Label

Adi Sanjaya

Adi Sanjaya

Senin, 21 Juni 2010

BULELENG KELABU ON 1999

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sejarah merupakan suatu bidang ilmu yang senantiasa menuntut untuk mengingat dan memahami kembali kejadian di masa lampau. Selama ini, seringkali sejarah disepelekan mengingat obyek studinya dianggap tidak menarik. Padahal banyak pengalaman masa lalu yang dapat diambil untuk dijadikan keteladanannya maupun untuk ditelaah lebih lanjut agar dapat menuju masa depan yang lebih baik.
Ir Soekarno yang merupakan presiden pertama RI pernah mengingatkan bahwa kita jangan sekali – sekali melupakan sejarah (jasmerah). Berbagai kejadian yang terjadi sekarang tidak lepas dari peristiwa – peristiwa yang telah terjadi di masa lampau. Salah satu peristiwa yang dampaknya masih dirasakan hingga kini adalah peristiwa reformasi yang dipelopori oleh para mahasiswa pada tahun 1998. Peristiwa tersebut bukan hanya berimplikasi pada pemindahan kekuasaan dari pesiden Soeharto kepada wakilnya B. J. Habibie, tetapi juga mengandung makna yang lebih mendalam terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Akibat adanya aksi tersebut, masyarakat Indonesia tenggelam dalam euforia reformasi itu. Demonstrasi terjadi di mana – mana dengan berbagai tuntutan perbaikan di segala bidang (Soemardjan, 1999: 9). Akan tetapi reformasi itu juga menimbulkan berbagai dampak negatif pada masyarakat, karena masyarakat Indonesia belum dewasa dalam menerima perubahan yang terjadi secara mendadak.
Peristiwa amuk massa yang terjadi di Buleleng, salah satu kabupaten yang terletak di Bali Utara menunjukkan betapa pentingnya suatu keinginan dalam perubahan harus disikapi secara bijak, sehingga tidak kebablasan mengakibatkan terjadinya anarkhisme dalam menyalurkan kehendak yang dimaknai demokratis oleh pendukungnya.
Peristiwa yang terjadi pada tanggal 20-21 Oktober 1999 (disebut Buleleng kelabu) tersebut diakibatkan oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap hasil pemilihan presiden. Pada saat itu Megawati salah satu kandidat yang didukung oleh sebagian besar masyarakat Buleleng kalah dalam pemilihan. Dengan berlindung di balik demokrasi dan reformasi, simpatisan partai politik pendukung kandidat tersebut menghancurkan berbagai sarana dan prasarana pemerintahan di Buleleng seperti perkantoran, fasilitas umum dan kendaraan kantor ( Arsip Berita RRI, Sabtu 23/10/1999).
Peristiwa tersebut berakibat sangat besar bagi kabupaten Buleleng. Pembakaran yang terjadi dimana – mana, menyebabkan timbul ketakutan dari elemen masyarakat lainnya untuk sekadar ke luar rumah. Perekonomian Buleleng lumpuh total, timbul kemacetan hingga puluhan kilometer akibat akses keluar masuk Buleleng ditutup (Bali Post, Kamis 21/10.1999).
Bertolak dari hal tersebut, maka muncullah suatu pemikiran untuk mencari tahu tentang kronologis peristiwa yang telah terjadi 9 tahun lalu tersebut, serta dampak – dampak yang ditimbulkannya bagi Kabupaten Buleleng. Dengan mengkaji lebih dalam diharap dapat menjadi bahan pembelajaran ke depan sehingga tidak akan terulang untuk kedua kalinya, sejarah hitam di negara ini.

1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah penyebab timbulnya tindakan anarkhis amuk massa yang terjadi pada tanggal 20 – 21 Oktober 1999 di Kabupaten Buleleng ?
2. Bagaimakah kronologi peristiwa amuk massa yang terjadi pada tanggal 20 – 21 Oktober 1999 di Kabupaten Buleleng ?
3. Apa saja dampak – dampak yang ditimbulkan oleh peristiwa amuk massa yang terjadi pada tanggal 20 – 21 Oktober 1999 di Kabupaten Buleleng ?

1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui penyebab timbulnya tindakan anarkhis amuk massa yang terjadi pada tanggal 20 – 21 Oktober 1999 di Kabupaten Buleleng.
2. Mengetahui kronologi peristiwa amuk massa yang terjadi pada tanggal 20 – 21 Oktober 1999 di Kabupaten Buleleng.
3. Mengetahui dampak – dampak yang ditimbulkan oleh peristiwa amuk massa yang terjadi pada tanggal 20 – 21 Oktober 1999 di Kabupaten Buleleng.

1.4 Manfaat Penulisan
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat :
1. Bagi masyarakat Buleleng, agar menyadari penyebab, kronologi serta dampak yang ditimbulkan oleh tindakan amuk massa yang terjadi pada tahun 1999.
2. Kepada pemerintah, agar mampu mengantisipasi sehingga kejadian serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari.
3. Kepada penulis sendiri, untuk menambah wawasan tentang ilmu sejarah.

















BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Sistem Pemerintahan Demokrasi
2.1.1 Pengertian Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos artinya rakyat dan kratein yang berarti pemerintah. Ini berarti kekuasaan pemerintahan tertinggi berada di tangan rakyat (Sucipta, 2005). Menurut Abraham Lincoln, demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari, untuk dan oleh rakyat. Pengertian demokrasi juga dirumuskan oleh Joseph Schumpeter, yakni penataan kelembagaan untuk sampai pada keputusan politik, yang individunya meraih kekuasaan untuk mengambil keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam mendapatkan dukungan suara (Sorensen, 2003:14).
Demokrasi juga memiliki dua pengertian yaitu :
1) Demokrasi dalam arti sempit yang hanya meliputi bidang politik saja, dimana dalam sistem pemerintahannya hanya membicarakan sistem pemerintahan yang mencakup tentang pengertian pengakuan hak asasi manusia.
2) Demokrasi dalam arti luas meliputi pengertian dalam arti sempit yaitu bidang politik yang ditambah dalam bidang ekonomi dan sosial.

2.1.2 Bentuk Demokrasi
Di dalam perkembangannya pemerintahan, demokrasi mengalami dua bentuk, yakni:
a) Demokrasi langsung yaitu sistem pemerintahan yang rakyatnya secara langsung terlibat di dalam menentukan jalannya pemerintahan.
b) Demokrasi Tidak langsung yaitu sistem pemerintahan dimana rakyat tidak secara langsung terlibat di dalam menentukan jalannya pemerintahan, melainkan dengan jalan memilih wakil-wakilnya melalui pemilu. Bentuk ini sering juga disebut dengan demokrasi perwakilan.
2.1.3. Demokrasi Pancasila
Bagi Bangsa Indonesia, paham yang paling tepat dalam menerapkan paham demokrasi adalah Demokrasi Pancasila. Paham Demokrasi Pancasila sangat sesuai dengan kepribadian bangsa yang digali dari tata nilai sosial budaya sendiri. Keberhasilan nilai-nilai Demokrasi Pancasila yang dipraktekkan pada masyarakat desa, karena bersendikan atau berazaskan keluhuran nilai musyawarah, kekeluargaan dan gotong-royong yang merupakan ciri khas/kepribadian bangsa Indonesia.
Prof. Dr. Drs. Notonagoro, S.H. menyatakan, Demokrasi Pancasila adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab, yang mempersatukan Indonesia dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (senada dengan Soemantri, S.H. dan Drs. S. Pamudji). Sedangkan menurut Prof. Dardji Darmidiharjo, S.H. menyatakan, Demokrasi Pancasila adalah paham demokrasi yang bersumber kepada kepribadian dan falsafah hidup Bangsa Indonesia, yang perwujudannya seperti dalam ketentuan-ketentuan dalam Pembukaan UUD 1945.

2.2 Gerakan Massa
2.1.1 Pengertian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1994: 312), gerak berarti peralihan kedudukan atau tempat, mendapat imbuhan –an menjadi gerakan, yakni perbuatan atau keadaan bergerak. Sedangkan menurut Timur Mahardika (2000: 8,16), gerakan dapat juga berarti suatu tindakan yang dilakukan untuk memberikan respons atau reaksi atas kondisi tertentu (relitas sosial) di masyarakat, dan atau perjuangan perubahan untuk menciptakan keadan baru yang lebih baik dan bermakna.
Pengertian masa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI, 1994: 634) adalah jumlah yang banyak sekali; sekumpulan orang yang banyak sekali (berkumpul di suatu tempat atau tersebar), atau kelompok manusia yang bersatu karena dasar-dasar pandangan atau kesamaan pandangan tertentu. Sedangkan menurut Partanto dan Barry (1994: 444), masa dapat diartikan sebagai kalangan orang banyak; jumlah orang/barang yang membentuk himpunan.
Jadi dapat diartikan, gerakan masa adalah tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk memperjuangkan suatu keadaan yang lebih baik dan bermakna yang didasarkan oleh pegangan atau pandangan organisasi yang sama.
2.1.2 Klasifikasi Gerakan Masa
a) Gerakan Sebagai Suatu Reaksi Spontan
Gerakan sebagai suatu reaksi spontan menurut Mahardika (2000: 15-17) dikatakan bahwa :
Suatu gerakan tanpa sebab-sebab yang jelas (atau tidak mempunyai rumusan yang jelas) menggunakan jaringan informasi yang tidak tertata (bukan dikonstruksi secara sengaja) terhadap suatu gerakan tertentu.

Ciri dasar gerakan tipe ini adalah sifatnya merupakan reaksi langsung atas ancaman yang sudah hadir di hadapannya, dan kerapkali tidak dapat ditemukan kelanjutannya (apa dan bagaimana langkah selanjutnya). Dengan demikian terjadi secara sepontan tanpa kendali, namun ada ideologi tertentu yang mendasarinya, seperti rasa frustasi dan kemarahan yang tidak tersalurkan.
Di akhir pemerintahan Orde Baru kasus-kasus ini banyak terjadi, seperti: peristiwa tanggal 12-14 Mei 1998, kerusuhan Ketapang, isu dukun santet Banyuwangi, sampai kerusuhan tanggal 20-21 Oktober 1999.
b) Gerakan Sebagai Langkah-Langkah Terorganisir
Gerakan sebagai langkah-langkah terorganisir merupakan suatu gerakan dengan tujuan, strategi, dan cara-cara yang dirumuskan secara jelas, sadar dan didasarkan kepada suatu analisis sosial yang kuat (Mahardika, 2006: 16). Gerakan seperti ini umumnya dilakukan oleh para mahasiswa atau oleh golongan masyarakat berpendidikan (elit terpelajar).
Gerakan-gerakan masa yang terjadi di Indonesia umumnya adalah sebagi wujud protes terhadap pemerintahan yang lalim. Jika direnungkan merupakan gerakan masa yang spontan (terkecuali gerakan mahasiswa). Namun demikian, jika dianalisis berdasarkan strategi dan taktik gerakan, maka suatu gerakan akan bisa berjalan jika sebelumnya terjadi koordinasi dan persiapan yang matang tentang gerakan yang akan dilakukan. Gerakan massa yang dilakukan tanpa ada persiapan yang matang dan tujuan yang jelas merupakan embrio lahirnya anarkhisme, karena massa yang bergerak hanya mengandalkan otot, bukan otak dan moral/etika sebagai nilai dasar pergerakannya.

2.1.3 Faktor Penyebab Anarkhisme Gerakan Masa dan Akibatnya
Dari beberapa kutipan yang dilakukan Sairin dalam Usman Pelly dan Asih Menanti (1994 : 14) menyebutkan ada 3 sumber ketidakpastian sosial, yaitu :
1) Perebutan Sumber Daya, Alat-Alat Produksi, dan Kesempatan Ekonomi. (Acces to Economic Resources and to Means of Productions. Lukas, 1968).
2) Perluasan Batas-Batas Kelompok Sosial Budaya. (Social and Cultural Borderline Expansion: Acaoli, 1984: Cohen, 1969: Deutvsh, 1973: Hoesterman, 1985: Roos, 1986).
3) Benturan Kepentingan Politik, Idiologi dan Agama. (Conflic of Political, Idiology and Religious Interest).

Benturan kepentingan politik, idiologi dan agama merupakan benturan antara struktur yang mapan terhadap kebudayaan, dengan sistem nilai, ideologi dan agama yang sedang berkembang. Konflik ini biasanya muncul dengan format: penguasa versus rakyat; majikan versus buruh; dan patron versus klan. Konflik karena benturan kepentingan politik, idiologi dan agama akan menjurus kepada perubahan-perubahan struktural dalam masyarakat, seperti konflik yang terjadi dalam peristiwa pemberontakan di berbagai daerah (RMS, GAM, dll) atau dalam kudeta G30S/PKI (Pelly dan Menanti, 1994: 66, 67). Apter dan Nazaruddin Sjamsudin (1977: 321) menekankan bahwa :
Kemerdekaan Politik yang menimbulkan ketimpangan ekonomi dan sosial akan memecah belah bangsa, membayangi sistem plitik dengan konflik, masyarakat yang terkutub dibandingkan dengan kooperatif, sehingga akhirnya akan mengakibatkan ketidakstabilan politik.

Dalam melihat fenomena tersebut, Gergen (1974; dalam M. Enoch; dalam Selo Sumarjan (ed.) (2001: 212) memberikan penjelasan, tentang 3 tujuan tindak kekerasan kolektif, yaitu :
1) Tanpa tujuan yang jelas (no goal). Seperti pada saat terjadi penjarahan dan pembakaran toko, perusakan fasilitas umum dan pembakara kendaraan pada kerusuhan 13-14 Mei 1998 di Jakarta.
2) Melepaskan diri dari bahaya (to escape). Seperti pada saat sejumlah orang yang berada dalam keadaan panik, karena secara tiba-tiba terjadi kebakaran besar atau gempa, tsunami serta kejadian alam lainnya.
3) Mengubah sesuatu (to change something). Seperti pada berbagai unjuk rasa mahasiswa dalam rangka reformasi yang diwarnai oleh bentrokan antara mahasiswa dan aparat keamanan.

Melihat kekerasan kolektif yang terjadi selama berlangsungnya reformasi di Indonesia, dapat dibedakan antara masa agresif yang tidak mempunyai tujuan yang jelas (masa yang melakukan perusakan, pembakaran dan penjarahan toko) dan masa agresif yang memiliki tujuan atau ingin melakukan perubahan (konflik antar etnis di Ambon dan Sambas di Kalimantan Barat, antara masyarakat dan ABRI di Aceh). Masa agresif tanpa tujuan yang jelas menurut Apter dalam Nazaruddin Sjamsudin (1977: 438) dapat lahir sebagai akibat dari :
Terlalu setia pada pimpinan yang berkuasa dan memaksakan kepatuhan absolut; membenci orang luar dan fanatik; terlalu membesar-besarkan kesalahan dan kebencian; memiliki rasa sinisme yang ekstrim; rasa tidak berdaya dan sia-sia; pencuriga dan tak percaya pada orang lain, dogmatis dan kaku.
Sedangkan gerakan-gerakan yang radikal, apatis, atau kemarahan masyarakat yang membabi-buta, seperti kekerasan yang awut-awutan, pembegalan, pemerkosaan, dan berbagai bentuk perilaku antisosial lainnya, mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat, menurutnya sejajar dengan kebijakan pemerintah (Apter dalam Nazaruddin Sjamsudin, 1977: 426).
Ketimpangan kehidupan sosial ekonomi dan perlakuan yang tidak sama di depan hukum, serta pemerintah merupakan pemicu utama lahirnya gerakan massa. Potensi konflik tersebut juga semakin diperuncing dengan adanya dogma-dogma dan fanatisme berlebihan terhadap pemimpin, sehingga “percikan api” sekecil apapun akan “membakar” semangat pergerakan. Gerakan yang terlahir adalah gerakan tanpa arah dengan potensi anarkhis yang besar.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu Penelitian : dari pertengahan April 2007 sampai Mei 2007
Tempat Penelitian :
a. Perpustakaan SMA Negeri 1 Singaraja, Perpustakaan Kampus Undiksha, dan Perpustakaan Daerah kabupaten Buleleng.
b. Dinas Bina Cipta Karya kabupaten Buleleng, pada tanggal 27 April 2007.
c. Kantor Polisi Resort Buleleng, pada tanggal 27 Mei 2007.
d. Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Daerah Kabupaten Buleleng, pada tanggal 27 April 2007.
e. Kantor Radio Republik Indonesia (RRI) Singaraja, pada tanggal 1-2 Mei 2007.
f. Kantor Komando Distrik Militer (KODIM) 1609 Buleleng, pada tanggal 2 Mei 2007.

3.2 Instrumen Penelitian
3.2.1 Pedoman Wawancara (Lampiran 01: Pedoman Wawancara)

3.3 Metode Pengumpulan Data
Metode Pengumpulan data dilakukan dengan 3 cara :
3.3.1 Metode Studi Pustaka/Dokumenter.
Peneliti menggunakan kajian pustaka sebagai langkah awal, yakni dengan membaca buku-buku yang berkaitan dengan Demokrasi dan Gerakan Massa. Lalu menggaris bawahi beberapa teori yang mendukung nantinya dituangkan dalam landasan teori. Peneliti juga mencari berita-berita di internet, kliping surat kabar, serta dokumen berita di Radio Republik Indonesia (RRI) Singaraja mengenai informasi yang berkaitan dengan peristiwa tersebut. Serta memfotokopi dokumen penting yang didapat dari Polres Buleleng dan KODIM 1609 Buleleng.

2.3.2 Metode Wawancara
Peneliti melakukan wawancara terhadap orang yang dianggap memiliki kompetensi di bidangnya dan memiliki kewenangan untuk memberikan informasi yang dibutuhkan. Orang – orang yang peneliti wawancarai adalah :
a. Kasat Reskrim Kepolisian Resort Kabupaten Buleleng.
b. Saksi mata yang terlibat dan melihat langsung peristiwa amuk massa
2.3.3 Metode Observasi
Metode observasi yang peneliti lakukan adalah mengamati dan membandingkan keadaan lingkungan serta sarana dan prasarana yang dulu sempat diamuk masa melalui dokumentasi yang didapat dengan keadaan saat ini.

3.4 Jenis Data yang Terkumpul
A. Data yang diperoleh di kantor BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten Buleleng
1. Kondisi geografis daerah kabupaten Buleleng meliputi posisi pada peta, batas-batas daerah, dan luas wilayah Kabupaten Buleleng.
2. Perkembangan penduduk Kabupaten Buleleng tahun 1996-1999 menurut jenis kelamin.
3. Perkembangan penduduk Kabupaten Buleleng tahun 1996-1999 menurut Tingkat Pendidikan.
B. Data yang diperoleh di kantor Polisi Resort Kabupaten Buleleng adalah:
1. Laporan Khusus Peristiwa Amuk Massa tanggal 20-21 Oktober 1999.
2. Dokumen Foto Kerusakan Bangunan dan Fasilitas Umum.
C. Data yang diperoleh di KODIM 1609 Buleleng adalah laporan khusus tentang kasus pengerusakan, pembakaran, dan penjarahan yang dilakukan oleh massa di Kabupaten Buleleng.
D. Data yang diperoleh di Radio Republik Indonesia (RRI) Singaraja, internet, dan surat kabar adalah berita-berita yang berkaitan dengan peristiwa Amuk Massa, tanggal 20-21 Oktober 1999 di Kabupaten Buleleng.
E. Data yang diperoleh di Dinas Bina Cipta Karya Kabupaten Buleleng adalah Rekapitulasi Kerugian Akibat Amuk Massa, Tanggal 20-21 Oktober 1999 di Kabupaten Buleleng.
3.5 Metode Analisis Data
Data – data yang diperoleh selanjutnya akan dianalisis dengan cara :
1. Tabulasi
Metode tabulasi sederhana digunakan untuk mendapatkan data dalam bentuk yang padat, ringkas dan mudah dibaca, sehingga mudah untuk mendapatkan suatu hasil dan memperlihatkan secara kasat mata perbandingan data yang didapat.
2. Grafik
Metode grafik digunakan untuk menampilkan secara visual data yang didapat sehingga data mudah dimengerti dan memiliki tampilan lebih menarik.
3. Deskriptif kuantitatif dan kualitatif
Hasil tabulasi data dan grafik (kuantitatif) diberikan arti dan makna sehingga data yang diperoleh dapat dimengerti dan dapat dijelaskan lebih detail, sehingga jelas dapat dipahami hubungan sebab akibatnya (kualitatif).


















BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Geografis Daerah Kabupaten Buleleng
Kabupaten Buleleng terletak di sebelah utara Pulau Bali dengan posisi 800314011-802310011 LS dan 1140251511-11502712811 BT jika dilihat dari peta. Luas wilayah Kabupaten Buleleng secara keseluruhan adalah 136.558 hektar atau 24,25% dari luas Propinsi Bali. Wilayah ini terbagi dalam 9 kecamatan yakni: Gerokgak, Seririt, Busungbiu, Banjar, Buleleng, Sukasada, Sawan, Kubutambahan, dan Tejakula. Kabupaten Buleleng berbatasan dengan kabupaten Jembrana di bagian barat, Laut Jawa/Bali di bagian utara, dengan Kabupaten Karangasem di bagian timur dan di sebelah selatan berhadapan dengan 4 kabupaten, yaitu kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung dan Bangli. Secara topografi Kabupaten Buleleng merupakan daerah berbukit yang membentang dari bagian selatan, sedangkan bagian utara yakni sepanjang pantai merupakan dataran rendah, dengan iklim tropis.
Sumber kehidupan masyarakat Buleleng dilatarbelakangi oleh kondisi geografis yang secara umum terdiri dari lahan kritis. Buleleng Barat dan Buleleng Timur daerahnya sebagaian besar terdiri dari lahan kritis, sedangkan Buleleng Tengah dapat dikatakan sebagian adalah daerah subur dan banyak airnya. Penggunaan lahan yang ada di Buleleng dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Grafik 01. Penggunaan Lahan di Kabupaten Buleleng Tahun 1998.







Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Daerah Kabupaten Buleleng, bersumber dari SP.VA.1998 (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Buleleng)
4.2 Keadaan Penduduk Kabupaten Buleleng Tahun 1996-1999
Dari gambaran keadaan geografis Kabupaten Buleleng, terlihat jelas bahwa sumber perekonomian utama masyarakat Buleleng adalah pertanian, perkebunan, dan perdagangan. Sejalan dengan itu, kondisi tersebut membentuk karakter masyarakat pegunungan yang cenderung tertutup dengan sumber kehidupan agraris dan masyarakat pantai yang cenderung lebih terbuka dengan sumber kehidupan sebagi nelayan atau pedagang.
Pertumbuhan penduduk Buleleng dari tahun 1996-1999 dapat dilihat pada tabel 01 di bawah ini :
Tabel 01. Perkembangan Penduduk Kabupaten Buleleng Tahun 1996-1999 menurut Jenis Kelamin sebagai berikut :

No. Tahun Jenis Kelamin Jumlah
Laki-laki Perempuan
1. 1996 277.619 266.219 566.036
2. 1997 279.963 289.174 569.135
3. 1998 280.893 290.471 571.364
4. 1999 293.902 293.117 577.019
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Daerah Kabupaten Buleleng
Perkembangan penduduk Buleleng berdasarkan tingkat pendidikannya dapat dilihat pada tabel 02 di bawah ini :
No. Tahun Tingkat Pendidikan Jumlah
SD SMP SMU P.T.
1. 1996-1997 74.723 28.360 17.052 2.126 112.261
2. 1997-1998 71.843 28.917 16.139 3.220 120.119
3. 1998-1999 71.002 27.986 18.876 2.560 120.424
4. 1999-2000 72.901 27.992 18.924 3.349 123.166
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Daerah Kabupaten Buleleng

Tingkat pendidikan masyarakat akan berimplikasi terhadap pemahaman politiknya. Semakin tinggi jenjang pendidikan yang berhasil diperoleh, maka akan semakin tinggi pula kualitas dari sumber daya manusia yang dimiliki. Dari tabel 02, perkembangan penduduk Buleleng menurut pendidikannya, maka dapat dilihat masyarakat Kabupaten Buleleng memiliki tingkat pendidikan yang masih tergolong rendah karena rata-rata masyarakat yang pernah mengenyam pendidikan hanya sekitar 20,8% dari total penduduk di Kabupaten Buleleng selama rentang waktu 1996-1999. Kualitas partisan politiknya pun (baik aktif maupun pasif) masih tergolong sangat rendah, yakni hanya 3,1% penduduk Buleleng yang menyelesaikan pendidikannya sampai jenjang SMA dan, sangat memprihatinkan, hanya 0,5% yang berhasil sampai tingkat Perguruan Tinggi dari total penduduk Buleleng pada tahun 1996-1999.

4.3 Megawati “Trah” Bumi Buleleng
Seiring dengan perkembangan sistem pemerintahan di Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, yang akrab dipanggil Bung Karno, Propinsi Sunda Kecil dikembangkan menjadi tiga propinsi, yakni Propinsi Bali, Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan pertimbangan memudahkan dalam pengontrolan dan pengembangan daerah secara administrasi. Sejak itu nama Bali terus membumbung ke permukaan, tidak hanya di kawasan nasional, tetapi juga di kawasan internasional. Hal ini berkaitan dengan eloknya ‘wajah’ Bali yang memiliki panorama yang sangat memukau, sehingga tidak mengherankan jika Pulau Bali memiliki sebutan khusus seperti “Island of Paradise”. Tidak hanya itu, kesenian dan kebudayaan yang lahir dari perpaduan antara upacara adat dan agama, yang sebagian besar masyarakat Bali beragama Hindu, ternyata mampu menghasilkan aura kedamaian serta keunikan yang luar biasa. Tidak mengherankan jika kemudian Bali mendapat gelar sebagai “Pulau Dewata”.
Di akhir pemerintahan Bung Karno pada tahun 1965, terjadi peristiwa yang dikenal dengan istilah Gerakan 30 September yang diduga dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (G-30 S/PKI). Peristiwa ini sebenarnya terjadi di Jakarta, namun berdampak mendalam di Bali. Pembantaian terhadap hampir 80.000 orang Bali, yang tidak tahu apa-apa terjadi, karena dituduh ikut terlibat atau sebagai anggota PKI. Sejak itulah, masyarakat Bali mengalami trauma politik yang mendalam. Mereka tidak mau tahu lagi urusan perkembangan politik di Indonesia, ditambah lagi dengan sistem pemerintahan otoriter yang dikembangkan Soeharto pada Orde Baru pasca-pemerintahan Bung Karno dengan Orde lamanya orang Bali seperti tidak banyak mengkritisi pemerintahan yang terjadi setelah Soekarno (Sumantri, Kompas, Jumat 15/6/2001).
Munculnya Partai Demokrasi Indonesia (PDI), khususnya setelah Megawati secara de facto mengumumkan dirinya sebagai Ketua Umum DPP PDI pada tanggal 6 Desember 1993 di depan Asrama Haji Sukolilo Surabaya, ternyata mampu membangkitkan lagi gairah masyarakat Bali untuk mulai terlibat secara aktif ataupun hanya sebagai partisan dalam bidang politik. Hal ini erat kaitannya dengan adanya trah (keturunan) keluarga Bung Karno, dengan darah Bali, khususnya Desa Bale Agung Buleleng. Karena Bung Karno lahir dari rahim seorang Ayu Rai dari Desa Bale Agung Buleleng yang bernama Nyoman Rai Srimben. Masyarakat Bali pun menganggap bahwa dengan ikut berperan di partai ini, berarti ikut berjuang dengan meningkatkan kedaulatan rakyat dan mengharumkan nama Bali, setelah lama ada di bawah kekuasaan otoritarian Soeharto.
Perjuangan dan pengabdian yang mereka berikan pada PDI tidak dapat dibandingkan dengan daerah lain di nusantara. Warga PDI Bali terkenal paling kreatif dan terkendali. Hal ini mungkin dikarenakan krama Bali selalu percaya dengan adanya phala yang dihasilkan dari karma kita sendiri. Salah satu contoh bahwa masyarakat Bali tidak melampiaskan kemarahan dengan jalan mengorbankan orang lain secara material adalah ketika kasus A.M. Saeffudin (menteri pertanian pada masa B.J. Habibie). Masyarakat Bali melakukan protes dengan melakukan atraksi seni (Bali Post, 23/10/1999).
Runtuhnya rezim Orde baru ternyata membuka peluang kemenangan bagi PDI yang saat itu telah berubah nama menjadi PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). Rupa-rupanya masyarakat melihat kharisma Bung Karno dalam diri Megawati Soekarno Putri. Partisan yang dulu takut untuk ikut bergabung mulai berani mendaftarkan dirinya secara terang-terangan, bahkan membuat Posko PDI-P dimana-mana. Namun ternyata, Pemerintahan yang telah berdiri kokoh selama 32 tahun masih tetap meninggalkan akarnya dengan kuat. Mereka akan membuat formasi baru untuk merebut kembali kekuasaan yang lepas.
Hal itu rupanya tidak dapat diantisipasi secara maksimal oleh PDI-P sendiri. Kemenangan yang didapatkannya dengan mudah pada pemilu tanggal 7 Juni 1999, melahirkan harapan besar bagi masyarakat Bali khususnya lagi Buleleng. Bahkan hampir seluruh lapisan masyarakat di Indonesia memprediksi Megawati akan menjadi presiden ke-4 Republik Indonesia. Namun dengan berbagai dalih dan intrik politik Megawati berusaha dijegal untuk menuju kursi presiden oleh para pesaingnya, terutama kekuatan yang masih mendukung pengusaha sebelumnya (Hamdi,2000:27). Satu lagi masalah runyam yang membuat perjalanan Megawati menuju kursi presiden menjadi tidak mulus. Paham paternalistik yang kuat di Indonesia selama ini tidak memperbolehkan sejarah mencatat kursi kepresiden di Indonesia diduduki oleh seorang wanita/ gender (Hamdi, 2000:1555).
Kekhawatiran pun mulai bermunculan, jika Megawati tidak bisa menjadi presiden, karena diperkirakan muncul kerusuhan. Kekhawatiran itu semakin diperparah ketika PDI-P empat kali kalah voting melawan Golkar Cs. yang berkoalisi dengan Poros Tengah pada Sidang Umum (SU) MPR. Hal ini juga menyebabkan koalisi terkuat PDI-P, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) lepas tangan dan malah mencalonkan wakilnya sendiri, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam pemilihan presiden saat itu. Hal ini ternyata cukup mengancam posisi PDI-P dalam pemilihan presiden. ”Kalau sidang umum ini tidak mencerminkan hasil pemilu dan segala hal yang telah dilakukan oleh rakyat sebagai wujud kedaulatan dan yang menggunakan haknya, sudah pasti akan terjadi hal-hal yang membawa distorsi” (Nusra, 5/10/1999). Ancaman itu terlontar dari tokoh Megawati, pada saat ia dikepung wartawan di gedung MPR. Hal ini mengindikasikan bahwa Megawati pun sudah merasa terancam dengan keadaan saat itu. Ketidakpastian itu pun akhirnya terjawab pada Sidang Umum MPR RI pada tanggal 20 Oktober 1999. Dari sinilah peristiwa yang meluluh-lantakkan bumi Panji Sakti ini terjadi.

4.4 Kronologi Peristiwa Buleleng Kelabu
4.4.1 Detik-Detik Yang Menentukan
Tiba saat yang menentukan segala ketidakpastian dan ketegangan yang selama ini terjadi. Rabu, 20 Oktober 1999 semua perwakilan yang telah dipilih rakyat dan diyakini akan menyampaikan segala aspirasinya mengenakan jas terbaik mereka dan sudah sibuk sejak pagi hari di ruang Sidang Gedung DPR-MPR Jakarta. Hari itu voting pemilihan pemimpin tertinggi Republik Indonesia dilaksanakan.
Jutaan pasang mata dan telinga di Indonesia ikut meyaksikan dan mendengarkan dengan seksama proses pemilihan tersebut, melalui berbagai media massa, terutama TV. Kecuali di Jakarta (di sekitar Gedung DPR-MPR dan Bundaran H.I.), jalan-jalan utama di kota-kota pripinsi dan kabupaten sudah terlihat lengang sejak kurang lebih pukul 14.00 Wita. Di Bali juga situasinya sangat tegang. Masyarakat lebih suka duduk di depan layar televisi, atau memasang telinga di depan radio daipada ke luar rumah. Semua terdiam, berdoa mengharap Megawati dapat menjadi Presiden RI. Bahkan di Puri Buleleng tampak terlihat diadakannya doa bersama untuk kemenangan Puteri yang diidolakan itu.
Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri ketua partai pemenang pemilu 1999, ternyata hanya mendapat 315 suara dalam pemilihan presiden. Sedangkan Abdurrahman Wahid yang basis dukungannya berasal dari partai kecil justru memperoleh 373 suara. Boom... Layaknya bom waktu yang telah ditahan sekian lama, akhirnya meledak juga. Dunia terkejut, ketika untuk pertama kalinya Bali yang terkenal aman dan masyarakatnya kelihatan ramah dan sopan, bisa marah luar biasa. Raja singa yang selama ini tertidur pun terbangun dan mengamuk maluluh-lantakkan dan membumi-hanguskan berbagai fasilitas umum di Buleleng.
4.4.2 Mega Kalah, Rakyat Menangis, Buleleng ’Panas’
Selang beberapa menit setelah voting pemilihan Presiden Republik Indonesia ke- 4 telah selesai disiarkan langsung dari Jakarta Pusat, masyarakat pendukung PDI-P pun mulai bereaksi dengan hasil yang mengecewakan tersebut. Tidak terkecuali pendukung yang berada di Bali, khususnya lagi Buleleng.
Amuk massa di Kabupaten Buleleng bermula dari massa PDI-P yang berada di Jalan A. Yani, di depan Fuji Film Singaraja. Aksi anarkhis yang dimulai dengan pembakaran poskonya sendiri, terjadi sekitar pukul 15.30 Wita. Massa yang datang dari segala arah itu selanjutnya membakar Pos Polisi yang ada di perempatan Jalan A.Yani dan Jalan Diponegoro, merusak Trafik Light, telepon umum, serta tong-tong sampah yang dilalui.
Sekitar pukul 18.30 Wita, massa yang berasal dari Jalan Pahlawan dan Jalan Veteran mulai berkumpul di sekitar Tugu Singa Ambararaja. Sedangkan massa yang terus bergerak dari Jl. A. Yani menuju Kantor Bupati, melewati Jl. Ngurah Rai sambil menebang pohon-pohon yang ada di pinggir jalan dan membakar ban-ban mobil di tengah jalan dengan tujuan menghambat laju pergerakan petugas keamanan.
Massa yang berkumpul di sekitar Tugu Singa semakin membludak sampai kurang lebih berjumlah 2500 orang pada pukul 19.15 Wita dan mulai melancarkan aksi pengerusakan terhadap bangunan dan fasilitas pemerintah. Dimulai dari pembakaran Kantor Bupati Buleleng, Rumah Jabatan Bupati Buleleng, Kantor Camat Buleleng, Sekretariat dan Gedung DPRD Buleleng serta Gedung Wanita Laksmi Graha. Empat belas kendaraan roda empat milik pemda pun tidak luput dari lahapan api. Untuk pertama kalinya Buleleng yang terkenal dengan panas temperatur udaranya benar-benar menjadi ’panas’ akibat kemarahan masyarakatnya. Kobaran api terjadi dimana-mana. Langit malam yang datang pun menjadi memerah seperti ikut terluka dan terbakar oleh panasnya api. Setelah merasa hari sudah cukup gelap untuk beratraksi lagi, pada pukul 22.00 Wita beberapa massa PDI-P yang terlihat lelah kembali ke tempatnya masing-masing. Namun terlihat tetap bergerombol di pinggir-pinggir jalan. Sedangkan massa yang masih memiliki tenaga ekstra tetap melakukan pengerusakan sampai pagi hari. (Lapsus Polres Buleleng, Lapsus KODIM 1609 Buleleng, dan Bali Post, Kamis 21/10/1999).
Aksi bakar-bakaran itu berlanjut lagi keesokan harinya pada tanggal 21 Oktober 1999. Sejak pagi hari jalan-jalan tertutup dan lalu lintas lumpuh total. Anak-anak tidak dapat pergi ke sekolah dan orang tua tidak bisa bekerja seperti biasanya. Mereka hanya berdiam diri di rumah sambil berdoa semua akan baik-baik saja.. Massa yang terhimpun dan berkumpul pada saat itu semakin bertambah hingga mencapai sekitar ribuan orang dan mulai bergerak dari Jl. Dr. Sutomo menuju Jl. Ngurah Rai pada pukul 08.00 Wita. Massa yang tidak terkontrol ini kembali melakukan pengerusakan, pembakaran dan penjarahan terhadap : Kantor DPC Partai Golkar, Kantor DPRD, Kantor Dispenda, Kantor Bappeda, Kantor Pembangunan Masyarakat Desa (PMD), dan Perpustakaan Daerah. Selanjutnya menuju Jl. Veteran dan melakukan hal yang sama terhadap Kantor Camat Buleleng dan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas II B Singaraja sehingga mengakibatkan kaburnya 134 orang narapidana (Lapsus Polres Buleleng, Lapsus KODIM 1609 Buleleng dan RRI Singaraja).
Dengan bergabungnya para narapidana dalam gerombolan massa tersebut, kondisi emosional massa jadi semakin tidak terkontrol. Mereka melanjutkan aksinya ke Jl. Udayana dengan beristirahat sambil meminum Coca cola hasil jarahan di Ngurah Rai. Di pertengahan Jl. Abimanyu dan Jl. Kartini, massa dari Jl. Sudirman dan Banyuasri ikut bergabung, sehingga volume massa kini kian bertambah besar. Di lokasi tersebut mereka menghancurkan Kantor Keuangan dan Kas Negara. Selanjutnya gerakan massa menuju Jl. Dewi Sartika selatan dan belok ke Jl. Kartini. Sepanjang jalan tersebut mereka melempari bangunan milik pemerintah dengan batu dan membakar habis sambil bersorak-sorak. Hancurnya Kantor Kejaksaan dan kantor Pengadilan Negeri oleh beberapa pihak dianalisis sebagai aksi ’balas dendam’ dari narapidana yang ikut dalam kerumunan tersebut. Di sinilah terlihat dengan jelas kecerdikan dari ’otak’ amuk massa tersebut dalam memanfaatkan emosi dari para narapidana, sehingga dengan mudah mereka dapat di arahkan.
Pada hari kedua ini, petugas keamanan yang dikerahkan berjumlah 780 orang dengan rincian : 650 POLRI dari POLRES Buleleng dan SPN Singaraja serta 130 TNI-AD dari KODIM 1609 dan Yonif 741 Sbw. ”Saat itu gerakan kami sangat terhambat dengan adanya pemblokiran jalan yang dilakukan massa dengan menggunakan titik-titik api serta batang-batang pohon” cerita Pande Putu Sugiarta, Kasat Reskrim Kabupaten Buleleng. Gerakan keamanan saat itu memang terkesan ’lamban’ dan kurang cekatan. ”Jangan tidur saja. Jangan biarkan aksi perusakan terus berlanjut” papar Dewa Rai Budiasa, tokoh Partai Golkar dari Bali (dalam Bali Post, Jumat 22/10/1999). Hal ini oleh sebagian kalangan masyarakat dianggap sebagai keberpihakan mereka terhadap gerakan tersebut. Namun tidak sedikit juga masyarakat yang menganalisis bahwa kelambanan aparat keamanan dalam menangani kasus tersebut lebih banyak oleh adanya pertimbangan jumlah personal yang ada. Amukan massa yang berlangsung panjang dan menakutkan itu akhirnya terhenti di Dinas Perkebunan Buleleng sekitar pukul 18.30 Wita, ketika mereka mendapat nformasi tentang kemenangan Megawati menjadi Wakil Presiden RI.
Keesokan harinya, tanggal 23 Oktober 1999 seluruh masyarakat melakukan pembersihan di jalan-jalan khusunya di depan rumah mereka. Batang-batang pohon serta puing-puing yang menghalangi jalan dibersihkan sehingga tidak menghambat pekerjaan Dinas Bina Cipta Karya (Dinas Kebersihan Kota). Masyarakat bekerja atas inisiatif sendiri. Kapolres Buleleng dan Yonif 741 Sbw ikut terlibat dalam pembersihan tersebut sambil memberikan himbauan kepada masyarakat untuk ikut serta secara sadar dalam memulihkan kondisi Buleleng yang telah porak-poranda. Gedung-gedung milik pemerintah yang hangus terbakar dilingkari dengan police line dan tim forensik melakukan penyelidikan ke seluruh bangunan tersebut. Tiga puluh empat narapidana yang kabur kemarin telah mendaftarkan diri untuk kembali. Keadaan pun berangsur-angsur pulih.
Terlihat Pasar Anyar di pusat kota sudah kembali melakukan aktivitasnya meskipun tidak seramai biasanya. Siswa-siswi pun kembali berseragam sekolah dan para orang tua pun kembali kekesibukan mereka. Mimpi buruk itu telah berakhir. Namun, mereka semua menyadari, akan ada ratusan mimpi buruk lagi yang harus dihadapi akibat ulah kebrutalan yang tidak bertanggung-jawab tersebut.

4.5 Akibat Mengamuknya Massa Banteng di Buleleng
Wajah Ibu Pertiwi Buleleng akhirya ’babak belur’ dan ’hangus’ akibat amuk massa tanggal 20-21 Oktober 1999 lalu. Mimpi buruk panjang akan segera dialami. Untuk mengobati dan merawat luka tersebut dibutuhkan biaya yang tidak sedikit dan memerlukan waktu yang relatif lama. Peristiwa itu membangkitkan lagi trauma politik yang dialami masyarakat 34 tahun silam. Semakin banyak masyarakat yang mendukung anggapan ”politik itu kejam”. Masyarakat kini mengalami kerugian tidak hanya dalam hal ekonomi tetapi juga dalam hal administrasi, pertahanan, serta citra yang dimiliki selama ini.
4.5.1 Kerugian dari Segi Material
Amuk massa yang terjadi di kabupaten Buleleng telah menghancurkan hampir semua fasilitas milik pemerintah. Dari perkantoran, rumah dinas, sampai fasilitas umum seperti trafic light, telepon umum, halte bis, serta box surat. Total kerugian Pemerintah Kabupaten Buleleng berdasarkan hasil inventarisir yang dilakukan kepolisian Resort Buleleng adalah sebesar Rp 59.033.185.000,00. Untuk lebih jelasnya lihat tabel: 03.
Tabel 03. Rincian Kerugian Akibat Amuk Massa Menurut Kepolisian Resort Buleleng.
No. Lembaga/Instansi Total karugian
1. Pemerintah Daerah Buleleng Rp 57.858.700.000,00
2. Swasta Rp 1.174.485.000,00
Total Kerugian Rp 59.033.185.000,00
Sumber : Laporan Khusus kapolisian Resort Buleleng (Terlampir)
Sementara hasil inventaris dari pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Buleleng setelah dibulatkan adalah sebesar Rp 62.285.813.000,00. Lihat tabel: 04.
Tabel 04. Rincian Kerugian Akibat Amuk Massa Menurut Pemerintah Daerah Kabupaten Buleleng
No. Lembaga/Instansi Jumlah Kerugian Persentase
1. Pemerintah Daerah Rp 28.666.102.911,00 46,0 %
2. Departemen Kehakiman Singaraja Rp 5.671.421.370,00 9,1 %
3. Berbagai Departemen Rp 26.244.219.916,00 42,1 %
4. Sarana Umum Rp 1.704.069.400,00 2,8 %
Total Kerugian Rp 62.285.813.597,00 100 %
Sumber : Dinas Bina Cipta Karya kabupaten Buleleng (Terlampir).
Selanjutnya, dapat dilihat kerugian yang dialami Pemerintah Daerah kabupaten Buleleng secara lebih rinci pada grafik 02 pada lampiran 01.
4.5.2 Kerugian dari Segi Historis
Dari sejumlah instansi yang hancur, kerugian terbesar yang tergambar dalam grafik adalah Kantor Bupati Buleleng. Kerugian itu bukan hanya dari segi material tapi juga dari segi historis, karena kantor tersebut dulunya adalah Kantor Gubernur Sunda Kecil. Sekarang Buleleng telah mengalami kemerosotan dalam bidang kekuasaannya dan ditambah lagi kenangan akan kekuasaan besar yang dimilikinya pun sekarang telah habis termakan kobaran api. Sepertinya Raja Singa benar-benar akan tertidur terus. Namun yang patut disyukuri adalah selamatnya Perpustakaan Gedong Kertya dari amuk massa karena di sana tersimpan kekayaan sejarah yang tak ternilai harganya.
4.5.3 Terhambatnya Sistem Pelayanan Masyarakat
Hangusnya bagunan-bangunan milik pemerintah seperti Kantor Bupati beserta jajaran PEMDA lainnya tentu akan menghambat pelayanan yang akan diterima masyarakat. Sebab arsip-arsip penting di dalamnya ikut terbakar ganasnya kobaran api. Contohnya Kantor Perbendaharaan Keuangan Negara (KPKN) tidak bisa melakukan pembayaran gaji PNS dengan cepat seperti biasanya sebab kantor dan peralatannya hancur total. Kantor Pos pun tidak bisa melakukan tugasnya dengan baik.
4.5.3 Terganggunya Sistem Pertahanan dan Keamanan
Seperti yang telah diceritakan sebelumnya, akibat amukan massa di Lembaga Pemasyarakatan II B Singaraja, 134 narapidana telah berhasil melarikan diri. Meskipun 34 diantaranya telah kembali, namun 100 orang lainnya masih berkeliaran di tengah masyarakat. Hal ini tentunya akan membuat keamanan masyarakat menjadi terganggu.
Instansi yang tidak begitu besar kerugiannya bila dilihat dalam grafik, namun memiliki fungsi vital karena terkait dengan inventaris harta kekayaan masyarakat adalah Badan Pertanahan Negara dan kantor Samsat. Sekian banyak akte (sertifikat/sipil) tanah masyarakat Buleleng hangus terbakar dan hal ini secara tidak langsung membuka peluang untuk terjadinya pertikaian keluarga terkait masalah harta waris berupa tanah (pengakuan hak atas tanah). Demikian juga terhadap surat-surat kendaraan masyarakat Buleleng yang hangus tanpa sisa. Kondisi ini memberikan peluang untuk masuknya motor atau mobil curian dari daerah lain. Selain itu kerusakan rambu-rambu lalu lintas menyebabkan rawannya kecelakaan di jalan-jalan utama kota Singaraja.
4.5.4 Kerugian dari Segi Pendidikan
Satu lagi instansi yang tidak begitu diperhatikan kerusakannya tapi memiliki fungsi vital dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia adalah Perpustakaan Daerah Bali Cabang Bueleng. Ribuan buku yang telah diinventaris dari beberapa tahun lalu serta fasilitas pendukung lainnya hilang dan terbakar. Namun beberapa anggota masyarakat serta siswa yang tinggal di sekitar perpustakaan yang peduli dan sadar akan arti pentingnya perpustakaan datang mengembalikan buku-buku perpustakaan yang sempat mereka selamatkan.
4.5.5 Kerugian dalam Sektor Ekonomi
Penjarahan berton-ton beras di Gudang DOLOG Tangguwisia Seririt menyebabkan kerugian lebih dari 6,5 milyar rupiah. Hal ini tentunya menyebabkan kerugian ekonomi masyarakat Buleleng. Belum lagi karena terganggunya lalu lintas selama amukan massa itu menyebabkan terganggunya distribusi barang dari dan ke luar Bali.
4.5.6 Kerugian dalam Sektor Pariwisata
Kerugian paling parah namun abstrak adalah rusaknya citra Bali, khususnya Buleleng di mata wisatawan baik domestik maupun internasional. Seperti yang telah diketahui, sektor pariwisata adalah penyumbang devisa terbesar bagi negara Indonesia, dan itu sebagian besar mengalir dari Pulau Surga ini. Namun setelah terjadinya peristiwa mengerikan itu, citra Bali yang aman dan bersahaja menjadi tercoreng.


BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan
Tindakan anakhis yang dilakukan oleh salah satu kelompok massa di kabupaten Buleleng pada tahun 1999 disebabkan karena kekalahan yang dialami oleh calon Presiden Megawati dalam pemilihan presiden pada tahun 1999. Kekalahan tersebut menyulut kemarahan kelompok massa pendukung PDI-P di Buleleng karena Megawati memiliki darah keturunan orang Bali, sehingga mereka melakukan aksi pembakaran dan pengerusakan fasilitas pemerintah untuk mengekspresikan kekecewaan mereka.
Peristiwa amuk massa itu terjadi pada tanggal 20-21 Oktober 1999. Aksi bakar-bakaran dimulai dari pembakaran posko-posko mereka sendiri sampai pada pengerusakan dan pembakaran fasilitas milik pemerintah. Amukan massa yang berlangsung panjang dan menakutkan itu akhirnya terhenti di Dinas Perkebunan Buleleng sekitar pukul 18.30 Wita, ketika mereka mendapat informasi tentang kemenangan Megawati menjadi Wakil Presiden RI. Keesokan harinya, tanggal 23 Oktober 1999 seluruh masyarakat atas inisiatif sendiri, melakukan pembersihan di jalan-jalan khususnya di depan rumah mereka.
Aksi yang terjadi selama 2 hari tersebut menimbulkan kerugian yang tidak sedikit, baik dari segi materiil maupun non materiil. Dampak – dampak yang ditimbulkan antara lain, kerugian secara material dimana total kerugian Masyarakat Kabupaten Buleleng berdasarkan hasil inventarisir yang dilakukan kepolisian Resort Buleleng adalah sebesar Rp 59.033.185.000,00. Kerugian dari segi historis, terhambatnya sistem pelayanan masyarakat dan terganggunya sistem pertahanan dan keamanan. Kerugian juga dirasakan dari segi pendidikan, perekonomian, serta yang terburuk pada pariwisata Bali yang merupakan sektor terbesar penyumbang devisa bagi Indonesia.
Peristiwa amuk massa yang terjadi di Buleleng tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Buleleng belum mampu mengerti tentang hakikat demokrasi dan reformasi yang menyebabkan euforia kebebasan di seluruh pelosok nusantara. Kurangnya pemahaman yang benar tentang demokrasi ditambah dengan tingkat loyalitas yang sangat tinggi, mengakibatkan massa melakukan aksi anarkhis dengan berlindung di balik reformasi untuk melampiaskan kekecewaannya. Untuk itu diperlukan suatu pemberian pemahaman tentang pentingnya tanggung jawab dalam pelaksanaan reformasi dan demokrasi sehingga kejadian ”Buleleng Kelabu” tidak akan terulang untuk kedua kalinya atau terjadi di daerah lain di Indonesia.

5.2 Saran - Saran
1. Kepada elite partai politik di Buleleng agar memberikan pemahaman tentang pentingnya tanggung jawab dalam pelaksanaan demokrasi kepada masing – masing massa pendukungnya.
2. Kepada aparat penegak hukum agar senantiasa memantau perkembangan yang terjadi di masyarakat dan segera melakukan tindakan sehingga tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar.
3. Kepada pemerintah dan anggota legislatif agar senantiasa mendengarkan aspirasi masyarakat sehingga kemungkinan munculnya kekecewaan di masyarakat dapat ditekan seminimal mungkin.
4. Kepada peneliti lainnya yang tertarik agar memperluas daerah penelitian dan memperdalam pembahasan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1999. ” Ribuan Massa PDI-P Bakar Posko”. Dalam Bali Post. 21 Oktober 1999. Denpasar
Anonim. 1999. ”Ada Skenario Besar di Balik Amuk Massa”. Dalam Bali Post. 23 Oktober 1999. Denpasar
Anonim. 1999. ”Amuk Massa di Buleleng. Kantor Bupati, Rumah Jabatan dan 14 Mobil Dibakar”. Dalam Bali Post. 21 Oktober 1999. Denpasar.
Anonim. 1999. ”Aparat Lamban Tangani Amuk Massa di Bali”. Dalam Bali Post. 22 Oktober 1999. Denpasar
Anonim. 1999. ”Bali Lumpuh Total”. Dalam Bali Post. 22 Oktober 1999. Denpasar
Anonim. 1999. ”Calon Presiden Dari Kamar Bertarif Rp 3500”. Dalam Nusa Tenggara. 10 Oktober 1998. Denpasar
Anonim. 1999. ”Empat Kali Kalah Voting. Mega Terancam”. Dalam Nusa Tenggara. 4 Oktober 1999. Denpasar
Anonim. 1999. ”Mega Kalah, Rakyat Bali Kecewa”. Dalam Bali Post. 21 Oktober 1999. Denpasar
Anonim. 1999. ”Normal, Aktivitas di Singaraja”. Dalam Bali Post. 22 Oktober 1999. Denpasar
Apter, David. E. 1977. Pengantar Analisa Politik. Terjemahan Tim Yasoga (Nazaruddin Sjamsudin, Pengantar), Introduction to Political Analysis. Jakarta : Rineka Cipta
Atmadja, Nengah Bawa. 2001. Ketidak Seimbangan Nilai dan Sikap Budaya Pradana dan Purusha: Sumber Kekerasan dan Solusinya (Orasi Ilmiah). IKIP Negeri Singaraja
DEPDIKBUD. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Enoch Markum, M. 2001. ”Problem Kekerasan Kolektif di Indonesia”, dalam Sumarjan, Selo, Edt. Menuju Indonesia Baru. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Mahardika, Timur. 2000. Gerakan Massa Mengutamakan Demokrasi dan Keadilan Secara Damai. Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama.
Partanto, A. Pius dan Al Barry, Dahlan M. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya : Arkola.
Sorensen, George. 2003. Demokrasi Dan Demokratisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sucipta, I Made. 2005. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk SMA/MA Kelas X Semester 2. Jakarta : Fajar Jakarta

Tidak ada komentar: