pura Negara Gambur Anglayang terkenal di Buleleng, maka banyak pula orang dari luar Desa Pakraman Kubutambahan yang bersembahyang pada pura ini. Bahkan, banyak pejabat yang bersembahyang dengan harapan agar jabatannya tetap di tangan atau mengalami kenaikan ke jabatan yang lebih tinggi. Misalnya, Bupati Buleleng, Putu Bagiada, ketika ikut mencalonkan diri menjadi bupati untuk jabatan kedua kalinya bersembanhyang politik ke pura ini. Begitu pula perbaikan pura dibantu oleh Bupati Buleleng. Putu Bagiada. Pemimpin ritual adalah pemangku pura yang diangkap berdasarkan patokan geneologis.
Apa pun patokan hari atau waktu bagi seseorang yang melakukan ritual atau persembahyangan pada pura-pura ini, begitu pula siapa pun orangnya sebagai pelaku ritual, mereka wajib menggunakan sarana titual yang disebut banten atau sejajen. Banten yang digunakan bisa sama dan atau bisa pula berbeda, sesuia dengan tujuan maupun pada pelinggih mana banten dipersembahkan. Adapun tujuan orang sembahyang ada dua, yakni: pertama, menjaga hubungan harmonis dengan kekuatan adikodrati, yakni dewa, roh leluhur, roh orang suci, dan kahluk halus lainnya (demonik – bhuta kala). Kedua, doa petisi, yakni mengajukan permohonan, misalnya yang paling umum, adalah memohon keselamatan atau kesejahteraan, termasuk di dalamnya kelimpahan rejeki, terbebas dari penyakit, dll. Sedangkan untuk pejabat, sebagaimana yang berlaku pada Pura Negara Gambur Anglayang, kelimpahan rejeki dikaitkan dengan jabatan. Karena itu, tidak mengherankan jika Pura Negara Gambur Anglayang disebut pula pura pejabat – banyak pejabat datang ke pura ini untuk memohon berkah jabatan.

2.4 Dekontruksi Ideologi dan Permainan Kekuasaan
Dengan mengacu kepada gagasan semiotika maupun teori kritis, dapat dikemukakan, bahwa kebudayaan dalam bentuk ujaran verbal maupun nonvernal, termasuk di dalamnya tindakan dan artefaktual, dapat dipandang sebagai bahasa yang bisa mengkomunikasikan sesuatu yang bermakna denotatif maupun konotatif. Kesemuanya itu tidak bisa dilepaskan dari ideologi yang ada di baliknya (Atmadja, 2006, 2008a; Munir, 2008; Agger, 2003; Lubis, 2006). Berkenaan dengan itu maka pura dengan berbagai pelinggih yang ada di dalamnmya, begitu pula perilaku umat beragama yang menyertainya pada saat melakukan ritual, pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari ideologi yang ada di baliknya. Ideologi ini terungkap berbentuk aneka tindakan sosial dan berbagai artefak yang digunakan yang bisa dimaknai secara denotatif maupun konotatif.
. Bertolak dari gagasan itu maka dapat dikemukakan, bahwa ideologi yang paling penting yang ada di balik pura-pura/pelinggih yang berlabel Mekah maupun perilaku ritual pemilik pura, adalah ideologi Tri Hita Karana. Atmadja (1998) dan Eiseman (1988) menunjukkan, bahwa ideologi Tri Hita Karana adalah gagasan atau ide yang menggariskan, bahwa kesejahteraan (Hita) hidup manusia, bergantung atau disebabkan (Karana) oleh sejauh mana manusia mampu mengembangkan hubungan harmonis dengan tiga (Tri) komponen, yakni Palemahan, Pawongan, dan Parhyangan. Palemahan berarti hubungan harmonis antara manusia dan lingkungan alam biofisik. Pawongan berarti hubungan harmonis antara manusia dan manusia. Parhyangan berarti hubungan harmonis antara manusia dan Tuhan, dewa-dewa, roh leluhur maupun roh orang suci. Karena itu, jika orang Bali mendirikan pura/pelinggih yang berlabelkan Mekah, begitu pula kegiatan ritual yang dilakukan pada pura tersebut, bisa dikembalikan kepada ideologi Tri Hita Karana, khususnya sila Parhyangan. Gagasan ini bertalian dengan kenyataan, bahwa mereka mendirikan pura/pelinggih dan melakukan ritual, terkait dengan niat menwujudkan hubungan harmonis dengan roh leluhur yang Islami atau untuk kasus Pura Negara Gambur Anglayang, mereka ingin mewujudkan hubungan haromis dengan Dewa Pedagang Islam.
Sila Pawongan tidak bisa diabaikan pada pura-pura tersebut. Gagasan ini berkaitan dengan adanya kenyataan, bahwa apa yang mereka lakukan terkait pula dengan usaha mewujudkan hubungan harmonis (pengembangan solidaritas sosial) antara manusia dan manusia. Pada pura keluarga, yakni Pura Delem Mekah, Pura Ratu Mekah, dan Pura Dadia Singaraja, hubungan harmonis atau pengembangan sosial, terkait dengan hubungan antara anggota keluarga dan atau antara keluarga yang satu keluarga yang lainnya. Gejala ini berkaitan dengan adanya kenyataan, bahwa pendukung pura keluarga tidak hanya perorangan, tetapi adalah keluarga-keluarga yang seketurunan dilihat dari garis kebapakan (purusa). Sedangkan untuk Pura Negara Gambur Anglayang, solidaritas sosial tidak saja antarwarga, tetapi juga antarklen, mengingat, bahwa klen-klen di Desa Pakraman Kubutambahan diserahi tanggung jawab sebagai pengemong utama untuk pelinggih-pelinggih inti pada Pura Negara Gambur Anglayang. Pendek kata, pura sebagai tempat suci, bisa pula mengemban missi Pawsongan, yakni mampu menumbuhkembangan solidaritas sosial atau hubungan harmonis antarwarga.
Ideologi lain adalah multikulturalisme, yakni ide atau gagasan yang mengakui keragaman budaya, bahasa, etnik, agama, kelas maupun kelompok sosial dan gender dalam konteks kesetaraan dan keadilan, disertai dengan kesediaan untuk bekomunikasi secara intens dalam suatu ruang guna mewujudkan kondisi masyarakat yang damai (Atmadja, 2008b). Multikulturalisme berlaku pada pura/pelinggih yang berlabel Mekah, terlihat pada fakta sebagai berikut. Pertama, keragaman agama, yakni Islam dan Hindu. Kedua, keragaman etnik, yakni Bali dan non-Bali - etnik Jawa pembawa Agama Islam. Ketiga, keragaman budaya, terkait dengan budaya Hindu dan budaya Islam. Keempat, keragaman jenis kelamin, terlihat pada pelinggih untuk dewa-dewi, Ratu Agung-Ratu Ayu, Ratu Gede-Ratu Ayu. Multikulturalisme lebih kompleks, terlihat pada Pura Negara Gambur Anglayang. Keragaman etnik tidak saja menyangkut Bali dan Jawa, tetapi juga Sunda, Melayu, dan Cina. Bahkan yang tidak kalah pentingnya, keragaman klen juga diberikan tempat, terlihat pada pemberian tanggung jawab yang sama pada klen-klen di Desa Pakraman Kubutambahan untuk berperan sebagai pengemong atas pelinggih utama pada Pura Negara Gambur Anglayang.
Walaupun dewa-dewi diberikan tempat yang seimbang dalam konteks pemujaan, namun dalam praktek ritual maupun sistem sosial, ideologi patriarki dan ideologi gender tetap berlaku. Pada pura keluarga yang berlabel Mekah, terkait dengan pemafaatan pura keluarga sebagai modal kultural bagi laki-laki untuk menundukkan istrinya. Gagasan ini sejalan dengan sistem kekerabatan yang berlaku pada masyarakat Bali, yakni kebapakan ka-purusa-an sehingga wanita yang menikah dengan laki-laki yang memiliki pura keluarga/pelinggih yang berlabel Mekah, secara otomatis ikut memujanya. Sebaliknya, hubungan wanita dengan pura keluarga orang tuanya terputus secara sekala (formal dalam administrasi desa) maupun niskala (pemutusan hubungan dengan pura keluarga maupun pura-pura lain di lingkungan desa pakraman melalui ritual).
Dalam kondisi seperti ini maka disadari maupun tidak disadari suami secara mudah bisa memakai pura keluarga sebagai modal untuk menguasai istrinya. Sebab, jika istri menolak, lalu memilih jalan cerai, maka kondisinya amat dilematis, mengingat, dia harus memutuskan diri secara sekala-niskala pada keluarga suaminya, lalu masuk lagi secara sekala-niskala pada keluarga orang tuanya. Ideologi gender sangat kentara pada sistem ritual, mengingat bahwa ritual di pura menyediakan pekerjaan khusus untuk laki-laki dan wanita. Ada kecenderungan pekerjaan wanita lebih banyak volumenya, mengingat bahwa ritual adalah kepanjangan dari sektor domestik – terkait dengan unsur penyiapan hidangan dan pelayanan atau persembahan.
Khusus untuk Pura Negara Gambur Anglayang, tersembunyi pula ideologi pasar. Dalam arti, pasar diakui sebagai medan sosial yang amat penting guna memenuhi kebutuhan hidup manusia. Gejala ini terlihat dari fungsi Pura Negara Gambur Anglayang sebagai Pura Pedagang atau Pura Pabean. Dalam konteks ini dewa-dewa yang terkait dengan perdagangan, diposisikan sebagai dewa utama, misalnya Ratu Agung Dalem Mekah (pedagang Islam), Ratu Agung Syahbandar (pedagang Cina), Ratu Agung Melayu (pedagang Melayu), dan Ratu Bagus Sundawan (pedagang Sunda). Bahkan yang tidak kalah pentingnya uang sebagai alat tukar dalam sistem ekonomi pasar mendapatkan penghormatan khusus, terlihat pada Pelinggih Ratu Gede Siwa Rambut Sedana (Dewa Uang). Walaupun ideologi pasar sudah berlaku, namun tidaklah sesempurna ideologi pasar yang berlaku pada sistem ekonomi kapitalisme global. Pasar yang ada, meminjam gagasan Damsir (2001) lebih bercorak pasar subsistensi.

3. Penutup
Berdasarkan paparan di atas maka dapat disimpulkan, bahwa kemunculan pura/pelinggih berlabel Mekah terkait dengan hubungan dagang dengan pedagang Muslim sehingga melahirkan pelinggih untuk memuja Dewa Pedagang Islam (Pura Negara Gambur Anglayang), kepemilikan leluhur yang Islami sehingga memunculkan kewajiban untuk memujanya dalam bentuk pura keluarga (Pura Dalem Mekah dan Pura Ratu Mekah), rasa bersalah atas pembunuhan orang Islam sehingga bisa memunculkan tradisi madewa jelma lewat pelinggih yang berlabel Mekah guna menghindarkan kutukan (Pura Keluarga Singaraja), dan semangat toleransi beragama sehingga orang Hindu dan Islam bisa saling bertukar kebudayaan (nama Mekah dan ide-ide yang ada di baliknya). Kesemuanya ini terkait pula dengan karakteristik Islam, yakni Islam sinkretik (pola Kejawen).
Struktur pura ada yang terdiri dari dua halaman (dwi mandala: jaba dan jeroan), dan ada pula yang terdiri dari tiga halaman (tri mandala: jaba, jaba tengah, dan jeroan). Kiblat pura adalah kaja (gunung) dan kangin (matahari terbit). Jeroan merupakan halaman sacral sehngga pada halaman ini terdapat aneka pelinggih yang bentuknya beragam, sesuai dengan fungsinya. Pura/ pelinggih yang berlabel Mekah bisa berfungsi sebagai pura keluarga dan bisa pula sebagai pura fungsional (pura pedagang, pura pabean). Pemakaian nama Mekah untuk pura keluarga memberikan petunjuk, bahwa roh leluhur yang dipuja sangat penting - bisa jadi sebagai cikal-bakal keluarga (Pura Dalem Mekah dan Pura Ratu Mekah). Sebaliknya, walaupun hanya dipakai sebagai nama pelinggih, namun posisinya tetap penting, mengingat bentuk pelinggih-nya adalah padmasana dan letaknya di bagian hulu (Pura Negara Gambur Anglayang).
Fungsi utama pura/pelinggih berlabel Mekah adalah terkait dengan fungsi religius. Fungsi ini tercermin pada penyelenggaraan sistem ritual, yakni ritual piodalan, ritual terkait dengan hari-hari raya agama Hindu, dan ritual kadangkala. Dalam ritual ini peserta ritual, tidak saja bertujuan mengembangkan hubungan harmonis dengan dewa-dewa dan roh leluhur, tetapi bisa pula mereka mengajukan doa petisi. Ritual dipimpin oleh pemimpin ritual yang disebut pemangku. Selain berfungsi religius, pura/pelinggih yang berlabel Mekah bisa pula berfungsi untuk mengembangan solidaritas sosial pada lingkungan keluarga (Pura Dalem Mekah dan Pura Ratu Mekah) dan solidaritas sosial pada lingkungan desa pakraman (Pura Negara Gambur Anglayang).
Di balik pura/pelinggih berlabel Mekah maupun sistem ritual yang menyertainya terdapat ideologi yang tersembunyi. Adapun ideologi yang dimaksud adalah ideolog Tri Hita Karana, Multikulturalisme, ideologi patriarki dan ideologi gender. Khusus untuk Pura Negara Gambur Anglayang terkait pula dengan ideologi pasar – pasar subsistensi.















DAFTAR PUSTAKA

Agger, B. 2003. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. (Nurhadi Penerjemah). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Agung, I A.A.G. 1989. Bali pada Abad XIX Perjuangan Rakyat dan Raja-raja Menentang Kolonialisme Belanda 1808-1908. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ali, S.A. 1978. Api Islam Sejarah Evolusi Islam dan Cita-cita Islam dengan Riwayat Hidup Nabi Muhammad S.A.W. Jakarta: Bulan Bintang.

Armstrong, K. 2001. Sejarah Tuhan Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 400 Tahun. (Zaimul Am Penerjemah). Bandung: Misan.

Atmadja, N.B. 1998. Memudarnya Demokrasi Desa: Pengelolaan Tanah Adat, Konversi, dan Implikasi Sosial dan Politik di Desa Adat Julah, Buleleng, Bali (Disertasi tidak diterbitkan pada Jurusan Antropologi, Program Pascasarjana Universiras Indonesia).

____________. 2006. Pemanfaatan Modal Budaya dan Modal Tubuh Menjadi Modal Ekonomi Berbentuk Hiburan Seks Melalui Rangsangan Mata Kasus Joged Bumbung Ngebor di Buleleng, Bali. Singaraja: Undiksha.

____________. 2008. Kearifan Lokal: Mendekatkan Kesenjangan antara Teks Ideal dan Teks Sosial Melaui Pikiran Menyintesis dan Multiperspektivisme. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra, Universitas Udayana).

____________. 2008a. Multikulturalisme dalam Pendidikan Agama Hindu. (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional, diselenggarakan oleh Institut Agama Hindu Negeri Denpasar).

Damsir. 2002. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Eiseman, F.B. 1988. Bali Sekala & Niskala Essays on Religion, Ritual, and Art. Singapore: Periplus Editiopns.

Geertz, C. 1981. Abangan, Priyayi dan Santri dalam Masyarakat Jawa. (Aswab Mahasin Penerjemah). Jakarta: Pustaka Jaya.

____________. 2000. Negara Teater. (Hartono Hadikusumo Penerjemah). Yogyakarta: Bentang Budaya.

Hoesin, O.A. 1981. Kultur Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Lapian, A.B. 2008. Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17. Jakarta: Komunikasi Bambu.

Lombard, D. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid 2. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

____________. 1996a Nusa Jawa: Silang Budaya Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris Jilid 3. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Lubis, A.Y. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonial, hingga Culture Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.

Mulkham, A.M. 2000. Syekh Siti Jenar Pergumulan Islam Jawa. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Munir, M. 2008. Aliran-aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer. Yogyakarta: Lima.

Purwadi dan D.D. Dwiyanto. 2006. Filsafat Jawa Ajaran Hidup yang Berlandaskan Nilai Kebijakan Tradisional. Yogyakarta: Panji Pustaka.

Ricklefs, M.C. 1995. Sejarah Indonesia Modern. (Dharmono Hardjowidjono Penerjemah). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sholikhin, K.H.M. 2008. Manunggaling Kawula-Gusti Filsafat Kemanunggalan Syekh Siti Jenar. Jakarta: PT Buku Kita.

Soebandi, Kt. 1981. Pura Kawitan/Padharman dan Penyungsungan Jagat. Denpasar: CV Gunung Agung.

Soebandi, Kt. 1983. Pembangunan Pura-pura di Bali. Denpasar: CV Kayu Mas Agung.

Soebadi, Kt. 1998. Pandita Sakti Wawu Rauh Asal-usul, Peninggalan, dan Keturunan Danghyang Nirartha. Denpasar: Manikgeni.

Tim Redaksi Bali Post. 2006. Sad Kahyangan Jagat. Denpasar: Pustaka Bali Post.

Tidak ada komentar: