Di seluruh Distrik Buleleng terdapat 29 Desa Dinas, 64 Dusun, 62 Banjar Adat, dan 76 Tempekan, dan 21 Desa Adat2 . Laporan Grader 1937 , menguraikan desa adat di Distrik Buleleng sebagai berikut: (1) Perbekelan Kalibukbuk terdiri dari Desa Adat Kalibukbuk dan Banyualit; Perbekelan Abturan terdiri dari Desa Adat Anturan; Perbekelan Tukad Mungga terdiri dari Desa Adat Tukad Mungga; Perbekelan Pemaron terdiri dari Desa Adat Pemaron; Perbekelan Galiran terdiri dari Desa Adat Galiran dan Tista; Perbekelan Buleleng terdiri dari Desa Adat Buleleng dan Desa Adat Banyumala; Perbekelan Beratan sama dengan Desa Adat Beratan; Runuh, Nagasepaha, Petandakan, Padang Keling, Banyuning, Penarukan, Jinengdalem, Pengelatan semuanya terdiri dari satu Desa Adat; Alasangker terdiri dari Desa Adat Alasangker, Desa Adat Poh , dan Tenaon. Jadi seluruhnya ada 16 Perbekelan terdiri dari 21 Desa Adat. Desa Adat Buleleng yang menjadi objek penelitian ini dapat dikatakan secara historis memang Desa Adat Buleleng dan Desa Adat Banyumala berupa dua desa adat yang secara adminisratif beda, yang sekarang menjadi Desa Adat Banyuasri. Dengan demikian maka persoalan warisan historis tidak masalah, karena kembali pada habitatnya (kithohnya) semula, sebelum disatukan atau perbekelan Buleleng menjadi satu Desa Adat Buleleng setelah tahun 1937-an (Grader, 1937:59).
Perubahan kedistrikan (zaman kolonial) dan kecamatan (zaman kemerdekaan) di Buleleng dapat dilihat, dari jumlah distrik zaman kolonial terdiri dari Distrik:
(1)Distrik Pengastulan, terdiri dari 34 Desa Adat dan 21 Perbekelan. Perbekel Pengastulan memiliki dua perbekelan yaitu Desa Adat Pengastulan dan Perbekelan Kampung Islam Pengastulan.
(2)Distrik Banjar, terdiri dari 13 Desa Adat dan 16 Perbekelan. Perbekel Bubut Panggang, Labuhan Haji merupakan Kampung Islam tanpa Desa Adat.
(3)Distrik Buleleng, 21 Desa Adat dan 16 Perbekelan.
(4)Distrik Sukasada, 18 Desa Adat, dan Perbekelan Tegallinggah, dan Perbekelan Pegayaman merupakan Kampung Islam tidak memiliki Desa Adat.
(5)Distrik Sawan, terdiri dari 14 Desa Adat, dan 14 Perbekelan.
(6)Distrik Kubutambahan, terdiri dari 20 Desa Adat dan 20 Perbekelan.
(7)Distrik Tejakula, terdiri dari 15 Desa Adat dan 10 Perbekelan. Perbekelan Madenan terdiri dari empat Desa Adat, Sambirenteng dua Desa Adat (Dikumpulkan dari Buleleng dalam Angka, 2009)
Perubahan distrik menjadi kecamatan, mengakibatkan terjadinya perubahan nama distrik di beberapa daerah, antara lain Distrik Pengastulan menghilang berubah menjadi tiga Kecamatan yaitu Kecamatan Seririt, Kecamatan Busungbiu, dan Kecamatan Gerokgak.
Gambaran umum lokasi desa adat dan desa dinas serta unsur adat di Kabupaten Buleleng dapat dilihat dalam Tabel 4.1 berikut.
Tabel 4.1: Lokasi Desa Adat, Banjar Adat, Desa Dinas dan Unsur Desa Adat lainnya.
No
Kecamatan
Desa Adat
Banjar Adat
Desa Dinas
Dusun/
Banjar
Tempekan
Dadia
1
Tejakula
15
38
10
58
60
219
2
Kubutambahan
22
30
12
36
180
291
3
Sawan
17
49
13
66
85
473
4
Sukasada
19
61
15
61
58
319
5
Banjar
15
50
17
64
123
337
6
Seririt
25
61
21
65
191
723
7
Busungbiu
16
35
15
36
111
265
8
Gerokgak
13
46
14
39
163
109
9
Buleleng
21
62
29
64
76
537
Total
162
434
146
489
1047
3273
Data: Buleleng dalam Angka 2008; dan Identifikasi Potensi dan Sumber Kerawanan Desa di Kabupaten Buleleng (tahun 2000:16)
Desa adat di daerah Kabupaten Buleleng tersebar di 9 (sembilan) kecamatan yang ada di Buleleng, memiliki geografis yang sangat bervariasi, dari Tejakula di Timur sampai ke Gerokgak di Barat. Terdapat 162 (seratus enam puluh dua) Desa Adat, dengan Banjar Adat 434 (empat ratus tiga puluh empat). Desa Dinas 146 (seratus empat puluh enam) mengatasi Dusun 489 (Empat ratus delapan puluh sembilan), dengan tempekan tersebar di seluruh Banjar Adat sebanyak 1047 (seribu empat puluh tujuh), terdapat 3.273 dadia (tiga ribu dua ratus tujuh puluh tiga), terdiri dari berbagai soroh. Variasi soroh terbanyak ada di Seririt, sedangkan banyak kedua ada di Buleleng. Keberadaan soroh ini dapat juga menjadi pertimbangan dalam analisis kerawanan sosial, karena pada daerah soroh terpadat juga paling sering ditemukan konflik adat yang mendasarkan diri dengan sentimen kesorohan, seperti kasus Patemon di tahun 2007/2008.
Pada zaman kolonial desa dikendalikan melalui Perkekel, karena perbekel merupakan perpanjangan tangan kerajaan dan dilanjutkan oleh kolonial belanda. Perbekelan di Buleleng, bukan hanya mendasarkan diri pada Desa Adat, tetapi juga berdasarkan Kampung-kampung yang tidak mengenal Desa Adat atau Pakraman yang berbasis Agama Hindu (Tri Hita Karana dan Kayangan Jagat), tetapi mayoritas warganya beragama Islam. Seperti Perbekelan Tegalinggah, Pegayaman, Labuhan Haji, Bunut Panggang, Pengastulan Islam, dan sebagainya.
Perbekel, kemudian desa Dinas dan banjar Dinas merupakan birokrasi perpanjangan pemerintah, dari zaman kolonial sampai ke jaman kemerdekaan. Dengan demikian, di Desa Pakraman /Adat di Bali ditemukan adanya dualisme kepemimpinan yaitu kepemimpinan dinas dan kepemimpinan adat. Eksistensinya diakui pemerintah, tetapi perhatian birokrasi ada pada pemerintahan dinas. Kecuali pada kampung-kampung Islam karena memang tidak ditemukan adanya desa adat seperti di daerah Bali yang menganut Agama Hindu. Perkembangan Banjar Islam yang tidak memiliki basis Desa Adat banyak ada di daerah Buleleng Barat, yaitu daerah Grokgak, karena Palemahan di situ adalah sebagian besar merupakan daerah erfach (bekas tahan sewaan perkebunan sejak zaman kolonial), maka sangat potensial memunculkan masalah kerawanan tanah (palemahan). Bahkan Sumber Kelampok, Tegal Bunder di Grokgak kita menemukan desa yang tidak memiliki palemahan (tanah), karena tanah tempat desa di bangun adalah tanah perkebunan pemerintah yang dikauasai secara turun-temurun. Penduduk di daerah itu memiliki latar belakang sebagai buruh perkebunan di masa lalu. Hal ini jika tidak ditangani dengan baik akan memunculkan permasalahan (konflik laten dan bahkan terbuka).
Penyapihan Banjar Pakraman Banyumala dengan Desa Buleleng, dilihat dari sejarah tidak akan menimbulkan gejolak seperti penyapihan di desa adat lainnya, karena dalam sejarahnya memang terdiri dari dua desa adat seperti dilaporkan oleh C.J. Grader (1937) di atas.
Penyatuan Desa adat Buleleng dengan Banyumala setelah kemerdekaan dipertibangkan berdasarkan lokasi desa adat yang sama-sama ada pada lingkungan kota Singaraja, sehingga pemerintah melihat dari sisi efektivitas manajemen Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam yang ada pada masyarakat perkotaan agar mudah dikendalikan dalam berbagai urusan kemasyarakatan. Tetapi ternyata banyumala memang secara eksistensial memiliki berbagai komponen dilihat dari segi Tri Hita Karana sangat utuh, seperti: Dari Parhyangan, Banjar Adat Banyuasri memiliki Pura Desa, Pura Dalem, Pura Sagara memiliki Setra tersendiri. Pawongan (desa) juga memiliki tegak tersendiri, walaupun dilihat dari konsep Tri Hita Karana menjadi sangat aneh dan semerawut, seperti tidak berkonsep. Keadaan ini dapat dijelaskan dari Sejarah Desa Adat Banyumala itu sendiri, yang konon mulanya ada di Palemahan Subak Lobong, daerah bangkang sekarang (Dauh Tukad). Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat posisi Pura Desanya yang Subak masih tertinggal di daerah Lobong hingga sekarang. Demikian juga Kuburannya ada di Utamaning Mandala Desa (di hulu), dan Pura Dalem ada pada tengah-tengah Desa Adat. Palemahannya memiliki persawahan dengan subaknya, walaupun ada salah satu Pura Subaknya mengalami “kematian”, karena ada pura subak tapi palemahannya telah berubah menjadi perumahan, pasar, pom bensin, terminal, kampus Undiksha dan sebagainya.
Secara umum dapat diperkirakan pemilikan kekayaan Desa Adat Buleleng, berupa tanah Desa Adat (sekitar 5 ha), karang desa adat (7Ha), ayahan desa adat (3 ha), Pecatu (1 ha), laba pura (12 ha), kuburan (41 ha), namun sebagaian besar belum tersertifikat (Tim Bupati Buleleng, 2000:28). Kekayaan lainnya seperti kekayaan yang ada di LPD milik warga desa pakraman/adat sangat sulit dihitung, tetapi hampir semua Banjar Pakraman telah memiliki LPD (Lembaga Perkreditan Desa). Demikian juga semuanya memiliki Balai Banjar yang dijadikan tempat pertemuan secara berkala dengan menggunakan kalender Bali sebagai patokan. Misalnya memilih manis tumpek setiap bulan untuk sangkep Banjar Adat dan Bulan Purnama sebagai saat pelaksanaan (tegak) sangkep Desa Pakraman Buleleng, dilaksanakan di Pura Balai Agung Buleleng.3
Desa Pakraman di Bali umumnya, termasuk di Desa Pakraman Buleleng, pada mulanya tidak dikenal kepemilikan tanah atas hak individual, tetapi atas dasar kepemilikan komunal (hak ulayat). Sejarah tanah adat di Bali tidak terlepas dari sejarah desa pakraman, dapat dijelaskan pada awalnya dengan datangnya Resi Markandya. Pada zamannya ada kerajaan Bali Kuno dari sekitar tahun abad ke-9 sampai dengan abad ke -10 dikenal juga dengan sebutan raja Maya Danuawa, atau raja Bedahulu. Pada zaman kepemimpinan raja Udayana dengan permaisurinya Guna Priya Dharmapatni (988-1011 M.) terjadi Pesamuan Agung di Samuan Tiga Gianyar diputuskan paham keagamaan Tri Murti, dan lahirlah konsep Desa Pakraman dengan kahyangan Tiganya, serta kepemilikan tanah desa pakraman oleh Desa Adat/Pakraman. Desa Pakraman di Bali memiliki tingkatan, sesuai dengan kewenangannya, yaitu (1) Satu Desa Adat Agung (di Tingkat Propinsi), (2) Sembilan Desa Adat Madya (di Tingkat Kabupaten), dan (3) Banyak Desa Adat Pakraman (Tingkat Kecamatan/ Kelurahan/ Desa). Desa Pakraman dibagi lagi menjadi beberapa Banjar Adat, dan di bawahnya ada beberapa kelompok daerah disebut tempekan. Di Desa Pakraman Buleleng sudah menggunakan RT, dan RW , Banyuasri I dan II, Daerah Satlit Asri, Daerah Tegal Mawar, daerah lingkungan Kali Baru dan sebagainya. Hal ini menunjukkan betapa metropolitannya Desa Pakraman Buleleng dan Banyuasri dalam memberikan nama-nama daerah yang menjadi bagian dari wilayah desa adatnya.
Dengan demikian sekarang dikenal beberapa jenis kepemilikan yanah di Desa Pakraman Buleleng: (1) Masih dikenal hak komunal (milik umum) dikenal dengan Hak Persekutuan, yaitu pemanfaatan tanah untuk kepentingan/sarana umum. Jika dulu adalah hak mengambil hasil hutan dan membuka hutan pada hutan milik bersama, kini tidak ada lagi hutan yang dapat dibuka, namum masih dapat menikmati penggunaan kepentingan pribadi/kelompok pada sarana/tanah milik umum. Seperti Balai banjar, kuburan, jaba pura (untuk berdagang saat odalan), halama Balai banjar untuk ngaben bersama dan sebagainya. (2) Tanah Hak Milik seorang warga desa berhak memiliki tanah dan menjual dan memindahkan hak dengan berbagai jalan yang dibenarkan oleh hukum positif, diperbolehkan di Desa Pakraman Buleleng. Termasuk di dalamnya menjadikan sebidang tanah yang ada di subaknya dijadikan perumahan dan BTN dan atau dikapling dijual dan dijadikan perumahan selanjutnya oleh pengembang. Asal tidak bertentangan dengan Hukum dan UU yang berlaku Desa Pakraman Buleleng tidak terlalu mempersoalkannya, karena warga telah menjadi metropolitan, lebih bertumpu pada hukum positif dibandingkan dengan hukum adatnya, kecuali dalam urusan adat dan perupakaraan yang menyangkut urusan niskala. Desa Adat Buleleng sangat adaptif, tidak pernah banyak menuntut dan membendung, keculai pengembangan bersangkutan dapat memicu munculnya ketidakharmonisan desa dan atau banjar pakramannya. (3) Hak penggunaan tanah atau memungut hasil dari tanah yang dikembangkan menjadi perumahan, ditetapkan secara kondisional (manut desa-kala-patra) dan besarannya tidak menentu.
Tanah untuk sarana umum di Desa Pakraman Buleleng, masukkan tanah komunal, dikenal dengan Tanah Desa, berupa tanah yang dimiliki oleh desa adat, hanya bergantung pada peruntukannya. Dengan demikian dapat dibedakan hak atas tanah pada desa adat menjadi: (1) Tanah Druwen Desa adalah tanah yang dimiliki oleh Desa Pakraman seperti tanah pasar, tanah lapang, tanah kuburan, dan tanah bukti (biasanya disewakan atas nama Desa Pakraman), jadi menjadi hak persekutuan. (2) Tanah palaba pura, dulunya milik Desa Pakraman, tetapi tanah itu hasilnya digunakan untuk membiayai odalan di pura, pembangunan pura dan sebagainya, bergantung pada pelaba pura mana tanah bersangkutan. Bergantung pada kesepakatan, dan perarem atau diatur dalam Awig-awig desa pakraman, jadi menjadi hak persekutuan terbatas, karena tanah telah memiliki sertifikat hak pakai. (3) Tanah Pakarangan Desa merupakan tanah dikuasai oleh desa pakraman peruntukannya sebagai pekarangan, dan tidak boleh diperjual-belikan tanpa sepengetahuan desa pakraman Buleleng atau Banyuasri, jadi tanah yang menjadi hak milik terkekang, atau hak pertuanan desa tetapi lemah. (4) Tanah Ayahan Desa adalah tanah desa yang diberikan penggarapannya pada warga desa setempat, dengan perjanjian tertentu dengan kewajiban melakukan ayahan sebagaimana diatur di desa pakraman Buleleng dan Banyuasri. Tanah hak milik terkekang, dengan hak pertuanan desa sangat kuat, (goegle.com, diakses tanggal 7 Juli 2009).
Dengan demikian tanah desa pakraman itu dapat dipandang sebagai tanah yang memiliki fungsi sosial, fungsi ekonomi, dan fungsi keagamaan, dengan kata lain tanah diproteksi dengan kontol sosial agar tanah desa tidak pindah tangan pada penduduk lain terutama yang berbeda agama. Ini ketat berlaku di Desa Pakraman banyuasri, tetapi tidak di Desa Pakraman Buleleng, karena karakter Banjar Adat yang dikendalikan sangat beraneka ragam, memiliki ciri metropolitan dalam berbagai segi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar