Label

Adi Sanjaya

Adi Sanjaya

Senin, 21 Juni 2010

KASUS SUSNO DUADJI DIANALISIS DARI PERSPEKTIF RULE OF LAW DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat). Sebagai sebuah prinsip itu telah menjadi pengetahuan bersama di dalam ketatanegaraan kita.
Perdebatan tentang negara hukum memang mewarnai pembahasan di dalam rumusan UUD 1945. Konsepsi negara hukum apakah harus berangkat dari konsepsi hukum yang berasal dari Eropa Kontinental yang menganut ajaran positivisme (rechtstaat) berhadapan dengan konsepsi hukum anglo saxon (rule of law) (baca: hukum kebiasaan/yurisprudensi) mewarnai perdebatan menjelang proklamasi.
Didalam berbagai teori, rumusan negara hukum haruslah dilihat bagaimana seluruh aparatur penegak hukum, pemerintahan dilihat kewenangan dan kekuasaannya dibatasi oleh hukum. Maka kita mengenal Pengadilan Tata usaha negara untuk mengadili kewenangan pejabat yang mengeluarkan kewenangan putusan di lapangan administrasi negara, Pengadilan Perdata untuk menilai perbuatan negara didalam lapangan perbuatan melawan hukum dan berbagai kewenangan yang harus dinilai hukum, serta lembaga hukum lain yang sudah selama ini sudah diakui akuntabilitasnya oleh masyarakat.
Namun, tersedianya lembaga (institution) tidak sama artinya dengan proses pelembagaan (institutionalization). Pada 2009, misalnya, proses-proses hukum berjalan dalam pengertiannya yang paling legalistik. Ironisnya, hukum yang sangat legalistik seolah hanya berlaku bagi warga biasa. Tengok kasus Prita Mulyasari dan seorang nenek pencuri cokelat di Jawa Tengah yang diganjar hukuman oleh pengadilan. Sementara, kasus-kasus yang melibatkan kaum elit diselesaikan di luar pengadilan. Kita lihat ketidakmampuan hukum untuk mengganjar elit semacam Susno Duadji yang dengan terang-terangan menunjukkan arogansi kekuasaan. Presiden SBY harus berhitung keras menghadapi kasus ini sebelum akhirnya menyerah dan memilih penyelesaian di luar pengadilan. Rule of law dan equality before the law, kesetaraan di depan hukum, yang merupakan salah satu asas terpenting demokrasi, lenyap dalam kasus-kasus tersebut.
Rembetan kasus panas yang menyeret oknum-oknum lembaga penegak hukum (Polri) yang diungkapkan oleh Susno Duadji menjadi disebut sebagai awal dari reformasi hukum di Indonesia. Kita tidak bisa melihat kasus markus pajak senilai Rp 25 Milar yang menjerat beberapa oknum dari beberapa instansi negara ini hanya secara sebagian saja, namun secara holistik. Jika kita melihat rumitnya kasus-kasus tersebut, maka proses hukumlah yang akan menangani sesuai dengan prosedur yang ada. Namun secara lebih makro, dari adanya kasus yang diungkapkan Susno tersebut kita juga perlu melihat kondisi penegakan supremasi hukum (rule of law) di Indonesia, yang (jika itu benar) justru dilakukan oleh lembaga penegakan hukum sendiri.
Oleh karena itu perlu adanya suatu pembahasan bagaimana perspektif penegakan supremasi hukum (rule of law) Indonesia, khususnya dalam melihat kasus yang dilontarkan dan sekaligus menjerat mantan Kabareskrim Polri, Komjen (Pol) Susno Duadji. Hal tersebut perlu karena reformasi hukum Polri dan instansi lainnya sudah semakin mengalami degradasi moral.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut.
a) Bagaimana definisi konsep rule of law di Indonesia?
b) Bagaimana situasi hukum kasus yang menjerat Komjen. Pol. Susno Duadji?
c) Bagaimana implikasi situasi hukum Susno Duadji terhadap penegakan rule of law di Indonesia?
1.3 Tujuan
a) Untuk mengetahui definisi konsep rule of law di Indonesia.
b) Untuk mengetahui situasi hukum kasus yang menjerat Komjen. Pol. Susno Duadji.
c) Untuk mengetahui implikasi situasi hukum Susno Duadji terhadap penegakan rule of law di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Konsep Rule of law di Indonesia
Friedman (1959) membedakan rule of law menjadi dua yaitu:
Pertama, pengertian secara formal (in the formal sence) diartikan sebagai kekuasaan umum yang terorganisasi (organized public power), misalnya negara. Kedua, secara hakiki/materiil (ideological sense), lebih menekankan pada cara penegakannya karena menyangkut ukuran hukum yang baik dan buruk (just and unjust law). Rule of law terkait erat dengan keadilan sehingga harus menjamin keadilan yang dirasakan oleh masyarakat. Rule of law merupakan suatu legalisme sehingga mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui pembuatan sistem peraturan dan prosedur yang objektif, tidak memihak, tidak personal dan otonom.
Rule of law adalah doktrin hukum yang muncul pada abad ke 19, seiring degan negara konstitusi dan demokrasi. Rule of law adalah konsep tentang common law yaitu seluruh aspek negara menjunjung tinggi supremasi hukum yang dibangun diatas prinsip keadilan dan egalitarian. Rule of law adalah rule by the law bukan rule by the man.
Rule of law terdiri dari beberapa unsur pokok yang menjadi dasar. Unsur-unsur rule of law menurut A.V. Dicey terdiri dari:
 Supremasi aturan-aturan hukum.
 Kedudukan yang sama didalam menghadapi hukum.
 Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang serta keputusan-keputusan pengadilan.
Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokrasi menurut rule of law adalah:
 Adanya perlindungan konstitusional.
 Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
 Pemilihan umum yang bebas.
 Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
 Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi.
 Pendidikan kewarganegaraan.

Ada tidaknya rule of law pada suatu negara ditentukan oleh “kenyataan”, apakah rakyat menikmati keadilan, dalam arti perlakuan adil, baik sesame warga Negara maupun pemerintah.
Agar pelaksanaan rule of law bias berjalan dengan yang diharapkan, maka:
a) Keberhasilan “the enforcement of the rules of law” harus didasarkan pada corak masyarakat hukum yang bersangkutan dan kepribadian masing-masing setiap bangsa.
b) Rule of law yang merupakan intitusi sosial harus didasarkan pada budaya yang tumbuh dan berkembang pada bangsa.
c) Rule of law sebagai suatu legalisme yang memuat wawasan social, gagasan tentang hubungan antar manusia, masyarakat dan negara, harus ditegakan secara adil juga memihak pada keadilan.
Untuk mewujudkannya perlu hukum progresif (Setjipto Raharjo: 2004), yang memihak hanya pada keadilan itu sendiri, bukan sebagai alat politik atau keperluan lain. Asumsi dasar hokum progresif bahwa ”hukum adalah untuk manusia”, bukan sebaliknya. Hukum progresif memuat kandungan moral yang kuat.
Arah dan watak hukum yang dibangun harus dalam hubungan yang sinergis dengan kekayaan yang dimiliki bangsa yang bersangkutan atau “back to law and order”, kembali pada hukum dan ketaatan hukum negara yang bersangkutan itu.
Adapun negara yang merupakan negara hukum memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a) Ada pengakuan dan perlindungan hak asasi.
b) Ada peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak terpengaruh oleh kekuasaan atau kekuatan apapun.
c) Legalitas terwujud dalam segala bentuk.
Contoh: Indonesia adalah salah satu Negara terkorup di dunia (Masyarakat Transparansi Internasional: 2005).



2.2 Situasi Hukum Kasus yang Menjerat Komjen. (Pol) Susno Duadji
a. Pernyataan Kontroversial Susno Duadji
Susno Duadji yang merupakan mantan Kabareskrim Mabes Polri saat ini menjadi pusat perbincangan karena pernyataan-pernyataan kontroversialnya, yang menurut masyarakat umum merupakan salah satu bentuk reformasi hukum di negara kita. Berikut kontroversi Susno yang diuraikan secara kronologis.
 Juli 2009: Menyebut analogi cicak dan buaya untuk lembaga Polri dan KPK
 10 Juli 2009: Bertemu dengan Anggoro Widjojo, buron KPK, di Singapura
 9 September 2009: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan berniat mengkaji ulang atas dugaan keterlibatan Susno Duadji dalam kaitanya dengan kasus Bank Century saat itu.
 5 Oktober 2009: Dimintai keterangan oleh Itwasum Polri terkait laporan dugaan penyalahgunaan wewenang
 29 Oktober 2009: Bareskrim Mabes Polri menahan Bibid Samad Rianto dan Chandra M hamzah.
 3 November 2009: Nama Susno Duadji disebut-sebut dalam rekaman KPK yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi yang saat itu diduga Anggodo merupakan dalang dari semuanya.
 4 November 2009: Saat terbentuk Tim 8 yang dipimpin oleh Adnan Buyung Nasution meminta supaya Kapolri menonaktifkan Susno Duadji.
 5 November 2009: Ternyata tanpa diduga-duga dengan sendirinya, Susno Duadji menyatakan mengundurkan diri dari Jabatan sebagai Kabareskrim Mabes Polri.
 6 November 2009: Di depan Komisi III DPR, Susno menegaskan tidak menerima uang Rp 10 Miliar dalam kasus bank Century
 24 November 2009: Setelah mengundurkan diri tersebut, ternyata oleh Polri, Susno Duadji di copot dari Jabatanya sebagai Kabareskrim.
 30 November 2009: Jabatan Kabareskrim yang sebelumnya dipegang Susno Duadji diserahkan kepada Irjen Ito Sumardi
 6 Januari 2010: Menjadi saksi dalam sidang perkara Antasari Azhar dengan berpakaian dinas kepolisian, padahal belum ada surat tugas dari Kapolri. Hal ini dikatakan sebagai pelanggaran kode etik Polri.
 11 Januari 2010: Menerima ancaman pembunuhan melalui pesan singkat. Susno memilih tinggal di rumah.
 20 Januari 2010: Memberikan kesaksian di Pansus Angket Bank Century.
 12 Maret 2010: Mengungkap dugaan makelar kasus di tubuh Polri. Sejumlah jenderal dituding terlibat dalam perkara pajak senilia Rp 25 Miliar.
 22 Maret 2010: Diperiksa Propam Mabes Polri.
 23Maret 2010: Ditetapkan sebagai tersangka pelanggaran disiplin dan pencemaran nama baik.
Dari beberapa pernyataan kontroversial Susno Duadji tersebut hingga yang belakangan beliau mengungkap Kasus Korupsi pajak yang diduga melibatkan Gayus Tambunan dan beberapa perwira di Mabes Polri, membuat nama beliau semakin tenar di publik. Para jenderal yang disebutkan namanya membantah tudingan tersebut dan melaporkan Susno Duadji melakukan fitnah dan pencemaran nama baik. Pengungkapan Jenderal Susno Duadji tentang praktek makelar kasus di Mabes Polri dianggap mencemarkan nama institusi. Esensi permasalahannya sendiri, yaitu ada atau tidak praktek makelar kasus dan mafia hukum, yang dianggap oleh publik lebih penting dan harus segera dituntaskan, tampaknya akan terbentur-bentur.

b. Susno Diadji dan Makelar Kasus di Kepolisian
Tidak ada yang menduga, tudingan yang dilancarkan mantan Kabareskrim Mabes Polri Komjen (Pol) Susno Duadji dalam konferensi pers di sebuah Rumah Makan Padang di Jalan Veteran, Jakarta Pusat, 18 Maret 2010, berhasil mengguncangkan sendi-sendi hukum di Indonesia.
Seperti disiarkan oleh beberapa media massa, sebenarnya waktu itu Susno Duadji tidak bersedia menunjuk hidung langsung siapa pejabat Mabes Polri yang terlibat markus pajak Rp 25 miliar dengan aktor Gayus Tambunan, PNS golongan III A Ditjen Pajak. Namun, karena desakan para wartawan, akhirnya Susno Duadji menunjuk langsung meski dengan nama inisial, yakni lima perwira yang terdiri dari 2 brigjen, 1 kombes, 1 AKBP, dan 1 kompol. Untuk kedua brigjen dengan inisial RE dan EI, jelas keduanya adalah Brigjen (Pol) Raja Erizman, Direktur II Eksus Bareskrim Mabes Polri, dan Brigjen (Pol) Edmond Ilyas, Kapolda Lampung. Sekarang Edmond Ilyas sudah dicopot, sedangkan Raja Erizman sedang menunggu giliran.
Namun, kejanggalannya, sebelum keduanya diperiksa oleh tim khusus yang dipimpin Irjen (Pol) Matius Salempang (Kapolda Kaltim), justru Susno yang melaporkan kasus korupsi dan terbukti sekarang benar sudah ditetapkan terlebih dahulu sebagai tersangka dengan dugaan pencemaran nama baik dan pelanggaran kode etik oleh Divisi Propam Mabes Polri. Dengan ditetapkan sebagai tersangka, Susno selain terancam ditangkap sewaktu-waktu juga diwajibkan setiap hari melapor ke Mabes Polri.
Antara Intelijen dan Propam Mabes Polri pun terjadi perbedaan pendapat dalam memeriksa Susno. Intelijen di bawah Irjen (Pol) Saleh Saaf menyatakan tidak ada masalah, sedangkan Propam menganggap terjadi pelanggaran kode etik dan pencemaran nama baik. Memang kode etik Polri menyebutkan, setiap anggota Polri dilarang mengungkapkan kejelekan yang terjadi di tubuh Polri. Dengan kata lain, setiap anggota Polri haram hukumnya mengungkapkan di depan publik segala keburukan yang terjadi di tubuh korps baju cokelat tersebut.
Peraturan inilah yang sesungguhnya menghambat reformasi di tubuh Polri dan membuat makin suburnya markus (makelar kasus) dan mantan (makelar jabatan) berkeliaran di Trunojoyo, sebutan untuk Mabes Polri.
Namun, itulah mantan Kabareskrim Polri, Komjen (Pol) Susno Duadji yang membuka aib institusinya sendiri dengan mengungkap adanya jenderal yang berrperan sebagai makelar kasus (markus) di Institusi Polri. Kepada wartawan Susno menduga uang itu telah dibagi-bagikan kepada beberapa penyidik dan beberapa jenderal di Polri.
Sontak tudingan Susno di atas membuat Brigjen Radja Erizman dan Brigjen Edmon Ilyas, dua jenderal yang dituduh sebagai jenderal markus, membantah keras tudingan tersebut. Keduanya menuding balik Susno dengan mengatakan bahwa mereka juga memiliki bukti keterlibatan Susno dengan mafia kasus saat masih menjabat sebagai Kabareskrim. Tidak hanya itu keduanya bahkan melaporkan mantan Kapolda Jabar ini Ke Bareskrim Polri dengan tuduhan mencemarkan nama baik.
Ulah Susno ini membuat gerah Mabes Polri, yang segera menggelar jumpa pers dan lagi-lagi membantah tudingan Susno soal ada markus dalam penangangan kasus korupsi Pajak Rp. 25 Miliar.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal Edward Aritonang menegaskan kepada wartawan tidak ada kantor makelar kasus di antara ruang Kapolri dan Wakapolri. Edward juga menambahkan hingga saat ini tidak ada penyimpangan dalam penangan kasus di Mabes Polri.
Senin 22 Maret 2010, Propam akan memanggil mantan Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ini untuk diperiksa. Polemik terbuka antara Susno dengan jenderal Polri lainnya ini, secara langsung atau tidak langsung memberikan informasi lebih dalam mengenai borok ditubuh Polri.
Bantah-membantah dan persaingan tidak sehat di antara para jenderal Polri sepertinya tidak lagi dapat dikontrol oleh Kapolri, sebagai pimpinan tertinggi Polri. Publik melihat ada kesan mengaburkan persoalan utama, yakni dugaan makelar kasus (markus) di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, (Mabes Polri). Perseteruan Susno Duaji, Mabes Polri dan dua perwira tinggi secara kasat mata menggambarkan ada masalah di tubuh Polri.
Kepala PPATK Yunus Husein mengakui telah memberikan laporan keuangan senilai Rp 25 miliar kepada bekas Kabareskrim Komisaris Jenderal Susno Duadji. Penelusuran dana senilai Rp 25 miliar oleh PPATK berdasar petunjuk jaksa pada November lalu. Namun Yunus tidak mengetahui ada tidaknya keterlibatan mafia dalam aliran dana itu. Dengan alasan PPATK tidak bisa menentukan apakah aliran dana itu merupakan korupsi, pencucian uang, atau suap, karena hal itu adalah kewenangan penyidik.
Tudingan yang disampaikan, mantan Wakil Kepala PPATK bidang hukum dan kepatuhan ini tentunya bukan main-main. Sekretaris Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum Denny Indrayana mengakui laporan Susno kepada pihaknya disertai sejumlah dokumen.
Usai memanggil dan mendengarkan laporan Susno Duadji, Satgas langsung meminta penegak hukum menindaklanjuti laporan ini. Satgas Pemberantasan Mafia Hukum juga akan mendalami laporan ini, dengan menemui Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri, dan meminta KPK mengusut kasus ini.
“Bola panas” kini di berada tangan Satgas dan KPK, apakah berani membuktikan adanya makelar kasus (markus) di korps kepolisian? Publik tidak berharap kasus ini diselesaikan oleh internal Polri lewat institusi Propam. Tekad pemerintah untuk memberantas mafia hukum seperti tekad Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendapat ujian dari institusi penegak hukum sendiri.

2.3 Implikasi Situasi Hukum Susno Duadji Terhadap Penegakan Rule of law di Indonesia
Penetapan status tersangka terhadap Komjen (Pol) Susno Duadji oleh Mabes Polri dinilai keliru oleh ahli hukum. Polri tergesa - gesa dan ceroboh. Tuduhan yang dilontarkan Susno harus terlebih dahulu dibuktikan ketidakbenarannya, baru setelah itu Susno dapat dikenakan pasal pencemaran nama baik. Hal ini harus sesuai dengan pola sistem demokrasi yang kita anut. Dalam sebuah negara demokrasi, setiap orang bebas mengeluarkan pendapatanya yang diikat dalam sebuah aturan hukum. Pasal 28 UUD 1945 menyebutkan, “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Artinya bahwa setiap individu memiliki jaminan kebebasan untuk mengeluarkan pendapatnya, idenya, sepanjang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang ada. Kemudian dalam amandemen yang ke-II terhadap UUD 1945 pasal 28 F disebutkan juga bahwa, Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Indonesia sebagai salah satu pilar demokrasi di dunia ini sepatutnya harus menjunjung tinggi demokrasi tersebut. Dan Polri sebagai institusi penegak hukum seyogianya lebih menjunjung tinggi hukum dan bukan kekuasaan karena Indonesia adalah negara hukum (rechstaat).
Pernyataan-pernyataan Susno Duadji itu dapat dilihat dari berbagai perspektif. Pada perspektif proses konsolidasi demokratik, dinamika yang meliputi proses reformulasi dan restrukturisasi atas posisi orang, peran, cakupan fungsi, tugas, dan wewenang menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Dalam konteks penegakan hukum, proses yang dimaksud dapat terjadi di antara dan bahkan di dalam lembaga penegakan hukum itu sendiri. Itu sebabnya, rivalitas dan dinamika yang intensif di antara lembaga kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi sesuatu yang lumrah dan lazim.
Pernyataan Susno, yang menuding kolega dan sebagian pimpinan Polri justru menjadi pelaku kriminal, tidak dapat dilihat semata-mata dengan mempersoalkan siapa yang membongkar kasus tersebut sembari melacak motif di balik tindakannya tersebut. Dalam sejarah politik penegakan hukum di Indonesia, inilah pertama kalinya jenderal bintang tiga membuka "aib" institusinya sendiri. Perihal kebenaran atau ketidakbenaran pernyataannya adalah ketentuan berikutnya yang akan diselidiki oleh tim penyelidik. Sepatutnya kita mengapresiasi upaya yang telah dilakukan oleh Susno, sebagai langkah awal reformasi institusi dan hukum Indonesia.
Tentu saja, semua pihak yang berani membuat pernyataan seyogianya mempunyai data dan bukti yang material dan relevan dengan validitas yang tidak diragukan serta siap mengambil risiko terburuk bila tak dapat meyakinkan publik dan membuktikan sinyalemen-nya. Di sisi lain, siapa pun pihak yang dituding pasti akan marah, melakukan tindakan pembelaan, dan bahkan sebagiannya "meradang" karena merasa terluka serta teraniaya. Indikasi kejahatan seperti yang telah diungkapkan di atas yang belum sepenuhnya benar mempunyai peluang untuk dimanfaatkan bagi kepentingan kemaslahatan yang lebih substantif.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengungkapkan kebenaran dan ketidakbenaran pernyataan-pernytaan Susno Duadji tersebut:
Pertama, tuduhan adanya "mafioso" harus dikonfirmasi dan diklarifikasi agar dapat sungguh diketahui kebenaran atau ketidakbenarannya. Tidak seluruh aparat kepolisian demikian, tapi juga jangan melindungi siapa pun aparat yang telah nyata dan tegas bersalah melakukan kejahatan. Kedua, pada aspek yang lebih strategis, kajian perlu dilakukan untuk memetakan modus operandi kejahatan, sehingga kelak dapat dirumuskan metode preventif dan pola penanggulangannya secara lebih sistematis. Kepala Polri harus menjamin bahwa usul kebijakan di atas akan digunakan untuk meminimalkan setiap tindakan penyalahgunaan kewenangan yang sangat merugikan citra dan kehormatan lembaga kepolisian.
Ketiga, tuduhan mengindikasikan adanya suatu fakta dan potensi penyalahgunaan kewenangan yang tidak hanya terjadi di lembaga kepolisian, tapi juga di instansi kejaksaan serta perpajakan. Kolusi di antara aparat kepolisian dan kejaksaan sangat merusak sistem penegakan hukum dan kriminalitas di sektor pajak menjadi sangat mengkhawatirkan, karena pajak penyumbang terbesar APBN dan hingga kini hampir tidak pemah diketahui publik adanya kasus korupsi di perpajakan yang melibatkan petugas pajak. Keempat, penyelidikan yang obyektif untuk mengkaji masalah secara komprehensif menjadi keniscayaan. Lembaga kepolisian harus bijak untuk mengikhlaskan lembaga lainnya melakukan penyelidikan atas tuduhan yang dilontarkan aparatnya sendiri, dan tidak mungkin hanya KPK sendiri yang melakukan tindak penyelidikan atas tuduhan dimaksud, karena sebagian penyelidik dari KPK juga berasal dari instansi kepolisian. Untuk itu, tim penyelidik diusulkan harus terdiri atas unsur KPK, public prominent persons, serta praktisi dan akademisi yang memiliki kompetensi serta integritas yang tidak diragukan publik.
Kelima, tim penyelidik seyogianya diberi keleluasaan untuk juga melakukan konfirmasi atas berbagai sinyalemen lain yang sudah menjadi rahasia umum, seperti melakukan tindak kriminalisasi atas kepentingan pihak lainnya di sektor sumber daya alam, khususnya di kasus illegal logging dan penambangan batu bara dan mineral lainnya, serta pertarungan bisnis antarpengusaha yang acap kali disinyalir menggunakan tangan kepolisian.
Pengamat politik Yudi Latif menegaskan informasi dari Susno Duadji menjadi momentum penting untuk mereformasi lembaga Polri. Jika tidak ada tindak lanjut justru akan mendelegitimasi institusi polri. Harus direspon secara positif. Kalau terus berlangsung maka akan terjadi delegitimasi terhadap institusi polri. Tapi kalau Susno ditindak polisi, maka akan membuka aib polisi sendiri.
Kita tidak dapat menuduh Susno sebagai “duri dalam daging” atau “pengkhianat institusi Polri” atau sebagai “problem maker.” Sebaliknya, kita juga tidak dapat mengatakan bahwa Susno adalah “pahlawan” yang membongkar aib di dalam institusi Polri. Kita berharap hukum positif dapat benar-benar diterapkan di negeri ini tanpa pandang bulu bahwa yang terkena kasus itu adalah aparat penegak hukum berpangkat perwira tinggi Polri. Kita harus memegang teguh asas praduga tak bersalah, baik terhadap Susno Duadji dan orang-orang yang dituduhnya sampai kasus-kasus tersebut diselesaikan melalui pengadilan yang terbuka dan adil.
Dari perspektif penegakan rule of law di Indonesia, kasus yang menjerat Susno Duadji sebenarnya menjadi suatu evaluasi, karena selama ini hukum yang secara legal formal ditegakkan oleh institusi hukum seperti Kepolisian, Jaksa, KPK, dan lainnya sudah menjadi rahasia umum memiliki kebobrokan kinerja, walaupun tidak semuanya seperti itu. Pernyataan-pernyataan kontroversial Susno Duadji memberikan kesan kepada masyarakat luas bahwa adanya rahasia-rahasia di tubuh penegak hukum tersebut yang tidak boleh diungkapkan ke publik karena merupakan suatu “aib”. Kemudian pimpinan lembaga dan oknum-oknum yang dituduh seperti seolah-olah “menyerang” balik Susno. Sangat terlihat di sini adanya suatu usaha untuk mengkerdilakan adanya kebebasan mengemukakan pendapat/pernyataan.
Dalam lakon penggelapan pajak oleh Gayus, kita mendapat gambaran sangat utuh tentang bagaimana oknum birokrat dan para penegak hukum melakukan kejahatan terhadap negara dan rakyat. Gayus mencuri uang pajak, polisi merekayasa berkas acara pemeriksaan (BAP), jaksa membuat dakwaan yang meringankan dan pengadilan pun membebaskan Gayus. Kalau tak diungkap Susno Duadji, uang negara dari pajak akan hilang dan pencurinya hidup mewah.
Kini, terbukti bahwa agenda dan program penegakan hukum belum mencatat kemajuan apa-apa. Dengan terkuaknya praktik makelar kasus (markus) dan mafia pencuri pajak, kita diberi gambaran tentang betapa dahsyatnya penegakan hukum kita memang masih di posisi minus. Karena itu, tak layak bagi siapa pun untuk mengklaim kejahatan yang dilakukan oleh begitu banyak oknum aparatur negara terhadap negaranya sendiri, Indonesia. Kalau kejahatan-kejahatan tadi kita padukan lagi dengan cerita tentang mafia proyek dan catatan kegagalan kita menuntaskan sejumlah kasus besar, kita akan tersadarkan dengan sendirinya bahwa ada agenda progres dalam penegakan hukum.
Maka, dalam konteks kasus Susno Duadji di atas, kita sesungguhnya baru mencapai tahap menemukan apa yang menjadi salah satu kesalahan dalam penegakan hukum. Kita menemukannya, tetapi kita belum tahu cara paling efektif untuk memperbaiki semua kebobrokan itu. Kita lebih senang memperdebatkan semua ketidakberesan itu, lalu bingung ketika memilih jurus apa yang paling mujarab untuk menegakan hukum.
Dalam kasus Susno, penegak hukum harus berani mendahulukan substansi kasus, seperti korupsi, suap, serta pemerasan di semua lini birokrasi dan profesi. Perkara periferi, seperti pelanggaran etika atau pencemaran nama baik, jangan malah dijadikan tembok untuk membongkar kasus yang lebih besar, yang indikasinya (walau mungkin “kecil”) sudah dilansir peniup peluit. Jika kita mengutip kalimat dari Cicero, “Omnium enim rerum principia parva sunt (awal dari semuanya kecil)”.
Reformasi Polri bukanlah suatu yang manis untuk diucapkan, melainkan juga butuh keberanian besar untuk menerapkannya secara proporsional dan profesional. Semoga gonjang-ganjing politik internal di tubuh Polri cepat selesai dan Polri kembali mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.




BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
a) Rule of Law merupakan suatu konsep formal dalam mengartikan adanya proses penegakan hukum di Indonesia, baik secara formal maupun hakiki/materiil. Rule of law dilaksanakan dengan berdasar pada beberapa syarat dan prinsip tertentu, terlebih lagi Indonesia sebagai suatu bentuk negara demokrasi.
b) Kasus markus di tubuh Ditjen Pajak yang menjerat beberapa oknum dalam institusi Polri, Jaksa, dan Kementerian Keuangan seperti yang telah diungkapkan oleh Susno Duadji menjadi kasus yang rumit karena melibatkan institusi penegak hukum sendiri, sehingga jika kasus ini ditangani oleh Polri maka timbul kekhawatiran penanganannya tidak akan objektif. Kasus ini mengungkap Kasus Korupsi pajak yang diduga melibatkan Gayus Tambunan dan beberapa perwira di Mabes Polri, yang oleh oknum-oknum tersebut dinilai sebagai pencemaran nama baik.
c) Adanya pernyataan Susno Duadji yang dinilai cukup berani membongkar aib institusinya sendiri dinilai sebagai suatu usaha mengevaluasi lembaga penegak hukum dalam hal penegakan supremasi hukum (rule of law) di Indonesia. Perlu adanya reformasi hukum di dalam instansi-instansi negara ini dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengayom masyarakat.

3.2 Saran-saran
Dengan telah didapatkannya hasil dari pembahasan di atas, maka dapat disarankan kepada pemerintah untuk sesegera mungkin mereformasi kinerja aparat dan jajaran di lembaga-lembaga yang vital, seperti kepolisian. Kepada lembaga independen terkait seperti Satgas Pemberantasan Mafia Hukum agar berani mengungkap kasus yang terjadi di tubuh instansi penegak hukum tanpa pandang bulu. Dan untuk masyarakat luas agar selalu menjadi pihak social control terhadap kinerja pemerintah dan lembaga-lembaga di bawahnya sehingga terwujud good governance di Indonesia.





























DAFTAR PUSTAKA


Admin. 2010. Menanggapi Kasus Mantan Kabareskrim Susno Duadji. Terdapat pada http://idsps.org/headline-news/pers-release/ (diakses pada 30 Mei 2010)

Anonimus. 2010. Praktisi: Susno “Tersangka” Preseden Buruk Penegakan Hukum. Terdapat pada http://www.antaranews.com/berita/1269435891/ (diakses pada 30 Mei 2010)

Anonimus. 2010. Kasus Susno Duadji Vs mabes Polri Korban or Balas Dendam. Terdapat pada http://www.gusbud.web.id/2010/01/ (diakses pada 30 Mei 2010)

Anonimus. 2010. Profil Susno Duadji. Terdapat pada http://resepobat.tokobutik.com/2010/04/ (diakses pada 30 Mei 2010)

Anonimus. 2010. Rekayasa Penahanan Kasus Susno Duadji. Terdapat pada http://suzannita.wordpress.com/2010/05/12/ (diakses pada 30 Mei 2010)

Gaffar, Firoz. 2010. Langkah Susno Duadji Tersandung Etika: Peniup Peluit Dijepit Etika. Terdapat pada http://jakartaindonesiana.wordpress. com/2010/04/20/ (diakses pada 30 Mei 2010)

Khumaini, Anwar. 2010. Markus Pajak 25 M: Tiga Rekomendasi Kompolnas Untuk Kasus Susni Duadji. Terdapat pada http://www.detiknews.com/read/2010/ (diakses pada 30 Mei 2010)

Nauli, Musri. 2010. Hukum. Terdapat pada http://hukum.kompasiana.com/ 2010/05/24/ (diakses pada 30 Mei 2010)

Sinurat, mekar. 2010. Pernyataan Susno Duadji Tentang Kasus Politik Di Tubuh Polri, Kebenaran Dan Ketidakbenaran, Dihubungkan Dengan Demokrasi Indonesia. Terdapat pada http://mekar-sinurat.blogspot.com/2010/04/ (diakses pada 30 Mei 2010)

Soesatyo, Bambang. 2010. Posisi Minus Penegakan Hukum. Terdapat pada http://www.nonblok.com/kolom/penegakan.hukum/ (diakses pada 30 Mei 2010)

Subadi, Tjipto. 2010. Susno dan Reformasi Penegakan Hukum. Terdapat pada http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=250361 (diakses pada 30 Mei 2010)

Vermonte, Philips. 2010. Mencermati Politik Indonesia 2009. Terdapat pada http://www.jakartabeat.net/politika/ (diakses pada 30 Mei 2010)

Wahidin. 2008. Rule of Law. Terdapat pada http://makalahkumakalahmu. wordpress.com (diakses pada 30 Mei 2010)

Tidak ada komentar: