Label

Adi Sanjaya

Adi Sanjaya

Kamis, 16 September 2010

SUATU TINJAUAN MENGENAI PERSUBAKAN DI BALI SELATAN DAN KEMUNDURANNYA SEHUBUNGAN AKAN DIBENTUKNYA DEWAN-DEWAN PENGAIRAN DI HINDIA BELANDA

Resume arsip oleh Adi Sanjaya
Penulis Asli: P.L.E. Happe

Menteri Penjajahan Hindia-Belanda mengajukan Rencana Undang-undang mengenai tambahan dari Peraturan Kebijaksanaan Pemerintah Hindia-Belanda, yang juga diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat Pertama, yang akan segera dibentuknya Dewan-dewan daerah pengairan yang berbadan hukum di Hindia-Belanda.
Dewan-dewan ini akan sangat menaruh perhatian terhadap kepentingan-kepentingan perkebunan Eropa, dan bahkan juga mungkin terhadap perhimpunan-perhimpunan yang berbadan hukum, maka dewan-dewan yang dibentuk hanya semata-mata untuk mendapatkan suatu cara penyediaan air yang lebih baik untuk daerah-daerah penanaman padi di Jawa.
Keinginan tentang pembentukan suatu dewan seperti yang tersebut belakangan ini telah kerap kali ditulis oleh banyak pihak. Berbagai cara pengelolaan pengairan yang kini diterapkan di Jawa, dimana daerah irigasinya dibagi-bagi dalam petak-petak ketiga dimana petaninya sedikit banyak mempunyai hak untuk ikut berbicara dalam menguasai air, telah menunjukkan gejala keragu-raguan dalam dewan-dewan pengairan. Dalam sistem ini air disalurkan ke dalam lingkungan-lingkungan dengan luas tertentu, semuanya dibagi dan diatur oleh para petani (pribumi) dalam lingkungan-lingkungan itu, atau setidak-tidaknya oleh suatu panitia, ditunjuk oleh dan dari petani dan dengan demikian mereka dilatih untuk berdiri sendiri sesuai dengan maksud dan tujuan anggota-anggota dewan pengurus pengairan yang nantinya akan dibentuk.
Mengenai sejarah kemunduran persubakan di Bali Selatan, terjadinya dan pengaturannya, dapat dijelaskan sebagai berikut. Berdirinya bangunan-bangunan irigasi yang lebih besar di dalam Kerajaan-kerajaan di Bali Selatan itu harus dianggap sebagai dorongan pribadi dari Raja-raja atau dari punggawa-punggawanya yang karena berusaha memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi memerintahkan mendirikan mendirikan bangunan-bangunan irigasi tersebut. Hal tersebut akan berimplikasi pada melonjaknya nilai tanah milik negara dan tanah yang harus diberi air. Hal ini terjadi di Kerajaan Gianyar, dimana untuk mengolah wilayah pertahanan yang dapat diairi dikumpulkan sejumlah orang. Kemudian Raja memberikan penghargaan berupa keuntungan-keuntungan pribadi, seperti memperoleh hak penuh untuk menikmati hasil tanah yang dikelolanya selama 3 tahun pertama setelah pengairan berjalan, dan sesudah itu mereka memiliki kesempatan untuk menyewa tanah tersebut dari Raja.
Setelah tanah yang diairi tersebut dapat ditanami palawija, maka dimulailah dengan pembangunan irigasi. Sebagai pemimpinnya adalah seorang Panglurah (seorang pejabat yang diangkat oleh Raja untuk menangani masalah penanaman padi), yang mempunyai kekuasaan secara mutlak. Para penggarapnya tidak berhak untuk ikut berbicara. Akan tetapi karena dalam hal ini mereka sebagai calon penyewa juga mengharapkan keuntungan pribadi dan dilakukan dengan bekerjasama untuk mencapai tujuannya, maka Panglurah tersebut dapat dianggap sebagai kepala dari suatu “perkumpulan”. Untuk selanjutnya “perkumpulan-perkumpulan” yang demikian itu menjadi suatu kesatuan yang teratur diberi nama “Dewan Pengurus Pengairan”.
Keuntungan dari penggarap yang diperoleh dari Raja yang berhak menikmati hasil panen tanah garapannya yang kemudian dapat disewakan kepada rakyat ternyata dimanfaatkan kembali dengan menyewa kembali tanah tersebut dan menikmati hasilnya secara turun-temurun dengan syarat membayar pajak air (suwini) kepada Rajanya. Sawah-sawah yang tersisa diberikan kepada para penggarap dan orang-orang yang membutuhkan, yang menerima beberapa bagian (tanah-tanah pecatu) dalam bentuk penggunaan pribadi secara turun-temurun sebagai imbalan atas kewajiban mereka kepada Raja. Raja juga memberikan tanah kepada para pembesar dan candi-candi yang bebas dari suwini dan beban-beban lainnya. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa hampir seluruh sawah-sawah di Bali Selatan (kecuali dalam bekas Kerajaan Karangasem) dapat dipandang sebagai milik dari bekas Raja-raja atau dalam keadaan disewa para rakyatnya. Sewa tersebut terdiri atas 2 bagian, yaitu pajak tanah yang untuk tanah droee dibayar dalam bentuk barang, dan tanah pecatu dalam bentuk rodi-rodi tertentu, dan kedua, pajak air (suwini).
Pembagian tanah dalam suatu daerah pengairan biasanya dibagi-bagi oleh Panglurah, yang kadang dibantu oleh Sedahan. Daerah pengairan yang menjadi satu dengan satu atau lebih petak-petak kedua atau ketiga dari daerah pengairan tersebut diberi nama “Subak”. Subak dibentuk kemungkinan merupakan suatu adat yang berasal dari Jawa. Pembagian tanah menjadi subak-subak tersebut bertujuan untuk memperingan pekerjaan Panglurah dalam mengelola pengairan (dengan jalan desentralisasi).
Jadi subak-subak tersebut yang merupakan bekas Kerajaan Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung, dan Bangli tidak terlahir dari keinginan para petani sendiri. Petani dalam subak tersebut merupakan suatu perkumpulan yang memang tidak memiliki peraturan-peraturan tertulis, akan tetapi dikenal menurut adatnya. Dalam rapat bulanan anggota subak (tiap 35 hari), dipimpin oleh “Pekasih”, dan biasanya membahas hal-hal yang menyangkut subaknya. Mengenai jumlah anggota subak juga tidak lebih dari 100 orang.
Suatu ukuran yang berlaku dalam subah adalah “tenah”. Satu “tenah” padi satu ikat padi dengan ukuran tertentu. Satu “tenah”, yaitu luas tanah yang dapat ditanami satu tenah padi. Kemudian pembagian airnya dilakukan seimbang dengan jumlah tanah, yang mencakup luas tanah yang harus diairi (tetek). Namun, lambat laun pengertian “tenah” tersebut diberikan kepada suatu luas sawah yang diberi air sebanyak satu tetek. Apabila seseorang mendapatkan air lebih banyak, maka ia diharuskan membayar pajak lebih banyak, karena sawah dipungut atas dasar tiap tanah. Karena itu, “tenah” ini yang sering disebut dengan “Tenah Bali”merupakan satuan pengairan dan bukan satuan luas, sebagai ukuran untuk menentukan pajak.
Pembagian air dalam suatu daerah pengairan berjalan sesuai dengan kebutuhan dari setiap daerah/bagian. Misalnya di Bali Selatan, hal tersebut terwujud hanya karena jumlah air dijadikan ukuran untuk pembayaran pajak atau lebih-lebih adanya pengertian yang khayal tentang luas tanah “Tenah Bali”. Pembagian air terhadap masing-masing daerah pengairan diiringi dengan kewajiban-kewajiban memelihara bangunan pengairan berdasarkan suatu pedoman tertentu yang telah disepakati. Akan tetapi kewajiban-kewajiban ini harus dilakukan hanya untuk bangunan-bangunan air yang bersangkutan saja, jadi hanya pada prise d’eau dan saluran-saluran dari mana orang menerima airnya.
Bagi orang Bali yang masih membayar suwini mempunyai anggapan bahwa ia merupakan pemilik tunggal dari air bagiannya yang didapat dengan bekerja keras, sehingga air bagi mereka merupakan sebuah lambang kehormatan dirinya. Namun kini paradigma tersebut telah bergeser, bahkan dapat dikatakan bahwa berlangsungnya peraturan giliran dan perputaran dengan adat di Bali Selatan ini adalah berkat kesadaran para petani Bali yang dapat mempergunakan air yang diterima secara berdayaguna, serta berkat adanya “hak atas air”.
Perihal terbentuknya dan pengaturan pengairan di Bali Selatan, terutama di Gianyar, dikenal dua unsur yang saling berbeda, yaitu subak sebagai perkumpulan pengairan yang sungguh-sungguh dan daerah pengairan yang terdiri dari suatu daerah subak-subak yang mempunyai kepentingan pengairan yang sama. Subak-subak itu merupakan perkumpulan- perkumpulan yang secara praktis dapat dikatakan seperti memiliki sifat-sifat hukum, akan tetapi mereka hanya merupakan bagian dari suatu daerah pengairan yang tidak memiliki sifat hukum tersebut. Namun daerah pengairan inilah yang merupakan satuan dalam hal pengairan dan bukan subak-subaknya. Sebagai lambang persatuannya, maka dalam setiap daerah pengairan selalu dijumpai dua buah candi, yaitu Pura Ulun Carik yang terletak di dekat prise d’eau daerah pengairan, dan Pura Masceti yang dibangun lebih masuk dalam pusat daerah pengairan.
Seorang Panglurah hanya bertugas untuk hal-hal yang berhubungan dengan penanaman padi, maka daerah kekuasaannya meliputi satu atau lebih daerah pengairan. Hal serupa terjadi di Bangli, dimana Panglurah-panglurahnya terkenal dengan nama Klian Pekaseh, begitu pula di Klungkung Timur.
Seringkali suatu subak atau daerah pengairan mendapatkan aliran air dari suatu sungai yang sama. Maka Panglurah bertugas untuk membuat suatu sistem pembagian air agar tidak menimbulkan konflik antar anggota subak maupun daerah pengairan. Dalam hal ini semua daerah pengairan yang diberi air oleh sebuah sungai yang sama dapat dipandang sebagai suatu ”Daerah Pengairan Besar”, yang ”anggota-anggotanya” terdiri atas daerah-daerah pengairan, sedangkan daerah pengairan ini terdiri dari subak-subak.
Mengembangkan dan memimpin persubakan dalam jiwa bebas yang telah ada, harus merupakan syarat utama Pemerintah Hindia Belanda di Bali. Akan tetapi bagaimana dikarenakan kekurangan pengetahuan tentang keadaan-keadaan setempat, kepemimpinan tersebut tidak mengarah kepada syarat-syarat tersebut. Datangnya pemerintah Nederlands di Bali Selatan, berimplikasi pada diberlakukannya penarikan pajak tanah seperti halnya di Jawa, yang dipungut atas dasar satuan luas tanah, yaitu ”Tenah Bali”, dimana satu Tenah = 4500 m2. untuk memudahkan mengambil tenah-tenah yang baru ini dalam pengelolaan pengairan, maka pembagian air menurut sistem Bali yang berbanding seimbang dengan kebutuhan dari tenah, akan hilang dan diganti dengan suatu sistem pembagian air yang berbanding seimbang dengan luas tanah yang diberi air.
Pajak tanah dimana suwini telah dihapuskan, dilihat oleh orang Bali sebagai suwini (pajak air). Pemanfaatan persubakan guna penarikan pajak tanah dilakukan antara lain dengan pengangkatan para Panglurah sebagai pembantu pemungutan pajak. Jabatan dwifungsi yang disandang oleh Panglurah tersebut menimbulkan bahaya yang tidak kecil, karena dengan upah berupa uang untuk fungsinya sebagai pemungut pajak (yaitu 4 % dari uang yang masuk), mereka melalaikan jabatannya sebagai pemimpin pengairan yang telah diserahkan kepadanya. Dengan hanya memperhatikan jabatan sampingannya sebagai pemungut pajak, para Panglurah kebanyakan diangkat dalam tiap distrik sehingga pengelolaan pengairan menjadi lebih buruk, sebab pada daerah pengairan yang meliputi berbagai distrik terdapat banyak Panglurah yang menguasai airnya.
Perubahan lain dalam organisasi persubakan yang telah ada terjadi sewaktu diangkat seorang kepala mengenai penanaman padi, yaitu seorang Sedahan Agung, seorang kepala tertinggi dalam penguasaan air, pemungut pajak yang dibayar, pekerjaan administratif, dan seterusnya. Para Sedahan Agung sebagai anggota penasehat dalam pemerintah Nederlands dalam hal persubakan dapat mempergunakan pengaruhnya yang begitu besar dalam hal pengairan. Di afdeling Tabanan misalnya, terdapat organisasi pengairan di daerah-daerah pengairan yang dikenal dengan nama subak yang mempunyai arti berlainan dengan subak yang terdapat di daerah lain di Bali Selatan. Subak-subak ini hanya dapat dibebani suwini apabila pembangunannya dilaksanakan atas perintah Raja, dibagi-bagi dalam kumpulan (seka) yang dikepalai oleh seorang Perbekel Seka, juga kepala daerah pengairannya, yaitu Pergaih. Jadi di sini penanaman padi menunjukkan kebebasan dari Pemerintah daerah yang lebih besar daripada di Gianyar, dimana Panglurahnya diangkat oleh Raja. Maka dari itu di Tabanan terdapat kerja sama yang lebih baik di antara semua penduduk dalam suatu daerah pengairan dibanding dengan penduduk kerajaan lainnya di Bali Selatan.
Sebagai kepala dari daerah-daerah pengairan seharusnya diangkat Panglurah-panglurah. Namun karena daerah pengairan itu di sini secara kebetulan memakai nama ”subak”, maka sebagai kepala telah diangkat pekaseh-pekaseh, sedang Panglurah-panglurah yang baru mendapat distrik-distrik sebagai daerah kekuasaannya. Jika dahulu baik Perbekel Seka maupun Pergaih dipilih oleh dan dari penduduk daerah pengairan, maka sekarang para Pekaseh diangkat oleh kepala distrik, yaitu punggawa. Dengan demikian maka daerah-daerah pengairan di Tabanan telah kehilangan kebebasannya untuk selamanya, dan untuk selanjutnya daerah tersebut hanya dilihat sebagai daerah penghasil pajak saja. Oleh karena daerah pajak di Tabanan ini terlalu besar untuk diperintah oleh seorang Pekaseh, untuk menjaga agar distrik pajak yang diperintah oleh Pekaseh tidak terlalu kecil, beberapa subak kecil digabungkan menjadi satu di bawah penguasaan seorang Pekaseh. Jadi dalam seluruh sistem pengairan di Tabanan yang asli tinggal sedikit saja yang masih ada, juga subak-subak yang asli beserta susunan dan organisasinya yang begitu kecil.
Pada penempatan Pemerintah Nederlands di Bali Selatan, maka setelah mengetahui terbelakangnya keadaan persubakan, khususnya di Badung, telah diusahakan untuk menyusunnya kembali dengan cara yang dilakukan di Bali Utara dengan digabungkannya subak-subak menjadi satu untuk memperoleh ukuran yang lebih besar. Sebagai akibatnya, maka rasa gotong royong dalam subak-subak ini tidak ada dan oleh karenanya juga rapat-rapat bulanan tidak diberlakukan di Badung.
Karena pengurus yang didapat Pemerintah Bumiputera yang ditopang oleh ”Kompeni”, maka terbentuk suatu kelompok pejabat yang sewenang-wenang dan suka disuap. Suatu kenyataan bahwa seorang Sedahan Agung dari suatu bagian Afdeling di Bali Selatan hanya mau mengangkat orang menjadi Pekaseh apabila orang tersebut bersedia memberikan uang untuk jabatan itu.
Telah dapat dilihat betapa baiknya pengaturan pengairan yang demikian itu dalam suatu masyarakat pribumi tradisional, karena penyusunan kembali yang diharapkan akan memperbaiki keadaan. Akan tetapi karena pelaksanaannya yang menyImpang dari garis-garis yang dianut organisasi, maka akan justru merusak sistem pengairan seluruhnya. Hal yang demikian itu ternyata tidak hanya terjadi di Bali Selatan saja, namun juga terjadi di Jawa, dimana telah beberapa kali dicoba untuk memasukkan persubakan, akan tetapi tidak pernah berhasil. Penyebab kegagalan ini adalah adanya perbedaan antara orang Bali dengan orang Jawa dan juga adanya perbedaan dalam hal agama. Namun yang lebih ditekankan di sini adalah kurangnya pengetahuan pejabat-pejabat Pemerintah yang menghendaki pemindahan tanaman tersebut tentang persubakan. Akan tetapi bila pemasukan sistem pengairan Jawa itu dilakukan di bawah seorang pimpinan yang ahli, maka kemungkinan besar akan berhasil. Hal itu telah dibuktikan pada Peraturan Pateguran di daerah yang telah disebut, dimana perancang-perancangnya terdiri dari seorang insinyur dan seorang Pejabat Pemerintah yang sangat tertarik dengan hal itu.
Karena telah terkandung dalam tujuan untuk memberikan kedudukan badan hukum kepada daerah-daerah pengairan tersebut di Jawa dan membiarkan pengurusannya dikelola sendiri, maka dapat dipastikan bahwa pengairan-pengairan tersebut akan menjadi perkumpulan-perkumpulan yang besar. Bagian-bagian daerah pengairan yang kecil akan merupakan landasan, di atas mana akan bersandar pengairan yang akan dibentuk. Maka sangatlah penting artinya untuk berusaha agar bagian-bagian daerah pengairan ini diberi suatu kepekaan hidup alamiah dan kesempatam untuk berkembang dengan cara sebebas mungkin.
Dengan melihat keadaan di Bali, dimana penduduknya tidak lebih baik daripada di Jawa,dan bahwa persubakan di Bali merupakan berasal dari Jawa, dapat dikatakan tidak mungkin beberapa abad lalu di sini mengenal adanya semacam persubakan. Dan dengan pimpinan yang cakap akan membentuk daerah pengairan yang terwujud dengan baik.
BANGUNAN – BANGUNAN PENGAIRAN PRIBUMI
DI BALI SELATAN

Sungai-sungai di Bali Selatan bagian barat hampir semua airnya diambil guna pengairan, disebabkan karena besarnya imbangan antara panjang dan turunnya dasar sungai. Maka itu debit-debit dari sungai-sungai tersebut makin bertambah besar dengan makin besarnya daerah alirannya. Keistimewaan sungai-sungai Bali Selatan sangat memberi bantuan dalam perkembangan pengairan. Sehingga di Bali Selatan tidak terbentuk lingkungan-lingkungan pengairan besar yang sedikit jumlahnya, akan tetapi sangat banyak daerah-daerah pengairan kecil yang mudah dilihat secara keseluruhan. Apabila kita menyelusuri pantai Bali Selatan, maka biasanya tidak melihat dari sekian banyak sungai itu yang mengalirkan airnya ke laut. Sungai-sungai tersebut sepanjang perjalanannya secara pembuatan pematang-pematang dan terowongan-terowongan dari tanah yang tinggi-tinggi. Cara-cara ini rupanya beberapa abad yang lalu didatangkan oleh orang-orang Jawa dari daerah Pasuruan. Pematang ini merupakan tempat penampungan, sesungguhnya dimaksudkan untuk membangun bendungan-bendungan tinggi dalam sungai saja, seperti di Bali Selatan
Petunjuk lain, penanaman padi di sini bersumber dari daerah Pasuruan, dapat ditemukan dalam karangan F.A. Liefrinck mengenai “Penanaman Padi di Bali” bahwa menurut “akhir risalah dari penelitiannya terhadap hak-hak Pribumi atas tanahnya” dalam sebuah desa di Pasuruan, telah disebut bukti-bukti yang diberi nama-nama pemilik dan jumlah uang yang harus dibayar sebagai pajak. Menurut karangan Junghun dari dataran tinggi Dieng (1853) disana seharusnya terdapat sungai di bawah tanah sepanjang 800 kaki dengan 9 cerobong tegak lurus. Sungai-sungai ini sama dengan terowongan-terowongan dengan tabung-tabung tegak lurus di Klungkung dan ini memberi petunjuk bahwa cara pembuatan terowongan di Bali juga berasal dari Jawa. Akan tetapi ada suatu kenyataan, bahwa agama di Bali sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan penanaman padi. Jenis umum dari suatu prise d'eau Bali (di Gianyar, Bangli dan Badung) adalah suatu terusan “overlaat”(tempat air sungai dibiarkan melewati atas sungai) yang membujur lewat sampingnya, digali dalam tepi air, sedang penuangannya terjadi dengan mempergunakan suatu atau lebih pipa-pipa atau terowongan-terowongan yang terbuka.
Pipa-pipa yang pembuatan salurannya lebih panjang diperoleh penyelesaian yang lebih sederhana karena untuk pembuatan pipa yang lebih panjang itu terdapatnya tepi-tepi sungai yang curam, pipa harus dibuat dalam bentuk terowongan. Diusahakan dalam pembangunan bendungan-bendungan yang tinggi itu dapat dicapai titik tinggi yang demikian, sehingga untuk mengalirkan airnya tidak diperlukan dalam jarak yang sependek mungkin, yang harus dibuat terowongan. Bali Selatan khusunya Gianyar, terdapat banyak bendungan-bendungan tinggi yang mendorong airnya setinggi 10 sampai 35 meter ke atas. Bendungan ini bertindak sebagai overlaat dan di salah satu sisi dari bendungan ini kebanyakan terdapat suatu pengaturan overlaat tersendiri, sehingga bendungan hanya bertindak sebagai pemutaran air saja.
Pada pembuatan bendungan terdapat 2 kemungkinan selama pembangunan bendungan air disalurkan pada dataran rendah melalui terusan sempit yang digali di samping bendungan atau karena keadaan lapangan air sungai, terpaksa dialirkan melewati bendungan yang sedang dibangun. Bendungan Pejeng yang dibangun kembali pada tahun 1914, keadaan lapangannya memungkinkan untuk membuat suatu terusan overlaat sementara, bahkan pada tiap mencapai ketinggian 2 vadem, terusan sementara juga dipindahkan setinggi 2 vadem. Bendungan Bali diselesaikan dengan lereng-lereng belakang yang berbentuk tangga, namun diantara bendungan-bendungan tersebut tidak ada yang dengan jelas memperlihatkan bentuk tangga tersebut. Tangga-tangga ini sepanjang tahun sebagian telah tercuci oleh hujan, sedang larutan tanah (susunan yang tidak tembus air) pada banyak bendungan dapat melekat pada kaki tunggal di bawah lereng yang lunak. Tempat ini merupakan suatu titik yang sangat lemah dari bendungan, sebab kaki tanggul yang tidak tembus air yang seharusnya berpengaruh atas penyaluran air, justru memberikan pengaruh yang tidak menguntungkan terhadap kedudukan garis pelunakan bendungan.
Di dekat bendungan seringkali didirikan salah satu dari candi-candi pengairan. Sebagai imbalan kerja, penjaga candi tersebut kadang menerima hasil tanaman yang tumbuh di atas bendungan. Imbalan ini kebanyakan berupa alang-alang,suatu tanaman yang menghasilkan. Selanjutnya di atas bendungan kadang ditanam kelapa dan juga semak-semak pandan. Tanaman pandan ini merupakan suatu hal yang tercela, karena dengan tanaman yang banyak daunnya itu tanah di bawahnya akan selalu dalam keadaan basah dan lunak karena itu dapat terjadi longsoran, dengan alasan yang sama maka menanam padi juga sama berbahayanya. Untuk mengalihkan air bah, maka sepanjang salah satu sisi bendungan, digali suatu terusan overlaat, terusan-terusan ini sebagian dibangun dalam bentuk terowongan. Tapi kadang terowongan ini dibuat terlalu dekat dengan tepi air, sehinnga sering terjadi kecelakaan yang terjadi, antara lain tahun 1913. Bendungan Taman Bali yang besar dan baru selesai dibangun kembali, tersapu bersih karena bobolnya tanggul terusan overlaat yang berada pada sisinya.
Profil kebanyakan terowongan dijumpai berbentuk bujur sangkar, yang bagian atasnya diselesaikan dengan bentuk yang sedikit berbentuk segment. Ini memiliki suatu keuntungan yaitu pada waktu tinggi air dalam terowongan-terowongan Bali ini, karena sangat penting bagi terowongan, terkecuali beberapa yang tahun-tahun terakhir dimana tidak ada pelengkap dengan alat guna menelakkan air bah. Sebelum pembanguan terowongan selalu didahului dengan pengukuran tanah dengan waterpas (alat untuk menentukan letak horisontal). Tentang dimulainya pembuatan terowongan atau dengan sebuah atau lebih banyak tonggak sekaligus akan sangat tergantung dari jumlah tenaga kerja dan apakah dilakukan sambil berdiri atau duduk tergantung pada besar kecilnya profile dari terowongan. Cara pembuatan terowongan seperti itu diduga berasal dari Jawa, sedang teknik ini rupanya didatangkan dari Asia Selatan. Jika pembuatan terowongan dengan tabung-tabung vertikal (bindu-bindu) itu bukan Bali asli, maka dengan disertai perkembangan teknik dalam pembuatan terowongan bertabung horisontal (calong) itu berasal dari pulau ini. Apalagi kita datang di daerah Gianyar, dimana sungai-sungainya bertepi curam, kita akan lihat terowongan-terowongan dalam bentuk horisontal.
Bangunan-bangunan pembagian air dalam saluran-saluran di Bali yang berada dalam daerah-daerah dimana penguasaan air dapat dilaksanakan dengan sempurna, dibangun secara cermat. Bangunan tersebut dibangun dari batang pohon kelapa horisontal dan yang pada lubang-lubang pencurahan air teratas dipotong dengan perbandingan lebar yang sama dengan jumlah luas tanah-tanah Bali yang harus diberi air. Pembagian air dengan cara petak-petak yang dibagi seperti di Bali diterapkan hingga saluran-saluran yang paling kecil. Dalam peraturan tersebut kita mendapat gambaran mengenai bangunan-bangunan ini yang terdapat di Bali Selatan. Walaupun tidak termasuk dalam kelompok ini, namun masih dapat sebagai penutup, dibicarakan pula suatu bangunan air di Bali yang menarik, yaitu saluran air ini dibangun khusus untuk keperluan raja Gianyar yang diambil air sejauh 4,1 km dari istana raja dari sebuah mata air, terletak di seberang sungai dengan tebing setinggi 60 m. Jadi di sini harus dibangun sebuah aquaduct (dengan perbentangan 15 m), untuk itu digunakan sebatang pohon beringin yang kebetulan tumbuh di mata air berada, dan yang beberapa dari akarnya seolah-olah membentuk suatu jembatan di atas sungai berakar di tepi seberangnya.




PENGAIRAN BERGILIR DI BALI SELATAN DAN LOMBOK

BALI - SELATAN
Dalam daerah ini, penduduk yang beragama bukan Islam, penanaman padi sejak berabad–abad telah berkembang dengan cepatnya. Berkat pendirian bebas yang dapat dianut terhadap kemauan orang. Oleh karena itu, berbagai cara pengairan bergilir yang diterapkan disini, seperti pengaturan “daerah-daerah pengairan”dan “subak-subak” yang ada.
Karena petani di Bali memiliki hak milik yang tak mungkin diingkari maka dapat dimengerti, bahwa di Bali Selatan tidak akan segera diberlakukan pengairan bergilir. Sebab disini seorang petani yang meminjamkan air yang dapat untuk beberapa waktu, akan mengharapkan (umumnya) menerima kembali jumlah air tersebut dalam waktu yang sama.
Maka dari itu beberapa terahir ini, sebagai akibat dari makin mundurnya debit beberapa sungai dan timbulnya kekurangan air untuk keperluan pengairan, di Bali Selatan pengaturan giliran pengairan secara umum diterapkan. Pengaturan giliran ini dapat dibedakan dalam 2 jenis yaitu:
Pertama: yang diterapkan di antara daerah-daerah yang kesemuanya dipergunaknan untuk menanam padi
Kedua: yang dapat dijumpai di antara daerah yang ditanami palawija dan daerah dimana tanaman padi dilakukan.
Pertama
Peraturan-peraturan yang dianut ini lebih dulu dibicarakan dalam suatu rapat dari para petani yang bersangkutan dan selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan kemampuannya sendiri .Daerah pengairan yang dibagi dalam beberapa bagian tiap-tiap bagian bergantian selama 1 hari/1 malam dialirkan air yang dibutuhkan. Antara 2 Petani juga terdapat pengairan bergilir yang diatur dengan waktu antara 3 hingga 6 jam. Lain cara yang dijalankan di Bali Selatan bagian Barat adalah peraturan “siang malam” dilakukan antara daerah-daerah yang lebih kecil. Karena jumlah air pada malam hari lebih banyak tanah yang dapat diberi air, maka pengairan malam dianggap lebih menguntungkan dari pada pengairan siang. Tetapi pengairan malam terdapat satu hal yang merugikan, yaitu harus mengadakan penjagaan terhadap pencurian air. Semua peraturan – peraturan giliran di Bali Selatan bagian Barat tidak ada satupun yang ditunjukkan secara tertulis.
Lebih ke arah Timur dari Bali Selatan, di daerah Karangasem telah lama diterapkan peraturan siang dan malam yang juga tidak dalam bentuk tertulis. Pengairan pada malam hari dilakukan antara jam 5 siang hingga jam 5 pagi karena pada waktu tersebut air yang berada di sawah baru seluruhnya terserap dalam tanah.
Di Karangasem yang miskin akan air, jenis palawija hanya berlangsung 12 jam pada waktu malam. Penyiraman palawija secara khusus tidak pernah dilakukan di sini. Palawija ditanam dalam sawah-sawah datar yang pada penyaluran air yang jarang terjadi dimana air disalurkan hingga sampai pada selokan – selokan .
Kedua
Jenis ini tidak dapat dikatakan sebagai pengairan bergilir karena memperlihatkan adanya persamaan dengan pembagian air antara kebun-kebun tebu pada satu pihak dan penanaman palawija pada pihak yang lain. Apabila dalam daerah pengairan di Bali Selatan di samping tanaman padi juga terdapat tanaman palawija, maka yang petama dianggap lebih penting adalah palawija, sehingga sang petani palawija harus melepaskan seluruh haknya atas air yang harus dipergunakan, demi kepentingan tetangganya yang menanam padi.
Di tempat-tempat yang tidak begitu terasa kekurangan air seperti Klungkung, banyak terlihat adanya penerapan suatu aturan untuk mengalirkan seluruh atau sebagian air yang diterima, hanya sekali dalam satu minggu selama sehari/semalam ke dalam tanah yang ditanami palawija, yang luasnya meliputi separuh dari seluruh daerah. Ternyata aturan yang diterapkan ini memberikan hasil yang sangat memuaskan dalam penanaman palawija.
Di Karangasem yang miskin dengan air, untuk tanaman palawija hanya disalurkan air dua kali selama seluruh musim tanamnya 12 jam pada waktu malam. Penyiraman palawija secara khusus tidak pernah dilakukan di sini. Palawija itu ditanam dalam sawah-sawah datar yang pada penyaluran air yang jarang terjadi itu, direndam seluruhnya dalam air.

LOMBOK
Sawah-sawah yang diairi tidak secara alamiah terdapat di bagian tanah datar Lombok Tengah. Di Lombok Barat sebagian besar dihuni oleh suku Bali, penanaman padi juga berkembang dengan baiknya, walaupun tidak seperti di Bali. Air yang dipergunakan berlimpah-limpah sehingga dalam seluruh daerah ini kurang lebih 20.000 bau, disini tidak terdapat adanya golongan–golongan, tetapi apabila ada suatu daerah menderita kekurangan air maka segera diberlakukan peraturan siang/malam. Ini rupanya merupakan satu-satunya perputaran yang memuaskan semua petani yang telah diterapkan kurang lebih setengah abad.
Lombok Timur dihuni penduduk yang beragama Islam yang perkembangan pendapat umumnya jauh dibawah Suku Bali, maka dari itu perkembangan penanaman padi berada dalam taraf yang lebih rendah dari apa yang terdapat di Bali dan Lombok Barat. Cara pengaturan giliran dalam pengairan berkembang sangat positif, umumnya juga diterapkan aturan-aturan giliran yang harus diberi air dalm 2 bagian yang masing-masing mendapat air yang dibutuhkan secara giliran. Lamanya waktu perputaran tergantung pada luasnya bagian yang harus diairi.
Diatas telah disebutkan bahwa masa perputaran tergantung dari luasnya bagian-bagian yang harus diberi air. Apabila daerah ini tidak lebih luas dari 20 bau maka ditetapkan masa perputaran 12 jam dan terjadilah aturan siang/malam.
Di Lombok Timur dalam suatu daerah pengairan disamping tanaman padi terdapat pula tanaman palawija. Dibandingkan dengan keadaan di Jawa, di sana untuk tanaman palawija lebih banyak dipergunakan air sehingga tiap malam hanya sebagian saja yang mendapatkan saluran air dengan mempekerjakan mandor-mandor yang hanya mengawasi pembagian air pada malam hari.



















BEBERAPA HAL YANG MENARIK PERHATIAN MENGENAI PERANAN PADI OLEH PRIBUMI DI BALI SELATAN

Sebagain dari wilayah Bali Selatan, dimana penanaman padi berkembang dengan pesat dan yang terpenting meliputi cabang-cabang wilayah (dulu daerah kekuasaan raja) Klungkung, Gianyar, Badung, dan Tabanan, dipandang dari sudut topografi merupakan daerah yang sangat teratur. Dalam hubungan dengan keadaan lapangan yang sedemikaian ini (sungai-sungai yang dalam celah-celahnya dengan tebing-tebing yang berkarang dan curam, maka pengairan hanya dapat dilakukan setelah diadakan pembangunan-pembangunan yang besar, seperti bendungan-bendungan yang tinggi dan terowongan-terowongan, padahal hanya sebagaian daerah yang dapat diairi, sebagai akibat debit-debit sungai yang kecil.
Kita dapat mengetahui kesukaran-kesukaran yang harus dihadapi dalam pembangunan pekerjaan-pekerjaan pengairan. Jadi penduduk harus dipimpin oleh pemimpin yang kuat dengan tekanan yang kuat pula. Apabila raja secara kebetulan mendengar, bahwa suatu daerah tertentu dari tanah-tanahnya akan mendapat pengairan, maka untuk menggarapnya dipanggillah beberapa orang tertentu yang jumlahnya sama dengan jumlah kesatuan seluas tanah yang akan digarap perkiraan. Dan yang paling penting adalah, bahwa para penggarap selama 3 tahun setelah pengairan dilaksanakan, berhak menikmati hasil dari tanah yang digarapnya sebagai ganti dari upahnya. Sesudah itu bagi mereka besar kemungkinannya untuk dapat menyewa tanah tersebut dari raja yang bersangkutan. Para penggarap telah memisahkan sebagian (kurang lebih 1/5) untuk kepentingannya sendiri. Mereka harus membayar pajak kepada raja. Penggarapan tanah-tanah ini juga dapat diserahkan kepada budak belian.
Para penggarap semula, ditambah dengan sebanyak orang-orang lain yang dibutuhkan raja, menerima sebagian dari tanah-tanah ini (tanah-tanah pecatu), yaitu seluas 1 “tenah” Bali atau bagianya, sebagai ganti dari jasa-jasanya terhadap raja. Orang-orang ini (pengaya dalam) masing-masing harus menyerahkan kepada raja misalnya sejumlah batu, bambu dan sebagainya tiap tahun dan 20-30 kali dalam 1 tahun melakukan dinas siang untuk raja, antara lain sebagai pembela Negara. Untuk tanah “pecatu” ini, yang turun temurun dari ayah kepada anak laki-laki, harus dibayar ”suwini”(kira-kira 60 kali setiap tenah Bali). Selanjutnya raja memberikan tanah-tanah kepada para pembesar seperti para Manca (Camat), Perbekel, yang dibebaskan dari pajak-pajak dan beban-beban perorangan lainya yang disebut sawah bukti.
Pemimpin dari sarana-sarana pengairan bertindak sebagai Panglurah dari distrik ditempat tempat pengairan. Panglurah mengerjakan segala sesuatu yang dianggap perlu untuk perkembangan selanjutnya yaitu menyusun peraturan-peraturan kerja, minta bantuan para pembangun-pembangun bendungan penggali-penggali terowongan dan juga sebagai wakil raja di dalam daerah tersebut. Panglurah juga dapat dipandang sebagai pemimpin dari suatu perkumpulan-perkumpulan.
Tiga tahun setelah selesai lahirnya suatu pengairan, maka tanah-tanah dibagi-bagi dan disewakan kepada masyarakat. Untuk itu maka perairannya dibagi dalam lingkungan-lingkungan, yang sebanyak mungkin meliputi satu atau lebih petak-petak kedua ataupun ketiga dari daerah pengairan itu, kemudian diberikan semacam kekuasaan memerintah sendiri (swatantra).
Satu lingkungan meliputi suatu daerah pengairan. Lingkungan-lingkungan yang dimaksud ialah Subak. Para petani Subak merupakan suatu perkumpulan dalam arti yang sesungguhnya (seka) yang walaupun tidak memiliki peraturan-peraturan yang tertulis, akan tetapi sesuai dengan adat cukup mengetahuinya. Rapat bulanan, diadakan oleh para anggota dari suatu subak yang dipimpin oleh Pekaseh (ketua subak) yang bertugas mengatur persoalan-persoalan yang menyangkut subak, seperti pembagian air, waktu menanam padi, dimana keputusan-keputusan tersebut diambil menurut suara terbanyak.
Padi setenah berarti sekumpulan padi dengan ukuran besar tertentu, yaitu seikat dari setengah pikulan orang pria. Zaman dahulu, pada pembentukan sawah-sawah baru, maka yang juga dinamakan tanah ialah luas, yang dapat ditanami dengan padi setenah. Pembagian air dalam suatu daerah pengairan kemudian terjadi dan seimbang dengan jumlah tanah. Akan tetapi sangat sukar untuk mendapatkan air dan pemeliharaan bangunanya merupakan beban yang berat sekali, maka pengertian tanah lambat laun diberikan kepada luas sawah yang diberi satu Utek-utekan air.
Menurut pengertian penduduk, maka tenah adalah satuan dari tanah yang diberi air dalam suatu daerah pengairan. Juga suwini yang dipungut dari 1 tenah telah dipandang sebagai pajak untuk air. Tanah-tanah ini, juga dinamakan “tanah-tanah Bali” merupakan suatu satuan pengairan dan sebagai ukuran dalam menentukan pajak. Pembagian air yang sangat baik, yang sekarang masih terdapat di Bali bagian selatan, hanya dapat terlaksana, karena akibat dari kelangkaan air dalam daerah tersebut dan arena jumlah banyaknya air dipandang sebaga ukuran dari luas sawah dan penghasilannya. Maka dalam daerah Bali Selatan sawah-sawah masih terbagi dalam tenah Bali yang sebenarnya tidak melukiskan tentang luas kesatuan. Persoalan yang sangat penting dan menyangkut peraturan pekerjaan pada dinas pengairan. Telah didapat peraturan yang seragam berdasarkan pada asas, bahwa siapa saja yang wajib bekerja menurut perbandingan air yang didapat.
Sebagai akibat dari peraturan ini, yang asing sama sekali untuk jalan pikiran yang kominal, maka suatu tektek merupakan suatu lambang harga bagi pemiliknya yaitu harga hasil kerja yang dimulai dari pembagian tanah-tanah oleh raja hingga diperolehnya air tersebut di Bali selatan. Maka harga sebuah tektek sangat tinggi walaupun tidak dapat diukur dengan uang dengan pasti.
Setiap petani dalam suatu daerah pengairan dikenakan wajib kerja dengan perbandingan menurut banyaknya air yang diterima. Tiap anggota subak dibebani wajib kerja yang sama, akan tetapi untuk mereka yang memiliki kelebihan sawah maka untuk kelebihan seluas 1 tenah, harus membayar sejumlah uang kepada kas Subak (ngot) di mana mereka menjadi anggotanya. Pajak ngot yang jumlahnya ditentukan dalam suatu rapat subak dan dipungut oleh Pakesehnya, setelah pekerjaan selesai dibagikan dengan ukuran yang sama kepada para anggota Subak yang telah memberikan hasil kerjanya. Pendapatan yang diperoleh dari ngot berguna untuk menutupui pengeluaran-pengeluaran yang sedang berjalan dan juga digunakan untuk keperluan-keperluan yang lain. Tiap-tiap angota subak membayar 1 kepeng uang hadir pada rapat-rapat bulanan. Uang ini, ditambah dengan pendapatan dari denda-denda dari anggota subak tanpa alasan menghindari dinas-dinas subak. Apabila dipandang perlu memungut uang iuran tambahan dari anggota, untuk tiap tenah Bali dan dipergunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran besar yang berguna bagi kepentingan bersama atau untuk dapat menyelenggarakan pesta.
Telah dikemukakan, bagaimana masyarakat Bali sebagai akibat dari jiwa pengaturannya, yang untuk ukuran orang timur cukup banyak dimiliki, mencapai puncak yang tinggi dalam penanaman padi. Sebagian dari perkembangan ini juga merupakan akibat dari cintanya orang-orang Bali terhadap sawahnya. Sawah-sawah tidak hanya dapat memberikan sumber-sumber pangan yang dibutuhkan. Akan tetapi bagi orang Bali memiliki sebidang tanah merupakan suatu kehormatan kepada dirinya terhadap sesama teman senegerinya.






KEADAAN DI DAERAH KESUNANAN / KESULTANAN

Daerah-daerah Kesunanan/kesultanan merupakan daerah yang istimewa, dimana orang mempersukar dirinya sendiri. Disana ada seorang Gubernur, Pemerintah-pemerintah. Ada sebuah kantor Urusan Tanah, Kantor Pusat Pengairan, Daerah-daerah Pengairan, Pemimpin-pemimpin Perusahaan, Perkebunan Eropa, Dinas Pengairan Mangkunegara, Kantor-Kanyor Perencanaan, Pemborong-Pemborong, Huruf-huruf Belanda, Melayu dan Jawa, Penerjemah, dan ada banyak penjabat dan Dinas yang kesemuanya mempunyai hak bicara dan hak harus membantu apabila ada sesuatu yang harus dikerjakan.
Contoh gambaran bagaimana seorang Pejabat Tertinggi bekerja dalam pembuatan sebuah proyek:
Di sini terdapat banyak Impeng yaitu konstruksi dari bambu dibawah yang mengatur penerusan aliran air di bawah tanah. Impeng-Impeng ini mengundak banyak kesukaran dan kesulitan tidak hanya terhadap para pemakai kendaraan tetapi juga terhadap para pemakai jalan. Timbullah suatu keinginan untuk mengganti Impeng- Impeng tersebut dengan pipa-pipa beton. Pipa beton itu murah harganya, tahan lama, dapat dikerjakan dalam satu hari tanpa membutuhkan tenaga terdidik kecuali tukang batu.
Saluran di bawah tanah merupakan salah satu dari pekerjaan yang tidak boleh di laksanakan tanpa izin. Barang siapa hendak mengganti Impang tersebut dengan saluran tanah yang abadi harus mengajukan suatu permohonan yang akhirnya mendapatkan keputusan dan izin dari pihak yang berwenang. Setelah diadakan pembicaraan dengan penduduk setempat Lurah memutuskan untuk mengganti Impeng tersebut dengan sebuah pemasangan yang tetap. Maka Lurah Memutuskan untuk membuat surat permohonan, akhirnya surat permohonan beserta lampiran –lampirannya dikirim ke Camat. Sesampainya ditangan camat surat tersebut di turunkan pada Wedana yang menambahkan penerangan/nasehatnya untuk diteruskan kepada Bupati. Bupati menambahnya dengan sepucuk surat yang menerangkan bahwa telah menyetujui penggunaan uang desa guna pembangunan buk (duiker) tersebut.
Ketua daerah pengairan memberitahukan kepada penulisnya bahwa surat permohonan tersebut harus dikirim kepada Insinyur Kantor Pusat Pengairan dengan permohonan untuk mendapatkan petunjuknya. Selanjutnya oleh Insinyur dari pusat kantor Pengairan dikirim sebuah turunan peta kepada seorang kepala bagian untuk diadakan penyelidikan.
Dari cerita di atas tampak jelas bahwa dalam pembuatan buk tidaklah sesederhana, apalagi kita bukan orang ahli. Terbukti dari adanya buk-buk semacam di daerah Kesunanan /Kesultanan yang sama sekali dalam keadaan kering akan tetap berfungsi dengan mengalirkan air di bawah atau di sampingnya.
Para pemohon dan pelaksana dari buk-buk baik pemilik-pemilik maupun lurah sama sekali tidak mengambil bagian yang tersukar dari pekerjaannya, akan tetapi justru pejabat ibukotalah yang memaksakan diri memecahkan lebih banyak lagi mempergunakan pikiran-pikiran manusiawi, sebelum dan sesudah Impeng bambu yang sementara iti diganti dan diujudkan menjadi sebuah buk dari beton.

Tidak ada komentar: