Oleh: Adi Sanjaya
Kebijakan kebudayaan yang diterapkan oleh Orde Baru dengan sasaran menyeimbangkan sukuisme dengan nasionalisme di tengah-tengah arus globalisasi, ternyata tidak selamanya berhasil dengan baik. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kenyataan bahwa pemerintah amat kuat berpegang pada depelovmentalisme, sehingga ha-hal lain bisa dikorbankan, asalkan tujuan pembangunan bisa diwujudkan, yakni pertumbuhan ekonomi yang seoptimal mungkin. Dalam konteks inilah ruang kultur lokal acapkali dikorbankan, misalnya hak rakyat atas tanah maupun hutan dirampas, padahal bagi orang Dayak misalnya, hutan adalah toserba (toko serba ada) yang bisa memenuhi segala kebutuhan hidup mereka. Karena itu, kalau hutan hancur maka basis kebudayaan orang Dayak pun mengalami kehancuran yang pada akhirnya akan mengancam pula kelangsungan sistem sosiokultural mereka (Florus ed., 1993).
Kondisi serupa itu mengakibatkan menjelang jatuhnya Orde Baru protes dari kalangan bawah yang semula lebih banyak menggunakan ekspresi lisan, berubah menjadi ekspresi kekerasan fisik, sebagaimana terlihat pada kasus Aceh, Irian Jaya, dll. Dengan mengikuti Geertz (1973) perlawanan mereka dimotivasi oleh keinginan untuk mencari identitas budaya yang selama ini dirasakan telah hilang sebagai akibat dari kebijakan budaya yang diterapkan oleh pemerintah pusat. Penyampaian tuntutan mereka disertai pula dengan ancaman sparatisme atau denasionalisasi, sebagaimana terlihat pada kasus Irian Jaya, Aceh, Riau, dll. Melalui perlawanan itu mereka ingin mengembalikan atau membersihkan ruang hidup dan kultur mereka yang selama ini telah dirampas/dicemari oleh berbagai kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah pusat. Perlawanan mereka menjadi lebih hebat karena terkait pula dengan masalah kesenjangan ekonomi pusat dengan daerah, di mana pusat melimpah ruah, sedangkan daerah terjerat oleh kemiskinan, sementara daerahnya dieksploitasi habis-habisan.
Dalam konteks tersebut, pemerintah pusat bersama-sama DPR mengeluarkan Undang-undang Nomor 22 Th. 1999 tentang Undang-undang Otonomi Daerah yang memberikan hak otonomi kepada daerah kabupaten dan kota untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat, namun masih tetap dalam bingkai dan ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk itu, pemerintah daerah diberikan berbagai kewenangan, yakni bidang pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, koperasi dan tenaga kerja (lihat IV:11). Dengan kewenangan itu pemerintah daerah diharapkan lebih berkemampuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan rakyatnya. Indikator kesejahteraan, tidak hanya terpenuhinya kebutuhan rakyat akan aneka barang dan atau jasa yang terkait dengan kebutuhan dasar, tetapi mencakup pula pemenuhan kebutuhan integratif, termasuk didalamnya kebudayaan, sehingga hakikat manusia sebagai makhluk berbudaya terwujudkan secara optimal. Hal ini berarti pula bahwa kesejahteraan yang harus diwujudkan oleh pemerintah daerah adalah kesejahteraan yang berimbang, yakni material dan spiritual serta berbasis komunitas, dalam artian, bertumpu kepada kebudayaan lokal. Basis kebudayaan lokal amat bermanfaat, mengingat bahwa tata cara mereka memperolah maupun memaknai suatu benda dalam konteks pemenuhan kebutuhan hidup mereka, tidaklah terlepas dari kebudayaan yang mereka miliki.
Sejalan dengan itu Undang-undang Otonomi Daerah pada hakikatnya memberikan peluang formal yang seluas-luasnya bagi etnik-etnik yang berada di dalam pangkuan NKRI untuk mengembangkan atau pun melakukan pencerahan terhadap identitas budaya etnik yang mereka miliki, sering etnik dikaitkan dengan pulau yang ada di Indonesia. Peluang yang mengembirakan ini disambut dengan penuh kegairahan oleh berbagai etnik yang ada di Indonesia. Misalnya, etnik Bali memperoleh momentum yang tepat untuk mengembangkan kebudayaan yang mereka miliki, baik sebagai respons atas kuatnya nasionalisasi di masa lalu, atau sebagai jawaban atas globalisasi, terutama berkaitan dengan kedudukan Bali sebagai destinasi wisata dunia. Dalam konteks inilah mereka menggunakan desa adat sebagai wadah bagi pemeliharaan, pengembangan dan pencerahan kebudayaan Bali. Karena itulah, tidak mengherankan jika di era Otomoni Daerah saat ini, muncul keinginan yang amat kuat di kalangan orang Bali untuk merevitalisasikan desa adat agar betul-betul bisa berfungsi sebagai basis bagi pengembangan, pelestarian dan pencerahan budaya Bali. Walaupun pengaruh nasionalisme dan globalisasi tidak dapat dipungkiri oleh desa adat/pakraman di Bali.
Pemakaian desa sebagai basis pengembangan budaya Bali/lokal memang memungkinkan, karena sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Undang-undang Otonomi Daerah. Hal ini terlihat misalnya pada tugas yang diemban oleh Kepala Desa, di mana dia antara lain berkewajiban menciptakan kesejahteraan dan kedamaian. Sejalan dengan itu dia pun berhak sebagai petugas yang mendamaikan perselisihan yang muncul di desanya, sehingga keharmonisan tetap bisa diwujudkan. Penyelenggaraan tugas-tugas tersebut tentu tidak terlepas dari rambu-rambu budaya yang berlaku. Karena itulah, menjadi kewajiban bagi Kepala Desa untuk menumbuhkembangkan kebudayaan yang mereka miliki agar kedamaian lahir-batin di kalangan warganya bisa diwujudkan secara berkelanjutan. Kepala Desa terkadang mendominasi peran dan fungsi Desa Pakraman, sehingga idealisme kepemimpinan ini juga merupakan masalah tersendiri di Bali. Kemudian yang tidak kalah pentingnya, di setiap desa dibentuk pula Badan Perwakilan Desa, Pacalang, BPD yang antara lain berfungsi mengayomi mensejahtrakan desa adat dan membuat peraturan awig-awig desa. Peraturan yang mereka rumuskan tentu harus sejalan atau bahkan meletakkan sendi-sendi yang kokoh bagi kebertahanan sistem budaya yang dianut, dan adat-istiadat yang berlaku di suatu desa tidak saja hanya wajib ditaati oleh warganya, tetapi juga oleh pemerintah daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar