Oleh: Adi Sanjaya
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setelah Indonesia memberlakukan kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka dilaksanakan suatu sistem pemerintahan yang bernama sistem demokrasi terpimpin. Di dalam kekuasaan ini, seluruh kekuatan rakyat dapat digolongkan menjadi tiga golongan besar. Pertama, ada golongan nasionalis, seperti diwakili oleh PNI dan Partindo. Kedua, ada golongan agama yang diwakili oleh NU, Partai Katolik, dan Partai Kristen Indonesia. Ketiga, ada golongan komunis yang diwakili oleh PRI dan PKI. Tiga golongan ini disebut Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Ternyata di dalam kiprah Nasakom ini, PKI-lah yang banyak menarik keuntungan.
Setelah PKI merasa dirinya kuat dan dapat dipercaya oleh para pengikutnya yang berada di Indonesia, lalu mengadakan pemberontakan pada tanggal 30 September 1965 melalui G 30 S/PKI. Peristiwa ini merupakan peristiwa yang tragis dan luar biasa yang menyebabkan stabilitas politik, pertahanan dan keamanan serta masalah ekonomi menjadi terganggu.
Peristiwa G 30 S/PKI ternyata menjadi pemicu aksi protes dan demonstrasi besar-besaran terutama di kota Jakarta, Bandung, dan kota-kota besar lainnya. Gerakan demonstrasi ini dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda mahasiswa dan lapisan masyarakat lainnya yang tergabung dalam Front Pancasila. Isi dari tuntutan mereka dikenal dengan nama Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat), yang salah satu isinya menuntut pembubaran PKI. Dalam situasi keamanan yang membahayakan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah pada tanggal 11 Maret 1966 kepada Letjen Soeharto, yang kini dikenal dengan nama Supersemar.
Berdasarkan Supersemar menyebabkan Letjen Soeharto mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin keamanan dan ketertiban serta kestabilan jalannya pemerintahan dan revolusi Indonesia serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan presiden demi keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia. Dengan Supersemar Letjen Soeharto harus mengambil langkah-langkah yang penting dan memberi arah baru kepada perjalanan hidup bangsa dan negara. Jadi Supersemar merupakan tonggak baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena dalam periodisasi Sejarah Indonesia mulai dikenal Orde Baru. Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno (http://images.sudarjanto.multiply.com/attachment). Atas dasar latar belakang di ataslah maka sangat menarik untuk dikaji menganai perkambangan awal Orde Baru yang menjadi suatu titik awal berkuasanya Soeharto selama 32 tahun di Indonesia. Penulis mencoba untuk mengkaji permasalahan-permasalahan tersebut melalui makalah sederhana yang penulis beri judul ”Perkembangan Awal Orde Baru”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu untuk dikaji antara lain sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana latar belakang lahirnya Orde Baru?
1.2.2 Bagaimana Perkembangan Masa Awal Orde Baru?
1.2.3 Bagaimana Pelaksanaan Pemilu I di Era Orde Baru Pada Tahun 1971?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain sebagai berikut:
1.3.1 Untuk mengetahui latar belakang lahirnya Orde Baru.
1.3.2 Untuk mengetahui Perkembangan Masa Awal Orde Baru.
1.3.3 Untuk mengetahui Pelaksanaan Pemilu I di Era Orde Baru Pada Tahun 1971.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kelahiran Orde Baru
2.1.1 Pemberontakan G 30 S/PKI
Sejak D.N Aidit terpilih menjadi ketua PKI tahun 1951, ia dengan cepat kembali PKI yang porak-poranda akibat kegagalan pemberontakan tahun 1948. Usaha yang dilakukan oleh D.N Aidit berhasil dengan baik, sehingga pada pemilu 1955 PKI berhasil meraih dukungan rakyat dan menempatkan diri menjadi salah satu dari empat partai besar di Indonesia, yaitu PNI, MASYUMI, NU, dan PKI.
Tampaknya PKI hendak berkuasa melalui parlemen pada zaman Demokrasi Terpimpin. Selain itu mereka juga mempersiapkan diri untuk melaksanakan tindakan dengan jalan kekerasan dalam upaya mencapai tujuan yaitu berkuasa atas wilayah Republik Indonesia. Untuk dibentuk biro khusus yang secara rahasia bertugas mempersiakan kader-kader di berbagai organisasi politik, termasuk dalam tubuh ABRI. BPUPKI juga berusaha untuk mempengaruhi presiden Soekarno untuk menyingkirkan dan melenyapkan lawan-lawan politiknya. Selain itu PKI juga rutin mengadakan perebutan. Letkol Untung menyerukan kepada para perwira bintara, dan terutama Angkatan Darat di seluruh tanah air supaya bertekad mengikis habis pengaruh-pengaruh Dewan Jendral dan kaki tangannya dalam Angkatan Darat. Dewan Jendral adalah perwira-perwira yang gila kekuasaan yang menelantarkan nasib anak buahnya tetapi di pihak lain mereka selalu hidup berfoya-foya. Mereka mulai bergerak pada dini hari 1 Oktober 1965 didahului dengan gerakan penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama AD yang kesemuanya dibawa ke desa Lubang Buaya. Keenam perwira itu adalah Letnan Jendral Ahmad Yani, Mayor Jendral R.Soeprapto, Mayor Jendral Harjono Mas.Tirtodarmo, Mayor Jendral Siswodo Darman, Jendral Donald Kacus Panjaitan, dan Brigadir Jendral Soetojo Siswomihardjo.
Berita tentang Gerakan 30 September segera menyebar pada tanggal 1 Oktober 1965. Berita itu menimbulkan kebingungan dalam masyarakat. Sementara itu nasib kepala Staf Angkatan Bersenjata dan Mentri/Panglima Angkatan Darat kemudian diambil alih oleh Panglima Komando Strategi Angkatan Darat, Mayor Jendral Soeharto kemudian mulai memimpin penumpasan terhadap aksi Gerakan 30 September. Aksi kelompok Gerakan G 30 S/PKI ternyata tidak mendapat dukungan baik dari anggota ABRI lainnya maupun masyarakat. Pada tanggal 2 Oktober 1965 pasukan resimen para komandan Angkatan Darat (RPKAD) yang dipimpin oleh Sarwo Edhie Wibowo berhasil menguasai pemberontakan di Jakarta. Keberhasian ini kemudian disusul didaerah-daerah seperti Yogyakarta dan Jawa Tengah.
2.1.2 Lahirnya Supersemar
Peristiwa G 30 S/PKI ternyata menjadi pemicu aksi protes terhadap kepemimpinan Soekarno bahkan dituduhkan bahwa Soekarno ada di balik peristiwa tersebut. Aksi-aksi tuntutan penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap pelaku G 30 S/PKI semakin meningkat. Gerakan tersebut dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda, mahasiswa dan pelajar. KAMMI berdiri pada tanggal 25 Oktober 1965 atas perakarsa Prof. Drs Sjarit Thayeb Menteri PTIP (Perguruan Tinggi Ilmu Pengetahuan) merupakan himpunan dari beberapa gerakan kepemudaan dan mahasiswa. KAMMI yang didukung oleh organisasi kepemudaan yang lain seperti KAPPI, KAGI, KAWI, KASI, KABI dan pada tanggal 26 Oktober 1966 membuktikan barisannya yang dikenal dengan nama Front Pancasila, mereka melaksanakan aksi protes terhadap kepemimpinan Soekarno. Aksi mogok demontrasi mulai dilaksanakan pada tanggal 10 Januari 1966 di halaman Universitas Indonesia. KAMI mengajukan tuntunan kepada pemerintah diantaranya 1). Mencabut keputusan tentang naiknya harga bensin, minyak tanah, tarif postel, kereta api dan angkutan umum, 2). Membubarkan PKI beserta Ormas-ormasnya dan 3). Menghentikan pembantu-pembantu presiden yang tidak kompeten. Dari aksi para mahasiswa resebut menghasilkan sebuah keputusan politik bersama yang dikenal dengan nama Tri Tura (Tiga Tuntutan Rakyat) yang isinya:
1. Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya yang bernaung di bawahnya
2. Bersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur G 30 S/PKI
3. Tuntutan harga/ perbaikan ekonomi
Tanggal 15 Januari 1966 Presiden memanggil para menteri kabinetnya untuk bersidang di Bogor dan dihadiri pula beberapa pimpinan mahasiswa atas undangan presiden. Di dalam sidang kabinet itu Presiden Soekarno mengucapkan pidatonya yang mengatakan bahwa kekuatan-kekuatan imperialis sedang berusaha untuk menggulingkan Soekarno. Aksi ini membawa korban pada tanggal 23 Februari 1966 dengan gugurnya mahasiswa Kedokteran bernama Arif Rachman Hakim yang kemudian oleh demontran dijadikan pahlawan Ampera.
Untuk menjawab tuntutan tersebut maka kabinet Dwikora mengadakan sidangnya di Istana Negara pada hari jumat tanggal 11 Maret 1966 dan dipimpin oleh Soekarno. Sidang dimulai pukul 09.00, semua menteri nampak semua hadir, kecuali Menteri Panglima Angkatan Darat, Letnan Jendral Soeharto karena sakit flu. Sedang sidang baru berjalan beberapa saat, mendapat laporan bahwa di luar istana terdapat pasukan liar dengan kekuatan satu kompi mengepung istana. Tanpa berkata apapun Presiden Soekarno langsung ambil jas meninggalkan sidang dan keluar istana menuju helikopternya yang selalu siap sedia. Waperdam Soebandrio, melihat presiden menuju helikopter berlari terbirit-birit, inilah Soebandrio ketinggalan sepatunya sebelah karena panik dan keesokan harinya surat-surat kabar memuat karikatur “Durna Ketinggalan Sepatu”. Perbuatan ini diikuti juga oleh Dr. Chaerul Saleh dan bersama-sama presiden terbang ke istana Bogor. Sidang kemudian dipimpin oleh Dr. Leimena untuk kemudian ditutup sehingga dapat dikatakan sidang ini gagal melihat kejadian ini maka Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen Amir Mahmud dan Brigjen M. Jusuf segera melaporkan situasi yang terjadi di Istana kepada Letjen Soeharto. Ketiga perwira itu juga meminta ijin kepada Menteri/Pangab untuk menemui Presiden Soekarno di Bogor guna melaporkan situasi-situasi sebernarnya di Jakarta, bahwa tidak benar ada pasukan liar di luar istana dan bahwa ABRI, khususnya TNI Angkatan Darat tetap setia dan taat kepada Presiden Soekarno. Letjen Soeharto mengijinkan ketiga perwira tersebut ke Istana Bogor disertai pesan untuk disampaikan kepada presiden bahwa Letjen Soeharto sanggup mengatasi keadaan apabila Bung Karno mempercayakan hal itu kepadanya (D & R, 12 September 1998; Soetrisno, 2006: 45).
Sore hari ketiga perwira menghadap presiden yang didampingi oleh Dr. Soebandrio, Dr. Chairul Saleh dan Dr. Leimena, sementara itu Bogor disusul oleh ajudan Presiden Brigadir jendral M. Sabur. Ketiga perwira ini mencoba meyakinkan presiden bahwa satu-satunya orang yang dapat menguasai situasi dewasa ini ialah Letjen Soeharto. Maka diajukan saran agar Presiden memberikan wewenang kepada Letjen Soeharto mengambil langkah-langkah keamanan dan menertibkan keadaan. Terjadilah kesibukan di Istana Bogor. Konsep surat pemberian wewenang kemudian disusun oleh Brigadir Sabur yang berkali-kali melalui penelitian oleh ketiga Waperdam. Dan setelah mengadakan perbincangan dan pembahasan yang cukup mendalam akhirnya Presiden Soekarno memutuskan memberikan surat perintah kepada Letnan Jendral Soeharto. Ditugaskan yang hadir yaitu Dr. Soebandrio, Dr. Chairul Saleh, Dr. Leimena, Brigjen Sabur dan ketiga perwira tersebut untuk merumuskan surat perintah. Pada sore hari sekitar pukul 19.00 surat tersebut sudah siap disusun dan ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Kemudian surat perintah tersebut dibawa langsung oleh ketiga perwira itu dan disampaikan pada malam hari itu juga pada Letnan Jendral Soeharto di Jakarta, yang saat itu masih sakit tenggorokan. Pukul 23.00 surat sampai ditangan Letnan Jendral Soeharto, malam itu juga. Para panglima di seluruh Indonesia yang masih ada di Jakarta mengadakan musyawarah membahas sekitar wewenang yang diberikan oleh Presiden Soekarno.
Secara umum Supersemar mempunyai arti penting diantaranya :
1. Keluarnya Supersemar merupakan tonggak baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena dalam periodisasi sejarah Indonesia mulai dikenal Orde Baru.
2. Dengan Supersemar menyebabkan Letnan Jendral Soeharto mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin keamanan dan ketertiban setra kestabilan jalannya pemerintahan dan revolusi Indonesia serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan presiden demi keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia.
3. Berdasarkan Supersemar Letnan Jendral Soeharto harus mengambil langkah-langkah yang penting dan memberi arah baru kepada perjalanan hidup bangsa dan Negara.
4. Keluarnya Supersemar diyakini sebagai langkah awal penataan kembali kehidupan rakyat, bangsa dan negara yang diletakkan pada kemurnian pelaksanaan pancasila dan UUD tahun 1945 dan babak baru perjuangan bangsa Indonesia.
Untuk menjaga agar Supersemar tidak dicabut kembali oleh Presiden, soeharto berencana untuk mengubah Supersemar menjadi Tap MPRS, Setelah sebelumnya menyingkirkan orang-orang Soekarno di MPRS dan menggatinya dengan orang-orang Soeharto (Yogaswara, 2007: 164). Maka pada tanggal 20 Juni hingga 6 Juli digelar Sidang Umum MPRS IV di Istora Senayan.
2.1.3 Peralihan Kekuasaan Dari Soekarno ke Soeharto
Problematika awal yang sering muncul dengan keluarnya sipersemar adalah adanya istilah dualisme kepemimpinan. Hal ini disebabkan karena pemegang Supersemar melakukan langkah-langkah politik seperti layaknya seorang Presiden, tapi di satu sisi Soekarno secara yuridis masih sebagai Presiden RI. Namun semua itu sebagai kosekuensi dari isi Supersemar yang diantaranya berbunyi ”Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan” dalam merealisasi Supersemar, maka Letnan Jenderal Soeharto segera melakukan langkah-langkah politik tersebut. Langkah pertama yang dilakukan adalah tanggal 12 Maret 1966. berdasarkan keputusan Presiden/Panglima Tinggi ABRI/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi No. 1/3 1966 langkah yang pertama yang dilakukan oleh pemegang Supersemar adalah pembubaran dan pelarangan PKI, termasuk ormas-ormasnya dari tingkat pusat sampai daerah, misalnya melakukan pembersihan dari tokoh-tokoh MPRS dan DPR-GR yang terlibat G 30 S/PKI dan kemudian dibentuk pimpinan MPRS dan DPR-GR yang baru. Langkah ini dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa PKI telah nyata-nyata melakukan perbuatan kejahatan dan kekejaman. Ini dibuktikan dengan latar belakang sejarah PKI yang pernah ada di tanah air.
Langkah berikutnya tanggal 18 Maret 1966 yaitu pengamanan terhadap lima belas menteri Kabinet Dwikora yang terlibat dalam peristiwa di tahun 1965. Selanjutnya pada tanggal 25 Juli 1966 tentang pembentukan Kabinet Ampera sebagai pengganti Kabinet Dwikora. Adapun tugas pokok dari Kabinet Ampera dikenal dengan nama Dwi Dharma, yaitu dalam rangka mewujudkan stabilitas politik dan ekonomi.
Letjen Soeharto dalam melaksanakan semua langkah-langkah ini berdasarkan pada amanat Supersemar. Untuk itu, diperlukan dasar hukum yang kuat sehingga makna Supersemar bukan saja kepercayaan dan wewenang Soekarno kepada Soeharto, namun juga sebagai suatu perintah yag mempunyai dasar hukum dalam mengamankan negara dan menjaga kewibawaan Presiden.
Pada perkembangan selanjutnya, Presiden Soekarno membacakan pidatonya yang disebut Nawaksara di hadapan Sidang Umum MPRS. Dalam sidang tersebut pula, laporan dari Soeharto telah menuding Presiden Soekarno telah bertindak untuk keuntungan yang tak langsung bagi G 30 S/PKI dan telah melindungi pemimpin-pemimpin G 30 S/PKI (Dwipayana dan Ramadhan, 1989: 176). Namun ditekankan oleh Soeharto bahwa, ”Tujuannya yang utama dari Presiden bukanlah untuk membantu G 30 S/PKI, tetapi untuk menyelamatkan politiknya” (ibid, 1989: 177). Akhirnya Sidang Umum ini telah menjadi simbol kemenangan politik Soeharto atas Soekarno. MPRS memutuskan menolak pidato Nawaksara Presiden, dan memberinya kesempatan untuk melengkapi. Gelar ”Pemimpin Besar Revolusi” dan ”Presiden Seumur Hidup” direnggut dari Soekarno. Dalam Sidang Umum ini juga Supersemar ditetapkan menjadi Tap MPRS No. IX/MPRS/1966, sehingga Soekarno sebagai penguasa eksekutif tidak lagi bisa mencabut Supersemar dari Soeharto (Yogaswara, 2007: 165-166). Menurut Crouch, ini adalah sebuah politik tingkat tinggi untuk menggulingkan kekuasaan Soekarno tanpa melalui konfrontasi terbuka yang dapat menimbulkan rasa malu karena Soeharto merupakan bawahan dari Soekarno (Crouch, 1986: 223).
2.2 Perkembangan Masa Awal Orde Baru
a. Kehidupan Politik Masa Awal Orde Baru
i. Penataan Politik Dalam Negeri
Ø Kabinet Ampera (25 Juli 1966-17 Oktober 1967)
Tanggal 20 Juni sampai dengan 5 Juli 1966 diselenggarakan Sidang Umum MPRS IV. Sebagai realisasinya tanggal 25 Juli 1966 terbentuklah Kabinet Ampera yang menghasilkan 24 ketetapan. Diantaranya terdapat TAP No. XIII/MPRS/1966 tentang pembentukan Kabinet Ampera. Sehubungan dengan ketetapan tersebut maka kabinet Dwikora yang telah disempurnakan lagi harus diganti dengan kabinet baru. Berdasarkan Keputusan Presiden nomor 163/1966, penyusunan kabinet ini diserahkan kepada pengemban Supersemar Letjen Soeharto dengan berkonsultasi kepada pimpinan MPRS dan pimpinan DPR-GR. Kabinet ini hanya terdiri dari 27 menteri dan seorang Perdana Menteri, yaitu Presiden sendiri.
Ø Kabinet Ampera yang Disempurnakan (25 Juli-17 Oktober 1967)
Kabinet ini dibentuk untuk menggantikan Kabinet Ampera berdasarkan Surat Keputusan Nomor 171 tahun 1967. Kabinet ini lebih sederhana lagi dari kabinet Ampera dengan jumlah menterinya 23 orang. Tetapi kabinet Ampera yang disempurnakan mempunyai program yang sama dengan kabinet Ampera yaitu Dwi Dharma dan Catur Karyanya. Pada tanggal 6 Juni 1968, kabinet Ampera yang disempurnakan ini di-reshuffle dan digantikan dengan kabinet baru, yaitu kabinet Pembangunan I. Pergantian kabinet ini bukan disebabkan oleh adanya oposisi atau keretakan dalam kabinet, melainkan karena Presiden Soeharto dan MPRS menghendaki terbentuknya kabinet baru bernama kabinet Pembangunan sesuai dengan ketetapan MPRS Nomor XIII/MPRS/1968 tertanggal 27 Maret 1968.
Ø Pembentukan Kabinet Pembangunan
Adapun tugas pokok dari kabinet tersebut yang dikenal dengan nama Dwi Darma Kabinet Ampera yaitu untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional. Program Kabinet AMPERA yang disebut Catur Karya Kabinet AMPERA adalah sebagai berikut.
a) Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan.
b) Melaksanakan pemilihan Umum dalam batas waktu yakni 5 Juli 1968.
c) Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional.
d) Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Selanjutnya setelah sidang MPRS tahun 1968 menetapkan Soeharto sebagai presiden untuk masa jabatan 5 tahun maka dibentuklah kabinet yang baru dengan nama Kabinet Pembangunan dengan tugasnya yang disebut dengan Pancakrida, yang meliputi :
a) Penciptaan stabilitas politik dan ekonomi
b) Penyusunan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun Tahap pertama
c) Pelaksanaan Pemilihan Umum
d) Pengikisan habis sisa-sisa Gerakan 30 September 1965
e) Pembersihan aparatur negara di pusat pemerintahan dan daerah dari pengaruh PKI.
Ø Pembubaran PKI dan Organisasi Massanya
Soeharto sebagai pengemban Supersemar guna menjamin keamanan, ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan maka melakukan tindakan pembubaran PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat dengan dikukuhkannya Ketetapan MPRS No. IX Tahun 1966. selain itu dikeluarkan pula keputusan yang menyatakan bahwa PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia. Pada tanggal 8 Maret 1966 dilakukan pengamanan 15 orang menteri yang dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965. Hal ini disebabkan muncul keraguan bahwa mereka tidak hendak membantu presiden untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Ø Peran Ganda ABRI
Guna menciptakan stabilitas politik maka pemerintah menempatkan peran ganda bagi ABRI yaitu sebagai peran hankam dan sosial. Sehingga peran ABRI dikenal dengan Dwifungsi ABRI. Peran ini dilandasi dengan adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan Polri dalam pemerintahan adalah sama di lembaga MPR/DPR dan DPRD mereka mendapat jatah kursi dengan pengangkatan. Pertimbangan pengangkatannya didasarkan pada fungsi stabilisator dan dinamisator.
Ø Pepera di Irian Barat
Pada tanggal 2 Agustus 1969 Indonesia juga telah mampu menyelesaikan masalah lama dengan bergabungnya Papua sebagai provinsi ke 26. Penggabungan ini terlaksana setelah sebuah ”pemilihan bebas” yang dikenal dengan nama Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) disponsori PBB lewat United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Pemerintah Indonesia memberi kesempatan kepada 1.022 tokoh Papua sebagai perwakilan dari sekitar 700.000 rakyat Papua untuk memilih dan ternyata mereka sebagian besar memilih bergabung dengan Indonesia seperti yang diperkirakan. Dengan bergabungnya Papua, Jakarta menghadapi tantangan budaya dan administratif, serta masalah keamanan dalam bentuk pergerakan perlawanan bernama Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang muncul dari kelompok penentang bergabungnya Papua ke Indonesia (Ricklefs, 2008: 613; http:// www.library_voice.edu/). Gerakan Papua Merdeka merupakan sebuah kelompok yang secara aktif menuntut kemerdekaan bagi Papua. Argumentasi mereka menuntut kemerdekaan tersebut didasarkan pada kenyataan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang dilakukan pada tahun 1969 berdasarkan Agreement Between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands Concerning West New Guinea tertanggal 15 Agustus 1962 atau lebih dikenal dengan sebutan New York Agreement dianggap tidak sah. Ketidaksahan ini didasarkan pada kenyataan bahwa sistem yang digunakan untuk pelaksanaan Pepera adalah sistem perwakilan sementara dalam New York Agreement disebutkan bahwa "act of free choice" dilakukan berdasarkan one man one vote (Hikmahanto Juwana, 2009: http://www.theceli.com).
Ø Pengamalan Pancasila dan UUD 1945 Secara Murni dan Konsekuen
Sadar akan perlunya ideologi yang mendasari jalannya pemerintahan, Soeharto mulai mempertegas visi Orde Baru yang berniat menjalankan pemerintahan dengan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Mereka yang berperilaku bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 akan berhadapan dengan ABRI (Elson, 2001: 305).
ii. Penataan Politik Luar Negeri
Ø Kembali Menjadi Anggota PBB
Indonesia kembali menjadi anggota PBB dikarenakan adanya desakan dari komisi bidang pertahanan keamanan dan luar negeri DPR GR terhadap pemerintah Indonesia. Pada tanggal 3 Juni 1966 akhirnya disepakati bahwa Indonesia harus kembali menjadi anggota PBB dan badan-badan internasional lainnya dalam rangka menjawab kepentingan nasional yang semakin mendesak. Keputusan untuk kembali ini dikarenakan Indonesia sadar bahwa ada banyak manfaat yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota PBB pada tahun 1950-1964. Indonesia secara resmi akhirnya kembali menjadi anggota PBB sejak tanggal 28 Desember 1966.
Kembalinya Indonesia mendapat sambutan baik dari sejumlah negara Asia bahkan dari pihak PBB sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan ditunjuknya Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974. Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB dilanjutkan dengan tindakan pemulihan hubungan dengan sejumlah negara seperti India, Filipina, Thailand, Australia, dan sejumlah negara lainnya yang sempat remggang akibat politik konfrontasi Orde Lama.
Ø Normalisasi Hubungan Dengan Beberapa Negara
(1) Pemulihan hubungan dengan Singapura
Sebelum pemulihan hubungan dengan Malaysia Indonesia telah memulihkan hubungan dengan Singapura dengan perantaraan Habibur Rachman (Dubes Pakistan untuk Myanmar). Pemerintah Indonesia menyampikan nota pengakuan terhadap Republik Singapura pada tanggal 2 Juni 1966 yang disampaikan pada Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Akhirnya pemerintah Singapurapun menyampaikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan hubungan diplomatik.
(2) Pemulihan hubungan dengan Malaysia
Normalisasi hubungan Indonesia dan Malaysia dimulai dengan diadakan perundingan di Bangkok pada 29 Mei-1 Juni 1966 yang menghasilkan perjanjian Bangkok, yang berisi:
a) Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
b) Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
c) Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
d) Peresmian persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia oleh Adam Malik dan Tun Abdul Razak dilakukan di Jakarta tanggal 11 Agustus 1966 dan ditandatangani persetujuan Jakarta (Jakarta Accord). Hal ini dilanjutkan dengan penempatan perwakilan pemerintahan di masing-masing negara.
Ø Pendirian ASEAN
Indonesia menjadi pemrakarsa didirikannya organisasi ASEAN pada tanggal 8 Agustus 1967. Latar belakang didirikan Organisasi ASEAN adalah adanya kebutuhan untuk menjalin hubungan kerja sama dengan negara-negara secara regional dengan negara-negara yang ada di kawasan Asia Tenggara.
Tujuan awal didirikan ASEAN adalah untuk membendung perluasan paham komunisme setelah negara komunis Vietnam menyerang Kamboja.
Hubungan kerjasama yang terjalin adalah dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Adapun negara yang tergabung dalam ASEAN adalah Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina.
b. Kehidupan Ekonomi Masa Awal Orde Baru
Pada masa Demokrasi Terpimpin, negara bersama aparat ekonominya mendominasi seluruh kegiatan ekonomi sehingga mematikan potensi dan kreasi unit-unit ekonomi swasta. Dalam bidang ekonomi, Soeharto tak perlu berlama-lama menunjukkan tekadnya. Sudah sejak lama ia menaruh simpati pada politik konfrontasi yang diagungkan oleh pemerintahan Soekarno. Ia lebih memilih untuk mengarahkan perhatian pemerintahan pada masalah-masalah ekonomi dalam negeri (Yogaswara, 2007: 172). Sehingga, pada permulaan Orde Baru program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 % setahun. Hal itu menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah. Oleh karena itu pemerintah menempuh cara sebagai berikut.
i. Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
Keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan masa Demokrasi Terpimpin,pemerintah menempuh cara :
- Mengeluarkan Ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaruan Kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan.
- MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan, program stabilitas dan rehabilitasi, serta program pembangunan.
Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional terutama stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Stabilisasi berarti mengendalikan inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus. Sedangkan rehabilitasi adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke arah terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila (Poesponegoro & Notosusanto, 1984 : 431).
Langkah-langkah yang diambil Kabinet AMPERA mengacu pada Tap MPRS tersebut adalah sebagai berikut.
1) Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan, seperti :
- rendahnya penerimaan negara
- tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara
- terlalu banyak dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank
- terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri
- penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.
2) Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian.
3) Berorientasi pada kepentingan produsen kecil.
Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara:
- Mengadakan operasi pajak
- Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perorangan dan kekayaan dengan menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
- Penghematan pengeluaran pemerintah (pengeluaran konsumtif dan rutin), serta menghapuskan subsidi bagi perusahaan negara.
- Membatasi kredit bank dan menghapuskan kredit impor.
Program Stabilisasi dilakukan dengan cara membendung laju inflasi.
Hasilnya bertolak belakang dengan perbaikan inflasi sebab harga bahan kebutuhan pokok melonjak namun inflasi berhasil dibendung (pada tahun akhir 1967- awal 1968)
Sesudah kabinet Pembangunan dibentuk pada bulan Juli 1968 berdasarkan Tap MPRS No.XLI/MPRS/1968, kebijakan ekonomi pemerintah dialihkan pada pengendalian yang ketat terhadap gerak harga barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu kestabilan ekonomi nasional relatif tercapai sebab sejak 1969 kenaikan harga bahan-bahan pokok dan valuta asing dapat diatasi.
Program Rehabilitasi dilakukan dengan berusaha memulihkan kemampuan berproduksi.
Selama 10 tahun mengalami kelumpuhan dan kerusakan pada prasarana ekonomi dan sosial. Lembaga perkreditan desa, gerakan koprasi, perbankan disalahgunakan dan dijadikan alat kekuasaan oleh golongan dan kepentingan tertentu. Dampaknya lembaga tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyusun dan perbaikan tata hidup masyarakat.
ii. Kerjasama Luar Negeri
Keadaan ekonomi Indonesia pasca Orde Lama sangat parah, hutangnya mencapai 2,3-2,7 miliar sehingga pemerintah Indonesia meminta negara-negara kreditor untuk dapat menunda pembayaran kembali utang Indonesia. Pemerintah mengikuti perundingan dengan negara-negara kreditor di Tokyo Jepang pada 19-20 September 1966 yang menanggapi baik usaha pemerintah Indonesia bahwa devisa ekspornya akan digunakan untuk pembayaran utang yang selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor bahan-bahan baku. Perundingan dilanjutkan di Paris, Perancis dan dicapai kesepakatan sebagai berikut.
- Utang-utang Indonesia yang seharusnya dibayar tahun 1968 ditunda pembayarannya hingga tahun 1972-1979.
- Utang-utang Indonesia yang seharusnya dibayar tahun 1969 dan 1970 dipertimbangkan untuk ditunda juga pembayarannya.
Perundingan dilanjutkan di Amsterdam, Belanda pada tanggal 23-24 Februari 1967. Perundingan itu bertujuan membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan pemberian bantuan dengan syarat lunak yang selanjutnya dikenal dengan IGGI (Inter Governmental Group for Indonesia). Melalui pertemuan itu pemerintah Indonesia berhasil mengusahakan bantuan luar negeri. Indonesia mendapatkan penangguhan dan keringanan syarat-syarat pembayaran utangnya.
iii. Pembangunan Nasional
Dilakukan pembagunan nasional pada masa Orde Baru dengan tujuan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang. Pedoman pembangunan nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil. Isi Trilogi Pembangunan adalah sebagai berikut.
- Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
- Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Pelaksanaannya pembangunan nasional dilakukan secara bertahap yaitu:
- Jangka panjang mencakup periode 25 sampai 30 tahun
- Jangka pendek mencakup periode 5 tahun (Pelita/Pembangunan Lima Tahun), merupakan jabaran lebih rinci dari pembangunan jangka panjang sehingga tiap pelita akan selalu saling berkaitan/berkesinambungan.
Dalam perkembangan awal masa Orde Baru ini, hanya akan dipaparkan program Pembangunan Jangka Pendek tahap pertama atau yang lebih dikenal dengan Pelita I.
PELITA I
Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal pembangunan Orde Baru.
- Tujuan Pelita I : Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya.
- Sasaran Pelita I : Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
- Titik Berat Pelita I : Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
Masyarakat Indonesia pada saat ini sedang berada pada masa peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, yang sering disebut dengan masyarakat sedang berkembang (Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1984:444). Salah satu ciri masyarakat tradisional adalah struktur ekonominya cenderung ke sektor agraris. Hal itu menyebabkan terjadinya kelemahan-kelemahan konjungturnal. Sumbangan sektor agraria lebih besar daripada sumbangan dari sektor industri. Dalam Pelita I diusahakan untuk memperkecil perbedaan antara sumbangan sektor agraria dengan sektor industri. Pertanian yang tidak hanya pada pangam, tetapi juga perkebunan, sehingga diperlukan bahan baku yang dihasilkan dari sektor industri.
Untuk membiayai pembangunan ini digali sumber-sumber keuangan dan tabungan pemerintah, kredir jangka menengah, dan kredit jangka panjang dari perbankan, penanaman modal dan reinvestasi oleh perusahaan swasta nasional, asing dan perusahaan negara. Landasan utama yang dipakai ialah melaksanakan pembangunan berdasarkan kemampuan sendiri yang berarti sumber-sumber keuangan dalam negeri harus dimobilisasi sebanyak mungkin. Secara keseluruhan, Pelita I berhasil dilaksanakan sesuai dengan sasaran yang hendak dicapai, walaupun dalam beberapa hal terdapat gangguan. Pada awal tahun 1972 dan awal 1973 terjadi kenaikan harga beras, sedangkan terlihat pula ketidakstabilan pada perekonomian dunia, kelangkaan persediaan pangan, krisis energi dan bahan baku, dan inflasi yang melanda banyak negara.
Di bidang pertanian terjadi peningkatan pada sebagian besar hasil pertanian karena perluasan areal persawahan serta program intensifikasi, ekstensifikasi, serta diversifikasi pertanian, misalnya beras yang mengalami kenaikan 4 % setahun. Kenaikan terbesar terlihat pada produksi kayu rimba yaitu 37,4 % setahun. Selain itu pula dilakukan rehabilitasi perkebunan rakyat dan pabrik-pabrik pengolahan yang telah ada. Di sektor perikanan pula memperlihatkan hal yang menggembirakan, terutama udang yang naik rata-rata 62 %. Iklim ekonomi yang baik merangsang investor untuk menanamkan modalnya di beberapa sektor ekonomi, seperti kehutanan, pariwisata, perhubungan, dan perkebunan.
Peningkatan produksi industri juga terlihat antara lain pada pupuk Pusri Palembang, dan mulai bekerjanya Petrokimia Gresik, serta pembangunan pabrik pupuk di Jatibarang, Jawa Barat. Di bidang perminyakan, telah ditemukan sumber-sumber minyak baru di daratan dan lepas pantai antara Kalimantan Timur dan pantai utara Jawa Barat, serta berhasil dibangun pengilangan minyak di Dumai dan Sungai Pakning, Riau serta daerah Cilacap. Pembangunan yang perlu dicatat pula adalah rehabilitasi jalan negara sepanjang 6.555 km, pembangunan pusat-pusat tenaga listrik seperti PLTA di Karangkates, Riam Kanan dan Solorejo, serta PLTU di Tanjung Priok (Jakarta) dan Ujungpandang.
Di bidang pendidikan, lebih dari 10.000 orang guru telah ditatar. Selain itu pula telah diusahakan perimbangan jumlah guru dan murid di berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Dibangun pula 5 proyek Pusat Latihan Teknik, yaitu di Jakarta, Surabaya, Medan dan Ujungpandang. Dalam bidang kesehatan dilaksanakan dengan memberantas penyakit menular, serta meningkatkan pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB), sehingga untuk itu dibangunlah Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak (BKIA), Balai Pengobatan, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan rumah sakit di provinsi dan kabupaten. Dan yang terakhir dalam bidang kehidupan beragama telah disediakan kitab suci untuk tiap-tiap agama, serta membantu pembangunan sarana dan prasarana ibadah bagi umat beragama.
Pada bulan-bulan akhir dari Pelita I, muncul peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal 15-16 Januari 1974 bertepatan dengan kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka ke Indonesia. Peristiwa ini merupakan kelanjutan dari demonstrasi mahasiswa yang anti-China di Bandung pada akhir tahun 1973 (Yogaswara, 2007: 192), dimana pada dasarnya para demonstran yang berasal dari kalangan mahasiswa tersebut menyuarakan tiga hal, yaitu : membubarkan Aspri (Asisten Pribadi), penurunan harga barang-barang komoditas, dan pemerantasan korupsi. Aksi ini utamanya ditujukan kepada orang-orang dekat Soeharto, serta cukong China di Indonesia (Retnowati Abdulgani-Knapp, 2007: 128).
Kemudian pada Januari 1974 demonstrasi para mahasiswa pula menuntut Jepang agar tidak melakukan dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia. Terjadilah pengerusakan dan pembakaran barang-barang buatan Jepang. Peristiwa Malari ini dapat dilihat dari beberapa perspektif. Ada yang memandangnya sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang. Beberapa pengamat melihat peristiwa tersebut sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Aspri (Asisten Pribadi) Presiden Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani,dll.) yang memiliki kekuasaan teramat besar (Asvi Warman Adam, 2007 : 82).
c. Perkembangan Dalam Bidang Sosial Budaya
Masa Orde Baru diakui telah banyak mencapai kemajuan dalam proses untuk mewujudkan cita-cita nasional. Dalam kehidupan sosial budaya, masyarakat dapat digambarkan dari berbagai sisi. Selama dasawarsa 1970-an laju pertumbuhan penduduk mencapai 2,3 % tiap tahun. Dalam tahun-tahun awal 1990-an angka tadi dapat diturunkan menjadi sekitar 1,6 % setiap tahun.
Apabila kemajuan di bidang-bidang kesejahteraan yang pokok telah jelas memperkokoh lestarinya keterkaitan rakyat pada negara Indonesia secara umum, maka pendidikan dan media umum juga telah mengakibatkan hal yang sama secara lebih langsung. Penyediaan pendidikan terus meningkat sampai tingkat yang jauh melebihi penyediaan pendidikan di masa kolonial. Ini tercermin dalam pertumbuhan penduduk yang buta huruf. Pada tahun 1930 jumlah penduduk dewasa yang melek huruf hanyalah 13 % untuk pria dan 2,3 % untuk wanita. Pada tahun 1961 angkanya menjadi 59,8 % untuk pria dan 34,1 % untuk wanita. Pada tahun 1971 angkanya 72,0 % untuk pria dan 50,3 % untuk wanita. Begitu juga kemampuan masyarakat menggunakan bahasa nasional yaitu 40 % tahun 1971 menjadi 61,4 % pada tahun 1980. Tentu saja ini berpengaruh terhadap perkembangan surat-surat kabar, serta majalah-majalah, bahkan mungkin radio dan televisi.
Pada awal tahun 70-an juga terjadi suatu gelombang perubahan yang luar biasa dalam bidang agama di dalam masyarakat. Agama Hindu dan Buddha berkembang walaupun pemeluknya tetap kecil. Kaum muslimin lebih terperanjat dengan perkembangan kelompok-kelompok mistik asli (kebatinan), dan agama Kristen yang cepat. Pada tahun 1933 hanya 2,8 % rakyat Indonesia yang memeluk agama Kristen. Pada tahun 1971 menjadi 7,4 % dan pada tahun 1980 tercatat 8,8 %. Perkembangan hubungan antaragama semakin kondusif. Di tahun 1960-an hubungan antaragama kurang harmonis, tetapi di tahun 1970-an meningkatnya rasa toleransi antarpemeluk agama. Karena itu Indonesia dikatakan sebagai contoh bagi negara-negara lain dalam hal toleransi antaragama. Para pemimpin agama seringkali bahu-membahu dalam segala aktivitas kemasyarakatan, karena itu organisasi-organisasi keagamaan memberikan prioritas yang tinggi pada proyek-proyek pembangunan sosial dan ekonomi. Karena itu mereka memahami dakwah dalam arti yang luas, bukan hanya sekadar mendapatkan pengikut yang baru belaka.
Perkembangan pers dan media elektronika juga merupakan salah satu perkembangan dalam bidang sosial budaya. Titik tolak dari pembinaan pers nasional adalah ketetapan Sidang Umum MPRS IV 1966 yang menyebutkan kebebasan pers Indonesia adalah kebebasan untuk menyatakan serta menegakkan kebenaran dan keadilan, bukan kebebasan dalam pengertian liberalisme. Letak peranan pers dalam masa Orba khususnya dalam pembangunan adalah sebagai alat komunikasi dalam pembangunan yang dapat memotivasi partisipasi masyarakat karena kita menyadari bahwa pembangunan pada hakikatnya adalah suatu proses perubahan yang pada gilirannya menuju pada pencapaian masyarakat adil dan makmur. Perubahan itu tidak akan terjadi jika rakyat tidak mengetahui, menerima, dan menjalankan program-program pembangunan itu serta mereka tidak akan tahu akan hasil-hasil yang telah dicapai kalau hal itu tidak disampaikan kepada mereka. Di sinilah peranan dari pers di masa Orde Baru.
2.3 Pemilu Pertama di Era Orde Baru Tahun 1971
Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada Sidang Istimewa MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971.
Sebagai pejabat presiden, Pak Harto tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR bentukan Bung Karno, hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama. Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun pak Harto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno. UU yang diadakan adalah UU tentang pemilu dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang pemilu 1971, pemerintah bersama DPR-GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun.
Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para pejabat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu. Lebih lanjut menurut Dhakidae (203:261), Orde Baru sebenarnya memanfaat Golkar sebagai ujung tombak politik terutama sebagai mesin politik pemilihan umum dengan birokrasi sipil, birokrasi militer, dan Golkat sendiri sebagai partai. Yang terjadi di sini adalah pembelokan legal ketika jajaran militer dengan sendirinya menjadi anggota, dan jajaran birokrasi sipil dengan sendirinya menjadi anggotanya.
Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya sistem demikian lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma.
Jelasnya, pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap, ini dalam hal ada partai yang melakukan stembus accoord. Tetapi di daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang melakukan stembus acccord, pembagian kursi hanya dilakukan dalam dua tahap. Tahap pembagian kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai berikut. Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient di daerah pemilihan. Tahap kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan kiesquotient. Pada tahap berikutnya apabila masih ada kursi yang tersisa masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melakukan stembus accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada partai yang melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian pertama, sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar.
Namun demikian, cara pembagian kursi dalam Pemilu 1971 menyebabkan tidak selarasnya hasil perolehan suara secara nasional dengan perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh paling gamblang adalah bias perolehan kursi antara PNI dan Parmusi. PNI yang secara nasional suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini.
NO. PARTAI SUARA % KURSI
1 Golkar 34.348.673 62,82 236
2 NU 10.213.650 18,68 58
3 Parmusi 2.930.746 5,36 24
4 PNI 3.793.266 6,93 20
5 PSII 1.308.237 2,39 10
6 Parkindo 733.359 1,34 7
7 Katolik 603.740 1,10 3
8 Perti 381.309 0,69 2
9 IPKI 338.403 0,61 -
10 Murba 48.126 0,08 -
JUMLAH 54.669.509 100,00 360
Sumber : KPU, www.kpu.go.id.2009
Dengan cara pembagian kursi seperti Pemilu 1955 itu, hanya Murba yang tidak mendapat kursi, karena pada pembagian kursi atas dasar sisa terbesar pun perolehan suara partai tersebut tidak mencukupi. Karena peringkat terbawah sisa suara terbesar adalah 65.666. PNI memperoleh kursi lebih banyak dari Parmusi, karena suaranya secara nasional di atas Parmusi (Anonim, 2007: 166-167; www.forum-politisi.org/pemilu/).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setelah melihat hasil dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, pertama, latar belakang lahirnya Orde Baru disebabkan oleh beberapa hal antara lain: terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965, keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau karena peristiwa Gerakan 30 September 1965 ditambah adanya konflik di angkatan darat yang sudah berlangsung lama, keadaan perekonomian semakin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan upaya pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan harga bahan bakar menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat, reaksi keras dan meluas dari masyarakat yang mengutuk peristiwa pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh PKI. Rakyat melakukan demonstrasi menuntut agar PKI berserta organisasi massanya dibubarkan serta tokoh-tokohnya diadili, kesatuan aksi (KAMI,KAPI,KAPPI,KASI,dsb) yang ada di masyarakat bergabung membentuk Kesatuan Aksi berupa “Front Pancasila” yang selanjutnya lebih dikenal dengan “Angkatan 66” untuk menghacurkan tokoh yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965, Kesatuan Aksi “Front Pancasila” pada 10 Januari 1966 di depan gedung DPR-GR mengajukan tuntutan”TRITURA”(Tri Tuntutan Rakyat), upaya reshuffle kabinet Dwikora pada 21 Februari 1966 dan Pembentukan Kabinet Seratus Menteri tidak juga memuaskan rakyat sebab rakyat menganggap di kabinet tersebut duduk tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965, wibawa dan kekuasaan presiden Soekarno semakin menurun setelah upaya untuk mengadili tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak berhasil dilakukan meskipun telah dibentuk Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), Sidang Paripurna kabinet dalam rangka mencari solusi dari masalah yang sedang bergejolak tak juga berhasil. Maka Presiden mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar) yang ditujukan bagi Letjen Soeharto guna mengambil langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi keadaan negara yang semakin kacau dan sulit dikendalikan.
Kedua, perkembangan masa awal Orde Baru diawali dengan membenahi kondisi politik dan ekonomi negara akibat masa pemerintahan Orde Lama di bawah pemerintahan Soekarno. Penataan kehidupan politik masa Orde Baru dilakukan dalam dua aspek, yaitu penataan politik dalam negeri seperti penyusunan kabinet Ampera, Kabinet Pembangunan, pembubaran PKI dan Ormasnya, Peran ganda ABRI, Pepera di Irian Barat, serta Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Sedangkan penataan bidang ekonomi dilakukan melalui stabilisasi dan rhabilitasi ekonomi serta mengadakan kerjasama dengan luar negeri.
Ketiga, pemilu pertama era Orde Baru yang dilaksanakan pada tahun 1971 sedikit agak berbeda dengan pemilu tahun 1955, namun berdampak terhadap kekuasaan pemerintah yang cukup lama. Perbedaannya terletak pada ikut sertanya pejabat negara dan angkatan bersenjata dalam pemungutan suara, dan mereka diwajibkan untuk masuk dalam Golongan Karya sebagai suatu sikap kesetiaan terhadap pemerintah. Begitu pula dengan sistem pembagian kursi yang berbeda dari pemilu 1955. Cara pembagian kursi dalam Pemilu 1971 melalui stembus accord menyebabkan tidak selarasnya hasil perolehan suara secara nasional dengan perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai. Implikasi jangka panjang yang dialami oleh bangsa Indonesia adalah munculnya seorang penguasa (presiden) selama 32 tahun karena memakai Golkar sebagai kendaraan politiknya.
3.2 Saran-saran
Dengan telah didapatkan hasil dan kesimpulan dari permasalahan-permasalahan yang muncul, maka melalui tulisan ini penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut:
a. Kepada pemerintah, agar menata sebaik-baiknya birokrasi negara Indonesia ini serta selalu mengutamakan kepentingan rakyat melalui program nyata dan transparansi. Dengan demikian maka sejarah Indonesia masa Orde Baru yang banyak mendustai rakyat tidak akan terulang kembali.
b. Kepada pembaca agar selalu bisa mengritisi kebijakan-kebijakan pemerintah sebagai suatu kontrol sosial dalam menjamin supremasi hukum di Indonesia.
c. Kepada penulis lain, yang ingin mengkaji permasalahan serupa agar mengkajinya dari aspek yang lain sehingga menambah sumber dan pandangan mengenai Orde Baru di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdulgani-Knapp, Retnowati. 2007. Soeharto:The Life and Legacy of Indonesia’s Second President. Singapore: marshall Cavendish Internastional
Adam, Asvi Warman. 2007. Seabad Kontroversi Sejarah. Yogyakarta : Penerbit Ombak
Anonim, 2007. Sejarah Perjalanan Bangsa Indonesia Dari Masa ke Masa. Jakarta : -
Crouch, Harold. 1986. Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Dhakidae, Daniel. 2003. Cendikiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Elson, R.E. 2001. Suharto: Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Minda
Pambudi, A. 2006. Supersemar Palsui. Yogyakarta: Media Pressindo
Poesponegoro, Djoened, dan Notosusanto, Nugroho. 1984. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka
Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta
Soetrisno, Slamet. 2006. Kontroversi dan Rekonstrukri Sejarah (Edisi Revisi). Yogyakarta : Media Pressindo
Yogaswara, A. 2007.Biografi Daripada Soeharto: Dari Kemusuk Hingga “Kudeta Camdessus”. Yogyakarta: Medpress
Website
Juwana, Hikmahanto. Status Yurldis Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Jaya Dalam Perpektif Hukum Internasional. http://www.theceli.com. Diakses pada 16 April 2009.
http://www.forum –politisi.org/pemilu
http://images.sudarjanto.multiply.com/attachment/indonesia_era_orde-baru/
http://www.rinahistory@blogspot.com. Indonesia Masa Orde Baru. Diakses pada 14 April 2009
Surat Kabar
D & R, edisi 12 September 1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar