Label

Adi Sanjaya

Adi Sanjaya

Selasa, 12 Oktober 2010

Awig-awig dalam Bingkai Hukum Nasional dan Globalisasi

Kebijakan kebudayaan yang digariskan dalam Undang-undang Otonomi Daerah lebih mengarah kepada pemberdayaan masyarakat lokal dalam segala aspeknya, termasuk bidang kebudayaan. Dalam kaitan ini kebudayaan lokal tidak lagi ditempatkan sebagai objek pembangunan, melainkan sebagai sumber daya bagi pembangunan yang harus dipedomani dan sekaligus diberdayakan, sehingga masyarakat lokal berkembang di atas basis kebudayaannya sendiri. Gagasan ini memperoleh sambutan positif dari berbagai etnik, namun apa yang mereka lakukan ternyata menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. Karena, pengembangan budaya yang mereka lakukan diwarnai oleh etnosentrisme, yakni kecenderungan memandang orang atau etnik lain dengan menggunakan ukuran kebudayaan etnik kita sendiri (Bennett, 1990). Kebudayaan sendiri biasanya dianggap paling baik, sedangkan kebudayaan orang lain adalah sebaliknya. Kehadiran orang lain di dalam wilayah budaya kita, acapkali dicurigai mengotori kebudayaan kita, apalagi kalau hal itu memang benar-benar terjadi, maka etnosentrisme bisa mengarah kepada xenophobia, yakni antipati terhadap etnik lainnya. Kasus inilah yang terjadi di Sambas maupun Sampit, di mana kehadiran etnik Madura dianggap mencemari ruang kultur mereka. Kemarahan orang Dayak menjadi bertambah hebat karena mereka dianggap pula merampas ruang ekonomi yang mereka miliki, sehingga mereka menjadi termarginalisasi (Matulada, 1999; Pelly, 1999; Alqadrie, 1999; Sudagung, 2001). Begitu pula ledakan kecil yang terjadi Bali, yakni kasus Kuta dan Benoa, di mana terjadi penertiban terhadap pendatang yang nyata-nyata dianggap mencemari kebudayaan Bali, karena mereka melakukan kegiatan sebagai pelacur, penghuni rumah kumuh, pencuri, pencopet, dll. Begitu pula pada setiap ujung jalan masuk ke suatu desa, banyak dijumpai papan pemberitahuan yang berbunyi: “Pemulung dilarang masuk!”. Hal ini merupakan pula reaksi budaya, dalam artian, orang Bali ingin mempertahankan ruang kulturnya secara baik, tanpa ada gangguan dari orang lain yang tidak jelas indentitas budayanya.
Etnosentrisme dengan berbagai perilaku yang menyertainya, memang merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat yang multibudaya. Namun, sebagaimana yang digariskan pada Undang-undang Otonomi Daerah, etnosentrisme tidak bisa dilepas begitu saja, melainkan harus tetap berada dalam bingkai nasionalisme, dalam artian, setiap daerah bisa mengembangkan ruang-ruang kulturnya secara baik, namun mereka harus tetap berada di bawah naungan NKRI, sebagaimana tercermin dari kewajiban mereka untuk mengakui dan memakai apa yang menjadi simbol-simbol nasional. Hal ini antara lain dapat ditunjukkan dalam UU/Otonomi Daerah, pasal 22, antara lain menyatakan bahwa DPRD berkewajiban mempertahankan dan memelihara keutuhan NKRI dan juga mengamalkan Pancasila dan UUD 45, serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini bermakna bahwa DPRD sebagai wakil rakyat, selain harus berorientasi kedaerahan, dia harus pula berorientasi kenasionalan, dalam artian, apa yang dilakukannya, misalnya dalam bentuk kegiatan merumuskan peraturan daerah, tidak boleh melanggar simbol-simbol nasional.
Dengan demikian, di era otonomi saat ini, pengembangan budaya lokal diberikan ruang gerak yang lebih leluasa. Hal ini merupakan titik balik dari apa yang berlangsung pada era Orde Baru. Pada saat itu, terjadi kebijakan kebudayaan yang sentralistik yang lebih menekankan pada nasionalisasi, sehingga ruang budaya lokal menjadi terbatas, bahkan tercemari. Namun saat ini, kebijakan kebudayaan yang diterapkan lebih mengarah kepada otonomi, dengan sasaran terbentuknya suatu keseimbangan antara nasionalisasi dan regionalisasi. Gagasan ini tidak semat-mata untuk menekan kemunculan perlawanan budaya yang dilakukan oleh etnik-etnik yang bernaung di dalam wadah NKRI, tetapi tidak bisa pula dilepaskan dari cita-cita untuk mewujudkan Indonesia Baru, yakni civil society, masyarakat sipil, masyarakat madani atau masyarakat kewarganegaraan (Kymlicka, Will. 2003; Darmaningtyas, 2002). Dalam masyarakat sipil ada dua hal yang amat ditekankan, yakni pertama, hak-hak sipil dan kedua, kebudayaan warga negara. Hak-hak sipil berhubungan dengan penghargaan dan penghormatan terhadap HAM, sedangkan kebudayaan warga berkaitan dengan suasana sesama warga saling berdialog, transparan, dan toleransi secara terus-menerus tanpa membedakan latar belakang yang tidak berhubungan dengan kepentingan-kepentingan pragmatis. Apabila keduanya berjalan secara baik, maka terbentuklah apa yang disebut masyarakat sipil (Sihaan, 2000).
Dalam rangka menetralisir dampak yang tidak diinginkan dari otonomi budaya, yakni over-etnosentrisme yang bisa melahirkan dominasi budaya atau bahkan konflik antaretnik, maka agama bisa memainkan peranan amat penting. Karena, agama tidak hanya memuat tata aturan atau kaidah-kaidah tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan – hubungan vertikal, tetapi juga tata aturan tentang hubungan antarmanusia – hubungan horizontal. Selain itu, agama memiliki otoritas normatif yang paling tinggi daripada norma-norma lainnya, sehingga daya dorong untuk melakukan suatu kebajikan, begitu pula daya tangkal untuk menanggulangi hal-hal yang tidak diinginkan dalam pengembangan budaya maupun hubungan antarbudaya dalam masyarakat majemuk menjadi sangat ampuh. Belum terhitung lagi adanya kenyataan bahwa agama terjalin luas dalam segala aspek kehidupan manusia, sehingga di segala aktivitas manusia agama bisa berfungsi sebagai bingkai moralnya (Kukla, 2000;Cavalro,2001). Sejalan dengan itu ada beberapa missi yang bisa dikembangkan oleh agama-agama yang hidup di Indonesia, antara lain:
Pandangan Baum (1999) missi utama agama yang harus dikembangkan adalah missi solidaritas antarumat beragama. Sebagai akibat dari dari adanya keheteroginan agama dan atau kesukubangsaan masyarakat Indonesia, adalah berupa fakta yang tidak dapat dipungkiri. Karena itulah, masuk akal prediksi Coward (1996) menyatakan bahwa kehidupan agama dunia di masa depan, bukan terletak pada dominasinya, tetapi pada sejauh mana agama mampu mentoleransi asas multikulturalisme atau pluralisme itu. Di Indonesia, secara tegas digariskan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika, pada pita Burung Garuda Pancasila yang bermakna bahwa integrasi nasional yang ingin ditegakkan adalah masyarakat yang berlandaskan keberagaman dalam bingkai ketunggalikaan (keindonesiaan).
Sehubungan dengan itu, agama-agama di Indonesia perlu menggali kaidah-kaidah fundamental yang bersifat koordinatif pada teks sucinya masing-masing untuk dijadikan landasan menumbuhkembangkan keyakinan, pikiran, dan perilaku yang menghargai perbedaan dalam kebersamaan (unity in diversity). Agama Hindu misalnya sangat menghargai perbedaan dengan ajaran tat twam asinya, memberikan landasan yang kokoh untuk menumbuhkan kesadaran hakiki tentang persamaan, perbedaan, dan persaudaraan universal. Gagasan serupa dengan ini pada agama lain perlu dilembagakan di kalangan umatnya masing-masing, sehingga agama tidak berbalik justru berfungsi sebagai faktor disintegrasi utama (Lay, 2001:xiv). Diharapkan agama bisa menumbuhkembangkan solidaritas lintasbudaya, lintasagama maupun lintasetnik.
Pencapaian solidaritas sosial lintasagama tidak hanya memerlukan penanaman nilai-nilai keagamaan yang menghargai kepluralistikan, tetapi memerlukan pula dialog antaragama secara kontinyu. Dialog menurut Mukti Ali dikutip oleh Sabri (1999: 168) menyatakan berupa pertemuan hati dan pikiran antarpemeluk agama. Dialog adalah komunikasi antara orang-orang yang percaya pada tingkat agama. Yang dapat menjadi jalan bersama untuk mencapai kebenaran dan kerjasama menyangkut kepentingan bersama. Ini merupakan pertemuan antarpemeluk agama, tanpa ada merasa tinggi-rendah, dan tujuan yang dirahasiakan, di antara mereka.
Dialog tidak selamanya hanya dapat diwujudkan dalam suatu pertemuan formal, melainkan dialog dapat pula dalam keseharian pada lingkungan dekat, pada tetangga, kawan sekampung, sedesa, sekerja. (Suseno, 2000). Dengan penanaman nilai-nilai positif bersumberkan pada agama, ditambah dialog antaragama, maka cita-cita mewujudkan warga berbudaya (civic culture) sebagai salah satu persyaratan terbentuknya masyarakat sipil, secara otomatis dapat terisi.
Pengembangan budaya, termasuk di dalamnya penanaman nilai-nilai solidaritas lintasagama maupun lintasetnik, harus disertai dengan missi emansipatoris. Dalam artian, agama tidak saja berkewajiban menanamkan nilai-nilai kemuliaan, tetapi sekaligus pula mampu membebaskan manusia dari kemiskinan budi. Karena kemiskinan budi yang merusak budaya yang berlangsung dalam suatu komunitas sosial.
Pembebasan manusia dari kemiskinan budi harus terus diusahakan, mengingat bahwa dalam Agama Hindu misalnya, dijelaskan bahwa di dalam diri manusia selalu terdapat Tri Guna, yakni sattwam, rajas dan tammas, sehingga manusia yang bersifat ketuhanan (sattwam), hewani (tammas), dan duniawi (rajas) (Zaehner, 1992; Mudiarcana, 1992). Begitu pula dalam agama Islam diajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki dua dimensi, yakni dimensi malakuti atau kemalaikatan dan dimensi hewani, sehingga manusia berkencenderungan berperilaku mulia atau sebaliknya (Mazhahiri, 2000). Sejalan dengan itu maka tugas agama adalah mengemansipasikan manusia dari sifat-sifat-sifat kebinatangan maupun kelobaan akan benda-benda keduniawian, sehingga yang muncul adalah sifat-sifat yang sattwam maupun kemalaikatan. Untuk itu, agama tidak saja harus berkemampuan mengkritik masyarakat, tetapi juga siap dikritik oleh masyarakat, sehingga fungsi agama sebagai pedoman hidup atau resep bertindak dalam kehidupan bermasyarakat, yang fungsional secara berkelanjutan. Kalau hal ini dapat diwujudkan, maka terlahirlah kebudayaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, sehingga masyarakat menjadi damai dan sejahtera.
Penanaman nilai-nilai kemanusiaan, termasuk di dalamnya nilai-nilai solidaritas tidak boleh berhenti hanya pada pembentukan etika pribadi, tetapi yang lebih penting harus menyentuh aspek etika sosial. Dalam artian, nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan oleh agama-agama, harus diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, tidak hanya ketika berhadapan dengan warga seetnik maupun seagama, tetapi juga berdimensi lintasetnik, lintasbudaya, maupun lintasagama. Pengamalan itu dilakukan dengan cara menyatukan pikiran, perkataan dan perbuatan (Trikaya Parisudha) di dalam kehidupan individu dan bermasyarakat. Dengan demikian, akan terbentuk keselarasan antara moralitas pribadi dengan etika sosial. Hal ini amat penting, mengingat manusia tidak hanya semata-mata sebagai makhluk individual, tetapi juga sebagai makhluk sosial. Dengan demikian, maka sasaran pendidikan etika, moral, budipekerti, dan agama baik di sekolah, masyarakat maupun lembaga-lembaga lainnya, tidak cukup hanya untuk menghasilkan manusia yang memiliki nilai-nilai moralitas dan etika pribadi, tetapi yang terpenting memiliki nilai-nilai etika dan kepekaan sosial kemasyarakatan.
Perubahan kebudayaan lokal, nasional juga dipengaruhi oleh arus global melalui arus teknologi, dan harus teknologi informatika yang melintas tapal batas (borderless state). Dengan demikian kampung global tidak dapat dipungkiri lagi. Usaha untuk kembali ke masa lalu (gerakan fundamentalis) akan menjadi mimpi belaka, dan akan menjadi faktor pemicu paling cepat munculnya perubahan kebudayaan dan peradaban manusia di muka dumi ini (Atmadja, 2007).

Daftar Pustaka

Alqadrie, 1999. “Konflik Etnis di Ambon dan Sambas: Suatu Tinjauan Sosiologis”. Jurnal Antroplogi Indonesia, XXIII, No. 58. Halaman 36-55.

Atmadja, I Nengah Bawa. 2007. “Mengurai Benang Kusut Pilkada Buleleng: Mencari Solusi Agar Buleleng Damai”, Makalah. Disampaikan dalam Diskusi Panel yang diselenggarakan oleh Koalisi LSM Peduli Buleleng bekerja sama dengan Bali TV diselenggarakan di Singaraja, Sabtu 12 Mei 2007.

Baum, G. 1999. Agama dalam Bayang-bayang Relativisme Sebuah Analisis Sosiologis Pengetahuan Karl Manheim tentang Sistesa Kebenaran Historis – Normatif. (A.M. Chaeri Penerjemah).

Cavalaro, Dani. 1940. Critical and Cultural Theory: Teori Kritis dan Teori Budaya. Niagara: Yogyakarta.

Darmaningtyas, dan J. Sumardiana. 2002. “Pendidikan Memang Multikultural”, dalam Pendidikan Memang Multikultural Beberapa Gagasan (Aryo Danusiri dan Wasmi Alhaziri,ed.). S E T dan Ragam: Jakarta.
Lay, Cornolis. 2001. “Nasionalisme Etnisitas: Sebuah Pengantar”, dalam Nasionalism Etnisitas: Pertaruhan Sebuah Wacana Kebangsaan. Dian/Interfidei: Jakarta.

Kukla, Andre. 2003. Kontruktivisme Sosial dan Filsafat Ilmu. Hari Kusharyanto (penerjemah). Jendela: Yogyakarta.

Kymlicka, Will. 2003. Kewarganegaraan Multikultural. F. Budi Hardiman (penerjemah). LP3ES: Jakarta.

Matulada, 1999. H.A. “Kesukubangsaan dan Negara Kebangsaan di Indonesia: Prospek Budaya Politik Abad ke-21”. Jurnal Antroplogi Indonesia, XXIII, No. 58. Halaman 5-12.

Pelly, U. 1999. “Akar Kerusuhan Etnis di Indonesia”. Jurnal Antroplogi Indonesia, XXIII, No. 58. Halaman 27-35.

Sabri, M. 1999. Keberagamaan yang Saling Menyapa Perspektif Filsafat Perenial. Yogyakarta: Ittaqa Press.

Sihaan, H. 2000. “Warga Negara dan Hegemoni Negara”. Dalam Mohammad Nastain (ed.) Fiqih Kewarganegaraan Intervensi Agama-agama Terhadap Masyarakat Sipil. Jakarta: PB-PMII.

Sudagung, H.S. 2001. Mengurai Pertikaian Etnis Migrasi Swakarsa Etnis Madura ke Kalimantan Barat. Yogyakarta: Institut Studi Arus Informasi.

Suseno, Franz Magnis. 1992. Filsafat Kebudayaan Politik: Butir-butir Pemikiran Kritis. Jakarta: Gramedia.

Zaehner, R.C. 1992. Kebijakan dari Timur Beberapa Aspek Pemikiran Hindu. (A. Sudiarja Penerjemah). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar: