1. Kekhususan Keterangan Sejarah
Apabila sejarawan telah berhasil mewujudkan fakta-fakta (yang benar), maka untuk selanjutnya mereka perlu mengembangkan cara-cara menjelaskan fakta-fakta tersebut sehungga tercapai suatu pengertian yang bulat tentang rangkaian peristiwa satu dengan lainnya secara keseluruhan. Dengan demikian disini terkait fungsi untuk merangkan peristiwa oleh sejarawan. Yang dimaksud dengan menerangkan disini ialah apa yang ditempuh oleh para sejarawan dalam usaha mereka menjelaskan peristiwa yang sedang mereka pelajari. Ini terutama menyangkut sifat-sifat atau ciri-ciri dari keterangan sejarah terutama dibandingkan dengan keterangan ilmu-ilmu alamiah (scientific explanation)
Pada dasarnya seperti dijelaskan oleh Nugroho Notosusanto sejarawan juga perlu meminjam cara-cara yang biasa dilaksanakan oleh dunia jurnalistik dalam menyusun suatu berita, dimana dianggap penting untuk memenuhi rumus 5 W dan 1 H, yaitu : what, who, where, when, why, how. Demikian dalam suatu peristiwa sejarah juga hendaknya bisa ditunjukkan unsur-unsur : wujud peristiwanya (what), pelakunya (who), tempar terjadinya peristiwa (where), waktu kejadian (when), unsur mengapa/latar belakang terjadinya peristiwa (why), dan akhirnya pertanyaan yang menyangkut bagaimana mungkin peristiwa itu terjadi (how). Dengan sendirinya penjelasan yang menyangkut why dan how terutama menjadi perhatian penting dalam keterangan sejarah, sebab di sinilah kekhususan ciri-ciri dari keterangan sejarah itu akan tampak.
2. Menerangkan dalam Ilmu-ilmu Alamiah
Sebelum kita membahas lebih lanjut cara-cara yang biasa ditempuh oleh sejarawan dalam menjelaskan peristiwa sejarah itu, ada baiknya kita meninjau dulu bagaimana prosedur menjelaskan suatu gejala alam itu biasanya dilakukan dalam ilmu-ilmu alamiah. Seperti kita ketahui bahwa prosedur dasar yang bisa dilaksanakan dalam ilmu-ilmu alamiah selalu dimulai dengan observasi (pengamatan) yang kemudian berakhir dengan perumusan konsep-konsep yang berlaku umum (generalisasi). Dengan demikian maka setiap berhadapan dengan gejala alam alamiah, maka gajala itu akan terlihat dalam rangka generalisasi-generalisasi yang telah dibangun itu. Dengan kata lain yang jadi pegangan adalah generalisasi-generalisasi itu, dengan mana setiap gejala alam akan diusahakan untuk dijelaskan. Menurut Walsh ciri-ciri utama dari prosedur menjelaskan seperti itu ialah pertama berupa penentuan/penetapan peristiwa-peristiwa khusus ke dalam unsur-unsur dari hukum yang berlaku umum, dan kedua berupa suatu pandangan dari luar terhadap gejala-gejala yang sedang diamati, dalam arti tidak adanya usaha para ahli ilmu-ilmu alamiah untuk melihat bagian dalam dari suatu gejala (apa yang terkandung sebagai tujuan-tujuan dalam dari suatu gejala tidak terlalu dipersoalkan).
3. Menerangkan dalam Sejarah
Menurut beberapa teoritikus sejarah, terutama dari aliran idealisme, justru dalam hal seperti di atas inilah terlihat perbedaan antara menjelaskan dalam ilmu-ilmu alamiah dan menjelaskan dalam sejarah.
Ini tercermin pada ucapan Collingwood bahwa :
To the scientst, nature is always and merely a’phenomenon’, not in the sence of being spectacle presented to his intelligent observation; whereas the events of history are never mere phenomena, never mere spectacles for contemplation, but things which the historian looks, not at, but through, to discern the thought within them.
(Bagi seorang scientist, alam adalah selalu dan semata-mata merupakan suatu gejala; bukan dalam arti bahwa alam tidak punya realitas yang lengkap, melainkan dalam arti bahwa alam itu merupakan suatu tontonan bagi pengamatan pikirannya; sedangkan peristiwa-peristiwa dalam sejarah tidak pernah semata-mata berupa gejala-gejala, tidak pernah pula hanya sebagai tontonan bagi perenungan, tapi merupakan hal-hal yang oleh sejarawan bukan hanya ditonton, tapi diselami untuk melihat dengan jelas pikiran yang ada di dalamnya.
Dengan demikian sejarawan mestinya dan memang dapat menerobos ke dalam hakekat yang mendalam dari peristiwa-peristiwa yang sedang dipelajarinya, dapat menghayati peristiwa-peristiwa sebenarnya dari dalam. Ini adalah keuntungan yang tak dapat dinikmati oleh para scientist (scientist tak pernah bisa menjadikan diri sebagai benda alam, padahal sejarawan bisa merefleksikan dirinya pada tokoh sejarah). Dalam hubungan ini suatu keistimewaan yang ditunjukkan oleh cara kerja sejarawan ialah bahwa mereka apabila sedang menjelaskan satu peristiwa di masa lampau mampu membuat pembedaan antara bagian luar dan bagian dalam dari peristiwa. Bagian luar ialah wujud fisik/gerak dari satu peristiwa. Sedang bagian dalamnya ialah pikiran-pikiran yang ada dibalik wujud fisik/gerak tadi (apa yang ada dalam pikiran pelaku-pelaku sejarah itu). Maka dari itu sejarawan dianggap tidak semata-mata berhubungan dengan “peristiwa” (event), tapi dengan “aksi” (action) yang tidak lain daripada gabungan antara unsur luar dan unsur dalam dari peristiwa. Sejarawan bisa mulai dari unsur luar (menemukan dan menjelaskan bentuk-bentuk fisik/gerak dari peristiwa) tapi tugas utamanya sebenarnya terus menerobos ke bagian dalam dari peristiwa, yaitu ke dalam alam pikiran pelaku-pelaku sejarah. Mengutip kembali kata-kata Collingwood, dia antara lain mengemukakan:
“for history, the object to be discovered is not the mere event, but the thought expressed in it. To discover that thought is already to understan it. ….. When he knows what happened, he already knows whay it happened”.
(Bagi sejarah, obyek yang perlu diketemukan bukan semata-mata wujud fisik/gerak peristiwanya, tapi pikiran yang diekspresikan di dalamnya. Kalau sejarah sudah menemukan pikiran itu berarti ia sudah memahaminya. ……. Jadi bila ia sudah mengetahui apa yang terjadi, berarti ia sudah memahami mengapa itu terjadi) (lihat Widja, 1988) .
Yang menjadi masalah sekarang ialah bagaimana sejarawan bisa menjangkau bagian dalam peristiwa (pikiran-pikiran) yang melatarbelakanginya. Dalam hal ini Collingwood kembali menekankan keistimewaan yang bisa dilakukan oleh sejarawan tehadap obyeknya dibandingkan yang mampu dilakukan oleh scientist, yaitu dengan jalan “re-thinking them is his own mind” (memikirkan kembali dalam pikiran sejarawan sendiri. Dengan ini ia maksudkan bahwa sejarawan mampu menerobos pikiran pelaku sejarah dengan cara mencoba menghidupkan kembali pikiran-pikiran pelaku sejarah tersebut dalam pikirannya sendiri, dengan kata lain secara imajiner mencoba menempatkan dirinya ke dalam pelaku-pelaku sejarah yang bersangkutan. Ini dianggap merupakan unsur pokok dalam “cara berpikir historis’ (historical thinking) yang menjadi dasar dari “cara menerangkan dalam sejarah (hostorical explanation).
4. Kritik Terhadap Pandangan Kaum Idealis
Terhadap anggapan-anggapan kaum idealis seperti yang dikemukakan oleh Collingwood banyak kritik telah dilemparkan, yaitu diabaikannya secara berlebihan latar belakang kekuatan alam dari peristiwa sejarah, bahwa kesimpulan-kesimpulannya terutama bertolak dari perbuatan manusia yang dipikirkan masak-masak pada hal banyak perbuatan manusia yang merupakan respons spontan, dan bahwa anggapan-anggapannya terutama berlaku bagi sejarah jenis-jenis tertentu seperti sejarah militer, politik ataupun biografi, tapi sulit bagi jenis sejarah seperti ekonomi yang ditentukan oleh masa. Seperti ditegaskan oleh Ryle, kelihatannya memikirkan pikiran yang ada di balik suatu perbuatan adalah mustahil karena pikira-pikiran seperti itu bersifat pribadi bagi pemiliknya dan tak ada seorang lainpun yang dapat menjangkaunya. Seperti juga diakui oleh Walsh, ahli sejarah haruslah bertindak lebih daripada memikirkan kembali pikiran-pikiran yang secara eksplisit berada dalam pikiran-pikiran orang-orang yang perbuatannya sedang dia pelajari, bahkan dalam hal-hal dimana perbuatan-perbuatan tersebut merupakan hasil dari pertimbangan masak-masak oleh pelakunya.
Namun, kelihatannya terlepas dari kelemahan-kelemahan di atas ada sumbangan penting yang disumbangkan kaum idealis dalam menerangkan peristiwa sejarah, yaitu penekanannya atas perbedaan antara sikap yang dimiliki oleh seorang scientist dan seorang sejarawan dalam berhadapan dengan obyek studi mereka. Ini terutama menyangkut pembedaan antara usnur luar dan unsur dalam dari suatu gejala, dimana scientist terutama menaruh perhatian hanya pada bagian luar, sedangkan sejarawan sebaliknya lebih tertarik pada bagian dalamnya. Tetapi untuk sampai pada bagian dalam itu tidaklah bisa dilaksanakan dalam satu dua kali perbuatan dari daya lihat yang intuitif. Sejarawan harus berusaha menemukan apa yang dipikirkan oleh pelaku-pelaku sejarah dengan jalan menafsirkan bukti-bukti yang ada di hadapan sejarawan dan proses penginterpresasian ini adalah suatu proses dimana sejarawan diharapkan sedikit banyak membuat indikasi eksplisit ke arah kebenaran umum. Disini nampak bahwa sejarawan dengan sendirinya berhubungan dengan sesuatu yang berbeda dari para scientist, tapi tidak dengan sendirinya ini berarti bahwa dia memiliki kemampuan luar biasa dalam melaksanakan tugasnya mengelami bagian dalam dari peristiwa, kecuali dengan tetap memperhatikan dunia pengalaman-pengalaman manusia dari masa lampau.
5. Prinsip Koligasi dalam Keterangan Sejarah
Atas dasar kenyataan di atas sejarawan dianggap perlu memperhatikan prinsip koligasi dalam menerangkan peristiwa yaitu suatu prosedur menerangkan suatu peristiwa dengan jalan menelusuri hubungan-hubungan intrinsiknya dengan peristiwa-peristiwa lainnya dan menentukan tempatnya dalam keseluruhan peristiwa sejarah.
Dengan dasar ini, apabila seorang sejarawan diharapkan menjelaskan/ menerangkan satu peristiwa tertentu, dia akan mulai dengan menelusuri hubungan-hubungan antara peristiwa tertentu tersebut dengan peristiwa-peristiwa lainnya dengan masa peristiwa-peristiwa tesebut punya kaitan dari sisi dalamnya (instrisiknya). Di sini diasumsikan bahwa peristiwa-peristiwa sejarah bisa dianggap bersama-sama membentuk satu proses tunggal yang bagain-bagiannya secara khusus saling punya keterkaitan. Jadi yang ditekankan disini ialah “inter connection” (hubungan-hubungan dalam) dari sejumlah peristiwa sejarah yang dalam beberapa hal sangat dilebih-lebihkan oleh beberapa ahli sejarah, sampai-sampai dianggap sebagai kelebihan dari cara berpikir historis apabila dibandingkan dengan cara berpikir science (ilmu-ilmu alamiah). Padahal proses meng-koligasi pada dasarnya juga menunjuk pada adanya “kecenderungan-kecenderungan umum” (generasi moments) yang jadi landasan untuk menghubungkan peristiwa-peristiwa khsusus dalam keseluruhan pola tafsiran atas fakta. Maka dari itu perlu disadari bahwa pada kenyataannya sejarawan juga tidak lepas dari kepentingan untuk memanfaatkan unsur-unsur generalisasi dalam usaha menjelaskan peristiwa sejarah. Meskipun harus diakui bahwa tujuan utama dari sejarawan bukanlah untuk merumuskan hukum-hukum yang berlaku umum (general laws) tapi sejarawan tidak pula bisa menghindari sama sekali dari penggunaan konsep-konsep (generalasisasi) dalam keterangan historisnya. Memang dalam hal ini, seperti diungkapkan oleh Sartono Kartodirdjo, perlu dibedakan antara sejarah deskritif/narratif yang menekankan usaha mengumpulkan dan menyusun naskah-naskah lengkap dari dokumen-dokumen sejarah, jadi hanya berusaha menguraikan kejadian-kejadian dengan dimensi ruang dan waktu, dengan sejarah analitis yang dalam menyusun ceritera sejarah sangat menekankan unsur-unsur kausalitas, sehingga perlu dikembangkan konsep-konsep teori-teori yang dipergunakan sebagai prinsip penyeleksian/penginterpretasian fakta-fakta.
Bisa dimengerti bahwa jenis sejarah yang pertama (deskriptif/narrarif) sangat kurang memperhatikan konsep-konsep (generalisasi), sebaliknya yang kedua (analitis/teoritis) dengan sendirinya memerlukan konsep-konsep (generalisasi) untuk mempertajam sifat analitis uraian sejarahnya, meskipun dalam hal ini sejarawan biasanya sedikit banyak tergantung pada ilmu-ilmu lainnya, terutama ilmu-ilmu sosial dalam mengembangkan konsep-konsep (generalisasinya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar