Label

Adi Sanjaya

Adi Sanjaya

Kamis, 16 September 2010

Perbandingan perekonomian pada jaman VOC, Cultuur Stelsel, Politik Pintu Terbuka dan Politik Ethis.

Oleh: Adi Sanjaya

1. VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie)
Hampir seratus tahun lamanya orang-orang Portugis dapat merahasiakan jalan pelayaran ke negara-negara timur melalui Tanjung Harapan. Namun pada tahun 1595, rahasia pelayaran ke negara-negara timur melalui Tanjung Harapan itu dibocorkan oleh seorang Belanda Jan Huygen van Linschoten yang pernah menjadi sekretaris uskup agung di Goa, lewat bukunya yang berjudul Itinerario.
Pada tahun 1548, Belanda membebaskan dirinya dari penjajahan Spanyol. Sejak itu muncul ketegangan antara Belanda dan Spanyol. Ketegangan itu berlangsung selama 80 tahun dan dikenal dengan “perang 80 tahun” dalam sejarah Belanda (Muljana,2005:270). Dengan semangat perjuangan yang masih menyala-nyala dan semangat nasional yang sedang berkobar, orang-orang Belanda berusaha membangun negaranya. Sebelumnya perekonomian Belanda ditunjang dari sektor perdagangan dari negara-negara timur dengan melewati Lisabon. Namun setelah Lisabon dikuasai oleh Spanyol, maka sektor perdagangan Belanda menjadi terpuruk karena Belanda tidak diijinkan lagi melewati wilayah Lisabon. Oleh karena itulah muncul keinginan melakukan suatu bentuk perdagangan melalui jalur pelayaran, apalagi setelah diketahui rahasia jalur pelayaran Portugis yang melewati Tanjung Harapan. Lewat pelayaran yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman, pada tanggal 2 April 1595 Armada Belanda berangkat dari Belanda dan lima belas bulan kemudian sampai di pelabuhan Banten, namun disana armada Belanda mendapat perlawanan. Sehingga kembali ke Belanda dengan membawa rempah-rempah hasil rampasan yang sangat laku di pasaran Eropa. Oleh sebab itu, setelah beberapa kali ekspedisi para pedagang dan pengusaha dari Belanda berlomba-lomba mendirikan serikat dagang kecil untuk memborong rempah-rempah di kepulauan Maluku. Namun, di Maluku Belanda juga mendapat saingan dari pihak Portugis yang saat itu masih menginginkan monopoli rempah-rempah. Untuk dapat bersaing dengan orang-orang Portugis dan menghindari persaingan antara pedagang-pedagang Belanda sendiri, pihak Belanda dalam bulan Maret 1602 membentuk Serikat Dagang Belanda di Hindia yang disebut Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Serikat dagang tersebut berwatak semi pemerintah. Badan itu dibantu, dipersenjatai dan dilindungi oleh pemerintah Belanda, yang pimpinan pusatnya ada pada Heren XVII dan merupakan satu-satunya serikat dagang yang boleh menjalankan dagang di Hindia. Persekutuan Dagang ini oleh pemerintah Belanda diberikan Hak Oktroi yang terdiri dari :
· Hak untuk dianggap sebagai wakil pemerintah Belanda di Indonesia
· Monopoli perdagangan
· Mencetak dan mengedarkan uang sendiri
· Mengadakan perjanjian dengan pihak lain
· Melakukan perang dengan negara lain
· Menjalankan kekuasaan kehakiman
· Pemungutan pajak
· Memiliki angkatan perang sendiri
· Mengadakan pemerintahan sendiri
Pada dasarnya, VOC mendapatkan banyak keuntungan dari hak monopoli yang didapatkannya. Menguntungkan atau tidak, benteng-benteng Belanda di Maluku terlalu terpencil letaknya untuk menjadi tempat yang sesuai bagi General Rendezvous (pertemuan umum) di Asia, sebagai yang disadari oleh Heren XVII sejak mula (Boxer,1983:30). Oleh karena itulah Coen dan Reael dalam bulan Mei 1619 menyerbu Batavia yang menjadi pilihan pusat VOC selanjutnya, karena di sekitar selat sunda angin-angin musim dan rute-rute perdagangan laut bertemu. Setelah berpusat di Batavia (sebelumnya Ambon), VOC melakukan perluasan kekuasaan serta campur tangan terhadap kerajaan-kerajaan di Indonesia, seperti Mataram, Banten, Banjar, Sumatra, Gowa (Makassar) serta Maluku. Akibat hak monopoli yang dimilikinya, VOC memaksakan kehendaknya sehingga menimbulkan perlawanan-perlawanan dari kerajaan-kerajaan Nusantara. Untuk menghadapi perlawanan-perlawanan bangsa Indonesia, VOC meningkatkan kekuatan militernya serta membangun benteng-benteng seperti di Ambon, Makassar, Jayakarta dan lain-lain (www.senduku.org). Untuk melaksanakan monopoli perdagangan tersebut, VOC mengambil beberapa cara atau tindakan sehingga didapatkan keuntungan yang maksimal, antara lain :
· Dengan melakukan Pelayaran Hongi untuk memberantas penyelundupan. Tindakan yang dilakukan VOC adalah merampas setiap kapal penduduk yang menjual langsung rempah-rempah kepada pedagang asing seperti Inggris, Prancis dan Denmark.
· Malakukan Ekstirpasi, yaitu penebangan tanaman milik rakyat untuk mempertahankan agar harga rempah-rempah tidak merosot bila hasil panen berlebihan (over produksi)
· Melakukan perjanjian-perjanjian dengan raja setempat, terutama yang kalah perang wajib menyerahkan hasil bumi yang diperlukan VOC dengan harga yang ditetapkan VOC. Penyerahan wajib ini dikenal dengan Verplichte Leverentien
· Rakyat wajib menyerahkan hasil bumi sebagai pajak (Contingenten).
Dampak positif yang ditimbulkan dari periode kekuasaan dan monopoli VOC di Indonesia bagi bangsa Indonesia sendiri adalah menempatkan hasil bumi Indonesia, terutama rempah-rempah sebagai komoditi yang sangat laku di pasaran Eropa sehingga semakin mudah untuk diperdagangkan. Sedangkan dampak negatifnya adalah adanya penindasan dalam bidang perdagangan, dimana melalui hak monopoli VOC, perdagangan di Nusantara tidak diberikan kebebasan karena pihak VOC mengantisipasinya lewat Pelayaran Hongi. Selain itu, perekonomian rakyat yang dipandang merugikan VOC tidak dibiarkan berkembang dan langsung diatasi dengan Ekstirpasi, yaitu penebangan tanaman milik rakyat untuk mempertahankan agar harga rempah-rempah tidak merosot bila hasil panen berlebihan.
Sedangkan dampak positif dari pihak Belanda adalah dapat menikmati keuntungan yang sangat besar karena penerapan Hak Oktroi yang dimilikinya. Perdagangan tersebut mampu memberikan keuntungan bagi pengusaha swasta dan mengisi kas negeri Belanda. Namun, kita perlu ketahui bahwa orang-orang yang duduk dalam lembaga ini adalah pengusaha-pengusaha yang mempunyai tujuan utama untuk mendapatkan keuntungan. Oleh karena itu, banyak terjadi tindakan-tindakan korupsi di dalam lembaga tersebut sebagai akibat keinginan orang-orang yang duduk di dalamnya untuk menikmati keuntungan yang lebih besar. Akibatnya, VOC mempunyai hutang-hutang yang sangat besar yang tidak mampu untuk dibayar, sampai akhirnya mengalami pailit dan dibubarkan pada 31 Desember 1799. oleh karena itu, hutang-hutang yang sebelumnya menjadi tanggungan VOC dilimpahkan kepada pemerintah negeri Belanda yang mengakibatkan kas pemerintah menjadi berkurang bahkan kosong.

2. Cultuur Stelsel (Sistem Tanam Paksa)
Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes Van Den Bosch yang mewajibkan setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor yang laku di pasaran Eropa dan dunia. Praktek politik ini muncul sebagai akibat pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Diponogoro, 1825–1830) dan Perang Padri di Sumatera Barat (1821–1837), sehingga muncul ide dari Van Den Bosch untuk membantu mengisi kas Negara yang kosong dengan menerapkan Cultuur Stelsel tersebut. Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa–desa di Jawa berhutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Pemerintah Belanda memang gagal menarik keuntungan sejak Jawa dikembalikan oleh Inggris pada tahu 1816 (Robert Van Neil, 2003;77). Lewat rencananya, Van Den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah (http://id.wikipedia.org/wiki/Cultuurstelsel). Ketentuan – ketentuan pokok Sistem Tanam Paksa yang digagas oleh Van Den Bosch antara lain :
· Tanah yang digunakan oleh pemerintah harus mendapat persetujuan dari petani
· Tanah yang digunakan adalah seperlima dari tanah desa
· Tanah yang digunakan bebas dari Landrent
· Waktu tanam tanaman tidak lebih dari waktu tanam tanaman padi
· Jika hasil tanaman terjadi kelebihan dari jumlah tanam awal, maka sisanya akan dikembalikan kepada petani
· Jika tanaman mengalami kerusakan yang bukan karena kesalahan petani, maka akan ditanggung oleh pemerintah kolonial.
Dalam teori setiap pihak akan memperoleh keuntungan dari sistem ini. Desa masih memiliki tanah yang cukup luas untuk kegunaannya sendiri dan akan mendapatkan penghasilan dalam bentuk tunai. Sebagai pengganti pendapatan yang tidak jelas dari pajak tanah, maka pemerintah akan mendapatkan komoditi daerah tropis yang sangat murah harganya sehingga menurut perkiraan Van Den Bosch masih dapat bersaing dengan dengan gula Hindia Barat di pasaran dunia yang dihasilkan oleh tenaga budak. Kemudian komoditi tersebut dikapalkan ke Eropa oleh Perusahaan Dagang Belanda (NHM: Nederlandsche Handelmaatschappij) yang didirikan pada tahun 1824 – 1825 (Ricklefs, 2001:184).
Namun, dalam pelaksanaannya, orang Jawa pada khususnya diseret paksa masuk ke dalam suatu perekonomian pasar yang hanya sedikit mereka kuasai. Beberapa bentuk baru juga muncul waktu itu, menunjukkan kemampuannya dalam menyesuaikan diri dengan realitas ekonomi. Usaha transportasi swasta untuk menggerakkan produk hasil bumi ke pabrik–pabrik dan pelabuhan merupakan sumber pendapatan yang sedang tumbuh; buruh – buruh pabrik dan gudang makin terpaku pada kerja upahan; pabrikasi bahan pangan, pakaian dan barang–barang logam lokal tersebar di beberapa daerah seiring dengan meningkatnya komunikasi yang memperluas wilayah pemasaran; dan kerajinan pertukangan seperti pembuatan perahu dan perabot rumah tangga, dimana semuanya itu berkembang di luar perekonomian desa atau kerja paksa (Robert Van Neil, 2003:183). Kegiatan perekonomian orang pribumi, meskipun didorong oleh dampak perekonomian kolonial, tetap bersifat lokal atau berada di pinggiran perekonomian kolonial. Tekanan dari pemerintah Hindia Belanda secara bersamaan membuat sebagian besar orang – orang pribumi berkutat pada aras kerja kuli, dengan atau tanpa upah. Namun perkembangan paham liberal baru di Belanda membuat sistem ini mempunyai dukungan yang lemah di Parlemen Belanda, yang ditandai oleh perubahan politik 1848 telah melahirkan rasa tidak suka terhadap personalisme, favoritisme dan otokrasi sistem kolonial di Indonesia.
Bagaimanapun pelaksanaan Sistem Tanam Paksa oleh Pemerintah Belanda pasti akan membawa dampak – dampak, baik itu positif maupun negatif. Dampak yang paling nyata kita lihat adalah kesengsaraan yang dialami oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, dan khususnya masyarakat Jawa akibat dari kewajiban dan paksaan yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Apalagi diterapkannya Cultuurprocenten yang membuat para pejabat – pejabat Pemerintah Kolonial semakin keras untuk berusaha untuk menguntungkan pihak pemerintah Belanda, karena siapapun yang mampu meningkatkan keuntungan pemerintah lebih dari standar yang diwajibkan akan diberikan suatu bentuk hadiah bagi mereka. Masyarakat pribumi mengalami sikap yang eksploitatif, baik dari fisik, mental maupun sumber daya alam hanya demi keuntungan pihak Belanda saja. Selain itu, sawah dan ladang para petani juga terbengkalai karena ditinggal kerja rodi, beban mereka semakin berat karena harus menanggung panen yang gagal dan membayar pajak. Namun dari itu semua, sistem tanam paksa juga membawa dampak positif bagi bangsa Indonesia. Rakyat menjadi bisa mengenal suatu bentuk perekonomian baru, yaitu sistem perekonomian pasar. Selain itu, masyarakat Indonesia juga bisa mengenal jenis-jenis komoditi–komoditi ekspor yang laku di pasaran dunia serta cara-cara merawat dan pe,ilihan tempat yang cocok untuk menanam jenis tanaman tertentu. Rakyat Indonesia juga menjadi tahu cara-cara mengolah tanah dan memanen yang baik. Namun secara umum untuk negeri Belanda, dengan sistem tanam paksa ini mereka dapat merasakan keuntungan yang besar. Kita ketahui bahwa perekonomian Belanda sudah kosong akibat menaggung hutang-hutang dari VOC, namun pada tahun 1831 kas negeri Belanda sudah mampu seimbang.

3. Politik Pintu Terbuka (Liberal)
Melihat keadaan rakyat Indonesia yang mengalami kesengsaraan akibat dari Cultuur Stelsel, maka terdapat kritikan terhadap pelaksanaan sistem tersebut, baik itu dari kaum liberal maupun dari kaum humanis. Usaha kaum liberal di negeri Belanda agar Tanam Paksa dihapuskan telah berhasil pada tahun 1870 dengan diberlakukannya Undang – undang Agraria (Agrarische Wet). Namun tujuan yang hendak dicapai oleh kaum liberal tidak hanya sebatas penghapusan Tanam Paksa. Mereka mempunyai tujuan lebih lanjut.
Gerakan liberal di negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta. Oleh karena itu kebebasan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang ekonomi. Kaum liberal di negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya pemerintah jangan ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta ketertiban (http://id.wikipedia.org/wiki/Cultuurstelsel). Kondisi kemiskinan dan penindasan sejak tanam paksa dan UU Agraria, juga mendapat kritik dari kaum kaum humanis Belanda. Seorang Asisten Residen di Lebak, Banten, Douwes Dekker mengarang buku Max Havelaar (1860) yang menceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tekanan pejabat Hindia Belanda. Latar belakang munculnya politik pintu terbuka (laissez-faire) adalah karena pada saat pelaksanaan Tanam Paksa yang justru menguntungkan pihak Belanda, di Belanda banyak muncul kaum – kaum borjuis – kapitalis kaya yang ingin ikut menikmati keuntungan dengan menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan banyaknya modal swasta itu yang ditanamkan di sektor perkebunan dan pertambangan, atas desakan dari ketiga golongan inilah (borjuis-kapitalis, humanis dan liberal), Menteri Tanah Jajahan Belanda (De Waal) akhirnya menetapkan Undang–undang Agraria pada tahun 1870 dan akhirnya di Indonesia berlaku Politik Pintu Terbuka. Artinya pemerintah memberikan kesempatan seluas–luasnya bagi pihak swasta untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pada dasarnya Undang–undang ini ingin melindungi tanah–tanah milik petani dan memberi peluang bagi pananam modal asing (Onderneming) untuk menyewa tanah dari petani pribumi sehingga menguntungkan petani. Adapun isi pokok dari Undang-undang Agraria tersebut antara lain :
· Tanah Indonesia dibedakan menjadi dua macam, yaitu : tanah rakyat dan tanah pemerintah
· Tanah rakyat dibedakan atas : tanah milik yang sifatnya bebas dan tanah untuk keperluan penduduk desa yang sifatnya bebas
· Tanah pemerintah adalah tanah yang bukan milik rakyat, yang dapat dijual atau disewakan untuk dijadikan perkebunan.
Namun karena tanah milik pemerintah sangat terbatas jumlahnya, padahal para Onderneming sangat haus untuk menanamkan modalnya. Oleh karena itulah pada setahun kemudian (1871) ditetapkan Undang–undang Gula (Suiker Wet) yang memperbolehkan penyewaan tanah rakyat dengan syarat sudah mendapat persetujuan dari petani pemilik tanah. Selain itu, undang-undang tersebut menyatakan bahwa sewa hanya dapat dilakukan antara satu sampai dua tahun, dan uang sewa sebesar hasil dari satu kali panen petani, kalau tanah itu dikerjakan oleh petani. Selain mengeluarkan Undang–undang tersebut, pemerintah juga mengeluarkan Pernyataan Hak Tanah (Domein Verklaring) pada tahun 1870. Akibat atau hasil dari penerapan Undang–undang tersebut adalah munculnya usaha–usaha besar antara lain di sektor–sektor perkebunan dan pertambangan. Usaha perkebunan yang muncul pada saat itu di Indonesia antara lain :
· Perkebunan tebu di Jawa tengah dan Jawa Timur
· Perkebunan tembakau di Surakarta, Yogyakarta, Deli dan Sumatera Utara
· Perkebunan teh di Jawa Barat dan Sumatera Utara
· Perkebunan kina di Jawa Barat
· Perkebunan karet di Sumatera Utara, Jambi dan Palembang
· Perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara
Selain itu juga muncul usaha–usaha pertambangan antara lain sebagai berikut :
· Pertambangan minyak di Plaju, Sungai Gerong (Sumatera Utara), Bunyu, Tarakan (Kalimantan Timur)
· Pertambangan batu bara di Ombilin (Sumatera Utara)
· Pertambangan timah di Bangka, Belitung dan Singkep
Politik pintu terbuka berusaha mengubah status kepemilikan tanah dan tenaga kerja. Tanah dan tenaga kerja dianggap sebagai milik perorangan (pribadi), selain itu tanah dapat disewakan dan tenaga kerja dapat dijual. Jadi dalam periode ini ada kebebasan dalam memanfaatkan tanah dan tenaga kerja. Periode 1870 – 1900 dari sudut pandang perekonomian kolonial dan sektor kapitalis swasta menunjukan pertumbuhan produksi, perluasan areal tanam dan peningkatan ekspor. Namun kurun waktu tersebut tidak sepenuhnya menggembirakan. Paruh pertama periode (1870 – 1885) merupakan jaman gemilang bagi para pengusaha swasta. Harga – harga hasil bumi tropis terlanda depresi dunia sehingga memaksa sebagaian besar di antara mereka menutup usaha di tahun 1880-an. Paruh kedua periode (1885-1900) menyaksikan dominasi bank–bank perkebunan dan manajemen korporasi yang semakin menguat dalam dunia perekonomian. Pada era tersebut sudah dibangun bank–bank dagang di dekat–dekat pelabuhan dan juga dibangunnya The Javanese Bank selain didirikannya Dinas Pos (Robert Van Neil, 2003 : 194).
Secara umum penerapan politik pintu terbuka membawa dampak yang positif bagi rakyat Indonesia, dimana Cultuur Stelsel dihapuskan dan kehidupan rakyat menjadi lebih baik daripada periode sebelumnya. Dengan adanya politik pintu terbuka ini, masyarakat juga bisa lebih bisa mengenal dan menggunakan uang sebagai alat tukar dimana pengusaha swasta berusaha untuk meluaskan peredaran uang, karena sistem perekonomian yang digunakan adalah sistem perekonomian pasar. Mereka bisa mendapatkan uang dengan menyewakan tanahnya dan mendapat upah dari perkebunan dan pabrik. Selain itu juga dibangun infrastruktur berupa sarana perhubungan dan sistem pengangkutan untuk memudahkan pengangkutan hasil – hasil perkebunan dan pertambangan. Selain itu, jalan raya, jalan kereta api, jembatan, pelabuhan dan sarana lainnya dibangun untuk mempercepat perpindahan penduduk dan pengangkutan hasil-hasil perkebunan ke tempat lain. Di samping itu, dampak-dampak positif lainnya seperti
· Rakyat dibebaskan dari pajak, sebagai gantinya mereka mebayar dengan menanam tanaman yang dibutuhkan oleh pihak Belanda
· Rakyat/petani bebas membudidayakan tanah garapannya dengan tanaman apapun yang disukainya
· Mempercepat ekspansi perekonomian Jawa karena Belanda berusaha mendirikan perusahaan-perusahaan di daerah-daerah lain di Jawa
Di samping dampak positif tersebut, politik pintu terbuka juga membawa dampak negatif bagi rakyat Indonesia. Walaupun mereka sudah mengenal dan menggunakan uang serta dibangunnya infrastruktur perhubungan, politik ini belum berhasil mengangkat nasib rakyat. Hal ini salah satunya terlihat dari kuli kontrak yang ingin mendapatkan upah yang lebih besar yang “loncat pagar” sembarangan ke perusahaan lain, akhirnya mereka dikungkung oleh Poenale Sanctie, yaitu hukuman berat, baik hukuman badan maupun hukuman penjara bagi setiap kuli yang melarikan diri. Kuli–kuli itu diawasi oleh mandor yang sangat kejam. Akibatnya, ketidakpuasan rakyat menyebabkan timbulnya kerusuhan di berbagai tempat, termasuk pembakaran, pencurian dan pembunuhan. Bagi masyarakat agraris, masa ini barangkali merupakan suatu masa penderitaan yang semakin berat. Jumlah penduduk terus bertambah, sehingga semakin memperbesar tekanan terhadap sumber–sumber bahan pangan; tanah yang terbaik sudah digunakan, sehingga tanaman padi hanya dapat diperluas ke kawasan–kawasan yang kurang subur (Ricklefs, 2001 : 190). Hal ini tentu saja akan menjadi masalah terhadap kondisi kesejahtraan rakyat terhadap kebutuhan pangan. Penanaman padi meluas, tetapi kalah cepat dengan laju pertambahan penduduk.

4. Pilitik Ethis (Politik Balas Budi)
Politik Ethis berakar baik pada masalah masalah kemanusiaan maupun pada keuntungan ekonomi. Kecaman–kecaman dan kritik–kritik terhadap pemerintah bangsa Belanda yang dilontarkan dalam novel Max Havelaar (1860) dan berbagai pengungkapan lainnya mulai membuahkan hasil. Semakin banyak suara Belanda yang mendukung pemikiran untuk mengurangi penderitaan rakyat Jawa yang tertindas, dan akhir abad ke XIX para pegawai kolonial baru berangkat menuju Indonesia. Pada jaman liberal (1870 - 1900) kapitalisme swasta memainkan pengaruh yang sangat menentukan terhadap kebijakan penjajahan. Industri Belanda mulai melihat Indonesia sebagai pasar yang potensial yang standar hidupnya perlu ditingkatkan. Modal Belanda maupun internasional mencari peluang–peluang baru bagi investasi dan eksploitasi bahan–bahan mentah, khususnya di daerah–daerah luar Jawa. Terasa adanya kebutuhan akan tenaga kerja Indonesia dalam perusahaan–perusahaan modern. Oleh karena itulah, maka kepentingan–kepentingan perusahaan–perusahaan mendukung keterlibatan penjajah yang semakin intensif untuk mencapai ketentraman, keadilan, modernitas dan kesejahteraan. Kaum humanis membenarkan apa yang dipikirkan kalangan pengusaha itu akan menguntungkan, dan akhirnya lahirlah Politik Ethis pada tahun 1900 (Ricklefs, 2001 : 227-228). Ada dua momentum yang menandai bergemanya politik ethis pada kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Pertama, artikel Van Deventer yang berjudul “Een eereschuld” (suatu hutang kehormatan) yang diterbitkan pada majalah berkala de Gids tahun 1899. Kedua, sebuah brosur politik yang ditulis Brooshooft yang berjudul “De Etische koers in de koloniale politiek” (Haluan etis dalam politik kolonial), diterbitkan di Belanda pada tahun 1901. Ada tiga hal yang ditekankan dalam pelaksanaan Politik Ethis ini antara lain
· Educatie (Pendidikan)
· Transmigratie (Transmigrasi)
· Irigatie (Pengairan)
Dalam bidang pendidikan, menurut Andi Y. Widiyanto dalam artikelnya yang berjudul “Bayang Retak Indonesia”, pada bulan Januari 1901 Ratu Wilhelmia mengumumkan di depan Parlemen program pemerintah Belanda yang baru saja terpilih, selain pengakuan bahwa di masa lalu perusahaan dan orang Belanda telah memperoleh keuntungan yang berlimpah–limpah dari Hindia Belanda, penduduk di tanah jajahan itu sendiri menjadi miskin. Dengan bernaung di bawah Politik Ethis, pemerintah Hindia Belanda perlahan–lahan memperluas kesempatan bagi anak- anak Indonesia dari golongan atas untuk mengikuti sekolah–sekolah berbahasa Belanda tingkat dasar dan menengah. Para lulusan yang terbaik di antara anak–anak muda Indonesia itu harus melanjutkan pelajaran mereka di negeri Belanda. Banyak sekali usaha–usaha yang dijalankan di bidang pendidikan, dan hasil–hasilnya sering kali membuat bangga para pejabat Belanda. Semua pendukung politik ethis menyetujui ditingkatkannya pendidikan bagi rakyat Indonesia, namun ada dua aliran pemikiran yang berbeda mengenai jenis pendidikan yang bagaimana dan untuk siapa. Salah satunya adalah pendidikan gaya Eropa yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya bagi kaum elite Indonesia yang dipengaruhi barat. Dan pemikiran yang lain lebih mendukung pendidikan yang lebih mendasar dan praktis dengan bahasa daerah sebagai bahasa pengantarnya bagi golongan–golongan bawah. Dalam bidang kependudukan, Ricklefs (2001:234) menyebutkan data bahwa sekitar 70% penduduk Indonesia pada tahun 1930 tinggal di Jawa dan Madura yang luasnya hanya sekitar 7% dari luas seluruh daratan Indonesia. Jawa, yang pernah menjadi lumbung padi Nusantara sekarang telah menjadi suatu wilayah yang mengalami kekurangan bahan pangan. Oleh karena itulah satu–satunya jawaban yang diberikan oleh Belanda adalah emigrasi dari Jawa ke daerah luar Jawa, suatu kebijakan yang masih terus dilanjutkan setelah kemerdekaan Indonesia dengan nama “transmigrasi”. Selain pelaksanaan sektor–sektor tersebut, usaha untuk mamajukan rakyat dalam sektor pertanian juga dilakukan melalui usaha memajukan pertanian dan perkebunan dengan memaksimalkan sistem irigasi (pengairan). Usaha ini juga secara tidak langsung mendukung sistem transmigrasi, dimana penduduk memerlukan suatu mata pencaharian, dan yang paling memungkinkan adalah melalui sektor pertanian. Usaha pertanian ini akan maju apabila salah satunya ditunjang oleh sistem irigasi yang baik. Dalam pelaksanaan irigasi untuk pertanian, sudah berkembang sutu sistem kredit dan adanya Volks Bank (Bank Rakyat).
Namun sekali lagi teori kadang tidak sesuai dengan praktek. Hal–hal yang berkaitan dengan pendidikan menjadi sarana untuk memajukan sektor perekonomian. Hal ini terkait dengan dibukanya terusan Zues dan alat–alat teknik baru yang menyebabkan perusahaan kepunyaan kapitalis Belanda membutuhkan tenaga kerja dari Indonesia agar perekonomian Indonesia tidak terlalu tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Selain itu untuk melengkapi tenaga kerja dalam birokrasi pemerintah kolonial, maka mereka merekrut lulusan pemuda pribumi baik dari sekolah rendah, menengah maupun sekolah tinggi sebagai juru tulis dengan gaji yang bisa dikatakan sangat minim pada waktu itu. Dalam hal jumlah penduduk, pemerintah Belanda sangat menyita waktu dan biaya, karena dapat dikatakan hal tersebut tidak terlalu menguntungkan pemerintah Belanda. Oleh karena itu, dapat dikatakan program transmigrasi ini belum bisa dijalankan. Dan kalaupun itu terlaksana, perpindahan tersebut semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, khususnya di sektor pertanian dan perkebunan. Sedangkan pekerjaan yang berkaitan dengan pengairan memang bisa terlaksana akan tetapi untuk melayani kebutuhan orang-orang kapitalis Belanda yang juga membutuhkan pengairan untuk perkebunan tebu milik mereka dimana pemerintah Belanda menyuruh membuat jalan untuk mempermudah pengangkutan hasil perkebunan ke pelabuhan. Singkatnya, segala hal yang bergerak ke arah kemajuan ditujukan utamanya untuk kebutuhan kaum kapitalis.



DAFTAR PUSTAKA


Boxer,C.R.1983.Jan Kompeni:Dalam Perang dan Damai 1602-1799.Penerbit Sinar Harapan
Neil, Robert Van.2003.Sistem Tanam Paksa di Jawa. Jakarta:Pustaka LP3ES Indonesia
Muljana, Slamet.2005.Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta:PT Lkis Pelangi Perkasa
Ricklefs,M.C.2001.Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press
http://id.wikipedia.org/wiki/Cultuurstelsel
http://sejarahkecil.wordpress.com
Widianto,Andi. Y dalam http://www.google.co.id .Manifesto Pergerakan Kebangsaan :Bayang Retak Indonesia
http://www.senduku.org

Tidak ada komentar: