Label

Adi Sanjaya

Adi Sanjaya

Selasa, 12 Oktober 2010

Konflik dan Integrasi: Manajemen Konflik Pada Masyarakat

Konflik dan integrasi merupakan dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan dalam masyarakat, dua teori besar ini telah menjadi teori klasik dalam ilmu sosial, yang lazim pula dikenal dengan structural functional theory and conflict theory (lihat Zamroni, 1988:25; Mirsel, 2004:119).
Teori struktural fungsional (integration approach, order approach, equilibrium approach), keutuhan masyarakat terjaga oleh semacam mekanisme sosial, yaitu mekanisme semacam sosialisasi dan kontrol sosial. Prinsip dasar teori klasik ini dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Herbert Spencer, Emile Durkheim, Bronislow Malinowski, Redcliffe Brown (antropologi), serta puncaknya dalam karya sosiologi dikembangkan oleh Talcott Parson (Nasikun, 1995: 11). Adapun paradigma dasar teori ini adalah (1) masyarakat sebagai sistem bagian yang saling berhubungan, (2) hubungan antarbagian itu bersifat timbal-balik, (3) integrasi sosial tidak akan pernah tercapai dengan sempurna, namun sistem sosial cendrung menuju arah keseimbangan (equilibrium) dinamis, (4) disfungsi, ketegangan, distorsi dan konflik selalu bisa terjadi, namun dalam perjalanan waktu integrasi dapat terjadi melalui institusionalisasi sosial, adaptasi, resolusi konflik dan sebagainya, (5) perubahan sistem sosial terjadi secara gradual, melalui penyesuaian, adaptasi dan tidak terjadi perubahan secara drastis. Sedangkan bangunan dasarnya tidak berubah secara signifikan, (6) tiga faktor peubah diantaranya (a) penyesuaian oleh sistem sosial karena pengaruh luar, (b) adanya diferensiasi struktural dan fungsional, (c) penemuan baru. (7) Kekuatan penting yang mengintegrasikan suatu sistem sosial adalah konsensus anggota sistem dalam menyesuaikan diri dengan nilai-nilai baru, kebenaran mutlak dalam mestabilkan sistem sosial-budayanya sendiri (disarikan dari Nasikun, 1995:12)
Di penghujung abad XX, kolonial Belanda menggerakkan masyarakat Indonesia melalui westernisasi terjadi pemaksaan dominasi sistem budaya barat di Indonesia, sistem pendidikan barat di gelar. Perubahan jiwa jaman menembus sendi-sendi kehidupan masyarakat yang paling dasar. Sehingga merasuk sifat komersialisasi, industrialisasi, penguasaan teknologi komunikasi, transportasi, dan diwarnai oleh sistem teknokrasi birokrasi barat (lihat Suryo, 1991; Hardono, 1999:1). Hal ini menyebabkan terjadinya pergeseran nilai-nilai tradisional menuju modernisasi, dan setelah jaman reformasi ada tanda-tanda post modernisme, yaitu terjadi gerakan mempertanyakan lagi berbagai sistem yang telah dilaksanakan secara mapan. Sendi nilai dasar dalam kehidupan masyarakat seperti kekeluargaan, gotong royong, rasa bhakti dan kesetiakawanan sosial dalam berbagai bentuknya makin memudar (Smith, 2002:26; Burger,1971). Perubahan paradigma masyarakat yang berorientasi pada nilai ekonomi pasar dan adanya pergeseran-pergeseran nilai itu, banyak memunculkan konflik nilai pada masyarakat.
Teknologi telah mengubah pikiran manusia, bahkan pandangan dunianya, budaya teknologis (newtownian) tidak ramah lingkungan dan peradaban lokal, memunculkan konflik-konflik keruangan di mana-mana. Manusia secara mental, pelan tetapi pasti diperbudak oleh alat/teknologi itu sendiri (Jacob, 1988). Perubahan nilai budaya dari keseimbangan ekologis (georelegio-magis) ke mekanistik yang sangat berpengaruh terhadap pertahanan jati diri manusia (Capra, 2000:1). Sartono Kartodirdjo (1999) menyebut dampak negatif industrialisasi dan teknologi perlu diwaspadai agar identitas lokal akarnya tidak tercabuti, bahkan diharapkan tetap menjadi unsur pokok dalam mengembangkan kepribadian bangsa di masa depan (Kartodirdjo,1999). Dalam konteks inilah pentingnya pemahaman konflik secara baik agar dapat dipergunakan mengubah konflik baik internal maupun eksternal menjadi tenaga untuk berkompetisi secara positif.
Masyarakat Indonesia sedang mengalami pelbagai diskontinuitas tatanan nilai, psiko-morfik, prilaku sosial, sosial-ekonomi, politik, kultural, dan sebagainya. Pendidikan nilai awig-awig berupa pengalaman kolektif warga, diharapkan dapat berfungsi sebagai ordinat ceruk sosial (social niche) yang muncul pada masyarakat penggunanya. Jiwa jaman dan ikatan budaya jaman (nasionalisme) sering dipahami hanya menjadi tanggung jawab

pemerintah, bahkan diberikan tanggungjawab utama untuk menunjukkan arah perubahan masyarakat. Namun secara faktual pemerintah tidak selalu dapat mengatasi permasalahan bangsa yang sedang suram dan kalap, bahkan hukum adat terkadang memiliki peran yang sangat fungsional. Dehumanisasi itu, gagal ditangkal dengan nasionalisme tingkat tinggi, ideologi tingkat tinggi, bahkan dengan senjata apipun jua (Widja, 1989, 2002), yang didominasi dengan kekuasaan formal negara atau perpanjangan tangannya (cf. Sugiono,1999:31;Bocock, 2007:34).
Masyarakat multietnik selalu terlibat dalam proses sosial, antara lain bisa berbentuk integrasi dan atau konflik. Konflik dan integrasi merupakan bagian integral dari masyarakat multietnik. Secara ideal mereka menghendaki integrasi, sedangkan di pihak lain konflik dalam perspektif struktural-fungsional tidak dapat dihindari, namun sering konflik dianggap sebagai patologi sosial, padahal jika dikelola dengan baik bisa menjadi kekuatan pembangunan bangsa (lihat Atmadja,2000; Miall et al., 2000).
Sangat menarik pembahasan mengenai masalah integrasi atau konflik yang disampaikan Abdulla (1985), tertama terkait dengan kondisi objektif bangsa Indonesia yang berbhinekatunggalika. Bagaimanapun juga Indonesia sebagai negara sangat ringkih terdap prokokasi negara asing. Sosi-kultural daerah-regional-internasional, sekarang tidak dapat dibendung lagi dengan tembok perbatasan, dengan tidak boleh ke luar rumah dan sebagainya adalah sebuah keinginan yang akhirnya mengecewakan. Kesadaran betapa beratnya membina persatuan dan kesatuan dalam kondisi pengaruh luar yang sangat kuat menerpa Bali, Indonesia dari elektronik (HP, face book, e-mail dan sebagainya) seolah-olah dunia ini telah menuju pendangkalan kehidupan dan semuanya dirasa serba mudah dan serba instan, padahal itu semua dapat berjalan kalau ada teknologi dan di situ butuh dana, dan sarana prasarana lainnya.
Kemampuan melawan tantangan masa depan yang serba berubah cepat itu, nampaknya dibutuhkan sekselerasi pemahaman warga terhadap berbagai kemungkinan di masa depan. Dapat dibayangkan betapa sulit hidup jika ada anggota masyarakat yang masa penuh tantangan itu tidak bisa membaca dan menulis.
Indonesia masih bisa menahan gejolak dan meredam berbagai khasus disintegrasi (seperti Gerakan Aceh Medeka, OPM di Maluku dan sebagainya. Bangsa Indonesia lebih banyak meniru barat dibandingkan dengan menggali kekutannya dalam pembangunan. Kita masih bermental metapi (James Scoots).dalam bukunya berjudul “… Moral Ekonomi Petani digambarkan sangat cocok bagi bangsa Indonesia atau orang Bali’. Karena orang Bali contohnya memiliki budaya yang sangat konpleks terutama sangat dinamis dan perkembangannya sangat pesat, terutama dalam pemukiman kumuh. Integrasi maupun konflik dalam masyarakat multietnik perlu diperhatikan secara serius dan didanai. Tidak cukup hanya dipanggil ke jakarta, apalagi di Bali yang dihadirkan ke Jakarta, hanya guru dan pengawasnya, bahkan ada dugaan sebagai negosiasi dan promosi politik terkait dengan perelatan politik untuk mau dipilih dan diajak orang lain untuk memilihnya
Pandangan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan politik merupakan tanda-tanda zaman, kita akan kehilangan banyak hal yang berhubungan dengan keamanan kehidupan “sektarian pada zaman Bali kuno”.1 Kekerasan dan persaingan tidak sehat dapat terjadi, bahkan satu dengan yang lainnya saling menjatuhkan.
Penyelesaian konflik umunya mengambil bentuk penciptaan katup pengaman, mengisolasi kelompok kepentingan, transformasi konflik, dominasi dan hegemoni, negosiasi, mediasi, memecahkan masalah bersama, dan berbentuk rekonsiliasi (Miall et al., 2000; Atmadja, 2002). Usaha apapun yang dipergunakan untuk mengurung kemajemukan Indonesia, entah dilakukan oleh Soekarno dengan nasionalisme, atau negara Islam, negara komunis, dan Soeharto dengan ideologi tingkat tingginya, akan menimbulkan bencana, karena Indonesia terdiri dari banyak suku, dan masih bergulat dengan simbol-simbol tradisional (Geertz,1999:52). Pada jaman Orde Baru penanganan konflik lebih banyak bersifat hegomoni dan dominasi negara dan kekuasaan dengan ideologi tinggi, sehingga tidak dapat memuaskan pihak yang berkonflik. Dengan demikian warisan permasalahan jaman Orde Baru sekarang bagaikan “tumpukan gunung es yang baru mencair” (Tjondronegoro,1999; Wiradi, 1984:286) yang mengakibatkan terjadinya “banjir bantang” (belabar agung) yang berupa gejolak reformasi yang sumber dan arahnya mulai tidak jelas.
Hasil penelitian terbaru terhadap berbagai konflik yang terjadi di berbagai belahan bumi ini, ditemukan trend konflik internasional terakhir, ternyata bukan konflik antarnegara atau sosial-internasional yang terjadi, tetapi lebih merefleksikan melemahnya struktur negara, runtuhnya kedaulatan dan ikatan lokal (local genius) dalam sistem negara bangsa. Sumbangan eksternal terhadap konflik berskala lokal dapat dilihat dalam banyak kasus keterlibatan institusi internasional sepertinya Perserikatan Bangsa Bangsa terkesan sangat berlebihan. Sumbangannya bukan mencarikan solusi terbaik, tetapi terkadang lebih memicu konflik menjadi lebih meluas dan atau menginternasional (Miall et al., 2000:49; Faruk, 2001).
Pendorong integrasi berupa pandangan hidup koordinatif/Pancasila), awig-awig, budaya agama fundamental, kondisi sosio-demografik, pertukaran budaya, budaya saling komplenter, dan sebagainya. Hubungan antar etnik, agama, budaya dan kelompok masyarakat termasuk banjar adat di dalamnya, dapat menimbulkan integrasi atau disintegrasi. Jika integrai model yang muncul adalah akomudasi, toleransi, kooperatif, terjadi peminjaman budaya selektif, sedangkan jika konflik yang muncul maka akan terjadi permusuhan (konflik) terbuka, laten, kalau sampai kebuntuan akan meledak menjadi konflik terbuka. Di sinilah dibutuhkan managemen konflik menggunakan kearifan lokal berupa kebersamaan, kepentingan, harmonisasi perbedaan, transpormasi konflik agar menjadi produktif, negosiasi dan sebagainya. Sifat penyelesaiaannya bisa demokratis, atau dominatif dan sebagainya.
Konsensus nasional yang perlu digaris bawahi sebagai dasar resolusi konflik dapat dijadikan gambaran dalam menangi konflik di masyarkat kita yang Bhineka Tunggal Ika. Pembukaan UUD ‘45, founding father negara Indonesia memberikan kerangka dasar kehidupan berbangsa, dan bernegara. Secara garis besar dapat disebutkan ada beberapa consensus gentium yang perlu diaktualisasi sebagai kesepakatan dasar, yaitu: kemerdekaan, kesatuan bangsa, negara nasional, keadilan sosial, kedaulatan rakyat, negara hukum, dan kesetiakawanan internasional (Suseno, 1992:146).
Nusantara ini telah beberapa kali jatuh-bangun dan terjadi penggantian bentuk negara dan ideologi, yaitu: dari jaman Sriwijaya, Mojopahit, kerajaan Islam, jaman kolonial, dan Republik, tetapi sebagai bangsa yang perlu hidup di muka bumi ini, akan tetap saja menggunakan kawasan Nusantara-Asia Tenggara sebagai lebensrum-nya. Kawasan Asia Tenggara, tidak bedanya dengan aliran sungai yang tersumbat di sana-sini, oleh tanggul (sistem negara nasional) sehingga aliran airnya mengalami perubahan arah, sementara sambil menunggu tanggul-tanggul itu bobol satu per satu atau bersama semuanya, sementara kepentingan luar menikmati kondisi ini dengan menanamkan pelbagai kepentingannya. Akankah Indonesia (salah satu tanggulnya) bahkan terbesar di Asia Tenggara dalam waktu dekat akan bobol, tidak dapat dipastikan, karena hal itu adalah rahasia sejarah (lihat Dick, 1997; Pageh, 1998). Demikian juga melihat sejarah Singaraja sebagai bekas kota Keresidenan Bali dan Lombok sejak 1888 sampai tahun 1942 banyak memberikan pelajaran pada Desa Pakraman Buleleng, yang sistem sosialnya telah dibangun sejak kepemimpinan I Gusti NgurahPanji Sakti (an history as actuality).
Lahirnya Negara Indonesia dalam wacana sidang-sidang BPUPKI dan PPKI selama tiga bulan, aliran-aliran pemikiran diwarnai oleh semangat nasionalisme dan demokrasi yang relegius. Hatta dan Drijarkara—secara konseptual dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu: sila pertama dan kedua sebagai landasan moral dari Republik yang akan didirikan; dan sila ketiga sampai kelima sebagai landasan politik. Usaha untuk memerdekakan diri di dalam wilayah RI dari Sabang sampai Merauke, jelas melanggar semangat pendiri negara. Piagam Jakarta yang disusun oleh Panitia Sembilan di bawah pimpinan Soekarno, ada anak kalimat “… dengan kewajiban menjalankan syarikat Islam bagi pemeluknya”, penghapusannya sangat mudah karena adanya jiwa kebersamaan tanpa membedakan agama dan suku, dan tidak ada
alasan di alam demokratis yang multietnik untuk memaksakan kehendak dalam urusan agama yang dianut oleh warga negaranya (lihat Kuntowijoyo, 1991; Bahar, 1996:18; Robison, 1990). Dalam pendidikan nilai, pengembangan pendekatakan cross cultural, serta inter dan antaretnik, merupakan kebutuhan mendesak untuk mengaktualisasikan nilai-nilai “e pluribus unum” (model USA) dan Bhineka Tunggal Ika ala Indonesia (Al-Rasyid, 2002:161; Anderson, 2002:8).
Bersatunya pluralisme etnik itu didasari oleh rasa senasib dan sepenanggungan, yang merupakan reaksi dari penjajah Belanda (lihat Hobsbawm,1992; Kartodirdjo,1999). Reaksi itu memunculkan kesepakatan untuk memproklamasikan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 (Abdulgani,1962), di wilayah “bekas jajahan Hindia Belanda di Indonesia”. Proklamasi merupakan titik kulminasi perjuangan pergerakan kebangsaan Indonesia dalam mengatasi kesukuan, kedaerahan, dan penetrasi asing. Peristiwa heroik itu memunculkan tokoh-tokoh nasional yang disebut pahlawan dan ada sekaligus dianggap penghianat oleh generasi kemudian. Dalam konteks kepahlawanan dan nasionalisme, terlepas pahlawan yang bertumbuh atau karena diciptakan, kata orang bijak “bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai jasa para pahlawannya; atau mau dan mampu belajar dari sejarah”. Hal ini tentu merupakan wujud dari nasionalisme Indonesia, yang kini ada dalam persimpangan antara kekuatan etnosentrisme dan kekuatan pengaruh globalisasi (Faruk, 2001; Sukadi 2002). Nasionalisme kita perlu diopeni dan ditata kembali sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman. Penulis yakin tidak satupun warga negara Indonesia ingin menghianati Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi terjadinya tanda-tanda penyapihan di berbagai daerah, tidak lebih hanya sebuah reaksi dari ketidakadilan politik, ekonomi, dan sosial daerah dengan pusat (Steger,2005:73; . Jika kita dapat memahami dengan baik maka konflik-konflik adat yang terjadi dalam skala lokal dapat bercermin dari sejarah pendirian NKRI di masa lalu.


DAFTAR PUSTAKA

Abdulgani, H. Roeslan. 1962. Resapkan dan Amalkan: Pancasila. Prapantja, Jakarta.

Abdullah, Taufik.1985. National Integration and Social Sciences. Jakarta: T2ES.

Al-Rasid, Harun. 2002. “Negara Kesatuan versus Federal: Mencari Bentuk Ideal Negara Indonesia di Masa Depan”, dalam Kontroversi Negara Federal: Mmencai Bentuk Negara Ideal Indonesia Masa Depan. Ikrar Nusa Bhakti dan Riza Sihbudi (pen.) Jakarta: Mizan.

Anderson, Benedict. 2002. Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang. Omi Intan Naomi (penerjemah). INSIST: Yogyakarta.

Atmadja, I Nengah Bawa. “Integrasi, Konflik dan Manajemen Konflik Desa Multietnik”, Kertas Kerja, pada Jurusan Sejarah IKIP Negeri Singaraja, 2002.

Berger, Peter L. (et al.). The Other Side of God: Sisi Lain Tuhan. Ruslani (penerjemah). Qalam: Yogyakarta.
Bocock, Robert. 2007. Pengantar Konprehensif Untuk Memahami Hegemoni. Ikramullah Mayuddin (penerjemah). Jalasutra: Yogyakarta.

Capra, F. 2000. Titik Balik Peradaban Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. (Penerjemah M. Thoyibi). Yogyakarta: Bentang Budaya.

Faruk. 2001. “Globalisasi, Reimajinasi, Deimajinasi: Sosial Negara Bangsa dan Kita”, dalam Nasionalisme-Etnisitas: Pertaruhan Sebuah Wacana Kebangsaan. Jakarta: Seri Dian VII Tahun VIII, 2001.

Geertz, C. 1999. Kebudayaan dan Agama. Budisantoso (Sekapur Sirih). Kanisius: Yogyakarta.

Hobsbawm, E.J.. 1992. Nasionalisme Menjelang Abad XXI. Hartian Silawati (penerjemah). Tiara Wacana: Jogjakarta.

Jacop. T. 1988. Manusia Ilmu dan Teknologi. Yogyakarta:Tiara Wacana.
Kartodirdjo,Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Gramedia: Jakarta.

Kuntowijoyo. 1991. “Desa dalam Perspektif Perubahan Sosial”. Dalam Dadang Juliantara ed., Menggeser Pembangunan Memperkuat Rakyat Emansipasi dan Demokratisasi dari Desa. Yogyakarta: Lapera. Halaman 107-116.

Mial Hugh, et al., 2000. Resolusi Konflik Kontenporer: Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola, dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras. Tri Budhi Sastrio (pen.). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Mirsel, Robert. 2004. Teori Pergerakan Sosial. Resist: Jogjakarta.

Nasikun. 1992. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Ralawali Pers.

Smith, Anthny D. 2002. Nasionalisme, Teori, Ideologi, Sejarah. Erlangga: Jakarta.
Steger, Manfred B. Globalisasi Bangkitnya Ideologi Pasar. Heru Prasatya. Lafadl: Yogyakarta.

Sugiono, Muhadi. 1999. Kritik Antonio Geamsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Cholish (penerjemah). Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Sukadi. 2002. “Nasionalisme: di Antara Gelombang Etnisitas dan Globalisasi (Tantangan dan Peluang bagi Pendidikan dan Demokrasi di Indonesia”, Makalah, Seminar 24 Mei 2002 di Jurusan PPKn IKIP Negeri Singaraja.

Widja, Gde, dkk. 1989. ”Ritus Kehidupan Masyarakat Julah Buleleng”. STKIP Buleleng., Singaraja.

Widja, I Gde. 2002. Menuju Wajah Baru Pendidikan Sejarah. Yogyakarta: Lepra Pustaka Utama

Tidak ada komentar: