Label

Adi Sanjaya

Adi Sanjaya

Sabtu, 02 Oktober 2010

NASIONALISASI PERUSAHAAN: PERALIHAN DARI PERUSAHAAN BELANDA KE PERUSAHAAN LOKAL DI BALI

Oleh
I Ketut Ardhana

Abstract
The aim of this paper is to explain to what extent the economic and political developments following the process of nationalization of the Dutch power in Bali, had been labelled as Indonesianisasi. From 1954 to 1957/1958, these developments had been very significant to process of the emergence of the new local indigenous enterprises in Bali. The process of ‘Indonesianisasi’ itself included the replacement of Dutch supervisors by the local people in the government institutions as well as private Dutch companies, and the mushrooming of the new local enterprises. The growing of those enterprises in Bali can be argued as a root of the local economic developments at either the present or the future developments.
I. Pendahuluan
Thee Kian Wie (2003: 1) mendiskusikan secara mendalam bagaimana hubungan perkembangan perekonomian suatu negara dewasa ini dengan perkembangan ekonomi pada saat negara itu meraih kemerdekaannya. Ia menjelaskan bahwa sebagaimana halnya dengan pengalaman di negara-negara berkembang lainnya yang telah berhasil melepaskan diri dari belenggu penjajahan, kebijakan ekonomi masyarakat Indonesia pada masa awal kemerdekaannya tampak banyak dipengaruhi oleh interaksi gagasan-gagasan ekonomi dan aspirasi para pemimpin nasional Indonesia pada saat itu. Dalam hal ini sangat terkait dengan masalah-masalah ekonomi dan sosial yang dihadapi setelah mereka berhasil meraih kemerdekaannya. Disebutkan bahwa nasionalisme ekonomi Indonesia merupakan aspek yang signifikan yang mempengaruhi kebijakan ekonomi pada fase awal kemerdekaan. Apa yang terjadi dalam skala nasional di Jakarta, tampaknya berpengaruh pula dengan perkembangan di tingkat lokal, Bali.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa perkembangan ekonomi di beberapa daerah di Indonesia ketika berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda, mengalami suatu fase transisi dari sistem ekonomi kolonial ke sistem ekonomi nasional. Banyak hal yang mempengaruhi perkembangan ekonomi di tingkat nasional dan lokal. Antara lain dapat disebutkan adanya situasi politik yang tidak menentu, akibat terjadinya gerakan-gerakan dalam proses transisi, seperti pengaruh revolusi di tingkat daerah yang menyebabkan suasana keamanan yang tidak kondusif.
Dalam paper ini akan disoroti bagaimana kondisi perekonomian Indonesia yang stagnan di tingkat lokal, bahkan mengalami kehancuran. Bagaimana keberadaan perusahaan-perusahaan asing yang dimiliki oleh pemerintah kolonial yang lambat laun diambil alih oleh pemerintah dan penduduk lokal di Bali. Upaya-upaya apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mengambil alih perekonomian di tingkat daerah dari kekuasaan kolonial Belanda. Perusahaan-perusahaan apa saja yang diambil alih, bagaimana mereka mengambil alih, dan bagaimana keberadaan perusahaan-perusahaan itu di tangan pemerintah lokal serta perkembangan selanjutnya. Inilah persoalan yang akan dibahas dalam makalah ini. 2
II. Perkembangan Ekonomi Lokal Sebelum Masa Nasionalisasi
Dari catatan sejarah yang dibuat oleh Dubois dapat diketahui tentang peran yang dimainkan oleh seorang Bugis yang dikenal sangat kaya, yaitu Pattini sekitar abad ke-19 (1805-1808). Pattini dikenal sudah dapat menguasai pelayaran di Bali Barat dan Bali Selatan. Dubois diberitakan datang ke Kuta, lalu mendirikan loji di sana pada tahun 1828 dalam rangka merekrut serdadu. Atas laporan yang dituliskannya itu, dapat diketahui bahwa ia sudah melihat tentang peran penting dan kuat yang dimiliki oleh oreang Bugis sebagai pedagang-pedagang internasional yang bermukim di sana (Lihat: Mabbett, 1987:125-140; Suwitha 2003: 233).
Berdasarkan berita-berita yang ditulis oleh Dubois itu, tampak bahwa perdagangan di Bali tidak hanya dilakukan oleh penduduk lokal saja, tetapi sudah terlihat peran etnis lainnya di kawasan itu. Namun demikian, perusahaan-perusahaan yang dilakukan oleh orang Bugus dan Cina hanyalah berskala kecil, dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Itulah sebabnya dapat dikatakan bahwa perusahaan-perusahaan di Bali di era penjajahan, banyak didominasi oleh perusahaan-perusahaan Belanda. Memang sejak abad ke-l8 sektor perdagangan sudah dimonopoli oleh pedagang-pedagang Bugis, Cina dan orang-orang Timur asing lainnya. Orang Bugis sudah sejak lama memainkan peranan aktif di bidang pelayaran dan perdagangan di kepulauan nusantara. Mereka umumnya berperan sebagai pedagang perantara (broker) yaitu sebagai pedagang yang keluar untuk berhubungan dengan raja-raja. Sementara orang Cina, sudah lama dikenal berperan sebagai pedagang-pedagang lokal yang berhubungan langsung dengan rakyat. Dibandingkan dengan orang Cina, tampak pedagang Bugis lebih unggul karena mempunyai perahu-perahu besar dan mereka mempunyai posisi yang kuat. Pedagang-pedagang Cina tampak sebagai pedagang-pedagang kelontong dimana mereka berhasil memasuki daerah pedesaan untuk melakukan aktifitas bisnisnya.
Tampak ada pengaruh-pengaruh yang dilakukan oleh orang Cina di daerah yang mereka kunjungi dalam melakukan aktifitas dagangnya. Masuknya sistem ekonomi uang dapat merubah dan membuka pikiran masyarakat Bali dan menyadari akan pentingnya penggunaan pembayaran dengan uang sebagaimana dilakukan pedagang-pedagang Cina di pedalaman. Itulah sebabnya pula mengapa hingga dewasa ini terdapat banyak etnik Cina di daerah Pupuan, Kintamani, dan di daerah-daerah pedalaman di Buleleng Timur.
Memasuki akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, Bali sudah mulai didatangi modal-modal asing yang lebih intens dalam bentuk usaha-usaha perkebunan. Pada tahun 1860 misalnya perkebuan sistem barat mulai diintroduksikan di desa Candikusuma, Jembrana dan Buleleng (Damste, 1925: 25). Perkebunan besar selanjutnya yang dibuka adalah perkebunan karet di Pulukan pada tahun 1918. Dari pemaparan ini dapat disebutkan bahwa proses kemajuan perdagangan yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda menyebabkan terjadinya perubahan dalam cara berpikir dari pola masyarakat petani ke pola masyarakat yang memasarkan hasil-hasil pertaniannya (Lekkerkerker, 1923: 232-233).
Dalam perdagangan maritim tampak kapal-kapal KPM (Koninklijk Paketvaart Maatschappij) memberi kontribusi yang besar terhadap aktifitas ekonomi kolonial. Pada tahun 1927 misalnya KPM mulai mengadakan pelayaran untuk berdagang ke Bali. Untuk dapat melayani pelayaran kapal ini maka diadakanlah perbaikan sarana transporatsi pelabuhan. Adanya pelayaran KPM ini memberikan keuntungan bagi
masyarakat Bali. Hal ini terlihat dengan adanya peningkatan produk ekspor dari Bali seperti kelapa, perdagangan ternak dan kopi.
Perkebunan pohon kelapa misalnya mengalami jumlah yang meningkat pada masa itu. Luas tanaman kelapa di Bali pada tahun 1950 sudah bertambah menjadi 62.400 ha dengan hasil 95.000 ton per tahunnya. Dapat disebutkan bahwa dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di luar Jawa, tanaman kelapa di Bali dapat dikatakan cukup luas. Di Sulawesi Tengah meliputi luas 36.700 ha, di Sulawesi Utara 40.000 ha, di Maluku Selatan 10.000 ha, Maluku Tengah 8000 ha, Timor 3.300 ha dan Lombok 5000 ha. Peningkatan produk ini tampaknya mendapat pengawasan yang cukup ketat dari pengusaha-pengusaha Cina dan orang-orang asing lainnya (Suwitha, 1989: 24).
Perlu juga dicatat, bahwa sejak berlangsungnya puputan tahun 1906 dan wafatnya raja-raja Badung, Tabanan dan Klungkung, maka tanah-tanah milik mereka (tanah ayahan) disita (jejarahan) dan menjadi hak milik pemerintah. Hal ini biasa terjadi ketika suatu wilayah mengalami kekalahan akibat hukum perang. Untuk di Badung dan Klungkung misalnya sebagian tanah dipergunakan sebagai tanah jabatan bagi para perbekel dan kelihan banjar, sedangkan di Tabanan, tampak para elit pemerintahan di wilayah itu digaji dari produksi tanah-tanah negara yang disewakan pada setiap tahunnya (sebagai refernsi lihat: Wirawan, 1985: 94).
Enam tahun setelah berakhirnya Puputan Klungkung (1908) yaitu pada tahun 1914, mulailah para wisatawan datang ke Bali. Para wisatawan menggunakan kapal-kapal yang dimiliki oleh KPM. Beberapa kapal KPM yang mengangkut kopra dari pelabuhan Buleleng untuk pasaran Eropa, juga memberikan pelayanan kepada orang-orang Eropa yang mempunyai tujuan wisata. Usaha ini tampaknya mendapat respon yang positif dari kalangan masyarakat Eropa pada waktu itu, sehingga terjadi perkembangan dalam dunia kepariwisataan (Lihat misalnya: Hanna, 1976: 97). Adrian Vickers menyebutkan bahwa pada waktu itu aktifitas berlibur merupakan kegiatan yang menggembirakan dan sangat prospektif bagi kegiatan dunia usaha.
KPM secara berangsur-angsur memanfaatkan Bali untuk kepentingan perusahaannya dengan menawarkan brosur untuk menarik kunjungan wisatawan. Kemudian didirikanlah hotel dan pesanggrahan-pesanggrahan untuk memberikan fasilitas kepada orang-orang asing yang merupakan tamu-tamu KPM sendiri (Pendit 1965: 1-2). Sejak dibukanya Bali oleh orang luar pada tahun 1920-an, dapat dikatakan bahwa pariwisata telah menjadi “darah dan daging” dari perekonomian Bali selanjutnya (Ardhana, 2002: 22). Hal ini terlihat dengan semakin banyaknya didirikan hotel-hotel lainnya seperti Hotel Segara di Sanur oleh Ida Bagus Kompjang. Selanjutnya berdiri Natour Bali yang bergerak di bidang jasa pariwisata (Suwitha 2003: 236). Dengan demikian dapat dikatakan pula, bahwa pariwisata Bali juga berawal dari pengangkutan kopra dan kopi sebagai usaha-usaha pertama yang dilakukan KPM di Bali.
da hal yang menarik untuk dikaji dari peran pedagang lokal pada masa sebelumnya. Sampai tahun 1930-an, Bali dikatakan pada umumnya dihuni oleh mono etnis, meskipun dari catatan-catan Belanda menyebutkan tentang peran etnis Bugis, Cina dalam dunia perdagangan. Dengan demikian selain etnis Bali, terdapat pemukiman Islam dan Cina yang memiliki hubungan historis dengan kerajaan-kerajaan di Bali. Tercatat misalnya penduduk non Hindu mencapai angka 3%, atau 1,38% untuk penduduk Islam Bali dan 0,78% untuk penduduk Indonesia lainnya (Warsilah, 1997: 77). Peran etnis Bugis dalam bidang ekonomi selanjutnya 4
sudah diganti oleh pedagang-pedagang Belanda. Namun demikian, Suwitha (2003: 234) misalnya menyebutkan bahwa sampai sebelum pecahnya perang Dunia II, hampir semua perekonomian di Bali dikuasai oleh orang asing, Bugis, Cina dan Arab. Sementara etnis Bali sendiri dikatakan tidak mempunyai bakat berdagang. Akan tetapi, meskipun demikian berikut kita melihat bagaimana peran etnis Bali yang memulai usaha-usaha mereka setelah terjadinya nasionalisasi atau indonesianisasi perusahaan-perusahaan asing di tahun 1950-an.
III. Indonesianisasi Usaha-usaha Dagang di Bali

Telah diketahui bahwa kapitalisme di Bali pada tahap awalnya memiliki ciri kapitalisme perdagangan (merchan capitalism). Paham kapitalisme ini yang memiliki jiwa sebelum perkembangan revolusi industri telah berkembang ke Bali sejalan dengan pandangan-pandangan pemerintah kolonial Belanda, sebagaimana dapat dilihat dengan hadirnya Nederlandsche Handelmaatschappij (NHM). Dapat dikatakan bahwa dalam model kapitalisme seperti ini menekankan pentingnya agen perdagangan ekspor dan impor. Peran utama yang dimainkan oleh perusahaan atau factory Belanda ini adalah melakukan aktifitas perdagangan di Bali yaitu dengan mengimpor barang-barang mewah yang dibutuhkan oleh kalangan atas. Selain itu, dapat disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan Belanda itu juga mengimpor produk yang dibutuhkan oleh masyarakat lokal seperti beras, kopi, babi dan sapi. Namun demikian setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, maka untuk mengantisipasi kelanjutan usaha-usaha perdagangan itu, maka didirkanlah usaha dagang yang didirikan oleh orang Bali.
Dengan demikian tampak, bahwa aktifitas perdagangan yang ditinggalkan oleh Belanda dapat dilanjutkan oleh pengusaha-pengusaha pribumi yang baru muncul itu. Perbaikan terhadap fasilitas pelabuhan Benoa misalnya dirasakan cukup berat karena kerusakan-kerusakan yang terjadi pada saat pendudukan Jepang. Dari hasil perbaikan terhadap pelabuhan Benoa, telah dilakukan transaksi ekspor impor walaupun tersedianya fasilitas yang sangat minim. Perbaikan infrastruktur pelabuhan dilakukan selama 1957-1961, seperti penimbunan pantai seluas 4.560 km2 yang dilakukan secara bertahap (Laporan Tahunan Kantor Syahbandar Benoa, 1987: 1). Selain itu, terjadi beberapa perubahan misalnya saja tentang peran syahbandar yang sebelum era kemerdekaan merupakan kepala pelabuhan dimana tanggung jawab seluruhnya berada padanya. Seperti diketahui bahwa menurut Staatsblad No. 703 tahun 1936, aktifitas pelabuhan berada di bawah pengawasan syahbanda. Dengan demikian fasilitas yang tersedia di pelabuhan berada di bawah tanggung jawab syahbandar. Tahun 1964 dikeluarkanlah organisasi dan tata kerja pelabuhan dan pelayaran pembinaan yang merubah peran syahbandar tidak mesti sebagai kepala pelabuhan. Selanjutnya yang ditunjuk oleh Menteri Perhubungan atau pejabat pemerintah setempatlah sebagai kepala pelabuhan (Suparsa, 1992: 78). Dapat dikatakan bahwa sejak tahun 1964 terjadilah pergeseran peranan syahbandar.
Sementara itu, telah terjadi proses pengambilalihan kepemilikan perusahaan-perusahaan asing dari tangan orang-orang Belanda ke tangan pemerintah lokal dan masyarakat Bali, juga disebut dalam kerangka proses nasionalisasi atau indonesianisasi perusahaan-perusahaan tersebut. Di Bali, telah diketahui bahwa sejak kekalahan Belanda kepada Jepang tahun 1942, terjadilah perampasan kekayaan Belanda. Termasuk didalamnya perkebunan Pulukan yang diambil alih oleh sebuah perusahaan Jepang yang bernama Mitsui Bussan Kaisha, di bawah kepemimpinan T. Okta. Setelah kekalahan Jepang yang disusul dengan era 5
kemerdekaan, maka kekayaan itu diambil alih oleh pemerintah Indonesia dibawah Komite Nasional Indonesia Jembrana, di bawah pengawasan langsung Punggawa Mendoyo. Kondisi seperti ini tidaklah berlangsung lama, karena ketika kembalinya pendudukan Belanda, perkebunan-perkebunan itu diambil alih oleh perusahaan Belanda Gouvernements Landbouw Bedryffen di bawah pimpinan W. I. Zondag.
Selanjutnya hak konsesi perkebunan itu dijual kepada perusahaan Cina di Singaraja, NV Handel Maatschappij Tjhoen Djoe Tjan pada tanggal 17 November 1949. Perusahaan Cina ini kemudian berubah nama menjadi PT Nasional Tirtha Djaja Trading Company Limited. Dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960, tanah perkebunan Pulukan dikonversi menjadi hak guna usaha (Parwata, 1988: 23). 6
Tabel I.
Penggunaan tanah dari masing-masing persil di perkebunan Pulukan sebelum diusahakan oleh PT Tirtha Djaja Trading Company Limited
(keadaan pada tahun 1948)

No . Nama Persil Luas Persil Jenis tanaman dan lain-lain Luas (ha)
1. Pulukan I 780.90 ha Kelapa 265.20 ha
Karet 193.90 ha
Kopi 10.20 ha
Kapuk 3.60 ha
Karet 13.20 ha
Akar tuba 23.50 ha
Eksplasemen 2 ha
Tanah cadangan 269.30 ha
2. Pulukan II 26.20 ha Kelapa 26.20 ha
3. Gumbrih 364.50 ha Kelapa 135.20 ha
Tanah cadangan 229.30 ha
Jumlah 1.171.60 ha 1.171.60 ha

(Sumber: Parwata, 1988: 34)
Perlu juga dicatat bahwa ada beberapa perubahan terjadi seperti peningkatan pemasaran produksi sejak perkebunan itu dioperasikan oleh NV Handel Maatschappij Tjhoen Djoev Tjan pada tahun 1949. Pemasaran produksi kopra selain ke Denpasar, juga dikirim antar pulau yaitu ke Jawa Timur seperti ke Banyuwangi. Selain itu, produksi karet dikirim ke Surabaya. Sementara kopra dan cengkeh juga dikirim langsung ke Singaraja oleh pemilik perusahaan tersebut. Kemudian produk tersebut diekspor ke luar negeri seperti Amerika Serikat dan Singapura (Parwata, 1988: 40). Sebagai perbandingan dapat dilihat perkembangan produksi beberapa tanaman di perkebunan Pulukan tahun 1966-1978 sebagai berikut.


Tabel II
Produksi Tanaman di Perkebunan Pulukan Tahun 1966-1978

Tahun Kopra (kg) Karet (kg) Kopi (kg) Merica (kg) Cengkeh (kg)
1966 440.807 81.176 12.500 288 -
1967 234.000 70.472 21.117 175 -
1968 367.074 52.542 16.231 368 9
1969 380.143 74.499 31.367 - 11
1970 363.758 91.986 30.400 - 152
1971 297.788 84.091 72.000 - 57
1972 379. 363 88.559 51.000 - 293
1973 193.054 88.047 18.400 - 60
1974 198.780 87.582 55.274 - 320
1975 453.444 107.097 42.424 - 259
1976 294.500 90.060 51.476 - 526
1977 207.667 95.479 17.580 - 562
7

1978 175.188 113.134 20.457 - 815

(Sumber: Parwata,1988: 37)
Pasca tahun 1950-an perkembangan ekonomi di Bali menghadapi berbagai kendala. Namun demikian dapat dimengerti karena masyarakat masih terkonsentrasi dengan persoalan politik, yaitu suatu fase mulainya proses demokratisasi dalam bidang politik terjadi (Bagus, 1991; Ardhana 1995: 1). Hal ini berakibat terlambatnya perkembangan ekonomi di daerah ini, karena pemikiran elit Bali pada waktu yang lebih banyak tercurah ke permasalahan politik, jika dibandingkan dengan permasalahan sosial ekonomi (Lihat: Rama, 1998: 320). Perkembangan kegiatan usaha di Bali selanjutnya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan-perkembangan usaha pribumi terutama setelah tahun 1950-an, yaitu pasca masa revolusi.
Dengan berakhirnya revolusi tahun 1950, tampak kehidupan ekonomi masyarakat Bali pada umumnya mengalami perubahan-perubahan ke arah perbaikan. Suwitha (2003: 234) menjelaskan bahwa setelah berakhirnya agitasi-agitasi politik terhadap kekuasaan penjajahan Belanda, muncul pemikiran-pemikiran kembali di kalangan para pejuang untuk meningkatkan kembali peran penduduk pribumi dalam aktifitas perdagangan. Hal ini dirasakan sangat penting mengingat hampir segala sektor ekonomi masyarakat lokal dikuasai oleh etnis Cina. Sementara masyarakat lokal tidak mampu berkompetisi dengan peran pedagang Cina itu. Tampaknya, nuansa etnik ini berhasil dimunculkan untuk dapat membangkitkan semangat ekonomi di masyarakat. Hal ini berarti, setelah usainya perjuangan di tingkat politik, tampak mereka menginginkan perjuangan dalam aspek perekonomian masyarakat dalam bentuk dukungan kepada para pengusaha-pengusaha lokal.
Upaya-upaya pembangunan perekonomian lokal mengalami peningkatan. Dwipayana (2001: 168-169) misalnya menyebutkan bahwa berbagai aktifitas bisnis akhirnya bermuncullan terutama pasca revolusi di Bali. Usaha- usaha bisnis itu bermula dari skala kecil hingga yang lebih besar. Dalam skala kecil misalnya dapat dilihat mulai bermunculannya pabrik-pabrik es, pabrik penenunan kain tradisional, pabrik vulkanisir yang dilakukan oleh masyarakat lokal. Selain itu, pedagang-pedagang di Bali mulai menangani usaha-usaha perdagangan yang sebelumnya berada di tangan orang-orang Cina seperti perdagangan kopi,1 ternak seperti babi, sapi yang berhasil mereka ambil alih yang pada umumnya dikirim tidak hanya ke Jakarta, tetapi juga ke luar negeri seperti ke Singapura. Bangkitnya perekonomian lokal ini, dapat dilihat dengan jelas, ketika semakin berkembangnya toko-toko yang dimiliki orang Bali, di samping tokok-toko yang dimiliki orang-orang Cina.
Dalam skala yang lebih besar tampak ide untuk membangkitkan peran masyarakat pribumi untuk memajukan perekonomian seperti pengembangan bidang koperasi, firma, dan cv. Dengan dimunculkannya peraturan pemerintah (PP No. 10/ 1959) misalnya tampak peranan yang semakin meningkat dari kelompok wiraswasta dalam perkembangan perekonomian daerah. Hal ini dapat dilihat dengan munculnya berbagai perusahaan seperti PT Percetakan Bali, PT Pelayaran Nusantara, Perusahaan-perusahaan daerah, bank-bank dan perusahaan-perusahaan lainnya. Realisasi proyek nasional misalnya dapat dikatakan berhasil
1 Tidak diketahui secara pasti siapa dan kapan memperkenalkan tanaman kopi di Bali, lihat: I Putu Gede Suwitha et al, Dampak Perkebunan Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Bali 1870-1942 (Denpasar: Universitas Udayana, 1989), hal. 25. 8
pula dengan didirikannya Balitex, Hotel Bali Beach, dan Lapangan Tebang Ngurah Rai. Selanjutnya semakin munculnya lembaga-lembaga perkreditan. Sebagai contoh adanya lembaga perkreditan kolonial seperti bank dessa (dessa bank), bank rakyat (volksbank), rumah gadai (pandhuisdienst), yang selanjutnya dikembangkan dalam bentuk koperasi-koperasi (Siswadi, 1992: 110-112).
Selain itu, koperasi yang pada awalnya hanya bergerak di lapangan pertanian dan peternakan ini, kemudian muncul dalam rangka membangkitkan perekonomian nasional. Organisasi ekonomi ini mendapat dukungan yang semakin meluas dari kaum terpelajar dan para pejuang. Di Tabanan misalnya, terdapat sejumlah petani yang ikut dalam Ikatan Tani Indonesia Swapraja Tabanan yang bergerak dalam lapangan sosial dan ekonomi. Mereka berhasil mengadakan kontak dengan pemerintah dalam hubungan perdagangan. Pada tahun 1950-an terlihat hasil-hasil bumi yang dijual oleh koperasi melalui perusahaan perdagangan misalnya dengan NV GIEB (Gabungan Impor Ekspor Bali). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh harga-harga yang sesuai dan terjangkau. Keberhasilan GIEB tampak semakin menunjukkan hasilnya ketika berada di bawah pimpinan I Gusti Ketut Gde.
Selain itu, perlu dicatat bahwa semakin berkembangnya usaha-usaha di bidang perkoperasian. Pada tahun 1954 misalnya terdapat peningkatan jumlah koperasi di Bali yaitu empat buah koperasi pusat, satu koperasi lumbung, empat koperasi produksi, dan dua buah koperasi konsumsi. Jumlah anggota koperasi juga mengalami peningkatan dengan jumlah seluruhnya sekitar 74.212 orang. Jumlah simpanan mereka kurang lebih satu juta rupiah. Selanjutnya Jawatan koperasi juga mencatat adanya ekspor hewan dan hasil bumi pada tahun 1954 sebagai berikut: kacang-kacangan berjumlah 5790 ton dengan harga Rp. 6.444.200, kopi seharga: Rp. 64.475.500, kopra sebanyak 16.000 ton seharga Rp 14.629.500, minyak kelapa berjumlah 2034 ton seharga Rp. 1.101.000, gula Bali sebanyak 2492 ton seharga Rp. 2.492.000 dengan jumlah keseluruhannya mencapai Rp. 99.153.200 (Lihat: Dwipayana, 2001: 170).
Apabila dilihat latar belakang para penggerak perekonomian daerah ini, tampak dilakukan oleh mereka yang sudah berpengalaman sebagai buruh perusahaan di masa-masa sebelumnya. Dalam hal ini banyak diperankan oleh mereka yang bergerak di lapangan ekspor dan impor pada perusahaan-perusahaan asing. Dwipayana (2001: 168) mencatat bahwa diantara mereka ada yang diberikan tugas untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh Jepang. Di sini dapat disebutkan misalnya adanya beberapa industri manufaktur Jepang yang memainkan peranan penting yang diambil alih oleh perusahaan pemerintah seperti textil Balitex. Balitex ini, pernah dijadikan model proyek untuk melakukan upaya-upaya modernisasi ketika pemerintahan berada di bawah Soekarno.
Upaya-upaya membangkitkan perusahaan pribumi secara kuat dimunculkan di era tahun 1950-an, dengan tampilnya seorang bangsawan Bali yang berasal dari Tabanan, yaitu I Gusti Ketut Raka. Ia berhasil mendirikan NV Gadarata sebagai perseroan dagang terbesar di Bali pada saat itu. NV Gadarata ini mempunyai hak monopoli yang diberikan oleh pemerintah sehingga sering dianggap sebagai bangkitnya kapitalis lokal.
Munculnya perusahaan-perusahaan pribumi memberikan pengaruh yang positif terhadap berbagai tanaman ekspor seperti kopi dan kopra. Tanaman kopi misalnya banyak ditanam di Pupuan, kabupaten Tabanan. Dari hasil produk kopi inilah akhirnya NV Gadarata ini mendapatkan monopolinya. Selain itu, NV Gadarata juga diberikan wewenang untuk mengekspor kopra. Kopra dianggap meningkatkan 9
perekonomian rakyat, dimana mereka dalam proses pembuatan kopra pada umumnya dilakukan dengan menjemur.
Dengan adanya produksi kopra yang meningkat maka didirikanlah empat buah pabrik minyak pada tahun 1957. Selain itu, didirikan pula Yayasan Kopra pada tahun 1958 dan kemudian berubah menjadi koperasi kopra. Selanjutnya pada setiap yayasan dibentuk koperasi kopra dengan maksud agar semua kegiatan yang menyangkut budidaya kelapa dan perdagangan kopra yang dilakukan oleh petani menjadi lancar. Ekspor kopra ke luar Bali meliputi 10.000 ton kopra dan 2000 ton minyak setahun. Produksi ini kebanyakan diperdagangkan ke Jawa Timur seperti Banyuwangi dan Surabaya (Suwitha, 1989: 24).
Selain kopra dapat disebutkan barang-barang lainnya seperti minyak kelapa, babi, ternak dan kedelai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, NV Gadarata merupakan salah satu kapitalis lokal yang memainkan peranan penting dalam perdagangan kopi di Tabanan. Disebutkan bahwa salah satu sumber penghasilan NV Gadarata ini bertumpu pada ekspor kopi yang hak monopolinya di daerah ini secara resmi diberikan oleh pemerintah. Kemudian menyusul ide pendirian NV Arta Bali di bawah pimpinan I Gde Oka di Denpasar. Usaha-usaha dagang lainnya yang muncul adalah NV Majapahit oleh I Gde Puger.
Selanjutnya berdirilah Perkumpulan Dagang GEHI di Sesetan, Denpasar di bawah pimpinan Rasna. Bank Perniagaan Umum (BPU) di bawah pimpinan Ida Bagus Oka Dewangkara. Wirati Dewangkara juga mendirikan hotel di Sanur. Ketut Bagiada mendirikan Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL). Di Gianyar ekspedisi ini bergerak dalam bidang perdagangan minyak. Tjokorda Raka mendirikan Serikat Dagang di Klungkung. Di Singaraja berdiri ABDI, di Tabanan berdiri Serikat Dagang Satrya. Di Bangli muncul Serikat Usaha Nasional Rakyat Indonesia di bawah pimpinan I Dewa Gde Deblog.
Apa yang terjadi di tingkat lokal itu, sebenanrnya sejalan dengan perkembangan di tingkat nasional. Para ekonom nasionalis yang radikal misalnya telah mendesak agar pemerintah di Jakarta secara kuat untuk segera menasionalisasikan Garuda. Akan tetapi, ketika kabinet yang lebih nasionalis, di bawah pimpinan Kabinet Ali Sastroamidjojo I mengambil alih pemerintahan pada tahun 1953, diputuskanlah untuk membeli semua kekayaan KLM (Royal Dutch Airlines) pada tahun 1954. Akibat proses nasionalisasi itu, maka peranan KLM secara lambat laun dikurangi. Bantuan pun akhirnya diupayakan oleh Garuda sendiri. Namun demikian, upaya untuk menasionalisasikan perusahaan pelayaran antar pulau seperti KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) tampaknya kurang menunjukkan keberhasilannya. Untuk mengkounter dominasi KPM, pemerintah membentuk perusahaan pelayaran antar pulau yaitu Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI). Kehadiran PELNI ini diharapkan mampu berkompetisi untuk dapat mendominasi pelayaran antar pulau baik di dalam maupun di luar negeri. Meskipun demikian pada tahun 1955 KPM dikatakan masih memiliki 90 pasar dalam pelayaran antar pulau, dengan sisa 20% dikontrol oleh perusahaan pelayaran Indonesia, termasuk PELNI. Setelah pengambilalihan KPM di akhir tahun 1957, akhirnya KPM dinasionalisasikan pada tahun 1958 (Thee Kian Wie, 2003: 9).
Dalam kerangka nasionalisasi dan Indonesianisasi ini maka akhirnya perusahaan-perusahaan swasta yang didirikan di pelabuhan Benoa menjadi sarana pembantu keberhasilan urusan pengangkutan. Dalam hal ini, aktifitas pelabuhan baik upaya penyediaan kapal-kapal untuk pengangkutan barang, maupun perusahaan yang bergerak dalam penyediaan angkutan darat seperti PT PELNI, PT Nusa Tenggara, PT 10
EMKL Badung, dan PT EMKL PELNI dan sebagainya juga diupayakan untuk mengangkut barang-barang yang dibongkar di pelabuhan.
Kondisi ekonomi yang kondusff ini akhirnya menyebabkan terjadinya peningkatan aktifitas perdagangan di Bali pasca tahun 1950-an, terutama dukungan yang diberikan oleh perusahaan PELNI yang menggantikan posisi KPM pada masa era kolonial Belanda. Rute pelayaran PELNI misalnya melayani pelayaran dari Surabaya-Buleleng-Ampenan-Benoa-Buleleng dan akhirnya menuju ke Surabaya. Pelayanan yang diberikan oleh PELNI sebanyak seminggu sekali atau empat kali sebulan. Transportasi yang menghubungkan pulau-pulau di wilayah sekitar misalnya dilakukan melalui Benoa dan Padang Bai sebagai pelabuhan yang tetap dikunjungi. Kedua pelabuhan itu mengekspor kopra, kopi, ternak ke kota-kota besar di Jawa sampai akhirnya ada yang langsung ke Singapura.
Dengan munculnya berbagai usaha-usaha dagang seperti tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa semangat nasionalisme di Bali sangat dipengaruhi oleh semangat kewirausahaan. Hal ini bisa dimengerti, karena masyarakat lokal tampaknya sudah menyadari akan arti penting sebuah kemerdekaan yang tidak hanya mencakup aspek kemerdekaan politik, tetapi juga aspek perekonomian. Kondisi yang demikianlah yang mewarnai proses nasionalisasi atau indonesianisasi perusahaan-perusahaan di tingkat lokal di Bali.
IV. Kesimpulan

Kapitalisme bukanlah gejala baru di Bali, karena sejak 1870 paham tersebut sudah masuk ke Hindia Belanda dan berdampak dalam perkembangannya di Bali. Penanaman modal diawali dengan pembukaan perkebunan di Candikusuma, Bali Barat pada tahun 1860 yang kemudian diperluas sampai ke Bali Utara. Semenjak jatuhnya kekuasaan pemerintahan tradisional di Bali ke pemerintah kolonial Belanda, diintroduksikanlah tanaman komoditi secara meningkat. Hal ini didasari atas keinginan memperoleh devisa yang tidahk hanya dari tanaman ekspor seperti kopi, kelapa, kacang-kacangan tetapi juga dari perdagangan ternak.
Upaya bisnis ini memberikan keuntungan tidak hanya bagi penguasa kolonial, tetapi juga bagi masyarakat lokal. Dampak dari perkembangan itu adalah semakin majunya usaha di bidang perniagaan, dan mulailah munculnya perusahaan-perusahaan, khususnya perusahaan di bidang perkebunan. Pertumbuhan ekonomi seperti ini dapat memperlancar peredaran uang di Bali, yang mengakibatkan semakin banyaknya berdirinya bank-bank rakyat. Pertumbuhan perusahaan itu, telah menarik minat pengusaha-pengusaha Belanda untuk berinvestasi di Bali dalam upaya meningkatkan perekonomian dan birokrasi pemerintah Belanda. Akan tetapi, tampaknya hal itu tidak berjalan sesuai dengan yang direncanakan, karena terjadinya depresi ekonomi atau malaise pada tahun 1930-an.
Pemerintah Hindia Belanda sebagai negeri yang banyak mengekspor merasa terpukul dengan keadaan ini, dan yang merasakan akibat terberat dari krisis ini adalah masyarakat bawah. Hal ini dapat dilihat dengan terjadinya penurunan upah. Namun bagaimana pun juga, masyarakat Bali telah diuntungkan dengan diperkenalkannya tanaman baru, yang kemudian mereka memperoleh manfaat dari usaha pertanian itu. Selanjutnya berbagai aktifitas ekonomi muncul seperti didirikannya perusahaan-perusahaan antara lain bank, koperasi, unit-unit usaha ekonomi yang sudah tentu diatur sesuai dengan kebijakan pemerintah kolonial. 11
Adanya pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949 telah berakibat terjadinya transisi wewenang politik dan ekonomi dari pemerintah Belanda ke pemerintah Indonesia. Di Bali, proses transisi tersebut telah memberikan kesempatan bagi kelas menengah yang ada sebelumnya untuk mengambil alih peran ekonomi tersebut. Banyak muncul usaha-usaha yang bergerak di bidang perdagangan, pelayaran, transportasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah yang melibatkan peran masyarakat lokal.
Dengan demikian, kita melihat adanya kesinambungan proses ekonomi yang sebelumnya dipegang oleh pemerintah kolonial kemudian dilakukan oleh pemerintah masyarakat setempat. Selain itu, berkenaan dengan pengambilalihan berbagai perusahaan, dapat disebut terjadinya pengambilalihan jenis perusahaan ekspor dan impor, perusahan-perusahaan yang bergerak di bidang dunia pariwisata dan sebagainya. Peran yang dimainkan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di dunia pariwisata misalnya dirasakan sangat penting, mengingat telah mampu menggeser aktifitas usaha di bidang pertanian. Meskipun demikian, sekarang ini telah muncul berbagai persoalan dan keluhan tentang terutama menyangkut masalah ekologi, pertanian yang berkelanjutan terutama setelah terjadinya peristiwa bom Bali 11 September 2002 yang lalu. Tampaknya, masyarakat Bali perlu ke hati-hatian dalam menerapkan kebijakan pembangunannya, sehingga dalam mengadopsi berbagai kebijakan pembangunan tetap memperhatikan proses keberlanjutan pembangunan, tanpa mengenyampingkan persoalan-persoalan ekologi sebagai akibat perkembangan ekonomi itu sendiri. 12
BIBLIOGRAFI
Ardhana, I Ketut. Mads Johansen Lange: Bisnis, Politik dan Generasi Pewaris. Denpasar: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana, 1991.
_______________. “Bali in the Indonesian State: From the Crisis Period to the Renaissance of Balinese Culture”, makalah dipresentasikan pada the Third International Bali Studies Workshop, the University of Sydney, 3-7 July 1995.
_______________. Pengembangan Industri Pariwisata Berbasiskan Budaya Lokal di Bali. Jakarta: Puslit Kemasyarakatn dan Kebudayaan, LIPI, 2002.
Bagus, I Gusti Ngurah, “Bali in the 1950s: The Role of the Pemuda Pejuang in Balinese Political Processes”, dalam Hildred Geertz,. State and Society in Bali. Leiden: KITLV Press, 1991.
Dwipayana, AAGN. Kelas, Kasta: Pergulatan Kelas Menengah Bali. Yogyakarta: Lapera, 2001.
Eiseman, B. Bali: Sekala and Niskala: Vol. I: Essays on Religion, Ritual, and Art. Periplus Edition (HK) Ltd, 1980.
Geertz, Clifford. Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali. Princeton: Princeton University Press, 1980.
Gorer, Geoffrey. Bali and Angkor: A 1930s Pleasure Trip Looking at Life and Death. Oxford: Oxford University Press, 1987.
Hanna, Williard A. Bali Profile: People, Events, Circumstances 1001-1976. New York: American Universities Field Staff, 1976.
Jensen, Gordon dan Luh Ketut Suryani. The Balinese People: A Reinvestigation of Character. Oxford: Oxford University Press, 1993.
Legge, J. D. Central Authority and Regional Autonomy in Indonesia: A Study in Local Administration 1950-1960. New York: Cornell University Press, 1961.
Lekkerkerker, C. “Het Voorspel der Vestiging van de Nederlandsch Macht op Bali en Lombok”, dalam BKI, 70, 1923.
Lovric, Barbara. “Bali: Myth, Magic and Morbidity”, dalam Norman G. Owen, Death and Desease in Southeast Asia: Explorations in Social, Medical and Demographic History. Oxford: Oxford University Press, 1987.
Mabbett, Hugh. In Praise of Kuta. Wellington: January Books, 1987.
Nehen, I Ketut. “Transformasi Ekonomi di Bali: Loncatan dari Masyarakat Primer ke Masyarakat Tersier”, dalam I Gde Pitana (ed.). Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar: Bali Post, 1994.
Parimartha, I Gde. Prof. dr. I Goesti Ngoerah Gde Ngoerah: Sebuah Biografi Pendidikan. Denpasar: Upada Sastra, 1998.
Parwata, I Nyoman. “Perkebunan Pulukan dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitarnya 1949-1981”, Tesis S1 belum diterbitkan. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana, 1989. 13
Siswadi, I Gusti Putu Oka, “Perkembangan Lembaga Perkreditan di Bali Tahun 1859-1937”, Skripsi S1 belum diterbitkan. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana, 1991.
Soenaryo, F.X. “Denpasar Pada Masa Kolonial Belanda 1906-1942”, dalam Guratan Budaya dalam Perspektif Multikultural: Katurang ri Kalaning Purnabakti Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus. Denpasar: Fakultas Sasatra dan Budaya Universitas Udayana, 2003), hal. 198-222.
Rama, Ida Bagus. Prof. Dr. I. B. Mantra, Biografi Seorang Budayawan 1928-1995. Denpasar: Upada Sastra, 1998.
Staab, Christiane. Balinesische Dorforganisationen und ihre Bewertungen in der Literatur. Passau: Lehrstuhl fur Sudostasienkunde. 1997.
Sudjana, I Made. “Penghasilan Rakyat Kecil dan Masalah Pajak Tanah di Landschap Badung Pada Tahun 1937”, dalam Majalah Widya Pustaka. Denpasar: Fakultas Sastra, September 1993.
Suparsa, I Made. “Peranan Pelabuhan Benoa 1908-1984”. Tesis S1 belum diterbitkan. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana, 1992.
Suwitha, I Putu Gede. ”Terbentuknya Kelas Menengah dan Modernisasi Dalam Masyarakat Bali”, dalam Guratan Budaya dalam Perspektif Multikultural: Katurang ri Kalaning Purnabakti Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus. Denpasar: Fakultas Sasatra dan Budaya Universitas Udayana, 2003), hal. 223-253.
______________ , I Ketut Ardhana, I Nyoman Sukiada, I Wayan Tagel Eddy dan AAA Rai Wahyuni. “Dampak Perkebunan Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Bali 1870-1942 (Suatu Kajian Sejarah)”. Denpasar: Universitas Udayana, 1989.
Thee Kian Wie, “Indonesia’s Economic Policies During The Early Independence Period, 1950-1965” dalam Journal Ekonomi dan Pembangunan, Vol. X, No.1, 2003.
Vickers, Adrian. Bali: A Paradise Created. Australia: Penguin Books, 1996.
Warsilah, Henny. Golongan Menengah Bali Di Simpang Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kemasyarakatan dan Kebudayaan-LIPI, 1997.
Wirawan, Anak Agung Bagus. “Tanah dan Perubahan Sosial di Bali 1882-1942” Tesis S2 belum diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, 1985.

Tidak ada komentar: