Label

Adi Sanjaya

Adi Sanjaya

Selasa, 12 Oktober 2010

Desa Pakraman/ Desa Adat Di Bali dalam Bingkai Ideologi Tri Hita Karana

Oleh: Adi Sanjaya

Lembaga desa adat adalah suatu lembaga hukum adat yang setelah tahun 2003 diubah namanya menjadi Desa Pakraman. Desa Pakraman adalah sebuah kesatuan dari sekumpulan orang, wilayah dan sistem sosial-budaya yang hidup bersama berazaskan pandangan hidup (Tri Hita Karana), cara hidup (adat istiadat, sistem kontrol (hukum adat), dan sistem kepercayaan (agama) yang dimilikinya (Windia, 2006:13; lihat pula Tjondronegoro, 1999:113).
Susunan Desa Pakraman di Bali dapat dibagi beberapa kategori: (1) Desa Pakraman/Adat yang terdiri dari satu Banjar Adat. (2) Satu Desa Pakraman satu Banjar Adat juga. (3) Satu Desa Pakraman terdiri dari satu atau lebih Banjar Dinas. (4) Satu Keperbekelan/Kelurahan terdiri dari beberapa Desa Pakraman, atau satu perbekel satu Desa Pakraman (Dharmayuda, 1995:39).
Awig-awig adalah hukum adat yang berlaku pada wilayah Desa Pakraman/Adat di Bali/Lombok, di Indonesia ada sekitar 18 Daerah Hukum Adat seperti yang dijelaskan oleh C. Van Vollenhoven (1981:41). Di Bali ideologi Tri Hita Karana melandasi berlakunya hukum adat di Bali, bahkan menjadi jati diri budaya Bali, yang membedakan dengan budaya lainnya. Tri (tiga)- Hita (kebahagiaan)- Karana (penyebab) keseluruhannya berarti tiga menyebab kebahagiaan (three couses of goodness).
Wujud Budaya, dan Culture Universal berlaku sama, dengan sistem budaya daerah lain. Tetapi sistem nilai yang menjiwai kebudayaan Bali adalah filsafat/konsep harmonis, yaitu harmonis dalam hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia-dengan manusia, dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Keseimbangan/harmonis (equilibrium) adalah budaya yang diutamakan (Turner, 1978:139). Pergulatan konflik yang ada, karena secara teori konflik adalah bagian dari struktural fungsional sistem sosio-budaya di masyarakat diresolusi ke dalam diri manusia (internal), dan pada Tuhan Yang Maha Adil dan Bijaksana (eksternal). Dengan demikian konflik yang terjadi antarmanusia (antarkrama) diresolusi ke luar manusia (internal dan eksternal/ him self and causa prima) (Berger, 2005:71). Awig-awig adalah kontrol sosial bersanksi, berguna memberikan sepat-siku-siku pada masyarakat tradisional, kebermaknaannya dapat dikatakan setara dengan hukum positif, karena dapat saling melengkapi adanya. Walaupun dalam struktur hukum di Indonesia, kedudukan hukum adat merupakan substitusi dari hukum nasional. Hal ini dapat dilihat dari keberlakuan awig-awig sebagai perangkat hukum adat, yang baru dapat mengikat warganya jika telah disahkan secara formal melalui hukum/legitimasi formal pemerintah daerah setempat. Desa Pakraman di Bali memiliki landasan yang sangat kuat, yang diatur dalam hukum adatnya, dan bahkan menjadi wahana pengembangan Tri Hita Karana, bukan hanya landasan (where) saja bagi masyarakat Bali, dengan demikian budaya menjadi dapat ruang dan pengembangan untuk mentransformasi diri dalam perjalanan waktu (sejarahnya) (Artadi, 1987:68; Sutha, 1993;317). Ideologi Tri Hita Karana pada dasarnya adalah suatu sistem panutan yang dijadikan pedoman oleh masyarakat Bali, maka dari itu THK itu sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Bali. Sebab THK yang berupa kumpulan ide-ide, yang berkaitan dengan tiga dimensi secara konpleks dapat terwujud dalam kenyataan sosial secara totalitas dan berupa satu kesatuan.

(1) Parhyangan: Wujud fisiknya berupa pura (tempat suci) untuk pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, diwujudkan dalam dewa-dewa baik universal maupun dewa lokal. Hal ini memberikan kesan banyak Dewa (Dewa akar katanya Sinar dari penulis). Struktur di bawahnya ada Batara (pelindung) yaitu perwujudan makhluk halus yang berupa dewa-dewa lokal sesuai dengan fungsi yang dipujanya. Sering digandengkan sesuai dengan tradisi lokal sehingga muncul dewa batara, bahkan digenderkan yaitu sakti dengan dewanya yaitu dewa-dewi, betara-betari, dan sebagainya. Dewa banyak sebagaimana sinar matahari dibias dengan prisma bias yang dapat memunculkan divergen sinar (bayangkan sinar pelangi, me-ji-ku-hi-bi-ni-u,(h) hitam ), belum warna lain yang secara misteri bias muncul lagi. Inilah logika beragama masyarakat Bali dalam memberikan tafsir dengan local genius-nya.
Walaupun demikian banyaknya dewa, hanya ada tiga yang paling penting (setelah munculnya aliran Trimurti), yaitu: Brahma, Wisnu dan Siwa. Tiga dewa ini diwujudkan dalam Pura Kahyangan Tiga yang mengikat warganya menjadi satu kesatuan dengan tiga manifestasi Tuhan. Dewa utama ini dipandang sebagai dasarnya, dalam sebuah wilayah disebut Desa Adat yang kemudian disebut Desa Pakraman. Ketiga pura itu disebut pula Tri Kahyangan. Covarrubias menyebutnya sebagai berikut:
… (a) the civil temple where the main celebrations are held and where the Bale Agung is located; (b) the temple of origin (“the nevel”), the ancient sherine of the ealier days of the community, dedicated to the symbolical patriach- founder of the village; and (c) the temple of dead, out in the cemetery (1972:58).

Di samping tiga dewa (Trimurti) dengan puranya menjadi inti desa adat, ada pura-pura lain lagi sebagaimana perlindungan Beliau tetap diharapkan dalam berbagai segi kehidupan yang beresiko untung dan rugi, sehat dan sakit, mati dan hidup. Pura Subak (pertanian), Pura Melanting (pura dagang), Pura Rareangon (peternak), Pura Braban (pura seni) dan sebagainya. Bahkan kemudian masuk ke keluarga, sehingga masing-masing keluarga memiliki Merajan (rumah dewa keluarga).
Semua keajegan demi kelanggengan struktur sosial dan sistem sosial-budaya yang telah dibangun oleh masyarakat pendukungnya disosialisasikan, dilembagakan, melalui tradisi, dresta, kebiasaan, konvensi, dan awig-awig (hukum adat) baik tertulis maupun tidak tertulis. Gunung dan Matahari adalah orientasi pemujaan desa, baik gunung yang dekat dengan kediamannya maupun jauh dari daerahnya. Pemuliaannya itu diwujudkan dengan bangunan-bangunan suci (penyawangan) baik dengan bangunan sederhana, maupun bangunan permanen. Di sinilah peranan awig-awig sangat sentral dalam mengatur ketertiban masyarakat adat di Bali.

(2) Pawongan, umumnya disebut krama (wong sama dengan manusia) baik sebagai individu maupun kelompok sosial. Mereka membentuk kesatuan komunitas disebut Pakraman. Dalam Pakraman itu muncul berbagai ikatan sosial-budaya seperti tempek (berdasarkan bagian lokasi desa Pakraman) seperti tempek kaja, kelod, pondok, kangin, kauh dan sebagainya. Sekaha (kelompok organisasi tradisional), sekaha semal, sekaha jurang, sekaha kopi, sekaha genjek, sekaha gong, sekaha janger, barong, angklung, sekaha manyi, numbeg, sekaha demen dan sebagainya. Di dalamnya ada prajuru adat yang bertugas mengurus berbagai kelompok, dan kegiatan di Desa Pakraman bersangkutan (Raka, 1955:21). Terjadi dualisme kepemimpinan antara desa adat dengan desa dinas, tetapi dapat berjalan secara harmonis, sebagai wujud penerimaan desa adat ada di bawa naungan NKRI. Desa dinas menggunakan UU/Peraturan Pemerintah sebagai landasan operasionalnya, sedangkan desa adat menggunakan aturan main dibuat sendiri.
Aturan main bersama dibuat, disebut awig-awig (kesepakatan) bersama yang mengaturnya apakah ada sanksi uang (denda), sanksi sosial (kasepekang, kepahing) dan tidak diberikan menanam mayat di setra adat, sembahyang ke kahyangan tiga dan sebagainya. Muncul pula gotong-royong dalam berbagai kesusahan di desanya, baik dalam suka maupun duka. Disebut pula dengan istilah dan kategori matetulung, silih-ulih, maselisi, ngajakang, ngayah, dan sebagainya. Sampai akhirnya muncul sifat kerekatan sangat kental dengan sebutan “selung-lung sebayaantaka”, sutindih, belapati, kebayain, ketohin angkihan,magetih abungbung dan sebagainya. Semuanya itu adalah rasa kebersamaan dan kekeluargaan yang sangat kental.

(3) Palemahan: merujuk lingkungan atau wilayah (lokalitas) tempat desa Pakraman itu berada, dengan batas-batas yang jelas. Mereka memiliki palemahan untuk penempatan bangunan suci, perumahan (desa) dan kebun/sawah. Pembagian tanah peruntukan (lands use) diatur secara tertib, mana sempadan sungai, pantai, pura, jalan dan sebagainya. Tanah berfungsi sosial, masyarakat melalui prajurunya dapat melakukan berbagai penggunaan tanah, baik tanah adat (ulayat) maupun tanah milik, dan atau tanah giliran penggunaannya (hak guna pakai bergilir) disebut Tanah AYD (tanah ayahan desa), masih ada di beberapa desa Bali Mula.
Adanya prona sertifikasi tanah, maka status tanah berubah bukan hanya berfungsi sosial juga berfungsi ekonomis (komoditas), ketika itu terjadi banyak benturan nilai dengan sistem sosial di masyarakat Desa Pakraman. Karena tanah pada desa adat penggunaannya diikuti dengan ayahan desa (tanggung jawab) terhadap pura atau kewajiban tertentu yang disepakati bersama-sama demi kelangsungan wali/odalan /upacara yang berkala secara rutin wajib dilaksanakan. Filsafat harmonis itu bukan hanya terkait dengan ketiga unsur tri hita karana, tetapi juga terkait dengan kehidupan dunia sakala dan niskala. Keharmonisan niskala itu terkadang tidak dapat dipahami oleh orang yang tidak berideologi tri hita karana (masyarakat luar Bali), sehingga sering konflik atau pertentangan yang terjadi sering dianggap tidak rasional, kurang manusiawi, kuno, dan sebagainya.
Keajegan inilah sesungguhnya merupakan keajegan Bali itu sendiri, sangat mustahil jika kita bicara ajeg Bali, tetapi tidak paham dengan filsafat tri hita karana yang diatur dengan hukum adat berupa awig-awig sebagai wujud nyata kehendak masyarakat untuk membangun sosial order dengan landasan tri hita karana.





DAFTAR PUSTAKA

Artadi, I Ketut. 1987. Hukum Adat Bali: Dengan Aneka Maslahnya Dilengkapi Yurisprodensi. Setia Kawan: Denpasar.

Berger, Peter L. (et al.). The Other Side of God: Sisi Lain Tuhan. Ruslani (penerjemah). Qalam: Yogyakarta.

Covarrubias, 1972. Miguel. Island of Bali, Kualalumpur: Oxford University Press

Dharmayuda, I Made Suasthawa. 1995. Kebudayaan Bali: Pra-Hindu, Masa Hindu dan Pasca Hindu. Kayumas Agung: Denpasar.

Raka, I Gusti Gde. 1955. Monografi Pulau Bali. Pusat Djawatan Pertanian Rakjat: Djakarta

Sutha, I.G.K. 1993. “Hukum Adat dalam Kaitannya dengan Kebudayaan Serta Kepribadian Bangsa (dalam Menghadapi Berbagai Tantangan dan Arus Globalisasi)”, dalam Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa. Upadasastra:Denpasar.

Turner, Jonathan H. 1978. The Structure of Sociological Theory. The Dorsey Press:USA

Vollenhoven, C. van. 1981. Orientasi dalam Hukum Adat Indonesia. Djambatan: Jakarta.

Windia, Wayan. 2006. Transportasi Sistem Irigasi Subak yang Berlandaskan Konsep Tri Hita Karana. Pustaka Bali Post: Jakarta.

Tidak ada komentar: