Oleh: Adi Sanjaya
BAB II
PEMBAHASAN
1. Latar Belakang Historis, Sekitar Tahun 1400-1800
Pada abad ke XIV di masa kejayaan Majapahit, orang Jawa kelas atas sudah terbiasa dengan barang-barang mewah yang diimpor dari Cina seperti sutra, porselen dan sampang atau pernis. Hal itu menandakan bahwa sudah terjadi hubungan yang baik antara kerajaan nusantara dengan orang-orang Cina. Bahkan pada waktu yang tidak jauh berbeda orang Cina tersebut telah bertempat tinggal dan kawin dengan penduduk pribumi. Kemudian sepanjang abad-abad selanjutnya, komunitas Cina terus memainkan peranan yang amat penting artinya di dalam kehidupan ekonomi dan sosial di pedalaman kerajaan-kerajaan Jawa, serta berhasil menguasai posisi kunci perdagangan ekspor beras dan kayu jati.
Dalam kurun waktu sekitar abad XVII, baik VOC (Belanda) maupun para penguasa Jawa sangat membutuhkan orang-orang Cina dengan segala kegiatan mereka di bidang perdagangan, yang tercermin dalam kedudukan administratif dan hukum istimewa yang diberikan kepada mereka. Orang-orang Belanda juga mengambik langkah memperluas perlindungan hukum VOC kepada orang-orang Cina yang bertempat tinggal di wilayah kerajaan Mataram, yang kemudian pada tahun 1855 mencakup pula orang-orang Timur Asing.
Komposisi imigran Cina yang terus bertambah, khususnya di Jawa Tengah kerap kali mengalami perselisihan dan perkelahian golongan di antara bermacam-macam kelompok. Namun tidak sedikit pula imigran-imigran Cina ini membaur dan memeluk agama Islam serta kemudian menciptakan suatu budaya Cina peranakan yang banyak pertaliannya dengan dunia Islam-Jawa di mana mereka hidup. Namun demikian, pola budaya mestizo dari pemukiman Cina di Jawa dari periode lebih tua tetap dipertahankan, dan pada akhir abad XVII dan abad XVIII komunitas Cina peranakan bertambah secara cepat.
Sampai dengan akhir abad XVIII masyarakat pedesaan Jawa mulai memunculkan sikap yang berbeda terhadap orang-orang Cina sebagai akibat dari kenyataan bahwa mereka sudah merasakan persaingan perdagangan serta eksploitasi perekonomian orang-orang peranakan. Namun sampai awal abad XIX, tidak terdapat petunjuk bahwa kehadiran orang-orang Cina peranakan menimbulkan perasaan ketidakpuasan yang tersebar secara meluas. Justru orang-orang Cina ini memiliki jaringan-jaringan yang luas dan kompetitif yang mendominasi dan mengendalikan usaha penguasaan ekonomi oleh orang Eropa di Jawa (Rush, 2000: 177).
2. Serangan Inggris atas Yogyakarta Pada Juni 1812 dan Akibat-akibatnya
Menurut sumber kontemporer dari periode pemerintahan Inggris di Jawa, ternyata ada peristiwa pahit antara komunitas Cina dengan rakyat Jawa pada bulan Juni 1812. Dimana pada saat itu trejdi serangan Inggris atas Yogyakarta, dan situasi keamanan di daerah-daerah pedesaan di Jawa Tengah mengalami kemerosotan yang sangat tajam sebagai akibat daripada kegiatan-kegiatan kelompok-kelompok penjahat serta para milisi desa yang beroperasi di bawah perintah Sultan. Tampak upaya untuk merintangi operas-operasi militer Inggris dengan cara membuat jalan-jalan tidak dapat dilalui, menembak mati kesatuan-kesatuan tentara Inggris yang terisolasi dalam penjebakan-penjebakan yang dilakukan dengan mahir. Serangan Inggris atas Yogyakarta semakin menambah warisan khusus berupa kaphitan terhadap orang-orang Cina yang ditinggalkan pada beberapa lingkaran elit di ibukota Sultan tersebut. Seseorang Kapitan Cina dari Yogya, Tan Jun Sing dengan karrier yang hebat berhasil mengukuhkan basis kekuatan politiknya di Kraton dengan diangkat Bupati dengan gelar Raden Tumenggung Secadininggrat, beliau berhasil mendapatkan warisan tanah warisan di bekas perkebunan merica dan nila milik VOC di Lowanu oleh Sultan ketiga. Akibat perlakuan khusus inilah, banyak elit politik kraton menjauhi dan tidak menyenangi Kapitan Cina ini. Hal ini diakibatkan oleh tidak lazimnya pengangkatan seorang Cina di birokrasi Kraton. Kapitan Cina ini menghasibiskan hidupnya di dalam struktur cultural yang aneh. Ia ditolak oleh orang-orang sebangsanya karena menolak adapt orang-orang Cina dengan berganti menjadi Muslim, tapi ia juga dicurigai oleh kebanyakan orang-orang Jawa dan ia juga telah telah berfungsi untuk menjadi informan bagi orang-orang Eropa yang ingin mengetahui informasi politik. Sejak saati itu tumbuh kecurigaan besar dari kalangan orang-orang Jawa Elit terhadap orang-orang Cina dengan benih-benih perselisihan di antara kedua komunitas.
3. Pengelolaan Perdagangan Candu dan Gerbang Tol oleh Orang Eropa Serta Akibat Sosial dan Ekonominya
a. Sistem Pengelolaan perdagangan candu dan Gerbang Tol oleh orang Eropa
Dengan pengambilalihan semua gerbang-gerbang tol dan pasar-pasar di seluruh wilayah kerajaan oleh kolonial Belanda dan disewakan kepada orang Cina sesuai dengan syarat-syarat perjanjian yang ditanda-tangani Raffles dengan pihak-pihak istana sebagai buah kesuksesan oprasi militer Inggris terhadap Yogyakarta, perdagangan candu mengalami peningkatan termasuk pada wilayah kerajaan di Yogyakarta karena ditunjang dengan adanya gerbang tol yang memungkinkan dalam kemudahan pengimporan candu secara resmi dari Bengal. Menurut para komisarais Belanda yang menyelidiki system tersebut pada tahun 1824 gerbang-gerbang tol asli negara Mataram didirikan pada tempat-tempat pemberhentian di sepanjang jalan (pesanggrahan) bagi pelancong yang menggunakan dagang utama. Pesanggrahan-pesanggrahan di pinggir jalan ini satu dengan lainnya berjarak satu hari perjalanan dengan perjalanan kaki yang sering di kunjungi oleh-oleh pedagang Cina.
Secara berangsur-angsur, seiring perjalanan waktu didirikan gerbang-gerbang tol yang lengkap yang di kelola oleh orang-orang Cina yang kadang-kadang berkembang dari asalnya yaitu warung-warung pinggir jalan, yang selama ini melayani tempat-tempat penginapan. Kemudian, dengan semakin akrabnya orang-orang Cina ini dengan daerah pedesaan di sekelilingnya, dan semakin besar tekanan yang diberikan oleh kapitan Cina kepada mereka untuk membayar sewa yang lebih tinggi lagi, maka pos-pos yang lebih kecil (rangkah) akan mereka sediakan pada jalan-jalan yang berdekatan.
Sampai saat menjelang perang Jawa, pemerintah kolonial berjanji membangun sejenis gerbang tol pada hampir setiap jalan masuk ke setiap kampung dan dusun kecil di Jawa Tengah. Daerah bea cukai yang rumit, yang membatasi zona-zona yang di sewa oleh Bandar-bandar Cina, didirikan dan disertai oleh pos-pos pengamatan (salaran) yang bertujuan memeriksa bahwa setiap pelancong telah membayar semua cukai yang di perlukan, sebelum mereka memasuki wilayah bea cukai yang lain pada semua jalan-jalan ke distrik yang terpisah. Sebagai tanda terima cukai yang mereka bayar itu, tangan mereka akan di cap menggunakan cap nila yang dapat menghilang secara berlahan-lahan.
Kewajiban membayar pajak penuh di kenakan kepada barang-barang dagang terutama Bandar setiap zona bea cukai dan selanjutnya barang-barang tidak akan terkena pajak lagi, kecuali pembayaran upeti (wang peniti) pada gerbang-gerbang tol lebih kecil disebelahnya. Namun, jika sesuatu muatan hanya akan dibawa menempuh jarak pendek saja dan hanya perlu melewati sebuah gerbang tol kecil saja, maka barang-barang tersebut hanya di kenakan setengah dari besarnya pajak. Tingkat tarif pajak untuk barang-barang perdagangan pokok ditentukan oleh para penyewa berikutnya pada masing-masing gerbang tol, setelah dikonsultasikan dengan pembayar pemungut pajak utama dan residen setempat di daerah itu. Tingkat tarif pajak didasarkan pada kedudukan gerbang tol tersebut serta tingkat kemakmuran rata-rata di distrik itu.
Di dalam teori, seperti itu seharusnya sistem tersebut bekerja, tetapi pelaksanaanya sangat berbeda, sering terjadi khasus, misalnya bahwa sebuah bandar dan rangkah yang berdekatan, yang kedudukanya lebih rendah disewakan dengan pemungut pajak oleh dua orang Cina penyewa yang berbeda yang masing-masing akan mengenakan pajak yang penuh. Tingkat tarif hampir tidak pernah diperlihatkan dengan baik karena kebanyakan para petani dan pedagang-pedagang kecil Jawa buta huruf. Sehingga dengan demikian, tingkat tarif khusus yang seharusnya dikenakan kepada pedagang-pedagang Cina tidak pernah dilaksanakan. Kelemahan terbesar yang di alami oleh para petani Jawa biasanya adalah tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang tetap mengenai pajak yang harus dibayar untuk bahan-bahan pangan umum dan hasil pertanian setempat. Retribusi yang dikenakan kepada barang-barang tersebut, sepenuhnya diserahkan kepada pertimbangan penjaga gerbang tol. Para penjaga gerbang tol ini bukan tidak sering dibatasi untuk bertindak keras.
Pemerintah kolonial Eropa menyadari sepenuhnya pengaruh-pengaruh buruk setempat dari gerbang-gerbang tol. Mereka melakukan berbagai upaya seperti mengikuti jejak Inggris dengan menghapuskan Bandar-bandar di sepanjang aliran Bengawan Solo pada tahun 1814; Mengangkat sebuah tim para komisaris, dipimpin oleh residen Surakarta dan residen Yogyakarta untuk melakukan penyelidikan cara kerja gerbang-gerbang tol di seluruh daerah-daerah kerajan; Mendesak agar semua orang Cina di desa-desa dan dusun-dusun diperintahkan pindah ke ibukota-ibukota kerajaan. Kendati ada peringatan-peringatan yang mengerikan tentang bahaya keresahan para petani yang mengacam dari hampir setiap pejabat yang mempelajari masalah tersebut, pemerintahan Belanda pasca tahun 1816 tidak mau melepaskan pajak-pajak yang begitu menguntungkan dari gerbang-gerbang tol di daerah-daearah kerajaan.bandar-bandar tanpa dapat di kendalikan lagi telah melumppuhkan perdagangan di wilayah-wilayah kesultanan.
Selama berlangsungnya perang Jawa, pada akhirnya pemerintah Belanda bertindak secepatnya memodifikasi pekerjaanya system gerbang-gerbang tol di daerah kerajaan dan membatasimasuknya penduduk Cina ke daerah-daerah pedesaan. Tetapi pada waktu itu tindakan modifikasi itu sudah sangat terlambat perang telah menelan daerah-daerah pedesaan dan orang-orang Cina yang pada masa lalu dimaklumi di istana- istana sebagai penasehat-penasehat keuangan yang tidak ternilai,rekan dagang yang ahli perpajakan sekarang telah menjadi sasaran-sasaran khusus kebencian dan kejijikan rakyat.
b. Akibat sosial dan ekonomi
Akibat-akibat yang ditimbulkan dari adanya sistem tersebut adalah :
1. Perdagangan candu mengakibatkan kebiasaan memakai candu yang merupakan suatu kemewahan bagi orang kebanyakan. Sekitar 16 % orang-orang Jawa telah menjadi pemakai candu. Hal ini mengakibatkan keadaan ekonomi masyarakat mengalami kemerosotan.
2. Terjadinya perlawanan seperti akibat dari penyalahgunaan tugas yang dilakukan oleh para penjaga gerbang tol dan tidak pedulinya pejabat setempat, para petani melakukan perlawanan dengan bantuan jago-jagonya untuk menjarah bahkan membakarnya.
3. Timbulnya perasaan-perasaan benci rakyat terhadap orang-orang Cina yang memiliki peran yang semakin menonjol sebagai orang-orang penyewa tanah di daerah-daerah kerajaan antara tahun 1816 dan 1823 karena cara pertanianya yang secara komersial agresif maupun karena tingkah laku mereka yang sombong dalam berurusan dengan para petani Jawa dan para pejabat setempat.
>>>Dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar