Label

Adi Sanjaya

Adi Sanjaya

Senin, 21 Juni 2010

CATUR WARNA DAN CATUR KASTA

CATUR WARNA DAN CATUR KASTA

Agama Hindu merupakan pengalaman ajaran Agama Hindu oleh penganutnya. Agama Hindu itu intinya sama dimana-mana, tetapi kemasan kebudayaannyalah yang berbeda-beda sesuai dengan keberadaan manusia penganutnya. Hal ini menyebabkan banyak dijumpai kesalahpahaman dalam penerapan ajaran suci Hindu terutama di Bali yang belum dipahami secara benar. Hal ini sangat nyata dijumpai dalam penerapan ajaran suci Hindu yaitu Catur Warna. Kata tersebut sebenarnya berasal dari kata varna yang berarti memilih. Disitu setiap orang berhak memilih lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat. Dasar yang digunakan acuan untuk menentukan catur warna adalah guna dan karma, hal ini sesuai dengan pernyataan yang ada dalam berbagai sumber kitab suci Hindu salah satunya Bhagawadgita. Tetapi dalam kenyataannya sekarang, Hindu di Bali menggunakan dasar sistem wangsa atau keturunan. Di Bali dapat dilihat dengan kasat mata pengaruh penerapan ajaran Agama Hindu khususnya ajaran catur warna sebagai salah satu sistem religi pada proses terbentuknya dan dinamika sistem sosial sebagai salah satu sistem kebudayaan.
Mantra Weda menyatakan bahwa adanya empat bakat pembawaan itu diciptakan oleh Tuhan. Ini artinya Tuhan telah menentukan bahwa manusia dalam kelahirannya di dunia ini akan dibagi menjadi empat jenis sifat dan bakat yang menjadi landasan profesinya. Profesi itulah yang dipakai pegangan untuk melakukan tugas dan kewajiban hidup agar cakra yadnya menjadi berputar. Cakra yadnya artinya hidup untuk saling mengabdi berdasarkan ajaran yadnya. Empat profesi yang tergabung dalam ajaran catur Warna merupakan hasil ciptaan Tuhan. Sehingga dalam mantram Rgweda X.90.12 dinyatakan sebagai berikut :
Brahmano’sya mukhamasid bahu rajanyah krtah,
Uru tadasya yadvaisyah padbhyam sudro ajayata.
Artinya : Brahma lahir dari wajahnya Tuhan, dan Ksatria lahir dari kedua bahuNya, vaisya dilahirkan melalui perutNya, dan dari kakiNya lahirlah sudra. (Somvir, 2001 : 72)
Demikianlah dinyatakan dalam Rgweda tentang Catur warna. Sehingga dapat dipastikan bahwa meskipun banyak perbedaan yang terdapat dalam keempat profesi tersebut, tetapi antara satu dengan yang lainnya saling membutuhkan dan harus saling melengkapi. Mantra sejenis yang menyatakan bahwa Catur Warna diibaratkan dengan tubuh Tuhan atau Brahmana diantaranya Yajurweda, sloka Manawa Dharmasastra dan dalam Slokantara.
Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan berbagai keterbatasan. Manusia tidak bisa menjadi manusia yang serba biasa. Karena itu dalam penciptaan Catur Warna itu manusia lahir dari badan kosmis Tuhan yang berbeda-beda. Brahmana dari kepalanya Brahman, Ksatria dari lenganNya, Waisya dari perut atau pahanya dan Sudra dari kakiNya Brahman.
Brahmana adalah golongan pertama, menyusul Ksatria lalu Waisya, ketiga golongan itu boleh dwijati. Dwijati artinya lahir dua kali. Sebab tatkala mereka menginjak masa kelahiran yang kedua kali adalah setelah selesai mereka menjalani upacara penyucian, itulah sebabnya mereka disebut lahir dua kali. Adapun Sudra yang merupakan golongan keempat disebut ekajati : lahir sekali , tidak boleh dikenakan brata sangaskara, tidak diharuskan melakukan brahmacari. Dalam sloka Sarasamuscaya dinyatakan bahwa Sudra Warna tidak dibenarkan untuk melakukan dwijati karena dalam berbagai sumber menyatakan bahwa warna Sudra itu adalah orang yang hanya memiliki kekuatan fisik saja. Seorang dwijati tentunya harus memiliki kecerdasan intellegensia, kecerdasaan spiritual dan kecerdasan emosional.
Adanya sistem Warna dalam Hindu adalah bertujuan untuk meningkatkan profesionalitas dan sebagai simbol yang menggambarkan agar manusia dapat berkonsentrasi dalam satu profesi. Sekalipun seseorang mungkin memiliki semua benih profesi, tapi pasti diantara keempat profesi itu ada yang paling menonjol. Dasar Catur Warna ini adalah guna dan dharma. Ini artinya setiap orang kalau dapat bekerja (berkarma) sesuai dengan minat dan bakatnya (guna) tentunya hidup bekerja seperti itu hidup yang sangat membahagiakan.

KASTA
Istilah Kasta (caste), diperkenalkan oleh Kolonial Inggris yang menguasai India sampai 1947. Inggris yang ingin menguasai India, secara efisien membuat daftar masyarakat India. Mereka menggunakan dua istilah untuk menggambarkan komunitas India, yaitu Caste dan Tribes. Istilah Kasta digunakan untuk Jat dan Varna. Tribes adalah komunitas yang hidup di kedalaman hutan, rimba dan pegunungan yang jauh dari keramaian dan juga bagi komunitas yang sulit untuk diberi kasta contohnya komunitas yang mencari nafkah dari mencuri atau merampok. Daftar-daftar inilah yang dipakai juga oleh Pemerintah India untuk menciptakan daftar komunitas yang diberlakukan Diskriminasi Positif.
Kasta sebenarnya ada di mana-mana ketika peradaban belum begitu maju. Atau kelas-kelas sosial di masyarakat ini berusaha dilestarikan oleh golongan tertentu yang kebetulan “berkasta tinggi”. Dari sini muncul istilah-istilah yang sesungguhnya adalah versi lain dari kasta, seperti “berdarah biru”, “kaum bangsawan” dan sebagainya yang menandakan mereka tidak bisa dan tak mau disamakan dengan masyarakat biasa. Bagi mereka yang berada “di atas” entah dengan sebutan “darah biru” atau “bangsawan” umumnya mempunyai komplek pemukiman yang disebut keraton atau puri.
Di India kasta itu jumlahnya banyak sekali. Hampir setiap komunitas dengan kehidupan yang sama menyebut dirinya dengan kasta tertentu. Para pembuat gerabah pun membuat kasta tersendiri. Di Bali juga unik, ketika Bali dipenuhi dengan kerajaan-kerajaan kecil dan Belanda datang mempraktekkan politik pemecah belah, kasta dibuat dengan nama yang diambilkan dari ajaran Hindu, Catur Warna. Lama-lama orang Bali pun bingung, yang mana kasta dan yang mana ajaran Catur Warna. Kesalah-pahaman itu terus berkembang karena memang sengaja dibuat rancu oleh mereka yang terlanjur “berkasta tinggi”.
Secara Hindu, yaitu dalam ajaran Catur Warna manusia dilahirkan sama yaitu sebagai Sudra. Setelah memperoleh ilmu yang sesuai dengan minatnya, dia bisa meningkatkan diri sebagai pedagang, bekerja di pemerintahan, atau menjadi rohaniawan. Fungsi sosial ini tidak bisa diwariskan dan hanya melekat pada diri orang itu saja. Kalau orangtuanya Brahmana, anaknya bisa Sudra atau Kesatria atau Wesya. Begitu pula kalau orangtuanya Sudra, anaknya bisa saja Brahmana. Itulah ajaran Catur Warna dalam Hindu.
Yang jadi persoalan, ketika kasta diperkenalkan di Bali di masa penjajahan itu, nama-nama yang dipakai adalah nama Catur Warna: Brahmana, Kesatria, Wesya, Sudra. Jadi, pada saat itu semua fungsi Catur Warna diambil alih oleh kasta, termasuk gelarnya. Celakanya kemudian, gelar-gelar itu diwariskan turun temurun, diberikan kepada anak-anaknya tak peduli apakah anak itu menjalankan fungsi sosial yang sesuai dengan ajaran Catur Warna atau tidak.
Kekacauan ini lama-lama menjadi kesalah-pahaman. Misalnya, ada anggapan bahwa yang berhak menjadi rohaniawan (pendeta Hindu) hanyalah mereka yang keturunan Brahmana versi kasta, yang nama depannya biasanya Ida Bagus. Mereka yang tak punya nama depan Ida Bagus disebut bukan keturunan Brahmana, jadi tak bisa menjadi pendeta. Begitu pula kasta lainnya, yang berhak menjadi pemimpin hanya keturunan Kesatria.

Catur Warna Tidak Ditentukan Berdasarkan Wangsa
Warna seseorang apakah dia seorang Brahmana, Kstria, Waisya maupun Sudra bukan ditentukan oleh wangsa atau keturunan. Keempat golongan profesi itu kedudukan sosialnya tidaklah bersifat vertikal geneologis. Kedudukan sosialnya adalah paralel horizontal. Ini artinya bahwa Brahmana, Kstria, Waisya dan Sudra dalam konsep catur warna status sosialnya tidak ada yang lebih tinggi dan lebih rendah. Mereka itu sejajar dan sama atau horizontal. Keempatnya hanya berbeda profesi karena mereka membawa pembawaan lahir yang berbeda-beda.
Seorang Brahmana, Kstria, Waisya dan Sudra itu tidak bisa dilihat dari keturunannya atau dengan menyebutkan dia Brahmana atau Kstria tanpa menunjukkan ciri-cirinya sebagaimana ditetapkan dalam Manawa Dharmasastra X.65 yang dinyatakan sebagai berikut.
Sudro brahmanatameti brahmanas ca iti
Sudratam kstryajatam evam tu
Vidyad vaisyat tathaiva ca
Artinya : Seorang Sudra menjadi Brahmana dan Brahmana menjadi Sudra karena sifat dan kewajibannya. Demikian juga halnya dengan kelahiran Kstria dan Waisya. (Oka Punyatmaja, 1976 : 15).
Adanya sebutan Brahmana dan Kstria di Bali sesunggguhnya dimaksudkan adalah Brahmana Wangsa atau Kstria Wangsa. Dalam kenyataannya tidak setiap Brahmana keturunannya menjadi Brahmana. Demikian juga banyak seorang petani yang anaknya menjadi guru besar.

Wangsa Menurut Pandangan Hindu
Kesalahpahaman dalam mengertikan ajaran Hindu tidak semata-mata menyangkut ajaran Catur Warna saja tetapi juga menyangkut pengertian wangsa. Istilah Wangsa berasal dari bahasa Sansekerta dari kata “vamsa” yang berarti keturunan. Keturunan seseorang menurut pandangan Hindu seperti dinyatakan oleh Pandarinath Prabhu yang menyatakan dalam bukunya Hindu social organization dapat dilihat dari tiga macam, yaitu berdasarkan darah keturunan, berdasarkan kesamaan ketokohan, dan berdasarkan kesamaan kepercayaan pada nama Tuhan yang dipuja.

3 komentar:

Guli Mudiarcana mengatakan...

Di Indonesia Kasta yang kaku tidak ditemukan sampai masa akhir kerajaan Hindu Majapahit abad 14 akhir. Kasta baru ada di Indonesia setelah kerajaan Hindu Majapahit runtuh. Bukti sebagai berikut :
1. Ken Arok, seorang penyamun( Bromocorah) bisa menjadi Raja Singosari.
2. Damar Wulan, seorang pengangon kuda( tukang arit rumput), bisa menjadi Raja
3. Kebo Iwa,tukang membuat sumur di Bali,bisa menjadi Ksatrya

4. Mahapatih Gadjah Mada, dari keluarga yang tidak diketahui menjadi Ksatrya terkemuka Indonesia sepanjang sejarah Indonesia.
5. Patih Ulung, yang menurunkan warga Pasek Gelgel dan Pasek Bendesa di Bali. Anak dari Mpu Dwijaksara(Brahmana)bisa menjadi Patih ( Ksatrya) pada masa transisi di Bali setelah Raja Ratna Bumi Banten takluk oleh Majapahit

Di Indonesia Kastaisme mulai menyebar setelah Runtuhnya kerajaan Hindu Majapahit tahun 1478 M, hampir berdekatan waktunya dengan jatuhnya kerajaan Goa-India oleh Portugis tahun 1511, serta Era penyebaran konsep-konsep agama Kristen (Kristenisasi) ke-seluruh dunia yang ditandai dengan Kolonialisasi dan perbudakan.

Tahun 1489, sebelas tahun setelah Kerajaan Majapahit Runtuh, Daghyang Nirarta datang ke Bali dengan membawa ajaran-ajaran yang sudah dipengaruhi oleh peta politik global saat itu (peta politik global abad 15 ), yaitu konsep kasta-kasta dan perbudakan.

Atas usul Danghyang Nirarta sang puruhita kerajaan gelgel, masyarakat Bali di Restukturisasi menjadi berbagai macam kasta.

Semenjak itu munculah Kasta yang dilekatkan kepada agama Hindu di Bali. Kasta Brahmana yang isinya terdiri dari anak-anak dan keturunan Danghyang Nirarta, termasuk juga keturunannya yang berasal dari Ibu jelmaan Cacing Kalung(Nyi Berit), Kasta Ksatrya diambil dari keturunan dalem Gelgel serta Wesya dan sudra yang terdiri dari penduduk Bali age termasuk warga Pasek,leluhur( Raja-jara Jawa dari Ibu Ken Dedes) dan Ibunda Presiden Sukarno

Setelah kasta-kasta ini disahkan, diberlakukan juga perbudakan. Raja-Raja Bali memperoleh Harta dengan mengekspor para budak kepada Kompeni di Batavia. Sistem Kasta dan Perbudakan jelas mengadopsi konsep-konsep Injil dan perbudakan dalam masyarakat Arab tanpa reserve.

Sebelum kedatangan Danghyang Nirarta, tidak ada kasta-kasta maupun Budak dari Bali. Tidak ada yang namanya AA.IB. IC. ID,IGN IGst, maupun I Wayan yang mengaku Brahmana, Ksatrya, maupun Sudra. Martabat orang Bali ditentukan oleh perilakunya.

Th. 1882, kolonialis Belanda mendirikan Raad Van Kerta, mahkamah adat Bali, dengan alasan politik etis. Hakim-hakim pada Raad Van Kerta diisi oleh para Pedande ( bukan Sri Empu, Bujangga Wisnawa maupun Rsi ), meskipun tidak jarang mereka tidak mengerti masalah hukum, dan tidak mengerti teks-teks hukum keagamaan seperti : Agama, adigama, purwa agama dan kutara agama yang ditulis dalam bahasa jawa kuno. Belanda membantu pegangan para hakim Raad Van Kerta dengan menterjemahkan teks-teks tersebut kedalam Bahasa Melayu dan bahasa Bali untuk digunakan sebagai acuan hukum oleh anggota Raad Van Kerta. Terjemahan teks-teks dari bahasa Jawa kuno kedalam bahasa Melayu dan bahasa Bali sesuai dengan selera dan kepentingan kolonialisme dan misionarisme. Hal ini sama dan sebangun dengan upaya Max Muller beserta kawan-kawannya dalam menterjemahkan kitab Weda yang disesatkan untuk diterapkan pada masyarakat Hindu di India. Geoffrey Robinson mengomentari hal ini sebagai rekayasa tradisi Bali yang paling mencengangkan oleh Kolonial Belanda. ( Geoffrey Robinson; Sisi Gelap Pulau Dewata, 2005 hal. 51)

Guli Mudiarcana mengatakan...

Baca sejarah kasta di India dan Bali di


www.dharmagupta.blogspot.com

G Putra Kusuma Wijaya mengatakan...

Makasi info nya , bagi yang ingin baca tentang hindu bisa kunjungi www.tentanghindu.blogspot.com