BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Bali merupakan pulau yang terkenal karena keindahan alam serta ketinggian seni budayanya, getaran revolusi 17 agustus 1945 mengisi setiap dada rakyat Bali. Proklamasi 17 Agustus memanggil setiap putra Bali untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan itu.
Daerah Buleleng merupakan daerah Bali bagian utara yang pertama kali didatangi oleh pasukan NICA (Belanda) pada tanggal 27 Oktober 1945. Sejak saat pendaratan Belanda tersebut, kemudian terjadi pertempuran di berbagai tempat di Buleleng. Hadangan, Sergapan – sergapan secara gerilya dilakukan terhadap iringan (konvoi) pasukan Belanda oleh masyarakat pribumi. Demikianlah di dalam rapat M.B.O. Bali yang antara lain dihadiri oleh : Ketut Wijana, Wayan Nur Rai, I Dewa Made Suwija, Made Wijakusuma, yang bertempat tinggal di Muduk Pengorengan, timbullah ide dari seorang pejuang untuk berkaul kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang merupakan pegangan satu-satunya bagi para pejuang saat seperti itu. Setelah mulai musyawarah-musyawarah maka para pejuang bersepakat untuk berkaul, bahwa :
“Bila perjuangan R.I. menang, nanti para pejuang akan membangun sebuah pura republik“.
Juga telah disepakati bahwa di pura tersebut akan ditanam dua buah batang pohon beringin sebagai lambang Sang Saka Merah Putih yang di taman masing-masing di jeroan dan di jabaan. Seiring berjalannya waktu, maka pada tanggal 17 januari 1948 di tanah milik Bapak Wirta tersebut dilakukan upacara penyampain Ikrar, dimana puncak acaranya ialah penanaman dua batang pohon beringin yang berjarak 17 meter arah utara selatan. Setelah semua akan diperkirakan berjalan lancar maka pada tanggal 28 maret 1966 diundanglah para tokoh-tokoh untuk mengadakan rapat di gedung D.P.R.G.R. Buleleng (Singaraja) guna membicarkan kemungkinan pelaksanaan pembangunan Pura Republik yang diiklarkan. Tindakan lebih lanjut adalah pembentukan panitia pembangunan, dimana pada tanggal 31 maret 1966 merupakan peletakan batu pertama dalam pembuatan pura dan monumen Bhuwana Kerta. Pelaksana pembangunannya adalah C. V. Dharma dengan pengawas teknis P.U seksi Buleleng serta dibantu oleh masyarakat buleleng secara gotong royong.
Sehingga dari gambaran umum diatas, keberadan monumen dan pura Bhuwana Kerta sangatlah penting. Maka dari itu, kami berusaha untuk mengkaji lebih lanjut mengenai keberadaan dan sejarah pendirian monumen Bhuwana Kerta dalam tulisan yang kami beri judul “Sejarah Pembangunan Monumen Bhuwana Kerta”.
2. Rumusan Masalah
Melihat dari latar belakang penulisan di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimana perjuangan rakyat di Bali Utara (Buleleng)?
b. Bagaimana proses pembangunan Monumen Bhuwana Kerta?
c. Apa makna Monumen Bhuwana Kerta?
3. Tujuan Penulisan
a. Tujuan Umum : untuk memenuhi salah satu persyaratan penilaian ujian akhir semester mata kuliah Sejarah Lokal.
b. Tujuan Khusus :
i. Untuk mengetahui perjuangan rakyat di Bali Utara
ii. Untuk mengetahui proses pembangunan Monumen Bhuwana Kerta
iii. Untuk mengetahui makna monumen Bhuwana Kerta
4. Metoda Penulisan
a. Metoda Pengumpulan Data
i. Metoda Observasi merupakan suatu metoda pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan secara langsung ke lapangan untuk mengetahui keadaan objek yang sebenarnya. Dengan metoda ini penulis melakukan kunjungan, pengamatan serta telaahan megenai objek penelitian yang dalam hal ini adalah monumen Bhuwana Kerta.
ii. Metoda Kepustakaan (literatur) merupakan suatu metode pengumpulan data dengan mengumpulkan beberapa literature, dokumen serta sumber tertulis lainnya untuk menambah sumber penulisan. Dengan cara ini penulis mengumpulkan beberapa sumber/literature yang berhubungan dengan objek penelitian (Bhuwana Kerta).
iii. Metode Dokumentasi merupakan suatu metode pengumpulan data dengan cara mengumpulkan data-data berupa foto - foto, gambar serta sumber lain yang bisa memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap obyek penelitian. Dengan metode ini, penulis hanya mengumpulkan dokumentasi berupa foto obyek untuk memperjelas situasi obyek yang menjadi kajian penelitian.
b. Metoda Pengolahan Data
i. Metoda Komparatif yaitu suatu metoda pengolahan data dengan cara membandingkan/mengkomparasikan beberapa sumber yang didapat dari lapangan sehingga menimbulkan suatu permasalahan yang harus dipecahkan dengan analisis sumber.
5. Manfaat Penulisan
Dengan tulisan yang sederhana ini, diharapkan mampu memberikan manfaat, baik bagi pembaca, masyarakat umum maupun penulis sendiri yang dalam hal ini masih dalam tahap pembelajaran. Dengan penulisan ini, pembaca diharapkan dapat mengetahui bagaimana perjuangan rakyat di Bali Utara sampai dengan pembangunan monumen bersejarah Bhuwana Kerta serta makna-maknanya. Sedangkan untuk masyarakat umum diharapkan dapat bermanfaat bagi penambahan pengetahuan yang membuka hati untuk dapat menghargai dan memaknai perjuangan rakyat Bali Utara yang disimbolkan lewat monumen Bhuwana Kerta ini sebagai lambang pemersatu Bangsa.
BAB II
PEMBAHASAN
a. Perjuangan di Bali Utara (Buleleng)
Daerah Buleleng yang merupakan daerah Bali bagian utara pertama kali didarati oleh pasukan NICA (Belanda) pada tanggal 27 Oktober 1945. kapal perang Belanda mendekati Pelabuhan Buleleng dan kemudian menurunkan pasukannya didahului oleh tembakan-tembakan gencar ke arah pantai. Para pejuang Buleleng telah siap untuk menyerbu mereka. Tetapi karena tembakan dari kapal serta sederhananya persenjataan yang dimiliki sehingga usaha untuk menahan pendaratan pasukan Belanda itu menjadi gagal.
Keadaan yang demikian ini menyebabkan para pemuda pejuang mejalankan perang gerilya. Mereka bergerak, berpindah-pindah dari daratan yang satu ke daratan yang lain atau dari puncak bukit yang satu ke puncak bukit yang lain.setiap menyelesaikan suatu penyergapan terhadap konvoi Belanda, mereka kemudian secepatnya berpindah untuk menghindari kejaran pasukan Belanda. Siasat perang gerilya ini cukup menyulitkan pihak Belanda walaupun mereka memiliki persenjataan yang lebih lengkap. Perlu dicatat bahwa pada penyerbuan pasukan yang mendarat di Pelabuhan Buleleng telah gugur seorang pejuang bernama Ketut Mertha.
Menyadari bahwa di dalam suatu gerakan diperlukan suatu organisasi yang sempurna maka oleh segenap pejuang di Buleleng dibentuklah Markas Besar Dewan Perjuangan Republik Indonesia (M.B.D.P.R.I) yang dipimpin oleh Ida Bagus Indra.
Untuk memudahkan pengaturan serta komunikasi maka wilayah Buleleng dibagi atas 4 staf yaitu :
1) Staf Timur yang terdiri dari daerah Tejakula, Kubutambahan dan Sawan. Untuk daerah ini dikoordinir oleh antara lain : Pak Cilik, Intaran, Seputra, Hartawan, Mataram dan lain-lain.
2) Staf Selatan meliputi daerah Sukasada yang dikoordinir oleh Ida Komang Utara.
3) Staf Barat yang meliputi daerah Banjar, Seririt (Pengastulan), dikoordinir oleh Mertha Pastima.
4) Staf Kota yang meliputi daerah sekitar kota Singaraja dikoordinir oleh Ketut Serutu.
Seperti yang dijelaskan bahwa pasukan Buleleng tergabung dalam Resimen Sunda Kecil di bawah pimpinan Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai.
Sejak saat pendaratan Belanda tersebut, kemudian terjadi pertempuran di berbagai tempat di Buleleng, hadangan, sergapan-sergapan secara gerilya dilakukan terhadap iringan (konvoi) pasukan Belanda. Tahun 1946 merupakan tahun terbanyak terjadi pertempuran-pertempuran di Buleleng karena semangat yang berkobar-kobar. Pejuang Gde Muka Pandan gugur pada tanggal 3 April 1946 saat pengurungan di kota Singaraja.
Pada tanggal 27 Oktober 1946 konvoi Belanda dihadang oleh para pejuang di Pangkung Bangka di jalan yang dilalui oleh konvoi berbelok-belok dan menanjak serta berjuang dalam di kanan-kirinya. Para pejuang yang terlibat dalam pertempuran tersebut antara lain: I Gusti Ngurah Mayor, Wayan Mudana, Nyoman Oka (Api) dan lain-lainnya. Dalam pertempuran tersebut telah gugur 9 (sembilan) orang pejuang yaitu :
1) Ketut Mas
2) Made Sukedana
3) Gede Natih
4) Wayan Kenak
5) Wayan Jirna
6) Ketut Putra
7) Pan Subandra
8) Toyang
9) Ketut Suka
Kini di di tempat pertempuran tersebut didirikan sebuah monumen untuk memperingati jasa para pahlawan tersebut. Beberapa pertempuran yang patut diketengahkan ialah : pertempuran di Patas, dimana terlibat beberapa pejuang antara lain I Gusti Ngurah Partha, Sanusi dan lain-lain. Dua orang telah gugur dalam pertempuran itu yaitu Bagus Ketut Gelgel dan Moch. Ajir.
Kemudian terjadi pula pertempuran di Sekumpul dimana gugur empat orang pejuang, yaitu :
1) Pan Kayun
2) Pan Wenten
3) I Gulem
4) Pan Rajeng
Di daerah Buleleng bagian timur misalnya di Bondalem terjadi juga pertempuran yang mengakibatkan 29 orang pejuang gugur.
Seperti diketahui sejak pertempuran Margarana maka Pusat Perjuangan (MBO) di Bali dipindahkan ke Bali yaitu di Munduk Pengorengan. Oleh sebab itu M.B.D.P.R.I. Buleleng menggabungkan diri dengan M.B.O. Bali. Tokoh-tokoh yang mengkordinir Pusat Perjuangan itu antara lain: Ketut Wijana, Wayan Nur Rai, Dewa Made Suwija dan lain-lain. Ruang gerak makin sempit setelah terbentuknya Negara Indonesia Timur sebagai akibat perjanjian Renville. Bali dipimpin oleh Dewan Raja-raja yang merupakan alat kolonialisme Belanda sehingga menyebabkan keadaan para pejuang menjadi sulit. Kendatipun demikian semangat rakyat untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap menyala dan hidup dalam di kalangan rakyat. Hal ini terbukti dari adanya demostrasi rakyat di Buleleng pada Raja Buleleng yang menuntut agar Bali tetap masuk Republik yang berpusat di Yogya. Walaupun para demonstran dihadang oleh pasukan Belanda bersenjata lengkap namun semangat rakyat tidak pernah dikendorkan oleh senjata yang serba modern. Kejadian ini adalah sebagai bukti bahwa perjuangan masih tetap mendapat dukungan dari rakyat.
Tetapi dibalik kegembiraan ini kondisi serta situasi tidak memungkinkan bagi para pejuang untuk mengimbangi semangat yang diperlihatkan oleh rakyat Buleleng. Mereka amat terjepit akibat hasil perjanjian diatas dan yang mereka perbuat hanyalah menunggu ketentuan dari pusat serta tetap berusaha memelihara semangat juangnya. Pada saat para pejuang kehilangan pegangan akibat kelumpuhan materiil serta fisik maka mereka berharap satu-satunya kepada Tuhan, sehingga atas Rahmat-Nya mereka berhasil menggapai cita-citanya. Timbulah ide dari seorang pejuang untuk berkaul kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang merupakan pegangan satu-satunya bagi para pejuang saat itu. Setelah itu mereka mulai berkaul, bahwa:
“Bila perjuangan RI menang, nanti para pejuang akan membangun sebuah pura republik”.
Juga disepakati bahwa di Pura tersebut akan ditanam dua batang pohon beringin sebagai lambang Sang Saka Merah Putih yang masing-masing ditanam di Jeroan dan di Jabaan. Namun disini permasalahannya yaitu untuk mengucapkan kaul tersebut atau diikrarkan harus dilakukan dimana dan juga harus dilanjutkan dengan menanam dua pohon beringin ini. Hal ini dikarenkan para pejuang tidak mempunyai tanah untuk melakukan hal tersebut. Namun dalam rapat tersebut diketahui oleh Bapa Wirta yang merupakan seorang petani dan beliau menawarkan sebidang tanah milik keluargannya yang nantinya akan dijadikan tempat untuk keperluan ikrar tersebut. Pada tanggal 17 Januari 1948 ditanah tersebut dilakukanlah upacara ikrar tersebut. Setelah melakukan ikrar tersebut dan memberikan penghormatan terakhir, para pejuang ini lalu membubarkan diri karena ada berita bahwa tentara Belanda mencium adanya kejadian ini.
b. Pembangunan Monumen Bhuwana Kerta
1) Pembangunan Monumen
Rupanya cita-cita untuk pembangunan Pura Republik setelah RI menang tidak begitu lancar seperti apa yang diharapkan. Setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda para pejuang kembali ke daerahnya masing-masing dengan penuh harapan serta cita-cita Indonesia agar makmur, aman dan sentosa.
Tetapi akibat bom-bom yang telah disiapkan oleh Belanda untuk menimbulkan berbagai perpecahan dengan masalah-masalah sistem demokrasi liberal yang menghasilkam banyak banyak partai maka pergolakan-pergolakan antara golongan yang satu dengan yang lain tidak dapat dihindarkan. Pergolakan ini juga merembet hingga ke Buleleng.
Bentuk salah satu pergolakan ini yang terjadi di Buleleng adalah tentang adanya penanaman pohon Bringin di Desa Panji tersebut. Sehingga pohon beringin yang terletak di sebelah Utara telah tumbuh dua kali lipat dan sangat mengganggu, sehingga harus dicabut dan ditanam kembali di sekitar tempat tersebut. Keadaan ini juga berdampak pada para pejuangnya dimana mereka harus terpecah-pecah hingga berlangsung sampai tahun 1961.
Sebagai usaha mempersatukan kembali para pejuang ini, maka pada tanggal 15 Juli 1961 atas inisiatif beberapa tokoh pejuang diadakan rapat yang bertempat di Sekolah Dasar No 03 Panji. Rapat yang dihadiri oleh hampir seluruh tokoh pejuang 1945 menggambil beberapa keputusan antar lain:
a). Melanjutkan pengabenan para pejuang;
b). Pemeliharaan atau penyelesaian masalah pohon beringin;
c). Melanjutkan pendaftaran para pejuang.
Untuk menjaga agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari tentang tanah yang telah diberikan oleh Bapa Wirta, maka tanah tersebut dibeli dengan harga Rp. 100.000,-. Dengan adanya rapat ini masalah beringin menjadi sepi. Sementara itu banyak rakyat yang diam-diam yang “maturan” (sembahyang) di pohon tersebut karena dianggap keramat.
Sementara itu pertentangan antara golongan ini semakin meruncing dan ditambah lagi dengan meletusnya peristiwa G 30 S yang merupakan tragedi nasional yang menimpa Indonesia. Peristiwa ini menyadarkan bangsa kita akan akibat pertentangan ini, baik yang disebabkan oleh perbedaan pendapat pada saat revolusi fisik maupun perbedaan ideologi bangsa. Dengan hal tersebut membuat para pejuang dan masyarakat menyadari kelalaian untuk memelihara jiwa kesatuan 17 Agustus 1945, sehingga nantinya mereka bertekad untuk menyusun kembali tata kehidupan yang sejiwa dengan cita-cita revolusi. Namun permasalahannya sekarang ialah untuk melakukan hal tersebut bukanlah hal yang mudah karena saat itu rakyat sedang mengalami perpecahan.
Dalam keadaan sulit inilah kemudian seorang bekas anggota M.B.O yaitu Wayang Nur Rai datang kapada Ketut Wijana yang bekas anggota M.B.O pula untuk menyatakan behwa dirinya selalu merasa ada sesuatu yang belum terlaksana. Hal ini ialah bahwa janji yang dimaksud adalah ikrar yang diucapkan pada tahun 1948 saat itu. Setelah berdiskusi bersama, mereka lalu pergi ke tempat pohon beringin tersebut untuk bersembahyang. Dalam rangka merealisasikan ikrar tersebut, kira-kira pada pertengahan bulan Februari 1966 Ketut Wijana mengadakan peninjauan ke tempat tersebut. Setelah beliau meninjau kemudian beliau menghubungi keempat bekas pimpinan staf yang ada di Buleleng semasa Revolusi 17 Agustus 1945 dan mengutarakan maksudnya bahwa dalam waktu sesingkat-singkatnya akan diwujudkan pembangunan seperti apa yang telah diikrarkan yaitu membangun sebuah monumen untuk mengingat jasa para pejuang tersebut.
2) Pembentukan Panitia serta Susunan Panitia
Di samping persetujuan yang telah didapat dari pimpinan-pimpinan pejuang tersebut maka dilakukan pula pendekatan terhadap para tokoh pemerintah, seniman dan ahli bangunan untuk berpartisipasi dalam melaksanakan pembangunan monumen ini. Setelah akan berjalan lancar maka pada tanggal 28 Maret 1966 diundanglah para tokoh tersebut dalam rapat di Gedung D.P.R.G.R Buleleng guna membicarakan kemungkinan pelaksanaan pembangunan Pura Republik ini. Rapat ini dihadiri oleh para bekas pejuang di Buleleng, kepala jawatan serta tokoh lainnya yang dipimpin oleh Ketut Wijana.
Setelah dilakukan pembahasan-pembahasan yang mendetail maka langkah pertama diputuskan untuk membentuk panitia pembangunan. Panitia panitia induk yang berkedudukan di Singaraja dan panitia sub induk yang berkedudukan di Panji. Adapun susunan panitia tersebut yaitu sebagai berikut:
a). Susunan Panitia Induk
I. Pelindung : Panca Tunggal Kabupaten Beleleng
II. Penasehat :
1. Semua Camat di Kabupaten Buleleng
2. Kepala PU Seksi Buleleng
3. Kepala Kantor Agama Wilayah Bali Utara
4. Kepala Dinas Pertanian Buleleng
5. Kepala Inspeksi Kebudayaan Tk. I Bali di Singaraja
6. Kepala Dinas Kehutanan Tk. I Bali di Singaraja
7. Kepala Inspeksi Lalu Lintas Jalan Bali utara Singaraja
III. Panitia Kerja :
1. Ketua Umum : Ketut Wijana
2. Ketua I : I Dewa Made Suwija
3. Ketua II : I Wayan Mudana
4. Ketua III : I Gst. Ngurah Partha
5. Ketua IV : Hartawan Mataram
6. Sekretaris I : I Nyoman Oka Api
7. Sekretaris II : I Made Merta
8. Sekretaris III : I Dewa Nyoman Teges
9. Bendahara I : I Putu Dana
10. Bendahara II : I Ketut Mas Matindas
11. Bendahara III : I Ketut Sempidi
IV. Seksi-seksi
1. Pengerah Masa :
Ketua I : I Dewa Made Suwija
Ketua II : I Nyoman Gde Mangku
Ketua III : I Made Putra
Ketua IV : I Dewa Made Mantra
2. Penerangan :
Ketua I : I Wayan Mudana
Ketua II : I Made Gelgel B.A
Ketua III : Ida Ketut Gina
3. Perlengkapan/Angkutan :
Ketua I : I Gst. Ngurah Partha
4. dag
b). Susunan Panitia Sub-Induk
Mengenai nama – nama orang yang duduk dalam keangotaan panitia ini data – datanya hilang pada dokumen yang kita kaji, sehingga kami tidak bisa lampirkan susunan panitia dalam penulisan ini. Tetapi secara garis besarnya orang – orang yang duduk dalam keangotaan panitia ini sebagian besar merupakan masayarakat Panji. Ini dikarenakan oleh lokasi dari kerja panitia ini bertempat di daerah Panji itu sendiri. Sehingga masyarakat Panjilah yang menjadi promotor kepanitian ini.
c. Makna Monumen Bhuwana Kerta
a) Kata Monumen
Monumen disini mengandung pengertian suatu bentuk bangunan sebagai tugu peringatan penting atau yang bernilai sejarah sejarah dalam bentuk tertentu sesuai dengan apa yang distrukturkan oleh para pejuang yang melakukan perjuangan. Monumen juga sangat diindentikan dengan dengan tugu pahlawan.
b) Kata Bhuwana
Bhuwana mengandung arti “ yang dijadikan “ ( dalam hal ini dijadikan oleh Tuhan ) sehingga kata Bhuwana dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan “ Dunia “ bumi dengan segala isinya, dalam bahasa Inggris “ Earth “.
c) Kata Kerta
Diambil dari bahasa Sansekerta juga dari urat kata “ krt” yang berarti “ Berbuat “. Perubahannya menjadi “ Kerta “ berarti tertib, aman dan damai.
Persenyawaan kedua kata ini menjadi “ Bhuwana Kerta “ ini sesuai benar dengan cita – cita perjuangan bangsa Indonesia yang menghendaki dunia damai, bebas dari segala berbagai macam penindasan manusia atas manusia.
d) Bentuk Monumen
Dimuka telah ditegaskan bahwa bentuk monumen Bhuwana Kerta merupakan bentuk kombinasi antara Daerah Nasional yang berupa tugu peringatan. Setelah meneliti beberapa contoh serta dilakukan perubahan maka disetujuilah, bentuk monumen “ Bhuwana Kerta “ sebagai berikut :
1. Tinggi monumen : 17 meter
2. Padma Sana serta api pada puncak monumen : merupakan simbul Tuhan Yang Maha Esa dimana seluruh bangsa Indonesia menyakini bahwa kemerdekaan yang telah direbut itu adalah atas Rahmat dan Berkah Tuhan sehingga sewajarnyalah kesujudan dan rasa terima kasih serta syukur itu kita simbulkan pula pada monumen itu disamping kenyakinan kita bahwa masa – masa pengisian kemerdekaan selanjutnya tetap kita mohonkan berkah serta rahmat-Nya.
3. Daun Teratai
Berjumlah 8 lembar yang merupakan lambang manispestasi dari Tuhan ( Sang Hyang Widhi) menurut kepercayaan umat Hindu. Yang terletak didelapan penjuru mata angin yaitu :
· Sebagai Iswara dengan arah timur
· Sebagai Misora dengan arah tenggara
· Sebagai Brahma dengan arah selatan
· Sebagai Ludra dengan arah barat daya
· Sebagai Mahadewa dengan arah barat
· Sebagai Sangkara dengan arah barat laut
· Sebagai Wisnu dengan arah utara
· Sebagai Sambhu dengan arah timur laut
4. Badan Tugu yang polos ( bagian tengah )
Merupakan lambang leluhur serta kesucian dan kejujuran perjuangan kemerdekaan Bali.
5. Dulang yang berselah 45 buah
Dengan tinggi monumen 17 meter serta jumlah daun teratai 8 buah melambangkan angka keramat yaitu 17 – 8 – 1945 dimana bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaannya setelah berjuang beratus – ratus tahun lamanya.
6. Lantai pelataran bersegi lima
Merupakan dasar monumen yang melambangkan bahwa dasar negara kita adalah pancasila.
7. Relief : Relief yang tertera pada monumen ini mempunyai kaitan dengan makna Revolusi 17 Agustus 1945. terdiri dari :
Dasar monumen berupa seekor “empas” dan dua ekor naga yang melilit merupakan lambang pemeliharaan dan kedamaian dunia. Lambang ini diambil dari cerita klasik keagamaan daerah Bali yaitu “ pemuteran bhuwana giri dalam mencari tirta amerta “.
Gambar pohon beringin yang dipahat dibagian depan monumen merupakan lambang saksi cita – cita perjuangan. Teks proklamasi dipahat dibagian belakang. Teks iklar dan sebait nyanyian revolusi yang paling patriotik dipahat dibagian samping monumen.
Demikian simbul – simbul yang terdapatpada nama bentuk dan relief – relief pada monumen Bhuwana Kerta yang merupakan perwujudan cita – cita revolusi 17 Agustus 1945.
e) Pelaksanaan Pembangunan
1) Pelaksanaan Pembangunan
Sejak peletakan batu pertama yang dilakukan pada tanggal 31 Maret 1966, pelaksanaan pembangunan dilakukan oleh C.V. Dharma dengan pengawas teknis P.U. Seksi Buleleng segara pekerjaan yang bersifat masal dikerjakan secar gotong royong oleh mesyarakat, begitu juga dalam pengumpulan batu – batu kali untuk pondasi sepenuhnya merupakan hasil gotong royong masyrakat. Tenaga gotong royong ini sampai tanggal 28 Januari 1968 saja telah berjumlah 25.947 orang, terdiri dari pelajar – pelajar S.D., S.L.T.P., / A, Mahasiswa dan masyarakat dari berbagai golongan dan aliran.
Kemudian karena kesulitan – kesulitan biaya, kemudian pembangunan langsung ditackle oleh panitia dalam hal ini panitia kecil, dibawah pimpinan Sdr. Hartawan Mataram dengan tetap dibantu oleh P.U. Buleleng.
2) Biaya Pembangunan
Sampai tanggal 28 Januari 1968 biaya yang telah dikeluarkan untuk bangunan induknya saja tidak kurang dari Rp. 1.000,- Biaya ini disamping dalam bentuk uang juga dalam bentuk bahan-bahan. Biaya dan bahan-bahan ini didapat atas usaha dan sumbangan para dermawan dari segenap lapisan masyarakat. Dari adanya sumbangan ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa simpati dan pertisipasi masyarakat atas pembangunan Monumen Bhuwana Kerta ini sangat besar. Begitu juga bila kita lihat dari banyaknya tenaga gotong royong yang telah menyumbangkan tenaga ke monumen ini, yang kadang mereka berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer asal dapat ikut berdana bhakti pada pembangunan monumen perjuangan ini. Sampai saat ini para pengunjung baik pelajar maupun masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat masih mengalir terus. Ini kita dapat baca dari “Buku Tamu” yang sengaja disediakan untuk itu.
3) Masalah tanah kompleks monumen
Di atas telah disinggung bahwa tanah tempat penanaman 2 (dua) pohon beringin itu adalah milik pribadi Bapa Wirta. Untuk tidak menimbulkan kesulitan di kemudian hari, maka tanah itu kemudian dibeli oleh Markas Cabang L.V. seharga Rp. 100.000,- Uang didapat dari Markas Daerah Rp. 50.000,- dan bantuan Bupati Buleleng (cq. Ida Bagus Mahadewa) Rp. 50.000,- (Lima Puluh Ribu Rupiah).
Oleh karena tanah areal kompleks monumen masih kurang maka diharapkan sumbangan-sumbangan tanah di sekitar monumen. Maka untuk itu, Meme Daning menyumbangkan sebagian tanahnya seluas 10 are (bagian selatan monumen). Dengan demikian, areal tanah yang dipergunakan seluruhnya 1,350 Ha.
BAB III
PENUTUP
1. Simpulan
Dengan adanya perjuangan di Bali Utara melawan penjajah dalam hal ini Bangsa Belanda, telah banyak menimbulkan perjuangan – perjuangan ataupun perang mempertahankan tanah air. Sehingga dengan adanya peristiwa seperti itu, masyarakat Buleleng khususnya para pejuang dan kaum generasi muda melakukan suatu iklar yang menyatakan “Bila perjuangan R.I. menang, nanti para pejuang akan membangun sebuah pura republik“.
Dengan kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, mengenai iklar yang diucapakan tersebut akhirnya diwujudkan dengan sebuah pembangunan monument Bhuwana Kerta serta pembuatan Pura Republik yang dilengkapi dengan penanaman dua pohon beringin pada tanggal 31 Maret 1966.
2. Saran-saran
Dengan telah berhasilnya mencapai hasil dalam penulisan ini maka penulis menyarankan beberapa hal sebagai berikut :
a. Kepada pembaca agar bisa memaknai arti perjuangan para pendahulu kita serta bisa mendalami pengetahuan tentang bangunan-bangunan bersejarah, termasuk Bhuwana Kerta.
b. Kepada masyarakat dan pemerintah agar bisa menjaga kelestarian dari keberadaan monument Bhuwana Kerta karena kita melihat betapa sulitnya perjuangan para pejuang sampai dibangunnya monument tersebut.
c. Kepada penulis yang berminat meneliti obyek sejenis, agar bisa melanjutkan kajiannya dari aspek dan sudut pandang yang lain sehingga bahan-bahan tertulis mengenai Monumen Bhuwana Kerta menjadi semakin lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
Kusmada,BA. Putu.1977. Tugu Bhuwana Kerta di Desa Panji Buleleng. Denpasar : Proyek Sasana budaya Bali Denpasar
Nala Ngurah. 2001. Perjuangan Rakyat Bondalem ; Zaman Jepang, Perang Kemerdekaan dan Pasca Perang Kemerdekaan. Bondalem: Yayasan Yudha Dharma
Kansil SH, Drs. CS.T. 1990. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangkitan Nasional. Jakarta : Erlangga
Kahin, George MC Trunan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesai. Pustaka Sinar Harapan
Onghokham. 1989. Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta :Gramedia
Widja,Ph.d, Drs Gde , Atmadja, Drs Bawa, dan Sugiarta, Drs Wayan.1987. Laporan Penelitian : Jagoan Dalam Revolusi Pisik di Buleleng ( 1945 – 1949). Singaraja : FKIP UNUD
Putu. Sh.1952. Masyarakat Bali Sesudah Revolusi. Dalam Majalah Bakti Edisi 20 November 1952.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar