Label

Adi Sanjaya

Adi Sanjaya

Senin, 28 Juni 2010

HUBUNGAN ANTARA STEREOTIP, PRASANGKA, DAN DISKRIMINASI DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI SOSIAL

Oleh: Adi Sanjaya

A. Definisi Konsep
Sebelum dikaji lebih jauh mengenai hubungan antara stereotip, prasangka dan diskriminasi, maka kita terlebih dahulu harus mengetahui dan memahami definisi dari ketiga konsep di tersebut.
1. Stereotip
Stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering diterapkan oleh suatu kelompok tehadap kelompok lain, atau oleh seseorang kepada orang lain (Soekanto, 1993). Secara lebih tegas Matsumoto (1996) mendefinisikan stereotip sebagai generalisasi kesan yang kita miliki mengenai seseorang terutama karakter psikologis atau sifat kepribadian. Ada juga yang mendefinisikan stereotip sebagai “pemberian sifat tertentu terhadap seseorang atau sekelompok orang berdasarkan kategori yang bersifat subjektif, hanya karena ia berasal dari suatu kelompok tertentu (in group atau out group), yang bisa bersifat positif maupun negatif” (Amanda G., 2009). Sedangkan ada pula yang mengidentikkan stereotip dengan prasangka dengan mendefinisikan stereotip sebagai “pendapat atau prasangka mengenai orang-orang dari kelompok tertentu, dimana pendapat tersebut hanya didasarkan bahwa orang-orang tersebut termasuk dalam kelompok tertentu tersebut” (www.wikipedia.com).
Stereotip merupakan bentuk tipe kognitif dari prasangka, sehingga pengertian antara prasangka dan stereotip sering dikaburkan. Stereotip mempunyai beberapa karakteristik pokok yang membedakannya dengan prasangka, antara lain:
 Stereotip didasarkan pada penafsiran yang kita hasilkan atas dasar cara pandang dan latar belakang budaya kita. Stereotip juga dihasilkan dari komunikasi kita dengan pihak-pihak lain, bukan dari sumbernya langsung. Karenanya interpretasi kita mungkin salah, didasarkan atas fakta yang keliru atau tanpa dasar fakta.
 Stereotip seringkali diasosiasikan dengan karakteristik yang bisa diidentifikasi. Ciri-ciri yang kita identifikasi seringkali kita seleksi tanpa alasan apapun. Artinya bisa saja kita dengan begitu saja mengakui suatu ciri tertentu dan mengabaikan ciri yang lain.
 Stereotip merupakan generalisasi dari kelompok kepada orang-orang di dalam kelompok tersebut. Generalisasi mengenai sebuah kelompok mungkin memang menerangkan atau sesuai dengan banyak individu dalam kelompok tersebut.
Beberapa poin penting dari definisi stereotip di atas antara lain penilaian yang bersifat subjektif dan dapat berupa kesan positif maupun negatif. Walaupun lebih cenderung negatif, stereotip kadangkala memiliki derajat kebenaran yang cukup tinggi, namun sering tidak berdasar sama sekali. Mendasarkan pada stereotip bisa menyesatkan. Lagi pula stereotip biasanya muncul pada orang-orang yang tidak mengenal sungguh-sungguh orang/kelompok lain. Apabila kita menjadi akrab dengan etnis bersangkutan maka stereotip tehadap orang/kelompok itu biasanya akan menghilang. Hal tersebut dikarenakan stereotip mempengaruhi apa yang kita rasakan dan kita ingat berkenaan dengan tindakan orang-orang dari kelompok lain. Stereotip juga membentuk penyederhanaan gambaran secara berlebihan pada anggota kelompok lain. Individu cenderung untuk begitu saja menyamakan perilaku individu-individu kelompok lain sebagai tipikal sama. Selain itu, stereotip juga dapat menimbulkan pengkambinghitaman.
2. Prasangka
Prasangka merupakan pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhadap seseorang atau sekelompok orang tertentu (Amanda G, 2009). Johnson (1986) mendefiniskan prasangka sebagai sikap positif atau negatif berdasarkan keyakinan stereotip kita tentang anggota dari kelompok tertentu. Liliweri (1995) juga menyebut prasangka yang mengandung sikap, pikiran, keyakinan, kepercayaan dan bukan tindakan (tetap ada di pikiran). Sedangkan Daft (1999) memberikan definisi prasangka lebih spesifik yakni kecenderungan untuk menilai secara negatif orang yang memiliki perbedaan dari umumnya orang dalam hal seksualitas, ras, etnik, atau yang memiliki kekurangan kemampuan fisik. Sedangkan sherif and sherif (dalam Ahmadi, 2007: 196) mengemukakan prasangka adalah suatu sikap negatif para anggota suatu kelompok, berasal dari norma mereka yang pasti, kepada kelompok lain beserta anggotanya.
Prasangka disebabkan oleh beberapa faktor, yang menurut Johnson (1986) disebabkan oleh empat hal, antara lain:
 Gambaran perbedaan antarkelompok.
 Nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh kelompok mayoritas menguasai kelompok minoritas.
 Stereotip antarkelompok.
 Kelompok yang merasa superior sehingga merasa kelompok lain inferior.

Menurut Poortinga (1990) prasangka memiliki tiga faktor utama yakni stereotip, jarak sosial, dan sikap diskriminasi. Ketiga faktor itu tidak terpisahkan dalam prasangka. Stereotip memunculkan prasangka, lalu karena prasangka maka terjadi jarak sosial, dan setiap orang yang berprasangka cenderung melakukan diskriminasi. Sementara itu Sears, Freedman & Peplau (1999) menggolongkan prasangka, stereotip dan diskriminasi sebagai komponen dari antagonisme kelompok, yaitu suatu bentuk oposan terhadap kelompok lain. Stereotip adalah komponen kognitif dimana kita memiliki keyakinan akan suatu kelompok. Prasangka sebagai komponen afektif dimana kita memiliki perasaan tidak suka. Sedangkan diskriminasi adalah komponen perilaku.
3. Diksriminasi
Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan yang lain. Sedangkan menurut Sears, Freedman & Peplau (1999) diskriminasi adalah perilaku menerima atau menolak seseorang semata-mata berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok.
Diskriminasi secara leksikal adalah perlakuan terhadap orang atau kelompok yang didasarkan pada golongan atau kategori tertentu. Sementara itu dalam pengertian lain diskriminasi dapat diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu secara berbeda dengan didasarkan pada gender, ras, agama, umur, atau karakteristik yang lain. Dari kedua definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa inti dari diskriminasi adalah perlakuan berbeda. Sedangkan pengertian diskriminasi terhadap penyandang cacat atau difabel lebih didasarkan pada kondisi fisik atau kecacatan yang disandangnya. Masyarakat selama ini memperlakukan para difabel secara berbeda lebih didasarkan pada asumsi atau prasangka bahwa dengan kondisi difabel yang kita miliki, kita dianggap tidak mampu melakukan aktivitas sebagaimana orang lain pada umumnya. Perlakuan diskriminasi semacam ini dapat dilihat secara jelas dalam bidang lapangan pekerjaan. Para penyedia lapangan pekerjaan kebanyakan enggan untuk menerima seorang penyandang cacat sebagai karyawan. Mereka berasumsi bahwa seorang penyandang cacat tidak akan mampu melakukan pekerjaan seefektif seperti karyawan lain yang bukan difabel. Sehingga bagi para penyedia lapangan kerja, mempekerjakan para difabel sama artinya dengan mendorong perusahaan dalam jurang kebangkrutan karena harus menyediakan beberapa alat bantu bagi kemudahan para difabel dalam melakukan aktivitasnya.
Amanda G. (2009) juga mengemukakan definisi diskriminasi sebagai sebuah tindakan nyata oleh mereka yang memiliki sikap prasangka sangat kuat akibat tekanan tertentu, atau tindakan yang berbeda dan kurang bersahabat dari kelompok dominan atau para anggotanya terhadap anggota kelompok subordinasinya.

B. Hubungan Antara Stereotip, Prasangka, dan Diskriminasi
Sebenarnya, stereotip, prasangka, dan diskriminasi memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lain. Namun ada kalanya ketiga sikap tersebut dapat berdiri sendiri secara terpisah.
Stereotip dapat berupa prasangka positif dan negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif. Sebagian orang menganggap segala bentuk stereotip negatif. Stereotip jarang sekali akurat, biasanya hanya memiliki sedikit dasar yang benar, atau bahkan sepenuhnya dikarang-karang. Berbagai disiplin ilmu memiliki pendapat yang berbeda mengenai asal mula stereotip. Psikolog menekankan pada pengalaman dengan suatu kelompok, pola komunikasi tentang kelompok tersebut, dan konflik antarkelompok. Sosiolog menekankan pada hubungan di antara kelompok dan posisi kelompok-kelompok dalam tatanan sosial. Para humanis berorientasi psikoanalisis (misalnya Sander Gilman) menekankan bahwa stereotip secara definisi tidak pernah akurat, namun merupakan penonjolan ketakutan seseorang kepada orang lainnya, tanpa memperdulikan kenyataan yang sebenarnya. Walaupun jarang sekali stereotip itu sepenuhnya akurat, namun beberapa penelitian statistik menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus stereotip sesuai dengan fakta terukur.
Stereotip yang berlebihan akan memunculkan prasangka terhadap orang atau kelompok lain tergantung dari pengetahuan terhadap orang/kelompok tersebut (dalam hal ini stereotip didasarkan atas pengetahuan/kognitif), namun masih dalam tataran sikap (belum tindakan). Sedangkan sikap berprasangka yang berlebihan dapat memunculkan perlakuan yang diskriminatif/diskriminasi (sudah dalam tataran perilaku). Perilaku diskriminasi ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk, misalnya sikap menganak-tirikan orang atau kelompok lain karena kriteria tertentu, atau karena ia/mereka bukan termasuk bagian dari kelompok tertentu. Jadi prasangka merupakan disposisi dari stereotip, sedangkan diskriminasi adalah disposisi dari prasangka. Namun, muncul pula suatu kecenderungan bahwa prasangka bisa terjadi tanpa diawali oleh adanya stereotip, begitu pula stereotip belum tentu berujung pada munculnya sikap berprasangka.
Diskriminasi bisa terjadi tanpa adanya prasangka dan sebaliknya seseorang yang berprasangka juga belum tentu akan mendiskriminasikan (Duffy & Wong, 1996) . Akan tetapi selalu terjadi kecenderungan yang kuat bahwa prasangka melahirkan diskriminiasi. Artinya prasangka yang dimiliki terhadap kelompok tertentu menjadi alasan untuk mendiskriminasikan kelompok tersebut. Jika digambarkan dalam bentuk bagan, maka hubungan antara ketika konsep di atas dapat dilihat pada bagan berikut.








Bagan 1: Hubungan antara stereotip, prasangka dan diskriminasi.
Dari bagan di atas dapat dijelaskan bahwa stereotip merupakan aspek kognitif yang terjadi akibat adanya pengetahuan yang terbatas terhadap suatu objek, sedangkan disposisi dari stereotip cenderung akan menimbulkan sikap berprasangka sebagai bentuk aspek afektifnya. Sedangkan dilihat dari aspek konatifnya, cenderung dapat menimbulkan tindakan diskriminasi yang merupakan disposisi dari sikap berprasangka.
Perlu dicatat bahwa hubungan antara ketiga konsep di atas merupakan suatu kecenderungan, jadi tidak mutlak terjadi hubungan yang seperti itu, namun lebih condong terjadi seperti yang dijelaskan di atas.



Daftar Rujukan

Ahmadi, H. Abu. 2007. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta

Amanda G, Ni Made Ras. 2009. Masyarakat Majemuk II Stereotipe, Prasangka, Pluralisme. Makalah, tidak diterbitkan.

Anonimus. 2010. Diskriminasi. Tersedia dalam www.wikipedia.com (diakses pada 23 Mei 2010)

Anonimus. 2010. Stereotip. Tersedia dalam www.wikipedia.com (diakses pada 23 Mei 2010)

Barry, M. Dahlan Al. 1994. Kamus Modern Bahasa Indonesia. Surabaya: Arkola

Mulyana, Deddy. 2006. Komunikasi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya

Liliweri, Alo. 2005. Prasangka dan Konflik. Yogyakarta: LKIS

Trihadi, Rio. 2010. Prasangka dan Diskriminasi. Tersedia dalam http://riotrihadi.ngeblogs.com/2010/01/07/prasangka-dan-diskriminasi (diakses pada 23 Mei 2010)

Tidak ada komentar: