JUDUL : “TOLERANSI BERAGAMA PERSPEKTIF SISWA”
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan sebuah negara dan bangsa yang memiliki berbagai keragaman. Hal tersebut terlihat dari falsafah yang terlihat pada pita di kaki burung garuda yang merupakan dasar negara, yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”. Indonesia juga memiliki berbagai macam keunikan, baik yang bersifat natural, sosial, maupun religi.
Salah satu keunikan masyarakat Indonesia adalah keterikatannya pada simbol-simbol agama dan pada keyakinannya akan fungsi sosial agama dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan memberi rasa aman oleh kepastian dalam membuat pemaknaan atas peristiwa-peristiwa kehidupan bagi pemeluknya secara eksklusif (Listia, 2010). Kenyataan yang demikian bahkan lebih terlihat pada masyarakat yang tinggal di pedesaan, padahal sebagian besar wilayah Indonesia adalah kawasan pedesaan. Hal tersebut akan menyebabkan “homogenisme” sikap dan pikiran seseorang/sekelompok orang. Nasution (2004: 151) menyebutkan :”dalam masyarakat pedesaan yang mempunyai tradisi yang kuat dan taat kepada agama, sikap dan pikiran orang lebih homogen”. Homogenitas suatu kelompok masyarakat terhadap ajaran agamanya akan memunculkan dogmatisme terhadap ajaran agama yang dianut yang menjadi sebab munculnya sifat eksklusivisme. Noer (2005, dalam Sarapung & Widiyanto, 2005: 221) menyebutkan demikian:
Ada beberapa sebab yang menimbulkan sikap eksklusivisme pada seseorang. Salah satu sebab itu adalah sifat agama yang dogmatis yang diterimanya sejak kecil yang mengajarkan bahwa agama yang dianutnya adalah satu-satunya agama yang benar dan satu-satunya agama yang membawa keselamatan.
Jika kenyataan di atas terjadi, maka kemungkinan yang akan terjadi adalah adanya stereotip, yang berdisposisi ke arah prasangka bahkan terjadinya diskriminasi dari umat yang mayoritas kepada yang minoritas. Namun tidak selamanya seperti itu, karena dalam kenyataan empiris, agama bisa merupakan sumber konflik maupun harmoni (Rahardjo, 1999: 184). Apabila agama sebagai sistem simbol dan sistem budaya goyah, maka masyarakat akan mengalami disintegrasi atau dalam kondisi konflik. Namun ketika agama sebagai simbol kepercayaan yang sifatnya suci dihormati dan dijaga kesuciannya satu dengan yang lainnya (toleran), maka semua pemeluk agama akan menjadi harmonis. Apalagi di era globalisasi seperti sekarang, sekat-sekat kehidupan yang pluralistik semakin kabur. Nurdin (2008) menyebutkan:
Tidak bisa dipungkiri bahwa gelombang modernisasi dan globalisasi budaya telah meruntuhkan sekat-sekat kultural, etnik, ideologi dan agama. Mobilitas sosial ekonomi, pendidikan, dan politik menciptakan keragaman dalam relasi-relasi keragaman. Kini, cukup sulit menemukan komunitas-komunitas sosial yang homogen dan monokultur.
Salah satu kata kunci yang sangat menentukan berhasil-tidaknya upaya mempertahankan persatuan bangsa Indonesia yang multikultural adalah toleransi beragama. Karena Indonesia adalah sebuah bangsa yang multikultur, termasuk di dalamnya pada elemen kehidupan beragama, maka sikap toleransi antaragama sangat mutlak diperlukan. Pengamalan toleransi harus menjadi suatu kesadaran pribadi dan kelompok yang selalu diaktualisasikan dalam wujud interaksi sosial. Toleran maknanya, bersifat atau bersikap menghargai, membiarkan pendirian, pendapat pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan lain-lain yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri (Anonimus, 2010).
Toleransi/toleran dalam pengertian seperti itu terkadang menjadi sesuatu yang sangat berat bagi pribadi-pribadi yang belum menyadarinya. Padahal perkara tersebut bukan mengakibatkan kerugian pribadi, bahkan sebaliknya akan membawa makna besar dalam kehidupan bersama dan dalam segala bidang, apalagi dalam domain kehidupan beragama. Toleran dalam kehidupan beragama menjadi sangat mutlak adanya, dengan eksisnya berbagai macam agama dalam kehidupan umat beragama di Indonesia.
Terkait dengan proses munculnya sikap toleransi, Alfanny (2010) mengatakan bahwa:
Munculnya toleransi beragama di masyarakat tentu tidak dapat muncul dengan sendirinya. Ia adalah buah dari proses pendidikan yang panjang yang senantiasa menekankan pada sikap menghargai perbedaan, apapun perbedaan itu. Kini, dengan derajat toleransi beragama yang makin menurun di masyarakat, agaknya perlu dicermati kembali bagaimana sistem dan proses pendidikan yang berjalan di masyarakat.
Berkaitan dengan upaya pengembangan sikap toleransi beragama di Indonesia, peran institusi pendidikan formal, termasuk institusi sekolah menjadi sangat penting. Oleh karena itu, sumbangan sekolah bagi pembentukan karakter anak didik yang intelek, religius, dan sekaligus nasionalis perlu terus dikembangkan (Widiatmoko, 2007). Walaupun kebebasan beragama sudah dijamin oleh negara secara konstitusional, bukan berarti seseorang bisa memaksakan kehendak beragamanya kepada umat lainnya. Tidak hanya dalam konstitusi, prinsip kebebasan dan toleransi beragama juga berakar dalam tradisi agama dan kepercayaan. Oleh karena itu, peran agama di dalam institusi pendidikan sebenarnya menjadi cukup strategis dalam membentuk mainstream peserta didik agar menjadi pribadi yang demokratis dan toleran. Peran agama dalam proses pendidikan dewasa ini diaktualisasikan melalui pendidikan agama sebagai mata pelajaran inti, namun ada pula jenjang sekolah yang menjadikan pendidikan agama sebagai muatan lokal (Chan & Tuti, 2008).
Pendidikan agama sejatinya mempunyai fungsi yang strategis dalam menumbuhkan sikap toleransi pada diri seseorang apabila diaktualisasikan dengan sungguh-sungguh. Noer (2005, dalam Sarapung & Widiyanto, 2005: 228-229) mengatakan:
Dalam memenuhi fungsinya untuk membina kepribadian yang kuat dan akhlak yang luhur anak didik, pendidikan agama harus mampu menghubungkan nilai-nilai normatif yang abstrak yang diterima anak didik dengan kenyataan-kenyataan sosial yang ada. Dengan demikian, para anak didik akan terdorong untuk bersikap kritis dan kreatif dalam menghadapi kenyataan-kenyataan sosial tadi. Jika pendidikan agama dapat memenuhi fungsi ini, maka pendidikan agama dapat memberikan suatu sumbangan pada penumbuhan dan pemupukan sikap toleransi antaragama dan peningkatan kerjasama antaragama dalam menghadapi masalah-masalah sosial di Indonesia.
Sikap menghargai agama-agama lain atau para penganut agama lain dapat ditumbuhkan kepada para peserta didik melalui pelajaran perbandingan agama, yang diberikan kepada mereka di sekolah-sekolah umum maupun sekolah-sekolah agama. Ngganggung (2005, dalam Sarapung & Widiyanto, 2005: 254) menyebutkan pentingnya sekolah sebagai institusi pendidikan yaitu sekolah sebagai agen sosialisasi yang utama setelah keluarga dan teman sepermainan. Bahkan kini ada kecenderungan bahwa sebagian besar waktu anak (peserta didik) dihabiskan di sekolah. Selain itu pula Ngganggung mengatakan sekolah adalah tempat dimana orang mempelajari “prinsip-prinsip” yang akan mendasari perilakunya sebagai warga masyarakat, termasuk toleransi.
Dalam fenomena pendidikan dewasa ini, nilai moral agama seringkali terabaikan (Mulyana, 2004: 242). Hal di atas dapat dibuktikan dari sistem pendidikan nasional yang menempatkan pendidikan agama sebagai pheriperi, sementara ilmu-ilmu yang menunjang pembangunan ekonomi sajalah yang diposisikan sebagai episentrum kurikulum nasional. Pendidikan agama dianggap kurang prospektif dan kurang mendukung bagi pengembangan kebudayaan material (Burhanuddin, 2000).
Melihat kenyataan di atas, menarik kiranya jika dilihat aktualisasi pendidikan agama di sekolah-sekolah, khususnya sekolah yang memiliki corak multiagama, terhadap sikap toleransi antarumat beragama. Kajian ini sebenarnya dapat dilihat dari berbagai perspektif atau pandangan, misalnya kepala sekolah, guru agama, siswa, OSIS, Komite Sekolah, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dewan Pendidikan, dan seterusnya. Namun dalam hasil penelitian ini, cukup dianalisis dari perspektif siswa saja karena dari perspektis lainnya sudah menjadi bagian lain yang terkait dengan hasil penelitian ini.
II. METODE PENELITIAN
Dalam mengumpulkan data serta keterangan mengenai pelembagaan sikap toleransi antarumat beragama di sekolah multiagama, sebenarnya perlu dikaji melalui beberapa sudut pandang. Namun dalam bagian ini hanya dikaji dari sudut pandang atau perspektif siswa. Dalam penelitian ini akan dikaji mengenai sejauh mana sikap toleransi antarumat beragama ditanamkan kepada peserta didik dalam lembaga pendidikan (sekolah), khususnya melalui mata pelajaran Pendidikan Agama.
Dalam penelitian ini ada beberapa tahap yang telah dilakukan, yang secara kompleks menjadi metode penelitian, antara lain sebagai berikut.
a) Pendekatan Penelitian
Untuk mendeskripsikan secara holistik mengenai pelembagaan toleransi beragama di sekolah-sekolah multiagama pada peserta didik (siswa), maka penelitian yang dilakukan berbentuk penelitian kualitatif, sehingga penekanannya bukan pada pengukuran, melainkan pada pendeskripsian yang holistik, emik terutama yang berkaitan dengan pengembangan serta pelembagaan sikap toleransi beragama pada tataran lembaga pendidikan sekolah. Untuk itu dalam penelitian ini digunakan pendekatan fenomenologi, yang diharapkan dapat membantu peneliti dalam: (1) pengamatan, (2) imajinasi, (3) berpikir secara abstrak, serta (4) dapat merasakan atau menghayati fenomena di lapangan penelitian.
b) Teknik Penentuan Informan
Informan dalam penelitian ini adalah peserta didik (siswa) yang mempunyai latar belakang agama berbeda-beda dari salah satu sekolah yang mempunyai corak multiagama, yang dalam hal ini peneliti mengambil SMA Negeri 1 negara sebagai objek penelitian. Mereka diseleksi dan ditunjuk sebagai informan dengan menggunakan teknik purposive, informan awal yang ditunjuk diposisikan sebagai informan kunci yaitu Kepala SMA Negeri 1 Negara, dan terus dikembangkan dengan mengikuti teknik snowball, sehingga ditunjuk beberapa orang siswa dengan latar belakang agama berbeda. Jumlah informan tidak dibatasi sejak awal, melainkan tergantung pada tingkat kejenuhan data yang dikumpulkan. Berkenaan dengan itu maka informan penelitian ini dirancang sedemikian rupa dengan berpedoman angket (kuesioner) yang telah disediakan oleh peneliti.
c) Teknik Pengumpulan Data
Data atau informasi yang dibutuhkan untuk menjawab masalah penelitian akan dikumpulkan dengan memakai beberapa teknik pengumpulan data, yakni:
i. Angket (Kuesioner)
Angket atau kuesioner adalah daftar pertanyaan yang didistribusikan melalui pos untuk diisi dan dikembalikan atau dapat juga dijawab di bawah pengawasan peneliti (Nasution, 2003: 128). Metode angket (kuesioner) ini merupakan metode utama dalam penelitian ini. Angket yang diberikan kepada informan telah dipersiapkan sebelumnya oleh peneliti sehingga penyebaran angket pada informan dapat dilakukan dengan cepat serta akurat. Jenis angket yang diberikan adalah yang diberikan dalam situasi temu-muka.
Angket yang digunakan yaitu untuk mendapatkan data atau keterangan dari sampel atau sumber yang beraneka ragam lokasinya. Sampel atau responden ditentukan berdasarkan teknik penentuan informan. Angket diisi oleh responden dalam kehadiran peneliti, yaitu diisi oleh siswa dalam satu kelas, namun dengan keragaman latar belakang yang jelas. Dengan cara demikikan maka akan menguntungkan peneliti karena semua angket yang disebar dijamin akan kembali dalam keadaan terisi (Ibid: 134).
Sebelum angket disebarkan, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mencapai hasil yang maksimal, antara lain: 1) peneliti harus mempunyai gambaran yang jelas tentang masalah yang akan diselidiki, tentang tujuan serta sasaran dan sifat data yang diperlukan; 2) jika tujuan peneliti deskriptif, peneliti harus mempunyai gambaran yang tajam dan komprehensif tentang permasalahannya; 3) waktu mengisi angket hendaknya tidak lebih dari 30 menit; 4) pembatasan pertanyaan tentang permasalahan; dan 5) penyediaan sistem pengolahan. Dengan memperhatikan hal-hal di atas diharapkan hasil data atau keterangan yang diperoleh dari angket ini bisa lebih maksimal.
ii. Teknik Wawancara Mendalam
Informan yang telah ditetapkan diwawancarai memakai teknik wawancara mendalam. Wawancara yang dilakukan merupakan tindak lanjut dari angket yang disebarkan kepada informan, sehingga hal-hal yang perlu mendapat perhatian lebih mendalam dikroscek melalui teknik wawancara mendalam. Dengan wawancara ini diharapkan bisa berlangsung fleksibel. Begitu pula informasi yang digali, tidak saja bertumpu pada mereka ucapkan, tetapi disertai pula dengan penggalian yang mendalam tentang pemaknaan mereka terhadap ucapan maupun perilaku mereka. Dengan demikian, melalui wawancara mendalam tergali aspek explicit knowledge yang melekat pada informan. Untuk menghindari terjadinya distorsi data, maka pencatatan hasil wawancara dilakukan secara manual dan atau disertai dengan perekaman dengan menggunakan alat perekam. Pemakaian alat perekam atas persetujuan informan sehingga wawancara tetap berjalan secara alamiah
iii. Teknik Observasi
Observasi atau pengamatan digunakan bukan sebagai metode utama, melainkan hanya sebagai pembanding antara ucapan informan dengan kondisi sosial yang ada. Pertimbangan ini digunakan teknik ini adalah bahwa apa yang dikatakan narasumber sering berbeda dengan apa yang dilakukan. Observasi dilakukan terhadap perilaku serta pola interaksi siswa, khususnya yang berbeda agama. Dari pengamatan tersebut diharapkan diketahuinya pengamalan sikap toleransi antarumat beragama serta pelembagaannya melalui lembaga sekolah.
Agar observasi partisipasi bisa terarah maka ditetapkan aspek-aspek yang diobservasi, yakni : (1) Latar (setting), (2) Pelibat (participant), (3) Kegiatan atau interaksi (activity and interaction), (4) Frekuensi dan durasi (frequency and duration), (5) Faktor subtil (subtle factor), (6) Peralatan yang mereka gunakan, (7), Waktu berlangsungnya kegiatan, (8) Ekspresi wajah waktu melaksanakan kegiatan, (9) produk kegiatan yang dilakukan (Alwasilah, 2002). Aspek-aspek yang diamati ditelusuri bentuk dan fungsinya, beserta makna kontekstualnya. Segala hal yang diobservasi direkam secara verbal manual dan atau dipotret dengan menggunakan tustel.
d) Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data yang diinginkan. Data yang terkumpul dianalisis dengan melakukan berbagai kegiatan, yakni reduksi data, menyajikan, menafsirkan, dan menarik simpulan ( Miles dan Hubermen, 1992; Sugiyono, 2006: 276).
Dapat dikemukakan bahwa reduksi data meliputi berbagai kegiatan, yakni penyeleksian, pemfokusan, simplifikasi, pengkodean, penggolongan, pembuatan pola, foto dokumentasi untuk situasi, atau kondisi yang memiliki makna subjektif, kutipan wawancara yang memiliki makna subjektif, dan catatan reflektif. Penyajian data dan penafsiran berkaitan dengan penyusutan teks naratif dalam kesatuan bentuk, keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi, alur sebab akibat, dan proposisi. Sedangkan penarikan kesimpulan atau verifikasi antara lain mencakup hal-hal yang hakiki, makna subjektif, temuan konsep, dan proses universal. Kesemuanya ini tidak terlepas dari masalah yang ditelaah. Kegiatan pengumpulan data, reduksi data, penarikan kesimpulan dan penyajian data, merupakan rangkaian kegiatan yang terkait dan bisa berlangsung secara ulang-alik, sampai mendapatkan hasil penelitian akhir.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Negara, yang merupakan salah satu sekolah favorit di Kabupaten Jembrana. SMA Negeri 1 Negara beralamat di jalan Ngurah Rai Nomor 155 Negara. Berikut adalah gambar dari lokasi penelitian (penyebaran angket).
Gambar 1:
SMA Negeri 1 Negara sebagai tempat penelitian.
Sumber: dokumentasi peneliti (2010)
Kabupaten Jembrana yang memiliki komposisi penduduk yang sangat beraneka ragam juga akan mempengaruhi keanekaragaman pada lingkungan lembaga pendidikan (sekolah), salah satunya SMA Negeri 1 Negara. Salah satu keragaman yang ada adalah pada bidang agama yang setiap tahun terus berdinamika dari segi jumlah pemeluk masing-masing agama. Jumlah pemeluk tiap-tiap agama di Kabupaten Jembrana per tahun 2009 dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1:
Komposisi penduduk Kabupaten Jembrana menurut agama yang dianut tahun 2009
TAHUN JUMLAH PEMELUK AGAMA/PROSENTASE JUMLAH
Islam Hindu Buddha Protestan Katholik
2008 60.870 204.227 759 2.984 2.613 271.453
% (22,42%) (75,23%) (0,28%) (1,10%) (0,97%) (100%)
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Jembrana (2010)
Penelitian yang penulis lakukan di SMA Negeri 1 Negara mengambil waktu pada hari Jumat, 11 Juni 2010, mengingat dekatnya waktu penelitian dengan pembagian raport siswa. Setelah melewati proses perizinan lewat Tata Usaha dan Kepala Sekolah, peneliti diizinkan langsung mencari sampel sebagai responden angket. Jumlah responden yang peneliti gunakan adalah 20 orang, yang terdiri dari 10 orang beragama Hindu, 3 orang beragama Islam, 3 orang beragama Buddha, 1 orang beragama Protestan, dan 3 orang beragama Katholik. Awalnya guru yang membantu peneliti dalam mengumpulkan responden ini menargetkan jumlah siswa dari masing-masing agama secara proporsional, namun karena siswa dalam suasana masuk kerja, siswa yang telah ditentukan tersebut sulit ditemukan. Oleh karena itu terjadi perbedaan jumlah dalam hal keragaman latar belakang agama dari para responden.
Proses pengisian angket dilakukan oleh para responden di dalam suatu kelas. Hal ini dilakukan untuk efisiensi waktu dan tenaga, sehingga apa yang menjadi masalah responden dapat disampaikan secara cepat.
Gambar 2:
Suasana saat responden (siswa) mengisi jawaban pada angket yang disebarkan.
Sumber: dokumentasi peneliti (2010)
Setelah semua responden selesai mengisi angket, maka peneliti melakukan tabulasi data sesuai dengan jawaban responden. Di bawah ini adalah hasil tabulasi data angket dari pertanyaan-pertanyaan yang berisikan opsi.
Sedangkan untuk pertanyaan-pertanyaan yang hanya membutuhkan jawaban yang bersifat deskriptif, hasilnya dapat dilihat pada lampiran penelitian ini untuk efisiensi dan efektivitas laporan. Hal tersebut karena jawaban dari masing-masing responden sangat bervariasi sehingga akan dibahas pada pembahasan berikutnya.
b. Pembahasan
Dari hasil penelitian ini dapat dianalisis berbagai aspek yang terkait dengan pelembagaan toleransi beragama melalui pendidikan agama pada SMA multiagama, secara khusus di SMA Negeri 1 Negara.
Dilihat dari komposisi responden angket, dapat dikatakan bahwa responden yang digunakan sudah mewakili semua agama yang ada di Indonesia, antara lain Hindu, Islam, Buddha, Kristen Katolik, dan Kristen Protestan. Walaupun pada kenyataannya tidak dapat ditemukan jumlah yang seimbang, namun paling tidak dari hasil angket yang disebar ini dapat memberikan perspektif yang beragam mengenai toleransi beragama dari siswa yang berbeda agama.
Secara umum, pemahaman responden terhadap hakikat atau definisi toleransi agama sudah sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari jawaban para responden yang intinya sudah mengena pada poin-poin pokok pada hakikat toleransi agama, antara lain: saling menghormati, menghargai, memahami, dan mengerti antarumat beragama untuk menciptakan kehidupan yang harmonis. Ini berarti secara teoretis para responden sudah cukup memahami konsep dasar toleransi yang menurut mereka juga sangat penting dalam kehidupan berbangsa yang multikultural.
Pentingnya toleransi beragama dalam kehidupan bangsa Indonesia yang multikultur, termasuk di dalamnya pada dimensi multiagama, menjadi suatu keharusan bagi bangsa Indonesia. Pentingnya toleransi dalam perspektif siswa ditunjukkan dengan jawaban dari seluruh responden (20 orang/100%) menjawab bahwa bahwa toleransi beragama sangat penting. Berbagai alasan dilontarkan oleh responden, yang pada intinya adalah pentingnya toleransi karena Indonesia adalah bangsa yang multikultur, sehingga toleransi berperan dalam menciptakan persatuan dalam keragaman tanpa adanya kekerasan dan diskriminasi antarbudaya dan antaragama.
Mengenai dukungan sekolah untuk mengembangkan toleransi beragama, dominan responden (16 orang/80%) menyatakan bahwa sekolah memberikan dukungan terhadap pengembangan toleransi beragama. Hanya sebagian kecil saja (4 orang/20%) yang menjawab bahwa sekolah kurang memberikan dukungan terhadap pengembangan toleransi beragama. Alasan responden sangat bervariasi, antara lain memandang bahwa sekolah telah memfasilitasi keragaman agama di sekolah melalui pelajaran agama yang masuk dalam kurikulum, pemberian kesempatan bagi masing-masing agama untuk melaksanakan persembahyangan sesuai dengan waktu yang seharusnya, pelibatan siswa agama lain dalam kegiatan agama Hindu, dan diterimanya siswa-siswa dari berbagai agama (tidak hanya agama tertentu saja). Namun responden yang menjawab opsi B juga memberikan alasan yang cukup beralasan, yaitu bahwa dalam program sekolah atau OSIS tidak pernah dirayakan hari raya lain selain hari raya umat Hindu, serta tidak ada kesempatan bagi umat non-Hindu untuk mengadakan persembahyangan bersama, seperti halnya umat Hindu yang pada waktunya dikomando dengan menggunakan pengeras suara (speaker). Walaupun bersifat minoritas, responden yang menjawab bahwa sekolah kurang memberikan dukungan terhadap pengembangan toleransi agama juga harus diperhatikan oleh sekolah, mulai dari hal-hal kecil seperti kegiatan sekolah sehari-hari, sampai pada program-program besar sekolah yang harus bisa menghormati semua unsur keragaman siswanya.
Dari hasil pendalaman lewat wawancara, sejumlah responden mengaku bahwa sekolah memang sudah berusaha melembagakan toleransi beragama lewat program sekolah maupun OSIS. Pada saat rangkaian perayaan HUT sekolah, siswa diberikan kesempatan untuk menyumbang seikhlasnya ke panti asuhan maupun bagi korban bencana alam tanpa melihat latar belakang agama. Begitu pula pada kegiatan perayaan hari raya keagamaam di sekolah maupun luar sekolah, siswa dari agama lain diberikan kesempatan menyumbang. Pada saat sekolah membangun Padmasana, tidak hanya siswa beragama Hindu juga yang ber-dana punia, melainkan siswa dari agama lainpun ikut menyumbang. Selain itu pula, wujud pengembangan toleransi agama di sekolah diaktualisasikan pada saat lomba peragaan busana serangkaian Hari Raya Saraswati di sekolah, yang melibatkan semua agama yang berbeda. Kegiatan-kegiatan sekolah di atas sangat menunjang pengembangan sikap toleransi beragama di kalangan warga sekolah.
Penanaman sikap toleransi beragama juga sangat penting dilakukan oleh guru pengajar mata pelajaran Pendidikan Agama. Pada kenyataannya, sejumlah responden (13 orang/65%) menyatakan bahwa guru pendidikan agama sering menyampaikan pentingnya toleransi bagi kehidupan bangsa Indonesia yang bercorak multiagama. Jumlah ini masih cukup mayoritas dan berasal dari responden pada masing-masing agama. Sedangkan ada juga responden yang menjawab bahwa guru pendidikan agama jarang menyampaikan hal tersebut (7 orang/35%), dan dari 7 orang responden yang menjawab demikian sebagian besar dari yang beragama Hindu (4 orang), 2 orang Islam, dan 1 orang Katholik. Cara penyampaian materi atau hal-hal lain mengenai toleransi kepada siswa cukup beraneka ragam, seperti dengan materi yang secara tersurat maupun tersirat pada pelajaran agama, penjelasan dengan contoh nyata atau studi kasus, sampai pada pemberian pesan dan himbauan untuk saling menghormati agama lain.
Dalam penanaman sikap toleransi agama lewat jalur pendidikan, termasuk pendidikan agama, penggunaan fasilitas buku ajar juga menjadi sangat penting. Namun kini banyak buku ajar agama yang tidak terlalu melihat aspek penanaman nilai pada peserta didik. Pada jawaban responden, hanya sebagian saja (10 orang/50%) yang menjawab bahwa buku pelajaran yang didapat sering menyinggung toleransi agama. Sedangkan 9 orang responden (45%) menjawab jarang menyinggung mengenai toleransi agama, dan 1 orang (5%) menjawab tidak pernah disinggung. Bagi yang menjawab opsi A, pendapat yang diberikan antara lain bahwa sebenarnya dalam setiap bab yang disajikan sudah menyiratkan penanaman sikap toleransi, sampai pada pentingnya menanamkan sikap toleransi tersebut pada diri siswa. Namun yang menjawab opsi C menyatakan bahwa pengembangan sikap toleransi lebih eksplisit didapatkan pada pelajaran Budi Pekerti. Namun, untuk responden yang menjawab opsi B berpendapat beragam, salah satunya karena masih banyak materi-materi yang lebih penting dari materi toleransi tersebut, sampai pada dugaan keaalpaan penulis buku mencantumkan materi pengembangan toleransi beragama pada bukunya.
Dari semua responden, sebanyak 19 orang (95%) menyatakan bahwa pergaulannya dengan teman yang berlainan agama akrab, sedangkan hanya 1 orang (5%) yang menjawab kurang akrab. Ini berarti dominan siswa memang sudah tidak terlalu membedakan urusan agama dalam pergaulan/pertemanan. Hal ini terlihat dari alasan para responden yang dominan cenderung sejenis, bahwa dalam pergaulan tidak boleh membeda-bedakan agama karena pada hakikatnya manusia itu adalah sama. Namun untuk responden yang menyatakan kurang akrab itu karena lebih disebabkan oleh lingkunan sosial tempat tinggal responden yang bersangkutan mayoritas beragama serupa dengan responden (Islam), sehingga jarang ketemu dengan teman bergaul dari agama lain, kecuali di sekolah.
Dalam hal mengalami kesulitan belajar, dominan responden (13 orang/65%) mengaku sering meminta bantuan kepada teman yang berbeda agama. Ini menunjukkan bahwa sudah ada kerjasama yang cukup baik dalam pergaulan siswa antaragama. Apalagi 7 orang (35%) responden menyatakan jarang meminta bantuan. Walaupun menyatakan jarang meminta bantuan, bukan berarti tidak pernah. Namun hanya saja intensitas meminta bantuan kepada teman yang berbeda agama lebih kecil daripada yang menjawab opsi A. Alasan responden masih menunjukkan variasi, namun lebih dominan menukik pada alasan bahwa dalam berteman dan belajar tidak perlu memandang perbedaan agama serta pengaburan sekat-sekat agama dalam proses belajar. Sedangkan responden yang menyatakan jarang meminta bantuan kepada teman yang berbeda agama ada yang beralasan bahwa di lingkungan tempat tinggalnya jarang ada teman yang berbeda agama, sehingga jarang meminta bantuan, prinsip untuk belajar mandiri, sampai pada eksklusifisme bahwa cukup bertanya dengan teman yang satu agama saja.
Toleransi juga bisa ditunjukkan dengan sikap menghargai agama lain melalui keingintahuan mengenai hal-hal tertentu tentang agama lain untuk menambah pemahaman dan pengertian tentang agama tersebut. Dalam aspek ini, dominan responden (13 orang/65%) yang menyatakan bahwa mereka sering menanyakan hal-hal tentang agama lain kepada teman yang berbeda agama guna menambah pemahaman dan pengertian akan agama orang lain. Alasan para responden yang memilih opsi ini (opsi A) lebih mengarah pada adanya usaha untuk memahami, mengerti, dan mengetahui karakteristik agama lain dalam dimensi menambah pengetahuan. Sehingga dengan demikian mereka bisa bersikap tidak menyinggung umat agama lain karena sudah mengetahui hal-hal yang mereka tidak sukai. Sedangkan 7 orang atau 35% responden menjawab jarang bertanya tentang hal tersebut. Alasan mereka cukup bervariasi, mulai dari alasan yang sama dengan opsi A (namun dengan intensitas yang lebih kecil), bertanya hanya jika diperlukan, sampai pada tidak pentingnya mempelajari agama orang lain, yang penting kerukunan dan toleransi tetap dijaga.
Menunjukkan sikap toleransi melalui memberikan ucapan selamat hari raya keagamaan kepada teman beragama lain yang merayakannya ternyata sudah menjadi fenomena yang sudah sangat sering dilakukan oleh para responden. Ini ditunjukkan dari jawaban responden yang seluruhnya menyatakan seringnya mengucapkan selamat hari raya keagamaan kepada teman lain beragama berbeda saat merayakan hari raya keagamaannya. Alasan-alasan responden mengarah pada tujuan untuk menunjukkan sikap toleransi, saling menghormati, mengikat tali persaudaraan, tradisi, menjaga kerukunan, sampai pada keikutsertaan beberapa responden dalam perayaan hari raya agama lain. Dalam aspek ini sikap toleransi sudah sangat tinggi antarsiswa yang berbeda agama.
Dalam hal mengucapakan salam keagamaan yang berlaku pada agama lain, sebagian responden (10 orang/50%) menyatakan jarang mengucapkannya. Sedangkan 7 orang (35%) menyatakan tidak pernah, bahkan hanya 3 orang (15%) saja yang mengatakan sering mengucapkan salam keagamaan. Alasan responden yang menyatakan sering ada yang menjawab bahwa itu sudah menjadi kewajiban, kebiasaan, bahkan itu bisa menambah erat tali persaudaraan antaragama. Bagi responden yang menyatakan jarang mengucapkan salam keagamaan, alasan yang mereka lontarkan mengarah pada jawaban bahwa salam keagamaan itu terlalu formal sehingga diucapkan pada saat-saat tertentu saja, ketakutan untuk menyinggung agama lain karena salah ucap, serta lebih memilih salam yang bersifat umum (selamat pagi atau selamat siang). Alasan-alasan ini cukup beralasan karena memiliki dasar yang cukup kuat, dan bukan berarti dengan jawaban seperti itu mereka tidak memiliki rasa toleransi terhadap temannya yang beragama lain. Sedangkan bagi responden yang menyatakan tidak pernah mengucapkan salam keagamaan agama lain kepada temannya karena beberapa alasan yang mengarah pada jawaban bahwa lingkungan sosial mereka (teman-teman di sekolah) tidak ada/jarang sekali yang mengucapkan hal seperti itu, takut salah ucap atau tidak dimengerti, serta keinginan untuk lebih menggunakan salam yang bersifat formal (selamat pagi atau selamat siang).
Jiwa sosial siswa yang diwakili oleh para responden dapat dikatakan tinggi, terkait dengan intensitas keinginan membantu teman beda agama yang sedang tertimpa musibah. Dari seluruh responden, 16 orang (80%) menjawab bahwa sekolah pernah memungut sumbangan untuk membantu orang lain yang tertimpa musibah dengan alasan bahwa mereka harus saling membantu, apalagi dalam kondisi teman yang sedang kesusahan. Jenis bantuan yang diberikan seperti uang, obat-obatan, pakaian bekas layak pakai, buku pelajaran, dan lain-lain, yang sifatnya ikhlas atau tidak merasa terpaksa. Hal ini lebih diperkuat dari sikap para responden yang sebagian besar (19 orang/95%) yang menyatakan kesediaannya jika diajak menolong orang lain yang berbeda agama yang kebetulan membutuhkan bantuannya. Alasan mereka cukup bervariasi seperti kebutuhan manusia untuk saling tolong-menolong, sama-sama ciptaan Tuhan, keinginan untuk meringankan penderitaan orang lain, mendapat pahala, bahkan ada yang menganggap bahwa menolong orang itu tidak boleh membedakan agamanya. Sedangkan seorang responden yang menyatakan berkeberatan menolong jika ia tidak mampu menolong baik materi maupun tenaga. Namun ketika ia bisa maka ia akan mau membantu orang lain semampunya. Ini berarti secara umum para responden sudah mampu menanamkan sikap toleransi antarumat beragama di dalam dirinya melalui cara membantu orang lain yang membutuhkan, walaupun berbeda agama.
Jika sebagian besar keinginan membantu orang lain di atas lebih dilakukan karena adanya ajakan atau bersifat kolektivitas, maka keinginan membantu secara personal dari para responden sedikit lebih menurun. Hal ini ditunjukkan dari jumlah responden yang menyatakan pernah menolong atau memberikan sumbangan kepada orang lain yang berbeda agama secara pribadi sejumlah 17 orang (85%) dengan alasan yang variatif. Jenis sumbangan yang diberikan dapat berupa uang, pakaian bekas layak pakai, makanan, sampai doa untuk meringankan penderitaan mereka. Walaupun dengan prosentase yang lebih sedikit daripada keinginan menolong orang lain secara kolektif, namun tetap pada jumlah yang dominan. Lebih banyaknya prosentase dan jumlah responden yang ingin membantu orang lain secara kolektif kemungkinan lebih disebabkan karena ajakan teman, malu jika tidak ikut membantu, sampai pada menunjukkan gengsi di hadapan teman lain. Sedangkan 3 orang (15%) responden lainnya menyatakan tidak pernah membantu atau menyumbang untuk teman lain secara pribadi.
Dari perspektif kaum mayoritas dan minoritas dalam suatu komunitas, pandangan tentang toleransi ini juga menuai jawaban yang sangat beragam. Bagi responden yang beragama Hindu, 8 orang di antaranya mengaku tidak pernah melakukan tindakan yang tidak adil terhadap teman lain yang beragama non-Hindu yang termasuk minoritas, karena bagi mereka semua orang itu sama, tidak ada gunanya melakukan hal yang demikian, serta mereka tidak pernah merasa terganggu, jadi tidak perlu mengganggu orang lain juga. Sedangkan 2 orang ressponden beragama Hindu menjawab jarang melakukan tindakan yang tidak adil tersebut lebih dikarenakan ketika mereka dibuat kesal kepada teman lain, dan itupun sebenarnya tidak dipengaruhi unsur agama. Sedangkan untuk responden yang non-Hindu, secara seimbang menjawab mereka jarang dan tidak pernah diperlakukan diskriminantif oleh teman lain yang beragama Hindu. Bagi responden non-Hindu, alasan mereka juga cukup beragam. Responden yang menjawab tidak pernah diperlakukan diskriminatif oleh teman yang berama Hindu (5 orang) menjurus kepada alasan bahwa teman-teman yang beragama Hindu cukup bersahabat, tidak membedakan agama dalam bergaul, dan sekolah yang memperlakukan semua siswa secara seimbang dan sama saja. Sedangkan yang menjawab jarang diperlakukan secara diskriminatif (5 orang) beranggapan bahwa sekolah dalam mengambil kebijakan kebanyakan hanya untuk kaum mayoritas saja (Hindu), serta adanya beberapa siswa Hindu yang kadang meremehkan siswa non-Hindu dalam bergaul, dan ada pula menjawab masih dalam batas yang wajar.
Ketika responden dihadapkan pada persoalan perasaan hati atau dalam hal menentukan teman dekan (pacar), memang kebanyakan responden (16 orang/80%) yang menyatakan bisa mencari pacar dari orang atau lawan jenis yang berbeda agama. Alasan yang mereka lontarkan sangat bervariasi seperti adanya anggapan bahwa agama bukan menjadi panghalang dalam berpacaran, semua agama sama saja, masih dalam tahap pacaran masih bisa dimaklumi (sementara), namun masih ada yang berpikir kembali jika untuk suami/istri, lebih mementingkan kebahagiaan dan kenyamanan walaupun dengan pasangan yang berbeda agama, sampai pada prinsip cinta yang tidak memandang perbedaan agama. Sedangkan 4 orang (20%) responden yang menyatakan tidak bisa mencari pacar yang berbeda agama lebih dilandasi oleh alasan karena dianjurkan/dilarang oleh orang tua maupun agamanya, bahkan ada yang didasari oleh prinsip satu iman saja dalam mencari pasangan. Keengganan untuk mencari pasangan (pacar) yang berbeda agama juga kemungkinan disebabkan oleh faktor gender, karena 3 orang dari 4 orang responden yang menjawab tidak bisa itu adalah dari kalangan perempuan. Kemungkinan hal ini disebabkan karena ketika mereka menentukan pasangan hidup (suami), mereka akan mengikuti agama dan tata kebiasaan suaminya. Hal ini sedikitnya menimbulkan ketakutan atau keraguan mencari pacar dari orang yang beragama lain.
Pada saat responden dihadapkan pada pertanyaan tentang penilaian mereka tentang stereotip orang atau teman dari agama lain, kecenderungan yang terjadi adalah para responden belum terlalu memahami hakikat atau definisi dari stereotip, sehingga banyak responden yang memilih tidah mengisi jawaban pada pertanyaan tersebut, namun ada pula yang menjawab dengan nada keras, serius, atau dengan jawaban standar dan sama untuk semuanya.
Keragaman jawaban, tanggapan, serta alasan yang disampaikan oleh para responden dari kalangan siswa SMA Negeri 1 Negara yang berbeda agama di atas menunjukkan adanya keragaman pandangan yang dipengaruhi berbagai faktor, seperti ajaran agama, prinsip hidup, lingkungan sosial, sampai pada sifat egoisme yang melekat pada diri masing-masing individu. Variasi jawaban juga menunjukkan adanya perbedaan pandangan yang bersifat prinsip pada pemeluk agama yang ada terkait dengan permasalahan yang bersifat pribadi. Namun untuk permasalahan yang sifatnya mengambangkan sikap toleransi, pada intinya semua agama memiliki kesamaan yaitu mau menghormati agama lain dan pemeluknya.
IV. PENUTUP
Dari sekian banyak pandangan, sikap, perilaku, serta aplikasi toleransi antarumat beragama di kalangan siswa (responden), sudah banyak keterangan yang didapat mengenai pelembagaan toleransi beragama melalui pendidikan agama di SMA yang multiagama. Namun, pada bagian terakhir dari angket yang disebarkan ada beberapa saran dari para responden guna meningkatkan toleransi agama di sekolah antara lain:
Semua warga sekolah agar lebih meningkatkan sikap saling menghargai dan menghormati antarpemeluk agama.
Lembaga sekolah agar meningkatkan intensitas penanaman sikap toleransi pada pelajaran yang diterima di sekolah untuk meningkatkan pemahaman tentang toleransi agama.
Semua warga sekolah agar bersikap wajar di dalam komunitas yang beragam agama.
Penanaman budi pekerti yang perlu lebih ditingkatkan pada diri siswa.
Dalam bergaul, siswa hendaknya tidak hanya dari teman yang satu agama saja, tetapi bergaul hendaknya tidak boleh membedakan agama sehingga hubungan lebih harmonis antarwarga sekolah.
Bagi sekolah, agar menambah sarana dan prasarana pembelajaran agama bagi yang beragama minoritas sehingga tidak terlihat terlalu membedakan suatu agama dengan agama lainnya.
Saling membantu antarteman yang seiman dan juga yang berbeda agama.
Guru sebagai pendidik agar lebih memiliki kepekaan sosial terhadap siswa yang berbeda agama, khususnya yang minoritas.
Tidak ada kecenderungan bagi guru untuk menekankan suatu ajaran agama tertentu dalam mata pelajaran yang sifatnya umum, seperti Budi Pekerti.
Agar ada sikap saling membantu/mendukung dalam kegiatan perayaan hari raya keagamaan di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Alfanny. 2010. Pendidikan dan Toleransi Beragama. Terdapat dalam http://satukebenaran.wordpress.com/ (diakses pada tanggal 9 Juni 2010)
Alwasilah, A.C. 2002. Pokok Kualitatif Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya
Anonimus. 2010. Toleransi Beragama. Terdapat dalam http://ruangpelangi. wordpress.com/ (diakses pada tanggal 9 Juni 2010)
Badan Pusat Statistik Kabupaten Jembrana. 2009. Jembrana Dalam Angka 2009 (Jembrana in Figures 2009). Negara: Bappeda dan BPS Kabupaten Jembrana
Burhanuddin. 2000. Tantangan Pluralisme Agama dan Sistem Pendidikan Agama. Terdapat dalam http://burhan15.multiply.com/journal/item/64 (diakses pada tanggal 9 Juni 2010)
Chan, Sam M, dan Tuti T. Sam. 2008. Analisis SWOT: Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT RajaGrafindo
Listia. 2010. Pendidikan Agama Dalam Masyarakat Multikultur. Terdapat dalam http://www.interfidei.or.id/ (diakses pada tanggal 9 Juni 2010)
Miles, M.B dan A.M. Hubermen. 1992. Analisis Data Kualitatif Buku Sumber tentang Metode-metode Baru. (Tjetjep Rohendi Rohidi Penerjemah). Jakarta: UI Press
Mulia, Siti Musdah. 2008. Potret Kebebasab Beragama dan Berkeyakinan di Era Reformasi. Makalah. Disajikan pada Lokakarya Nasional Komnas HAM “Penegakan HAM dalam 10 Tahun Reformasi”, di Hotel Borobudur Jakarta, 8 – 11 Juli 2008
Mulyana, Rohmat, Dr. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta
Nasution, S., Prof. Dr., MA. 2003. Metode Research: Penelitian Ilmiah. Jakarta: Bumi Aksara
-------. 2004. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Ngganggung, P. Paul, SVD. 2005. “Pendidikan Agama dalam Masyarakat Pluralistik”, dalam Sarapung, Elga dan Tri Widiyanto. Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei
Noer, Kautsar Azhari. 2005. “Pluralisme dan Dunia Pendidikan di Indonesia: Menggugat Ketidakberdayaan Sistem Pendidikan Agama”, dalam Sarapung, Elga dan Tri Widiyanto. Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei
Nurdin, Z. Arifin. Drs., SH. 2008. Gagasan dan Rancangan Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural di Sekolah Agama dan Madrasah. Tersedia dalam http://pendis.depag.go.id/madrasah/Insidex.php?i_367=at02100016 (diakses pada tanggal 9 Juni 2010)
Rahardjo, M. Dawam. 1999. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif dan R & D. Bandung: ALFABETA
Widiatmoko, Bambang. 2007. Sekolah Milik Organisasi Agama dan Misi Peningkatan Kerukunan Beragama. Tersedia dalam http://re-searchengines.com/bambang widiatmoko5-07.html (diakses pada tanggal 9 Juni 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar