IDENTITAS PENELITI :
Nama : Putu Adi Sanjaya
NIM : 0614021022
Jurusan : Pendidikan Sejarah
Fakultas : Ilmu Sosial
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah suatu negara kepulauan yang secara astronomis terletak pada 6 o LU-11o dan 95 o -141o BT. Melihat letak astronomis itu, maka Indonesia terletak di daerah khatulistiwa yang beriklim tropis (Suditha, 2005: 1). Melihat kondisi geografis yang demikian, maka terdapatlah keanekaragaman hewan dan tumbuh-tumbuhan di Indonesia. Keanekaragaman tersebut merupakan kekayaan yang tak ternilai harganya bagi bangsa Indonesia.
Khusus mengenai tumbuh-tumbuhan yang ada di Indonesia, ada yang merupakan tumbuh-tumbuhan asli Indonesia dan ada yang berasal dari luar. Tumbuhan asli Indonesia misalnya : rambutan, manggis, kapuk, dan lain-lain. Sedangkan tumbuhan yang berasal dari luar Indonesia misalnya : teh (China), Kopi (Arab), Kelapa (Amerika Selatan) (ibid, 2005: 40). Kekayaan seperti itu dijadikan sebuah peluang hidup oleh penduduk Indonesia sejak beribu-ribu tahun yang lalu yang menjadikan karakteristik bangsa Indonesia sampai sekarang adalah bangsa yang mengembangkan sektor agraris. Artinya, pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya penduduk atau tenaga kerja yang hidup atau bekerja pada sektor pertanian atau dari produk nasional yang berasal dari pertanian (Mubyarto, 1986: 11).
Pada abad XV dan XVI bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis, Perancis, Inggris dan Belanda datang ke Indonesia untuk memperoleh rempah-rempah dari dunia timur yang banyak diminta oleh pasaran Eropa Barat. Tidak berapa lama bangsa Belanda dengan jalan kekerasan menghadapi perlawanan-perlawanan dari raja-raja di Indonesia pada saat itu berhasil menguasai Nusantara. Indonesia yang saat itu dikenal dengan Netherlands Indie menjadi pusat produksi bahan-bahan mentah pertanian yang penting. Ketika itu sebagian besar dari modal asing yang ditanam di Indonesia adalah pada bidang pertanian (ibid, 1986: 11-12).
Memasuki akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, Bali sudah mulai didatangi modal-modal asing yang lebih intens dalam bentuk usaha-usaha perkebunan. Pada tahun 1860 misalnya perkebuan sistem barat mulai diintroduksikan di Desa Candikusuma, Jembrana dan Buleleng. Perkebunan besar selanjutnya yang dibuka adalah perkebunan di Pulukan pada tahun 1918 yang pada awalnya ditanami tanaman karet. Dari pemaparan ini dapat disebutkan bahwa proses kemajuan perdagangan yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda menyebabkan terjadinya perubahan dalam cara berpikir dari pola masyarakat petani ke pola masyarakat yang memasarkan hasil-hasil pertaniannya (Lekkerkerker, 1923: 232-233).
Pentingnya sektor pertanian pada saat itu dapat dilihat dari besarnya nilai ekspor, bahkan mampu mencapai angka di atas 50 %. Besarnya nilai ekspor tersebut karena selanjutnya pada tahun 1983 sektor ini telah menempati 56 % dari total pekerjaan di Indonesia (Lindbland, 1998 : 7). Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tahun Pertanian
(%) Lain-lain di luar minyak (%) Minyak
(%) Jumlah
(%)
1928 79 t.a t.a t.a
1938 65 10 25 100
1950-1959 58 27 25 100
1960-1969 49 17 34 100
1970 44 15 41 100
1971 47 14 39 100
1972 36 13 51 100
1973 39 11 50 100
1974 22 8 70 100
Sumber : Indikator Ekonomi, Desember 1975 (dikutip dari Mubyarto, 1986: 13).
Bidang pertanian, termasuk perkebunan, yang merupakan sektor ekonomi primer penduduk Bali menunjukkan sifat yang khas tradisional. Meskipun terjadi peningkatan produksi pertanian pada tahun 1950-an, tetapi perekonomian penduduk Bali termasuk usaha tani kecil. Rata-rata luas tanah yang dimiliki petani hanya 0,80 hektar, yang terdiri dari 0,30 hektar tanah sawah dan 0,50 hektar tanah kering. Usaha tani kecil ini sulit untuk mendapatkan hasil lebih. Dengan demikian modal petani kurang dapat berkembang dan hasilnya akhirnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sifat ekonomi petani macam ini disebut dengan ekonomi subsistensi (Scott, 1981).
Hasil pertanian yang cukup penting pada saat itu adalah kopi, kelapa, dan tembakau. Tanaman kelapa yang ada di Bali pada umumnya sudah berumur tua dan tersebar di seluruh daerah sebagaimana tanaman perkebunan rakyat. Sampai tahun 1956 saja luas tanaman kelapa diperkirakan mencapai 63.000 hektar. Produksinya cukup tinggi, sehingga secara kontinyu Bali dapat mengekspor kopra rata-rata 10.000-13.000 ton setiap tahunnya. Sisanya diolah menjadi minyak kelapa yang diekspor sebanyak 4.964.611 liter per tahun (Putrawan, 2008: 171). Di Perkebunan Pulukan saja tercatat pemasaran produksi kopra selain ke Denpasar, juga dikirim antarpulau yaitu ke Jawa Timur seperti ke Banyuwangi. Sementara kopra dan cengkeh juga dikirim langsung ke Singaraja oleh pemilik perusahaan tersebut. Kemudian produk tersebut diekspor ke luar negeri seperti Amerika Serikat dan Singapura (Parwata, 1988: 40). Dengan adanya produksi kopra yang meningkat maka didirikanlah empat buah pabrik minyak pada tahun 1957. Selain itu, didirikan pula Yayasan Kopra pada tahun 1958 dan kemudian berubah menjadi koperasi kopra. Selanjutnya pada setiap yayasan dibentuk koperasi kopra dengan maksud agar semua kegiatan yang menyangkut budidaya kelapa dan perdagangan kopra yang dilakukan oleh petani menjadi lancar (Suwitha, 1989: 24).
Selain dari sisi ekonomi, kelapa juga sangat penting dalam sisi sosio-religius kehidupan masyarakat Bali. Hal tersebut dapat kita lihat dari bahan-bahan sesajen (banten) yang dominan menggunakan daun kelapa baik yang tua (selepan) maupun yang muda (busung atau janur). Daun kelapa juga sering digunakan sebagai bahan anyaman khas Bali seperti kise,klabang, dan lain-lain. Buah kelapa dapat digunakan sebagai penyemek yang diisi pada daksina, selain sebagai bahan penyedap dalam membuat makanan khas Bali. Hal itulah yang menyebabkan banyaknya kelapa yang ditanam oleh penduduk, khususnya di Pulukan yang mempunyai kontur tidak terlalu rata.
Adanya usaha masyarakat untuk menanam dan mengembangkan tanaman kelapa telah memperlihatkan adanya pertanian kelapa, terlepas dari besar tidaknya pertanian yang dikembangkan. Rangkaian kegiatan dari pembibitan, penanaman, perawatan, pemanenan, sampai dengan pemasaran akan melahirkan sebuah sistem pertanian. Sistem tersebut juga menjadikan orang yang bersangkutan sebagai petani kelapa dan petani kelapa pada saat itu menganggap bahwa menanam kelapa menjadi hal yang penting dan menguntungkan dilihat dari sisi ekonomi maupun sosio-religius masyarakat.
Sebelum dikembangkan menjadi sistem yang komersial, petani kelapa mengembangkan sebuah sistem secara subsistensi, karena tidak cukup banyak modal untuk mengembangkan pertaniannya. Kelapa yang ditanamnya diproduksi secara terbatas atau dalam jumlah yang kecil dan dikonsumsi untuk keperluan sendiri juga. Artinya, jumlah produksi masih sama dengan jumlah konsumsi. Namun karena semakin majunya kebudayaan manusia dan semakin meningkatnya produktivitas, maka hasil produksi yang diperoleh seseorang menjadi berlebih dan kelebihan, ini dapat ditukarkan dengan barang lain yang dihasilkan oleh orang lain (Suprapto, 2003: 1.2). Dalam perkembangannya, bangsa barat telah memperkenalkan sistem ekonomi pasar sehingga masyarakat mulai mengenal uang. Hal ini mengubah perhitungan produksi sama dengan konsumsi, menjadi produksi sama dengan konsumsi ditambah simpanan (tabungan). Pemikiran tersebut ada seiring semakin berkembangnya pemikiran manusia bahwa perlunya menyimpan penghasilan lebihnya untuk menambah tingkat kesejahteraan mereka.
Perubahan subsistensi para petani kelapa menjadi komersial seperti digambarkan di atas melalui suatu proses panjang karena tergantung juga dari faktor ekstern, selain faktor intern masyarakat itu sendiri. Selain itu pula menurut Redfield (1985 : 38) bahwa setiap masyarakat petani merupakan bidang kegiatan ekonomi tertentu yang sampai ke tingkat tertentu terpisah dari kesatuan kegiatan yang kuat terikat. Jadi menurut pengertian tersebut bahwa petani kelapa di Desa Pulukan kemungkinan akan mencapai titik dimana terjadi perubahan pola kegiatan. Oleh karena itulah penulis merasa tertarik mengkaji hal tersebut dalam sebuah penelitian yang penulis beri judul “Petani Kelapa Dari Subsistensi ke Komersial : Studi Historis Kehidupan Petani Kelapa di Desa Pulukan Tahun 1918-2006 ”. Penulis memilih rentang waktu antara tahun 1918-2006 karena pada tahun 1918 Perkebunan di Pulukan baru saja dibuka sehingga sedikit banyaknya dapat berpengaruh terhadap kehidupan petani kelapa. Selain itu pula periode ini akan melewati tahun 1930-an di mana depresi ekonomi melanda perekonomian dunia, sehingga untuk menanggulangi keadaan ekonomi yang semakin buruk yang berpengaruh terhadap petani, pemerintah Belanda membuka tanah-tanah yang masih kosong untuk digunakan sebagai lahan pertanian. Dalam hal ini pemerintah menetapkan daerah Jembrana yang akan menjadi areal pertanian baru mengingat wilayahnya masih banyak yang kosong serta memungkinkan untuk dikembangkan menjadi daerah pertanian (Putrawan, 2008 : 82-83). Di waktu itulah dapat kita lihat apa alasan petani kelapa berubah dari subsistensi ke komersial. Sedangkan penulis memilih batas sampai tahun 2006 karena tahun tersebut Indonesia telah memasuki orde reformasi, setelah sebelumnya berada pada orde baru yang banyak memperhatikan sektor pertanian, terutama pada Repelita I-III.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dicarikan jawabannya, sebagai berikut.
1. Bagaimana pertanian subsistensi yang dilakukan oleh petani kelapa di Desa Pulukan, Jembrana?
2. Mengapa terjadi perubahan dari subsistensi menjadi komersial pada petani kelapa di Desa Pulukan, Jembrana?
3. Bagaimana perkembangan komersialisasi kelapa di Desa Pulukan tahun 1918-2006?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan yang dicapai dalam penelitian ini antara lain :
1. Mengetahui tentang subsistensi yang dilakukan oleh petani kelapa di Desa Pulukan, Jembrana.
2. Mengetahui penyebab terjadinya perubahan dari subsistensi menjadi komersial pada petani kelapa di Desa Pulukan, Jembrana.
3. Mengetahui perkembangan komersialisasi perkebunan kelapa di Desa Pulukan tahun 1918-2006.
1.4. Manfaat
Setiap penelitian tentu saja memiliki manfaat maka manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
Manfaat Teoritis dari penelitian ini adalah peneliti dapat mengembangkan keilmuan dan dapat menerapkan seluruh teori yang didapatkan di bangku perkuliahan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Manfaat yang diperoleh peneliti dari penelitian ini adalah peneliti dapat mengembangkan segala potensi dalam diri khususnya dalam bidang pembuatan sebuah karya tulis dan penelitian.
b. Bagi Lembaga khususnya Jurusan Pendidikan Sejarah
Dari penelitian ini diharapkan nantinya dapat menambah literatur dalam hal ini dapat dijadikan acuan dalam penulisan hal-hal sejenis di kemudian hari.
c. Bagi Masyarakat
Dari penelitian ini diharapkan masyarakat memiliki pengetahuan tentang sistem perekonomian di Indonesia serta perkembangannya. Hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan pemikiran masyarakat tentang bagaimana mengembangkan suatu sistem ekonomi.
2. LANDASAN TEORI
2.1. Tinjauan Tentang Sistem Pertanian
Daerah Bali cenderung diidentikkan sebagai daerah agraris. Hal ini dikarenakan sebagian besar penduduknya bertempat tinggal di pedesaan. Dengan keadaan penduduk tersebut maka mata pencaharian mereka adalah dari hasil pertanian (Karsono, 1991: 87).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), pertanian didefinisikan dengan mengusahakan tanah dengan tanam-tanaman. Sedangkan menurut Mubyarto (1979: 15) pertanian dapat diberi arti luas dan sempit. Pertanian dalam arti luas meliputi pertanian rakyat, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan. Sedangkan pertanian dalam arti sempit adalah pertanian rakyat yaitu usaha pertanian keluarga pada umumnya sebagian besar hasil-hasil pertaniannya untuk keperluan konsumsi keluarga, tanaman yang ditanam umumnya adalah padi, palawija, dan holtikultura.
Di dalam sistem pertanian, memerlukan sejumlah unsur-unsur produksi seperti : faktor produksi alam (SDA), faktor produksi tenaga kerja (SDM), teknologi, pemberantasan hama/penyakit tanaman, dan sistem budaya.
2.1.1 Faktor Produksi Alam (SDA)
Sumber Daya Alam meliputi tanah, air, suhu, sinar matahari, dan udara. Tanah adalah pabriknya hasil pertanian yaitu tempat di mana produksi berjalan, dan di mana hasil produksi itu keluar (Mubyarto, 1981 : 76). Sebagai faktor produksi, tanah merupakan tempat tumbuh tanaman yang menghasilkan bahan mentah, tempat dan alat produksi tanaman, di mana di atas tanah itupun pengolahan produk hingga menghasilkan tanaman yang bernilai tinggi (Kartasapoetra, 1985 : 100).
Selain tanah, air adalah syarat bagi kehidupan dan pertumbuhan tanaman baik yang bersumber dari pengairan yang diatur manusia maupun dari air hujan (Mubyarto, 1981 : 86). Tohir (1983 : 30) menambahkan bahwa ”iklim dan tanah merupakan faktor penentu sifat dan bentuk usaha tani yang cocok untuk beberapa jenis tanaman tanpa diubah menurut kehendak manusia”.
2.1.2 Faktor Tenaga Kerja (SDM)
Sebagai unsur pendukung produksi pertanian adalah faktor tenaga. Unsur ini akan didapat baik dari lingkungan keluarga sendiri maupun dari luar lingkungan keluarga. Tenaga kerja dari keluarga petani merupakan sumbangan pada produksi pertanian secara keseluruhan dan tidak pernah dinilai dengan uang (Mubyarto, 1981). Berbagai jenis pekerjaan pada sektor pertanian dikenal pembagian kerja atas dasar perbedaan jenis kelamin, usia, dan peran seseorang dalam keluarga. Pembagian kerja antara pria dan wanita secara lebih jelas yaitu membuat lubang penanaman dan pemanenan adalah pekerjaan pria, sedangkan menyiram (perawatan) dan pemasaran adalah lebih cocok sebagai pekerjaan wanita.
Jika tenaga kerja kurang, maka diusahakan dengan mempekerjakan buruh tani, seperti yang dikemukakan oleh Tohir (1983 : 237), bahwa ”buruh tani ada beberapa jenis yaitu : 1) buruh harian; 2) buruh borongan; dan 3) buruh tahunan atau tetap”. Sedangkan pembayaran upah buruh menurut Koetjaraningrat (1982 : 73) ada dua macam, yaitu : ”1) upah yang dibayar secara adat dengan sebagian hasil pertanian; 2) upah berupa uang”.
2.1.3 Teknologi
Dalam produksi pertanian juga diperlukan adanya alat yang memadai. Bukan berarti petani tradisional yang mempunyai lahan sempit tidak memerlukan teknologi. Terlebih lagi bagi petani kelapa, kemajuan teknologi rekayasa genetik menjadi kelapa hybrida dengan produksi tinggi, sangat dibutuhkan oleh semua petani kelapa (Awang, 1994 : 172). Penanaman dan pemeliharaan sampai dengan pemanenan buah kelapa relatif tidak memerlukan teknologi yang terlalu modern. Dapat disebutkan beberapa teknologi sederhana seperti cangkul untuk membuat lubang dan menyemaikan tanah, sabit untuk membersihkan tanaman kelapa dari tanaman pengganggu, sampai pada alat penyiraman serta Egrek yang digunakan pada saat memanen. Teknologi tersebut merupakan teknologi pokok sederhana, dan mungkin masih bisa dipakai teknologi lain tergantung pengembangan sistem penanaman dan keperluan petani.
2.1.4 Pemberantasan Hama/Penyakit Tanaman
Kelapa termasuk salah satu tanaman yang cukup mudah untuk dirawat. Namun demikian, tanaman kelapa juga harus memperoleh perawatan. Salah satu perawatan yang dilakukan dalam perkebunan kelapa adalah pemberantasan hama tanaman yang bertujuan untuk meningkatkan hasil pertanian. Menurut Kartasapoetra (1985 : 55) bahwa ”penyakit tanaman akan dapat menggagalkan tanaman yang sedang dibudidayakannya”. Untuk memberantas penyakit dan hama dapat dilakukan beberapa cara antara lain dengan mengatur putaran tanaman, dan memisahkan tumbuhan parasit dengan tanaman yang dibudidayakan serta memasang jaring di areal perkebunan untuk menghindarkan dari hewan pengganggu.
2.1.5 Sistem Budaya (Adat Istiadat)
Pengetahuan usaha tani, di mana saja dan kapan saja dalam hakekatnya akan dipengaruhi oleh perilaku petani yang mengusahakan. Perilaku orang itu nyata tergantung dari banyak faktor, seperti :
a. Lingkungan alam (environment)
b. Warisan sosial (social heritage), pandangan hidup, adat istiadat, dan lembaga-lembaga masa lampau.
c. Keturunan (heridity)
d. Hidup bermasyarakat (the group), bagaimana kedudukan dan pendangan mengenai ekonomi, bagaimana sifat dan akhlak jiwa dari manusia (Tohir, 1983 : 52).
Lebih lanjut Tohir menjelaskan bahwa di samping faktor itu masih ada faktor lain yang mempengaruhi petani, yaitu : watak, suku, dan kebangsaan dari petani itu sendiri, serta tingkat kebudayaan bangsa dan masyarakatnya.
Faktor-faktor itulah yang masih mempengaruhi perilaku petani masyarakat Indonesia pada masa sekarang ini. Hal itu disebabkan karena masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dengan berbagai tingkat kebudayaan merupakan masyarakat yang ada dalam tahap ”transisi”, yaitu dari tahap ”tradisional” ke tahap ”dinamis” (ibid, 1983 : 54). Tidak mengherankan jika dalam masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat tani terdapat banyak sisa-sisa dari unsur-unsur tradisional berdampingan dengan unsur-unsur dinamis. Dalam kehidupan masyarakat tani, faktor sosial budaya dan rasa perhubungan antara keluarga, sanak saudara dan kaum sedesa sangat besar sehingga masyarakat tani itu tidak akan lekas-lekas meninggalkan adat istiadat kekeluargaan. Bahkan adat istiadat dari nenek moyang itu masih dihormati dan dijunjung tinggi sehingga tidak berani melanggarnya. Kelaziman yang demikian itu akhirnya menjadikan orang desa atau masyarakat tani untuk berpikir dan berbuat menurut adat istiadat secara tradisional.
Dengan adanya perpaduan antara faktor-faktor produksi seperti : faktor alam (SDA), faktor tenaga kerja (SDM), teknologi, pemberantasan hama/penyakit, dan sistem budaya, di mana mereka sebagai juru tani dan pengelola, maka muncullah keluaran-keluaran itu berbentuk hasil tanaman.
Hasil pertanian tersebut tentu sangat penting bagi keluarga petani. Kegunaannya yang utama ialah untuk keperluan konsumsi keluarga sendiri dalam bentuk produksi subsistensi, yaitu produksi dan konsumsi yang terletak dalam satu tangan (Akbar, 1982). Kehidupan serupa ini disebut juga ekonomi subsistensi.
Selain itu pertanian dapat juga dipertukarkan, diperdagangkan atau dipasarkan oleh para petani, sehingga menimbulkan distribusi barang. Seperti yang dikemukakan oleh Haviland (1988 : 50) bahwa ”perdagangan atau pertukaran pasar yaitu perpindahan arus barang dari pemilik yang satu ke pemilik yang lain, dan terjadi di pasar”.
Namun bagaimanapun juga dengan memperdagangkan atau menukarkan hasil-hasil pertanian, baik di pasar maupun langsung kepada konsumen, para petani akan memperoleh barang, jasa dan uang. Barang dan jasa didapat dengan menggunakan pranata barter, sedangkan uang diperoleh lewat pranata jual beli (perdagangan). Menurut Polanyi (1988 : 130) mengatakan bahwa uang yang didapat oleh petani mempunyai fungsi yang serba guna. Misalnya untuk kembali dipakai membeli barang dan jasa yang tidak dapat dihasilkan oleh keluarga petani sebagai unit ekonomi.
2.2. Budidaya Kelapa di Indonesia
2.2.1. Perkembangan Budidaya Kelapa
Secara pasti kapan tanaman kelapa dibudidayakan dengan sistematis oleh masyarakat Indonesia belum dapat diketahui. Hal ini disebabkan karena sejarah tanaman kelapa Indonesia merupakan bagian dari sejarah kelapa dunia yang memang belum dapat ditentukan secara pasti dari mana asal tanaman kelapa tersebut. Terlebih lagi mengingat bahwa kelapa tersebar lokasinya di daerah pantai negara-negara tropis di sepanjang daerah kathulistiwa (Awang, 1994 : 13).
Lebih lanjut lagi Awang menyatakan bahwa petunjuk mengenai pembudidayaan tanaman kelapa di Indonesia dapat diduga telah berlangsung minimal lebih dari 1000 tahun yang lalu. Bukti dari pernyataan ini adalah dengan ditemukannya gambar-gambar pohon kelapa yang sangat indah pada relief dinding Candi Borobudur abad ke-9 sesudah Masehi. Menurut Reyne (1948, dalam Awang, 1994 : 14), di Sri Lanka kelapa sudah ditemukan pada abad pertama masehi. Diperkirakan pada saat yang sama kelapa juga sudah dikenal di kepulauan Melayu, bahkan berdasarkan bahan-bahan informasi mengenai bahasa dan kebudayaan, maka dapat disimpulkan bahwa tanaman kelapa sudah terdapat di kepulauan Melayu sejak tahun masehi.
Dalam suatu perjalanan tahun 1292/1293, Marcopolo menemukan banyak tanaman kelapa di Sumatera. Dalam pustaka Jawa kuno sebelum tahun 1400 telah pula terdapat nama-nama setempat seperti nyu dan kelapa yang sampai sekarang masih digunakan. Pada jaman VOC disebut juga tentang nama cocos atau calaphus, suatu penyimpangan dari kata kalapa dan kemudian menjadi sebutan umum untuk kelapa di Indonesia.
Pembudidayaan kelapa dilakukan pada tahun 1886 oleh Perseroan Dagang Maluku (Moluksche Handels Vennotschap) di Pulau Talise dan Kikobohutan di ujung Sulawesi Utara. Sejak dikenalnya tanaman kelapa di Indonesia, penguasaan tanaman tersebut di seluruh tanah air dikuasai oleh pekebunan rakyat, sehingga Indonesia juga dikenal sebagai negara ”nyiur melambai”. Produk kelapa merupakan hasil pertanian/perkebunan yang paling pertama diekspor ke pasar internasional, khususnya jika dibandingkan dengan budidaya kopi pada jaman Cultuurstelsel.
Pesatnya perkembangan kelapa di Indonesia merupakan pengaruh dari besarnya permintaan minyak kelapa negara-negara Eropa untuk bahan pembuatan margarine pada akhir abad ke-19. namun permasalahan yang cukup serius dalam perkembangan tanaman kelapa Indonesia sejak jaman Hindia-Belanda adalah masalah serangan hama serangga dan penyakit di daerah timur Nusantara, telah menurunkan produksi kelapa yang ada. Menindaklanjuti permasalahan tersebut, maka pemerintah membentuk Balai Penelitian Kelapa Manado yang berlokasi di Pusat Pertanaman Kelapa Indonesia. Namun dalam perkembangannya, badan ini sangat dipengaruhi oleh situasi politik dan perekonomian Hindia-Belanda.
Pada era kemerdekaan tahun 1945 sampai tahun 1967 perkembangan kelapa di Indonesia relatif lambat dibandingkan dengan pasca tahun 1967, yang sangat dipengaruhi oleh situasi negara pasca kemerdekaan. Pada waktu Indonesia masih dijajah oleh Belanda, semua perkebunan besar merupakan perkebunan swasta yang sahamnya sebagian besar dimiliki oleh orang-orang atau perusahaan-perusahaan luar negeri. Setelah perkebunan-perkebunan milik Belanda dalam tahun 1958 diambil alih oleh rakyat Indonesia dan kemudian diserahkan kepada pemerintah Republik Indonesia, maka sistem berusaha pola Belanda dilestarikan oleh PNP atau PTP yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mengelola perkebunan yang diambil alih tersebut.
2.2.2. Bentuk Usaha Tani Kelapa
Selama ini sebagian besar petani kelapa sangat bergantung pada produk kelapa segar dan kopra. Fluktuasi harga kedua produk tersebut mempengaruhi ketahanan perekonomian petani di pedesaan. Namun secara ekonomi masih dimungkinkan petani kelapa meningkatkan pendapatannya yaitu melalui upaya diversifikasi usaha tani, baik diversifikasi horizontal maupun diversifikasi vertikal (Awang, 1994 : 35). Diversifikasi horizontal berkaitan dengan upaya memanfaatkan lahan terbuka yang ada di antara tanaman kelapa dengan mengusahakan tanaman semusim dan tanaman keras. Sedangkan diversifikasi vertikal adalah penganekaragaman produk-produk pengolahan pasca-panen yang berasal dari buah kelapa.
Berkaitan dengan diversifikasi usaha tani kelapa tersebut maka sampai saat ini belum ada kesepakatan para ahli yang ada mengenai pola usaha tani yang ada di Indonesia. Namun demikian ada pendapat yang mengatakan bahwa secara umum bentuk usaha tani kelapa di Indonesia dapat dibedakan ke dalam beberapa pola, sebagai berikut.
a. Pola Pekarangan
Bagi petani di Indonesia tanaman kelapa merupakan tanaman yang selalu ada dalam bagian usaha taninya, minimal mereka akan menanam satu pohon kelapa untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari (subsistensi), atau dapat lebih dari itu yaitu untuk menambah pendapatan keluarga (komersial). Pola pekarangan ini paling banyak ditemukan di Pulau Jawa dan di daerah transmigrasi yang penduduknya berasal dari pulau Jawa. Keadaan tanaman kelapa di pekarangan biasanya terletak di sekitar rumah, pertumbuhan tanaman baik, produksi relatif baik karena biasanya tanah di sekitar pekarangan subur.
b. Pola Monokultur
Umumnya usaha tani kelapa di wilayah Indonesia Tengah dan Timur serta Riau bersifat monokultur. Tanaman kelapa yang dimiliki oleh perusahaan perkebunan swasta dan negara juga termasuk ke dalam pola usaha tani monokultur. Bagi tanaman kelapa rakyat pola monokultur ini umumnya dari tipe kelapa jangkung, bagian bawahnya berisi rumput-rumputan, alang-alang maupun tanaman sela seperti pisang, cengkeh, coklat dan tanaman palawija. Sementara itu pola monokultur pada perkebunan besar negara dan swasta terdiri dari jenis hybrida yang pada bagian bawah lahannya belum dimanfaatkan untuk tanaman sela.
c. Pola Polikultur
Pola polikultur merupakan pola usaha tani di mana kelapa ditanam bercampur dengan tanaman lain dalam satu lokasi. Dalam pola ini kurang jelas jenis mana yang menjadi tanaman pokok usaha taninya. Pada pola polikultur ini penggunaan tanah sudah intensif, kadangkala melampaui daya dukung lahannya sendiri. Persaingan terhadap lahan dan ruang di antara sesama tanaman sudah sedemikian ketat, sehingga produktivitas tanaman secara individu sudah sangat rendah. Bentuk lain dari polikultur adalah : 1) Intercropping (tanaman sela) : tanah di antara tanaman kelapa digunakan untuk menanam tanaman muda atau tanaman setahun, seperti padi, palawija, sayur-sayuran, dan lain-lain; 2) Mixed Cropping (tanaman campuran) : di antara tanaman kelapa diusahakan tanaman tahunan atau tanaman berharga lainnya termasuk tanaman buah-buahan; dan 3) Multistoreyed Cropping : di antara tanaman kelapa diusahakan beberapa jenis tanaman yang tinggi atau tanaman kedalaman akarnya berbeda.
d. Pola Pasang Surut
Menurut Darwis (dalam Awang, 1994 : 41), tanaman kelapa pasang surut di Indonesia merupakan salah satu pola tersendiri, baik yang telah ada selama ini maupun yang dinginkan pada masa yang akan datang. Pola seperti ini keadaan tanaman di antara kelapa tidak sama antara daerah yang satu dengan daerah lainnya.
2.2.3. Budidaya Kelapa
Budidaya kelapa merupakan suatu bidang kegiatan yang tentunya tidak bisa terlepas dari aspek pengetahuan tentang tipe kelapa, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, sampai pada pemasaran hasil produksi kelapa.
Menurut klasifikasi botaninya tanaman kelapa (Cocos Nucifera L) termasuk famili palmae. Tanaman ini merupakan vegetasi tropis yang penting di bagian pantai dan umumnya pada lahan pertanian. Secara umum kelapa dapat dikelompokkan ke dalam tiga tipe yaitu tipe kelapa genjah, tipe kelapa jangkung, dan kelapa tipe semi jangkung. Kelapa Genjah mempunyai beberapa sifat umum antara lain cepat berbuah (3-4 tahun), habitus kecil, dominan inbreeding, kadar kopra rendah, kadar minyak 65 % dari berat kering daging buah, ukuran buah relatif kecil dan berbuah lebat. Kelapa jangkung merupakan tipe kelapa yang paling banyak ditanam dan mempunyai keragaman yang sangat besar. Beberapa sifat khas kelapa ini adalah pohon lebih kuat, habitus lebih tinggi, penyerbukan dominan out breeding, kadar kopra lebih tinggi dari genjah, lambat berbuah (6-7 tahun). Kelapa semi jangkung mempunyai sifat antara sifat kelapa genjah dan jangkung (intermediate), habitusnya tinggi, dominan out breeding, dan relatif lebih cepat tumbuh (Fahwani, dkk, 1989).
Selain tipe di atas, sekarang dikenal juga ada varietas kelapa hybrida. Kelapa hybrida ini pada dasarnya merupakan hasil persilangan antara beberapa tipe kelapa, baik tipe genjah maupun tipe jangkung.
Setelah pakem pengetahuan mengenai tipe kelapa, maka perlu diketahui mengenai penanaman dan pemeliharaan. Berawal dari proses pembibitan yang dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu pembibitan secara Nauli (gantung) dan Polybag. Pembibitan kelapa dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pesemaian (prenursery) dan tahap pembibitan lanjutan (main nursery). Biasanya umur bibit siap tanam setelah 7 bulan berada di pembibitan atau bila anak daunnya sudah ada yang pecah. Lahan dipersiapkan dengan membuat lubang dan membersihkan lahan tersebut dari tanaman pengganggu. Lubang tanamanpun dibuat seperlunya. Sebelum penanaman di lapangan bibit harus disiram dan diberi cadangan hara. Biasanya penanaman bibit kelapa dilakukan pada awal musim hujan. Tahap selanjutnya yaitu pemeliharaan yang mempunyai dua sasaran seperti untuk kepentingan kesehatan dan kesuburan tanaman kelapa serta untuk kesuburan tanah di mana tanaman kelapa berada. Secara umum kegiatan pemeliharaan tanaman kelapa meliputi penyulaman, penyiangan, pengendalian hama, dan pemupukan (Wahyuni, 1990 : 11-16).
Pemungutan hasil atau pemanenan merupakan saat buah kelapa dapat dipetik atau dimanfaatkan oleh manusia. Dalam keadaan normal, tanaman kelapa dapat dipungut hasilnya yaitu pada umur 3-4 tahun bagi kelapa genjah, dan 6-7 tahun bagi kelapa jangkung, serta kurang dari 4 tahun untuk kelapa hybrida. Cara pemetikan buah kelapa antara lain dengan memanjat pohon secara langsung oleh manusia melalui kowokan-kowokan (tempat panjatan) yang dibuat pada batang kelapa, dan atau kelapa dibiarkan jatuh sendiri karena sudah masak batang serta pemungutan hasil dengan ”Egrek” yaitu dengan galah panjang yang ujungnya dipasang kait atau pisau tajam. Di samping itu ada cara pemetikan buah kelapa menggunakan tenaga ”kera” yang sudah terlatih. Kelapa yang sudah dipanen bisa dipasarkan secara langsung atau diolah terlebih dahulu menjadi produk-produk olahan kelapa seperti kopra, minyak kelapa, desiccated coconut, santan beku, arang tempurung aktif, nata de coco, nira dan gula kelapa serta sabut kelapa. Pemasaran kelapa ataupun hasil olahan dari kelapa tersebut dapat dipasarkan secara langsung ataupun melalui perantara. Secara ringkas, pola pemasaran kelapa dan olahannya dapat dilihat pada bagan berikut.
Bagan 1.
Pola Pemasaran Buah Kelapa dan Olahannya
PERKEBUNAN
SWASTA/
NEGARA
PETANI PRODUSEN
PEDAGANG
PENGECER
PEDAGANG
PERANTARA
PABRIKAN
KONSUMEN
Sumber : diadaptasi dari Awang, 1994 : 147
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam usaha pencapaian tujuan penelitian seperti yang telah dikemukakan di atas, dibutuhkan suatu metode penelitian. Karena masalah yang ingin diteliti lebih berorientasi pada kajian sejarah khususnya sejarah sosial dan ekonomi, maka prosedur kerja yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan langkah-langkah metode penulisan sejarah. Adapun langkah-langkah penelitian yang dimaksud adalah sebagai berikut.
3.1. Heuristik
Pengumpulan data ditujukan untuk menemukan serta mengumpulkan jejak-jejak sejarah, terkait dengan perkembangan perkebunan kelapa dari subsistensi ke komersial tahun 1918-2006. dalam usaha mengumpulkan data ini digunakan beberapa teknik, yaitu teknik observasi, teknik wawancara, dan studi pustaka/dokumen.
3.1.1. Teknik Observasi
Dalam penelitian ini penulis mengadakan langsung tentang objek yang penulis teliti, yakni ” Petani Kelapa Dari Sistem Subsistensi ke Sistem Komersial : Studi Historis Kehidupan Petani Kelapa di Desa Pulukan Tahun 1918-2006”. Dalam penelitian ini observasi yang dilakukan bersifat non-partisipan/tak berpartispasi, yaitu peneliti berada di luar subjek yang diamati, dan tidak ikut dalam kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Adapun aspek-aspek yang akan dicermati dalam observasi antara lain kondisi geografis dan demografis Desa Pulukan, proses produksi, dan proses pemasaran. Data ini dicermati dan direkan dengan menggunakan alat tertentu seperti kamera dan handycam, dan dicatat hal-hal penting yang berhubungan dengan topik penelitian, sehingga didapatkan data sesuai dengan kenyataan yang ada. Dalam hal ini dokumentasi sangatlah penting dalam menunjang uraian berikutnya.
3.1.2. Sumber Lisan dengan Teknik Wawancara
Teknik wawancara (interview) dipergunakan untuk memperoleh data primer. Dalam hal ini dipergunakan teknik wawancara dengan berpedoman pada pedoman wawancara. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menjaga keutuhan, keabsahan, dan keaslian wawancara. Supaya tidak hilang dan tidak rancu, maka peneliti mengadakan pencatatan langsung dari hasil wawancara tersebut. Dengan demikian diharapkan wawancara yang dilakukan lebih terarah, namun tidak menutup kemungkinan dilakukan wawancara yang tidak berstruktur, dengan tujuan agar peneliti dapat memperoleh informasi dengan mudah dan sebanyak-banyaknya tanpa harus berpatokan pada pedoman wawancara yang ketat. Wawancara yang dilakukan lebih bebas iramanya, tetapi peneliti tetap berpegang pada rumusan masalah yang telah dibuat. Beberapa aspek yang perlu diwawancarai adalah : tentang pelaksanaan pertanian kelapa secara subsistensi, penyebab berubahnya subsistensi menjadi komersial, dan juga perkembangan produksi tanaman kelapa dari tahun 1918-2006.
Wawancara dilakukan dengan tokoh-tokoh masyarakat Desa Pulukan, petani kelapa tradisional, saudagar, staf perkebunan di daerah setempat, serta mencari informasi ke Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Jembrana. Selain itu pula wawancara dilakukan di Kantor Kepala Desa Pulukan untuk mencari informasi mengenai latar belakang penduduk Desa Pulukan, serta dilakukan di rumah-rumah informan yang dimaksud.
3.1.3. Studi Dokumen
Dokumen yaitu materi tertulis atau tercetak dalam bentuk buku, majalah, koran, buku catatan, dan sebagainya. Dokumen merujuk pada beberapa jenis informasi yang eksis ke dalam bentuk tertulis atau cetak (Zuriah, 2006 : 53). Menurut Mochtar (1998 : 78) yang menguraikan bahwa teknik studi dokumen adalah cara mengumpulkan data dengan menggunakan peninggalan tertulis. Bahan dokumen tersebut bisa berupa arsip, buku, surat kabar, jurnal atau website di internet. Teknik ini juga disebut dengan teknik kepustakaan. Ujuan penggunaan teknik ini adalah untuk memperoleh data sekunder. Selain teknik di atas, digunakan juga koleksi pustaka milik pribadi atau lembaga tertentu, misalnya pemerintah desa, kecamatan, kabupaten, atau perkebunan swasta yang ada di Pulukan. Dokumen yang digunakan misalnya data statistik, monografi desa, peta atau denah, data produksi, dan lain-lain, yang dikumpulkan secara bertahap.
3.2. Kritik Sumber
Dalam sejarah, dibedakan data dan fakta sejarah. Data adalah jejak-jejak sejarah yang masih terserak atau tercecer dan belum merupakan gambaran dari suatu peristiwa sejarah. Sedangkan fakta adalah keterangan atau kesimpulan yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah yang telah disaring dan diuji dengan proses kritik sumber sejarah. Dengan demikian, data atau jejak yang diperoleh perlu dievaluasi dengan teknik kritik sumber sejarah.
Kritik sumber sejarah dapat dibedakan menjadi dua yakni kritik ekstern dan kritik intern.
3.2.1 Kritik Ekstern
Data yang telah terkumpul dari berbagai sumber selanjutnya dikritisi, dibaca, dan dikodifikasi sesuai dengan kebutuhan pembahasan topik tulisan. Diadakan kritik ekstern menyangkut otentisitas (keaslian) sumber, apakah ada yang meragukan atau tidak, adakah diubah dengan kepentingan-kepentingan tertentu harus dicermati. Setelah diyakini benar maka dikutip beberapa data yang diperlukan, dibuat catatan khusus yang diperlukan dalam penulisan (kritik intern yaitu kebenaran isi sumber). Sedangkan wawancara juga dikritisi masalah pengetahuan informan, latar belakang usia, usia, serta kedudukannya dalam masyarakat. Menurut Jack R. Fraenkel dan Norman E. Wallen (1990 : 416 dalam Yatim Riyanto, 1996 : 25), beberapa pernyataan yang terkait dengan kemurnian sumber-sumber sejarah adalah :
a. Siapa yang menulis dokumen?
b. Untuk apa tujuan dari dokumen yang tertulis?
c. Kapan dokumen ditulis?
d. Di mana dokumen ditulis?
e. Dalam kondisi yang bagaimana dokumen ditulis?
f. Bagaimana perbedaan bentuk atau versi keberadaan dokumen?
3.2.2 Kritik Intern
Kritik intern bertujuan untuk menguji kredibilitas (kebenaran isi) dari jejak sejarah atau kesaksian yang diberikan oleh sebuah sumber sehingga semua dokumen dak sumber informasi tersebut tidak diragukan lagi kebenarannya dan dapat dipercaya. Kritik intern dapat dilaksanakan baik melalui penilaian intrinsik dari sumber atau jejak (terutama sumber tertulis) atau bisa juga dengan membandingkan kesaksian dari berbagai sumber (terutama sumber lisan). Dalam hal menilai informasi lisan dari seorang informan, secara praktis bisa dilaksanakan dengan mengajukan pertanyaan pokok, yaitu apakah informan mampu memberikan kesaksian. Di sini kepercayaan terhadap informan terutama didasarkan atas keterlibatannya dalam kasus/peristiwa yang ingin diteliti. Dapat juga dengan mengajukan pertanyaan apakah informan dapat memberikan kesaksian, terutama diukur dari kesediaan informan memberi kesaksian yang benar atau tidak menutup-nutupi atau melebih-lebihkan informasi yang diberikan. Dengan berdasar prosedur ini, diharapkan dapat diwujudkan fakta-fakta sejarah yang benar (yang mencerminkan sejarah yang sebenarnya), kemudian ini dijadikan kerangka dasar dari cerita sejarah.
3.3. Interpretasi
Setelah melewati proses kritik sumber, maka data atau jejak sejarah yang dikumpulkan berupa dokumen (foto, arsip desa, arsip pemerintah dan swasta), hasil wawancara, dan pengamatan (observasi) sudah bisa diwujudkan menjadi fakta sejarah. Fakta sejarah yang telah diwujudkan belum bisa secara langsung dugunakan untuk menyusun cerita sejarah karena masih ada langkah metodologi yang harus ditempuh, yaitu interpretasi. Fakta-fakta harus diinterpretasikan sehingga dapat dihubung-hubungkan secara bermakna dalam keseluruhan gambaran sejarah yang hendak disusun. Proses membuat interpretasi ini merupakan proses membuat seleksi fakta, maksudnya memilih fakta-fakta mana yang cocok untuk dihubung-hubungkan guna menghasilkan makna sejarah tertentu. Seleksi untuk dapat menghubung-hubungkan fakta ini terutama didasarkan atas kerangka teoritis yang dikembangkan dalam landasan teori.
Dalam langkah ini kemungkinan untuk timbulnya subjektivitas sejarawan sangat besar. Subjektivitas penulis sejarawan diakui tetapi untuk dihindari dan ditekankan. Dalam tahap ini penulis ingin menghubungkan pola pertanian para petani kelapa dengan adat istiadat dan kondisi lingkungan alam petani tersebut. Selain itu pula penulis ingin menghubungkan dinamika produksi kelapa dengan kondisi sosial-ekonomi dan politik pada saat itu.
3.4. Penulisan Sejarah (Historiografi)
Langkah terakhir yang ditempuh setelah membangun ide-ide tentang hubungan fakta yang satu dengan yang lain adalah penyusunan cerita sejarah atau penulisan sejarah yang lebih dikenal dengan istilah Historiografi. Dalam tahap ini diperlukan kemampuan dan ketelitian untuk menjaga mutu cerita sejarah yang akan disusun. Prinsip 5W + 1H (What, Who, When, Where, Why, How) yang sering dijadikan dasar oleh sejarawan dalam proses kerjanya. Begitu pula prinsip serialisasi (urutan peristiwa), kronologis (urutan waktu), dan kausalitas (hubungan sebab akibat) dari peristiwa sejarah yang digambarkan terlihat dengan jelas (Widja dan Aryana, 2004 : 49). Menyusun sejarah berarti mengisahkannya. Pengkisahan ini dimulai dari keadaan permulaan dengan batasan tempat, waktu secara kronologis dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar sehingga dihasilkan suatu karya sejarah yang mengandung satu kesatuan yang utuh.
4. DAFTAR PUSTAKA
Akbar, M. Ayub. 1982. Sumber Pendapatan, Kebutuhan : Pokok dan Perilaku Menyimpang. Jakarta : CV. Rajawali
Awang, San Afri, Ir. 1994. Kelapa : Kajian Sosial-Ekonomi. Yogyakarta : Aditya Media
Haviland, William. A. (Ed). 1998. Antropologi. Jakarta : Airlangga
Karsono, Edy. 1991. Geografi dan Kependudukan. Semarang : Aneka Ilmu
Kartasapoetra, G. 1985. Manajemen Pertanian. Jakarta : PT Bina Aksara
Koentjaraningrat. 1982. Sosiologi Pedesaan. Cetakan I. Yogyakarta : Gajahmada University Press
Lekkerkerker, C.1923. Het Voorspel der Vestiging van de Nederlandsch Macht op Bali en Lombok. ”, dalam BKI, 70
Lindbland, J. Thomas. 1998. Sejarah Ekonomi Modern Indonesia : Berbagai Tantangan Baru. Jakarta : LP3ES
Mochtar, M. 1998. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta : Sinar Karya Dharma IIP
Moeliono, Anton. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3. Jakarta : Balai Pustaka
Mubyarto. 1979. Pengantar Ekonomi Pertanian Cetakan 4. Jakarta LP3ES
_________. 1986. Pengantar Ekonomi Pertanian Cetakan 8. Jakarta : LP3ES
Parwata, I Nyoman. 1989. Perkebunan Pulukan dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitarnya 1949-1981. Tesis S2 belum diterbitkan. Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana
Polanyi, Karl.C.M. Arenberg, dan H.W. Pearson (Ed). 1988. Teori Masyarakat : Proses Peradaban Dalam Sistem Dunia Modern. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Putrawan, N. 2008. Babad Bali Baru : Sejarah Kependudukan Bali 1912-2006. Denpasar : Pustaka Manikgeni
Rangkuti, Fahwani dan Asmono, Dwi. 1989. Penggunaan Kelapa Varietas Unggul Sebagai Bahan Tanaman. Kursus Manajemen Perkebunan Dasar. Sumatera Utara : Pusat Penelitian Perkebunan Bandar Kuala
Redfield, Robert. 1985. Masyarakat Petani dan Kebudayaan. Jakarta : CV. Rajawali
Riyanto, Yatim. 1996. Metode Penelitian Pendidikan, Suatu Tinjauan Dasar. Surabaya : SIC
Scott, James C. 1981. Moral Ekonomi Petani. Jakarta: LP3Es
Suditha, I Nyoman. 2005. Bahan Kuliah Geografi Regional Indonesia. Singaraja : Universitas Pendidikan Ganesha
Suprapto, Drs.,M.S. 2003. Sejarah Perekonomian. Jakarta : Universitas Terbuka
Suwitha, I Putu Gede. 2003. Terbentuknya Kelas Menengah dan Modernisasi Dalam Masyarakat Bali, dalam Guratan Budaya dalam Perspektif Multikultural: Katurang ri Kalaning Purnabakti Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus. Denpasar: Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana
Tohir, A. Kaslan. 1983. Seuntai Pengetahuan Tentang Usaha Tani Indonesia. Jakarta : PT Bina Aksara
Wahyuni, Mardiana, dkk. 1990. Agronomi Kelapa. Doc. 54/V/1990. Sumatera Utara : Pusat Penelitian Perkebunan Bandar Kuala
Widja, I Gde, dan I Gusti Made Aryana. 2004. Filsafat Sejarah (Suatu Perspektif Dalam Pengembangan Wawasan Kesejarahan). Singaraja : IKIP Negeri Singaraja
Zuriah, Nurul, Dra., M.Si. 2006. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan : Teori-Aplikasi. Jakarta : Bumi Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar