Label

Adi Sanjaya

Adi Sanjaya

Kamis, 16 September 2010

Dampak Kebijakan Politik-Ekonomi Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia Abad XVII-XIX

1. Dampak positif dan negatif dari sistem politik yang diberlakukan oleh Belanda Abad XVII-XIX
Dalam kurun waktu 1602 sampai 1900, Belanda menerapkan sistem ekonomi yang diiringi dengan sistem politik di Indonesia. Penerapan dari sistem yang diterapkan oleh Belanda membawa dampak-dampak baik bagi Belanda itu sendiri maupun bagi rakyat Indonesia sendiri. Ada beberapa sistem yang diterapkan oleh Belanda di Indonesia dalam kurun waktu tersebut antara lain VOC dengan monopoli perdagangannya, Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) dan Zaman Liberal (Politik Pintu Terbuka).

a. VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie)
Di bawah pimpinan Cornelis De Houtman, orang-orang Belanda pertama kalinya datang ke Indonesia dan mendarat di Banten. Setelah itu, semakin banyaklah orang-orang Belanda yang berlayar ke Indonesia, dengan tujuan mencari keuntungan lewat perdagangan. Tidak sedikit terjadinya persaingan-persaingan dagang, baik antara orang Belanda sendiri maupun dengan pedagang asing dari negara lain. Persaingan-persaingan membuat keuntungan Belanda justru menjadi mengecil. Oleh karena itulah Parlemen Belanda (Staten General) memprakarsai penyatuan para pengusaha Belanda dalam sebuah sistem majelis yang disebut Hereen XVII. Badan inilah yang menjadi pimpinan pusat dibentuknya VOC di Hindia Belanda pada tahun 1602.
Berdasarkan Hak Oktroi yang diberikan oleh Parleman, VOC memiliki wewenang untuk mendaftar personal atas dasar sumpah setia, melakukan peperangan, membangun benteng-benteng dan mengadakan perjanjian-perjanjian di seluruh Asia. Dengan adanya oktroi, walaupun VOC hanyalah sebagai suatu kongsi dagang, namun VOC bisa bertindak sebagai negara. VOC bisa melakukan peperangan dengan kerajaan-kerajaan Jawa, menandatangani perjanjian guna mengakhiri peperangan dan menarik keuntungan dari perang yang mereka lakukan. Dengan berpusat di Batavia, faktor yang paling penting bagi keberadaan VOC adalah mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Dengan menggunakan Hak Oktroi yang dimiliki VOC, maka ada beberapa usaha yang dilakukan VOC dalam rangka mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan aspek sportivitas, antara lain sebagai berikut :
i. Leveransi dan Kontingensi; Leveransi adalah penyerahan wajib atas suatu komoditi yang laku dijual di pasaran Eropa, dengan harga patokan yang ditetapkan oleh VOC. Sedangkan Kontingensi berarti penyerahan wajib atas suatu komoditi dengan sistem quota, dengan mendapatkan pembayaran kembali, namun jumlahnya sangat kecil bahkan bisa pula tidak dibayar.
ii. Priyangan Stelsel; yakni suatu bentuk kerja wajib yang diberlakukan oleh VOC kepada rakyat pribumi lewat para penguasa lokal/bupati untuk menanam komoditi tanaman kopi yang dipandang sangat cocok dibudidayakan di daerah Priyangan.
iii. Persewaan Tanah; yaitu dengan menyewakan desa yang diberikan kepada orang Cina dan Eropa termasuk penduduk yang ada di dalamnya dalam jangka waktu tertentu.
iv. Penjualan Tanah kepada orang asing yakni Cina dan Eropa sehingga menimbulkan tanah-tanah Partikulir ­­­­­­­(Particuliere Landerijen).
v. Perdagangan Kayu Cendana karena bisa menambah keuntungan dari VOC yakni antara 100-250%.
vi. Monopoli Perdagangan Timah dimana timah banyak dihasilkan di pulau Bangka, sehingga pulau tersebut menjadi sangat penting dalam menambah keuntungan VOC.
vii. Sumber Masukan Finansial Lainnya yang banyak bersumber dari perdagangan dengan orang-orang Cina. Masukan-masukan lainnya antara lain seperti masukan dari Pajak dan monopoli perdagangan opium.
Namun VOC pun runtuh pada 31 Desember 1799. hal ini disebabkan selain karena banyaknya pegawai-pegawai yang korupsi, banyaknya pengeluaran yang tidak sebanding dengan pemasukan kas VOC, banyaknya pengeluaran untuk biaya perang, adanya perubahan politik di Eropa juga berpotensi sebagai salah satu penyebab keruntuhan VOC. Revolusi Perancis melahirkan arah perebutan daerah jajahan di Asia sehingga menimbulkan ancaman bagi VOC sebagai sebuah kongsi dagang. Selain itu, pengaruh Revolusi Perancis menyebabkan di negeri Belanda berkembang dua aliran tentang sistem pengelolaan tanah jajahan, yakni aliran liberal yang menghendaki penghapusan penyerahan model yang diterapkan VOC, sedangkan aliran konservatif yang cenderung mempertahankan sistem tersebut. Adanya kondisi kekacauan dan ketidakpastian di negeri Belanda atas pembubaran VOC menyebabkan adanya pengalihan penguasaan atas Jawa dari VOC (Belanda ) kepada Inggris yang dipimpin oleh Sir Thimas Stamford Raffles (1811-1816) yang terkenal dengan sistem pajak tanahnya (Landrent).
Pada kenyataannya, betapapun sistem yang diberlakukan oleh Belanda pasti membawa dampak-dampak sebagai akibat pelaksanaan suatu sistem, baik terhadap Belanda sendiri maupun terhadap rakyat pribumi. Dampak yang paling jelas dan sangat dirasakan adalah terhadap rakyat pribumi. Kekayaan sumber daya alam Indonesia yang sebelumnya masih belum dimanfatkan secara maksimal, dengan datangnya VOC membuat sumber kekayaan alam Indonesia bisa dieksplorasi, seperti sektor perkebunan dan pertambangan yang dapat diwariskan dan dikembangkan sampai sekarang. Selain itu, rakyat Indonesia menjadi mengenal komoditi ekspor baru selain komoditi lokal. Komoditi tersebut seperti kopi dan opium/candu. Komoditi lokal seperti rempah-rempah pun mejadi komoditi ekspor yang laku dan sangat penting di pasaran Eropa. Dari itu semua rakyat Indonesia menjadi mengenal sistem perekonomian baru, dari yang sebelumnya menggunakan sistem barter menjadi sistem ekonomi uang (pasar), walaupun hanya orang-orang tertentu saja yang menikmatinya.
Terhadap negeri Belanda, VOC juga membawa dampak yang secara umum menguntungkan. Dengan berdirinya VOC, keuangan negeri Belanda yang sebelumnya terpuruk akibat perang 80 tahun antara Belanda dengan Spanyol secara signifikan meningkat. Keuntungan yang didapatkan oleh negeri Belanda tidak hanya dalam sektor perdagangan saja, namun juga sektor politik dimana Belanda mendapatkan wilayah yang dapat dijajah dan dieksploitasinya. Namun setelah VOC dibubarkan, VOC justru menjadi bumerang bagi negeri Belanda, karena runtuhnya VOC membawa warisan hutang yang sangat banyak. Karena VOC bangkrut, maka semua hutang-hutang VOC menjadi dilimpahkan kepada pemerintah negeri Belanda. Akibatnya, kas negeri Belanda menjadi habis untuk membayar hutang-hutang yangdimiliki oleh VOC. Oleh karena keadaan seperti itulah nanti di Belanda muncul pemikiran cemerlang dari Van Den Bosch dalam rangka mengisi kas pemerintah Belanda dengan waktu yang sesingkatnya namun hasil yang banyak. Cultuurstelsel adalah sistem yang diterapkan oleh Belanda selanjutnya.

b. Cultuurstelsel
Seperti yang telah dikemukakan diatas, bahwa Inggris pernah berkuasa di Indonesia dalam kurun waktu 1811-1816 di bawah pimpinan Sir Thomas Stamford Raffles. Namun berdasarkan Konvensi London (1814), penguasaan Inggris atas Indonesia berakhir pada tahun 1816, dan diserahkan kembali kepada kerajaan Belanda. Pada saat itu, Indonesia diperintah oleh Gubernur Jenderal Van der Capellen (1819-1826). Namun karena pada masa kekuasaannya pemerintah Hindia Belanda mengalami defisit, maka Capellen digantikan oleh Gubernur Jenderal du Bus de Gisignies yang bertugas mengembalikan defisit pemerintah dan menjadikan Jawa sebagai lahan eksploitasi Belanda. Untuk itu, Gisignies menerapkan sistem pajak dengan sebelumnya meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberikan rangsangan untuk menanam tanaman ekspor dalam rangka meningkatkan pajak tanah.
Namun ternyata sistem pajak yang semula diharapkan bisa menutupi defisit anggaran Belanda ternyata gagal. Terlebih lagi dengan adanya Perang Jawa dan Perang Padri yang memerlukan biaya yang sangat banyak, sampai-sampai pemerintah menanggung hutang. Pemerintah saat itu memerlukan suatu usaha bagaimana memberikan masukan finansial yang sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, dan pada saat itu muncul Johanes Van Den Bosch yang mengusulkan konsepsi Cultuurstelsel, yang berasumsi bahwa masyarakat Jawa kurang mendapat rangsangan memadai untuk untuk menghasilkan tanaman perdagangan bagi pasar Eropa. Gagasan van Den Bosch dianggap paling tepat untuk menggali uang yang banyak dalam waktu singkat, dan juga sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat Jawa. Van Den Bosch akhirnya diangkat mejadi Gubernur Jenderal (1830-1833) menggantikan Gesignies sehingga ia bisa melaksanakan gagasannya secara utuh. Pelaksanaan Tanam Paksa sebagian besar dilakukan di Jawa, yakni pada daerah-daerah yang langsung berada di bawah pemerintahan administratif pemerintah Hindia Belanda (daerah Gubernemen). Tanaman-tanaman yang ditanam adalah tanaman wajib yang berskala besar (gula, kopi dan indigo) dan berskala kecil (tembakau, kayu manis, teh, merica, jati, dll). Pelaksanaan Tanam Paksa juga mengacu pada ketentuan-ketentuan pokok pelaksanaannya, yakni yang menyangkut tentang tanah (lahan), tanaman, hasil, dan tenaga kerja dalam pelaksanaan Tanam Paksa.
Penanganan komoditas ekspor yang dihasilkan Tanam Paksa, mulai dari Jawa sampai ke Belanda dilakukan oleh Perusahaan dagang Belanda (NHM-Nederlandche Handels Maatschappij) yang diberikan hak monopoli untuk mengapalkan komoditas tropis dari Nusantara ke Amsterdam.
Secara teori, setiap pihak akan memperoleh keuntungan dari sistem ini, desa masih memiliki tanah yang cukup luas untuk kegunaannya sendiri dan akan mendapatkan penghasilan dari pertaniannya tersebut, sedangkan pemerintah kolonial akan mendapatkan komoditi yang sangat murah harganya, misalnya gula, sehingga menurut perkiraan Van Den Bosch gula tersebut dapat bersaing dengan gula dari Hindia Barat di pasaran dunia, yang dihasilkan oleh tenaga budak. Tanam paksa berjalan terus tanpa diketahui oleh pemerintah pusat bagaimana pelaksanaannya dan apa akibat yang ditimbulkannya. Barulah pada tahun 1843 pemerintah kolonial di Batavia mengetahui tentang adanya musibah kelaparan di daerah Cirebon, pada tahun 1840, tanda-tanda penderitaan dari orang-orang Sunda dan Jawa mulai tampak, khususnya di daerah penanaman tebu, adanya pergiliran tanaman antara tebu dan padi mengalami kesulitan karena tebu telah menyita banyak waktu dan tenaga para petani, sehingga penanaman padi cenderung tidak stabil dan tidak diabaikan. Hal ini diperparah oleh adanya pabrik gula yang menyita jatah air dan tanaman padi para penduduk untuk tanaman tebu. Timbul paceklik dan harga beras naik, kelaparan dan musibah kematian terjadi dimana-mana. Selain itu juga, penyimpangan pelaksanaan sistem tanam paksa mengakibatkan petani di beberapa daerah menghadapi kesulitan pangan, karena areal untuk pananaman padi sangat sempit atau pada lahan yang tidak layak, sehingga produksi padi menurun. Begitu pula petani dieksploitasi untuk berbagai kerja wajib, tanpa jaminan kesehatan dan nutrisi, sehingga mereka rentan terhadap penyakit, bahkan bisa mewabah. Pada umumnya rakyat Belanda tidak tahu menau mengenai keadaan penduduk Jawa yang menyedihkan. Hal ini disebabkan oleh adanya usaha pemerintah untuk melanggengkan penerapan Cultuurstelsel di Indonesia. Kurangnya media komunikasi juga menjadi penyebab kurang tahunya masyarakat Belanda tentang keadaan bangsa Indonesia yang sebenarnya.
Walaupun pemerintah adalah sebagai penguasa dan pengusaha, namun masih memberikan peluang bagi pengusaha swasta untuk mengembangkan usahanya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kenyataan bahwa pengusaha swasta ikut memberikan kontribusi masukan finansial bagi negeri Belanda. Dengan adanya kenyataan bahwa melalui Tanam Paksa pemerintah memadukan dirinya sebagai penguasa dan pengusaha, maka tidak mengherankan jika dalam waktu yang relatif singkat Tanam Paksa mampu berperan sebagai mesin uang bagi negeri Belanda. Dengan demikian, dampak yang paling nyata bagi negeri Belanda adalah memberikan keuntungan finansial yang berlipat ganda, yang mampu menambah anggaran pemerintah Hindia Belanda dan hutang-hutang lama VOC berhasil dilunasi. Pendapatan dari Sistem Tanam Paksa mengakibatkan sistem perekonomian Belanda menjadi stabil, hutang-hutang dilunasi, pajak-pajak duturunkan, kubu-kubu pertahanan, terusan-terusan dan jalan-jalan kereta api negara dibangun dengan baik. Tanam paksa juga dipakai membayar ganti rugi kepada para pemilik budak di Suriname. Bahkan dengan adanya sistem tanam paksa, pemerintah Hindia Belanda bisa pula membiayai operasi militernya di luar Jawa, misalnya Bali (Perang Jagaraga).
Penerapan Tanam Paksa juga membawa dampak bagi bangsa Indonesia sendiri, baik dampak positif maupun negatif. Secara umum bagi bangsa Indonesia tanam paksa sangat menyengsarakan rakyat, apalagi dengan adanya Cultuurprocenten yang merupakan semacam hadiah bagi para pegawai Belanda, bupati dan kepala desa pelaksana tanam paksa yang mampu mencapai atau melebihi target produksi yang dibebankan pada tiap-tiap desa. Semakin besar hasil yang dicapai maka semakin besar prosentase imbalan yang diterimanya. Akibatnya muncullah apa yang disebut vested interest yaitu mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Cara-cara ini akan menimbulkan penderitaan rakyat yang semakin hebat karena mereka akan dipaksa untuk bekerja lebih keras lagi untuk meningkatkan produksi tanaman. Selain itu, sawah dan ladang para petani juga terbengkalai karena ditinggal kerja rodi, beban mereka semakin berat karena harus menanggung panen yang gagal dan membayar pajak. Namun dari itu semua sistem tanam paksa juga membawa dampak positif bagi bangsa Indonesia dimana dalam pelaksanaan tanam paksa diperkenalkan jenis-jenis tanaman baru yang merupakan komoditi ekspor serta cara merawat dan tempat-tempat yang cocok untuk menanam jenis tanaman tertentu. Bangsa Indonesia juga menjadi tahu cara-cara mengolah tanah dan cara memanen yang baik sehingga menghasilkan hasil yang maksimal. Dan ada pula bukti kuantitatif maupun kualitatif bahwa di daerah-daerah tertentu Tanam Paksa justru meningkatkan kemakmuran, seperti di Pekalongan, penanaman tebu yang disertai dengan pembukaan pabrik gula mengakibatkan ekonomi yang meluas dan pembayaran pajak berjalan lancar. Gejala yang sama terjadi pula di Priyangan, dimana ada tanda-tanda peningkatan kesejahteraan petani. Terbukti dari adanya pertambahan jumlah penduduk dan hewan ternak, semakin lajunya usaha pembukaan lahan, kenaikan produksi pangan secara merata dan bertambah larisnya penjualan garam.

c. Zaman Liberal (Politik Pintu Terbuka)
Kemunculan gerakan menghapuskan tanam paksa tidak semata-mata karena dampak negatif yang ditimbulkannya, tetapi juga karena perubahan sosial, ekonomi dan politik di negeri Belanda. Tanam paksa mengakibatkan kelas menengah sebagai pendukung utama liberalisme yang disertai dengan industrialisasi menjadi semakin menguat. Produk industri Belanda memerlukan ruang pemasaran yang seluas-luasnya di Indonesia. Begitu pula modal yang menumpuk di negeri Belanda, baik sebagai akibat dari tanam paksa maupun keuntungan yang didapat dari sektor industri juga memerlukan ruang usaha agar mendapat keuntungan yang lebih besar.
Dan pada tahun 1870 pemerintah kolonial menetapkan Undang-undang Agraria atau Agrarische Wet. Adapun isi pokok dari Undang-undang Agraria tersebut antara lain :
· Tanah Indonesia dibedakan menjadi dua macam, yaitu : tanah rakyat dan tanah pemerintah
· Tanah rakyat dibedakan atas : tanah milik yang sifatnya bebas dan tanah untuk keperluan penduduk desa yang sifatnya bebas
· Tanah pemerintah adalah tanah yang bukan milik rakyat, yang dapat dijual atau disewakan untuk dijadikan perkebunan.
Dengan Undang-undang ini maka secara formal Tanam Paksa dihapuskan, walaupun dalam proses penghapusannya dilaksanakan secara bertahap. Adapun tujuan dari dikeluarkannya Undang-undang Agraria antara lain :
i. Untuk membela dan melindungi para petani di daerah jajahan agar hak milik atas tanahnya terlindungi dari usaha penguasaan oleh orang-orang asing.
ii. Memberi peluang bagi penanam modal asing untuk dapat menyewa tanah dari rakyat Indonesia, sehingga menguntungkan bagi rakyat Indonesia.
Setelah dikeluarkannya Undang-undang Agraria, dikeluarkan pula Undang-undang Gula yang bertujuan untuk pergantian penguasaan perusahaan-perusahaan pemerintah kepada pihak swasta secara perlahan. Adapun isi dari Undang-undang Gula tersebut, antara lain :
· Sewa hanya dapat dilakukan antara satu sampai dua tahun
· Uang sewa sebesar hasil dari satu kali panen petani, kalau tanah itu dikerjakan oleh petani
· Investor asing wajib mengadakan perjanjian langsung atau kontrak dengan petani.
Dengan dikeluarkannya Undang-undang Agraria dan Undang-undang Gula ini, maka terbukalah Indonesia bagi kaum liberal Eropa untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan adanya modal asing yang ditanamkan di Indonesia, maka muncullah perkebunan-perkebunan asing seperti tebu, kopi, tembakau, teh, kina, kopra dan sebagainya. Usaha-usaha perkebunan swasta ini mengalami perkembangan yang sangat pesat antara tahun 1870-1885 sehingga keuntungan yang didapatkan melimpah. Hal ini ditunjang lagi dengan adanya pemakaian mesin-mesin pengolahan yang modern dan lebih baik, dan dengan dibukanya Terusan Zues yang memperpendek jarak yang harus ditempuh sehingga menghemat biaya angkutan dan berakibat menambah keuntungan yang dihasilkan oleh pengusaha asing.
Untuk melancarkan perkembangan produksi tanaman ekspor tersebut, maka pemerintah Hindia Belanda membangun prasarana penunjang seperti : waduk, saluran irigasi, jalan raya, jalan kereta api dan dermaga pelabuhan. Untuk pekerjaan ini, pemerintah Hindia Belanda kembali mengerahkan tenaga rakyat dengan sistem kerja rodi. Sebagai akibatnya rakyat mendapat penderitaan yang sangat berat. Lebih-lebih saat perdagangan hasil tanaman ekspor mulai menurun, karena harga di pasaran dunia jatuh sebagai akibat dari daerah-daerah Eropa mulai menanam dan memproduksi gula. Demikian pula dengan kopi, tembakau, teh dan produksi lainnya mulai menurun penghasilannya.
Sedangkan di Sumatera perkebunan mengalami kesulitan dalam hal tenaga buruh, berbeda dengan keadaan perkebunan di pulau Jawa sebagai daerah yang padat penduduk, memudahkan dalam mencari tenaga buruh. Di Sumatera, perkebunan memenuhi kebutuhan tenaga kerjanya dengan mendatangkan buruh dari Jawa. Karena perlakuan pengawas terhadap buruh sangat kasar, banyak buruh yang melarikan diri dari perkebunan. Untuk mengantisipasi hal dan mengatur hal tersebut, maka pemerintah kolonial mengeluarkan undang-undang “Koeli Ordonantie”. Sebagai ancaman bagi para kuli yang berani meninggalkan pekerjaan sebelum waktunya tiba, ditetapkanlah Poenale Sanctie. Dengan demikian, dapat dikatakan pada era politik liberal terjadi suatu bentuk sistem perbudakan yang dilindungi undang-undang sehingga sangat menyengsarakan rakyat Indonesia, karena zaman liberal hanya sebatas teori semata namun jauh dari pelaksanaannya.
Dengan adanya perpindahan tenaga kerja ke perkebunan-perkebunan swasta, maka di sekitar areal pekebunan tersebut muncul suatu masyarakat yang disebut dengan masyarakat pekebunan. Di dalam masyarakat pekebunan juga terdapat struktur sosial secara hirarkis. Bentuk seperti ini menyebabkan dalam masyarakat tersebut sering terjadi kekerasan yang bersifat struktural, yakni yang ada di atasnya mengerasi yang dibawahnya. Selain itu, dalam masyarakat perkebunan juga terjadi kehidupan sosial antara struktur yang ada. Hubungan sosial tersebut baik dari segi segmentasi etnik atau kebangsaan, segi kesehatan dan kesejahteraan, pemenuhan kebutuhan seksual, plantokrasi, serta hubungan-hubungan sosial lainnya. Demikian kompleksnya hal-hal yang dapat terjadi sebagai akibat dari pemberlakuan suatu politik liberal.
Politik pintu terbuka membawa perbaikan dan perubahan di Indonesia, yaitu dihapuskannya sistem tanam paksa yang sangat memberatkan dan menyengsarakan rakyat, dibayarnya para pekerja yang pada tanam paksa tidak dibayar, dikeluarkannya sistem pajak langsung yang mendorong pertumbuhan ekonomi, perlindungan bagi pribumi oleh pemerintah khususnya mengenai haknya yang berhubungan dengan tanah. Politik pintu terbuka juga berakibat positif bagi kehidupan rakyat Indonesia, dimana kehidupan rakyat Indonesia menjadi lebih baik karena mereka dibebaskan dari perlakukan yang tidak adil saat diberlakukannya tanam paksa. Sebaliknya mereka dibayar untuk menanam tanaman yang diperdagangkan oleh pengusaha Belanda. Mereka juga bebas membudidayakan tanah garapannya dengan tanaman apapun yang disukainya. Kebanyakan petani menanam yang akan dikonsumsinya sendiri, dan yang lain menanam tanaman untuk dijual. Selain hal-hal di atas politik liberal juga menyebabkan ekspansi perekonomian Jawa yang cepat dimana perekonomian Jawa diperluas dengan cepat. Kebebasan berusaha mendorong Belanda untuk membuka tanaman perdagangan di Jawa bersamaan dengan pembukaan Terusan Zues yang juga mempengaruhi perdagangan Eropa barat dan timur. Dampak lain dari kebijakan ini adalah meningkatnya komunikasi dan transportasi karena perkembangan perdagangan dan industri yang cepat di pulau Jawa. Dampak negatifnya adalah politik liberal ini justru belum berhasil mengangkat nasib rakyat Indonesia, dimana rakyat secara umum masih terjadi suatu kerja paksa oleh para penguasa kepada petani. Hal ini diperparah lagi dengan terbatasnya ruang gerak buruh petani oleh aturan yang dikenal dengan Poenale Sanctie, yang memberikan hukuman berat, baik hukuman badan maupun penjara, bagi buruh yang melanggar aturan atau melarikan diri. Hal tersebut sangat mungkin terjadi karena para pekerja diawasi oleh mandor-mandor yang sangat kejam. Selain itu dalam lingkungan masyarakat perkebunan terjadi suatu bentuk penyakit masyarakat seperti pelacuran dan perjudian, serta sistem kredit yang sangat memberatkan
Sedangkan dampak positif bagi pihak Belanda adalah keuntungan yang sangat besar bagi kaum swasta Belanda dan pemerintah Hindia Belanda dari pajak penyewaan tanah dan penjualan hasil-hasil pertanian yang ditanam di Indonesia. Sedangkan dampak negatifnya adalah dengan adanya kondisi rakyat yang sengsara, produksi di beberapa komoditi menurun sehingga pihak swasta Belanda menderita kerugian.


>>>Dari berbagai sumber

Tidak ada komentar: