Label

Adi Sanjaya

Adi Sanjaya

Kamis, 10 Maret 2011

Ketidaksersian Perubahan-perubahan dan Ketertinggalan Budaya (Cultural Lag)

(Dikutip dari Soerjono Soekanto, 1982, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pres)

Pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan tidak selalu perubahan-perubahan pada unsur-unsur masyarakat dan kebudayaan mengalami kelainan yang seimbang. Dikenalnya senjata api dan kuda oleh orang-orang Indian di Amerika misalnya, mengubah cara mereka mencari makanan dan berperang. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan bidang-bidang kehidupan lainnya seperti agama yang disebarkan oleh penyiar-penyiar agama kulit putih.
Ada unsur-unsur yang cepat berubah, tetapi ada pula unsur-unsur yang sukar untuk berubah. Biasanya unsur-unsur kebudayaan kebendaan lebih mudah berubah daripada unsur-unsur kebudayaan rohaniah. Apabila ada unsur-unsur yang tidak mempunyai hubungan yang erat, tak ada persoalan mengenai tidak adanya keseimbangan lajunya perubahan-perubahan. Misalnya, suatu perubahan dalam cara bertani, tidak terlalu berpengaruh terhadap tarian-tarian tradisional. Akan tetapi sistem pendidikan anak-anak mempunyai hubungan yang erat dengan dipekerjakannya tenaga-tenaga wanita pada industri, misalnya.
Apabila dalam hal ini terjadi ketidakserasian, kemungkinan akan terjadi kegoyahan dalam hubungan antar unsur-unsur tersebut di atas sehingga keserasian masyarakat terganggu. Misalnya, apabila pertambahan penduduk berjalan dengan cepat, untuk menajga ketertibandi masyarakat diperlukan pula penambahan petugas-petugas keamanan yang seimbang banyaknya. Ketidakserasian mungkin akan menaikkan frekuensi kejahatan yang terjadi. Demikian pula bertambah banyaknya sekolah-sekolah harus diimbangi dengan penambahan lapangan kerjaa, apabila terjadi ketidakserasian,maka mungkin timbul pengangguran, dan seterusnya.
Sampai sejauh mana akibatnya keadaan tidak serasi laju perbuahan tersebut tergantung dari erat atau tidaknya integrasi antara unsur-unsur tersebut. Apabila integrasi unsur-unsur dalam masyarakat tersebut sangat erat seperti halnya dengan bagian-bagian sebuah jam, ketidakseimbangan mempunyai akibat-akibat yang sangat jauh. Kalau bagian-bagian dari sebuah jam tidak bekerja dengan semestinya, jam itu tidak akan berfungsi dengan baik.
Suatu teori yang terkenal di dalam sosiologi mengenai perubahan dalam masyarakat adalah teori ketertinggalam budaya (cultural lag) dari William F. Ogburn (juga sering disebut social-lag). Teori tersebut mulai dengan kenyataan bahwa pertumbuhan kebudayaan tidak selalu sama cepatnya dengan keseluruhannya seperti diuraikan sebelumnya, tetapi ada bagian yang tumbuh cepat, dan ada pula bagian yang tumbuhnya lambat. Perbedaan antara taraf kemajuan dari berbegai bagian dalam kebudayaan dari suatu masyarakat dinamakan cultural lag (artinya ketertinggalan kebudayaan). Juga suatu ketertinggalan (lag) terjadi apabila laju perubahan dari dua unsur masyarakat atau kebudayaan (mungkin juga lebih) yang mempunyai korelasi, tidak sebanding sehingga unsur yang satu tertinggal oleh unsur yang lain.
Pengertian ketertinggalan dapat digunakan paling sedikit dalam dua arti, yaitu pertama, sebagai jangka waktu antara terjadi dan diterimanya penemuan baru. Misalnya pemerintah AS dalam suatu brisur mengetengahkan mengenai ketertinggalan antara penemuan baru dengan penggunaan penemuan pengetahuan tentang pengobatan, yang antara lain berisi bahwa setiap tahun 40.000 orang mati karena sakit kanker, yang sebenarnya dapat dicegah, dan demikian pula dengan orang-orang yang mati karena sakit jantung dan sebagainya.
Arti kedua dipakai untuk menunjuk pada tertinggalnya suatu unsur tertentu terhadap unsur lainnya yang erat hubungannya, misalnya penduduk di kota-kota besar dan banyaknya petugas-petugas keamanan yang diperlukan. Agar terjadi suatu eserasian, slaah satu unsur tersebut harus diubah, yaitu yang terlambat dipercepat perkembangannya, atau yang terlalu cepat diperlambat perkembangannya. Pilihan tergantung dari kemunginan-kemungkinannya. Misalnya dalam hubungan antara bertambahnya penduduk di kota-kota besar dengan jumlah petugas-petugas keamanan, kiranya kecil kemungkinannya untuk mengurangi penduduk, misalnya dengan jalan mengusir penduduk dari kota tersebut.
Ketertinggalan yang mencolok adalah tertinggalnya alam pikiran dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, yang dijumpai terutama pada masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang seperti Indonesia ini. Suatu contoh nyata misalnya penggunaan komputer yang merupakan suatu hasil perkembangan teknologi di negara-negara maju. Penggunaan alat tersebut harus disertai oleh peralatan-peralatan khusus seperti untuk memperbaikinya apabila rusak; aliran listrik yang mempunyai tegangan tertentu, konstan, dan seterusnya. Ini belum semuanya tersedia, misalnya aliran listrik yang konstan. Hal itu dapat memacetkan komputer atau kalau rusak, untuk memperbaikinya belum tentu tersedia alat dan ahli yang cukup.
Tidak mudah memang untuk mengatasi persoalan demikian. Paling tidak alam pikiran manusia harus mengalami perubahan terlebih dahulu, yaitu dari alam pikiran tradisional ke alam pikiran modern. Alam pikiran yang modern ditandai oleh beberapa hal, misalnya sifatnya yang terbuka terhadap pengalaman baru serta terbuka pula bagu perubahan dan pembaruan. Tekanan dalam hal ini bukanlah terletak pada keahlian dan kemampuan jasmaniah belaka, tetapi pada suatu jiwa yang terbuka. Alam pikiran modern tidak hanya terpaut pada keadaan sekitarnya saja secara langsung, tetapi juga berhubungan dengan hal-hal yang di luar itu, yaitu berpikir dengan luas. Di sini pendidikan memperoleh posisi menetukan; semakin terdidik seseorang semakin terbuka dan semakin luas daya pikirnya. Dia harus menyadari bahwa ada pendapat-pendapat lain dan sikap-sikap lain yang mengelilingi dirinya. Kondisi lain yang harus juga diperhatikan adalah bahwa alam pikiran modern lebih berorientasi pada keadaan sekarang serta keadaan-keadaan mendatang daripada terhadap keadaan-keadaan yang telah lalu; dan sehubungan dengan itu dia harus mengadakan perencanaan (planning) untuk hari depannya.
Kiranya sseorang dengan alam pikiran modern, yakin bahwa manusia dapat belajar untuk memanfaatkan dan menguasai alam sekelilingnya daripada bersikap pasrah atau pasif. Seseorang juga yakin bahwa keadaan-keadaan daat diperhitungkan, artinya bahwa orang-orang lain serta lembaga-lembaga lain dapat diandalkan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban dan tanggung jawabnya. Dia tidak setuju pada pendapat bahwa segala sesuatu ditentukan oleh nasib atau oleh watak dan sifat-sifat yang khusus dari orang-orang tertentu.
Sehubungan dengan itu timbul kesadaran akan harga diri orang-orang lain sehingga dia menaruh keseganan terhadap mereka. Kemudian dia lebih percaya pada ilmu pengetahuan dan teknologi, walaupun dengan cara-cara sederhana sekalipun. Hal tu menimbulkan keyakinan kepadanya bahwa penghargaan sebagai balas jasa diberikan kepada mereka yang betul-betul telah berjasa dan atas dasar kekayaan atau kekauasaan yang dimilikinya. Itu semua terutama dapat dicapai dengan pendidikan supaya orang dapat berpikir secara ilmiah. Cara berpikir secara ilmiah harus melembaga dalam diri manusia, terutama pada masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang agar terhindar dari terjadinya ketertinggalan budaya.

Tidak ada komentar: