Oleh:Putu Adi Sanjaya
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertama-tama kita kutip pesan Albert Einstein kepada mahasiswa California Institute of Technology pada tahun 1938, yang lebih kurang sebagai berikut, ”Adalah tidak cukup bahwa kamu memahami ilmu agar pekerjaanmu akan meningkatkan berkah manusia. Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis, perhatian kepada masalah besar yang tak kunjung terpecahkan dari pengaturan kerja dan pemerataan benda–agar buah ciptaan dari pemikiran kita akan merupakan berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan.” (Suriasumantri, 1983).
Kutipan Einstein dijadikan pembukaan dari tulisan ini untuk mengingatkan bahwa masih banyak orang yang belum beruntung dan perlu dibantu oleh ilmuwan untuk lebih diberdayakan (bukan “diperdayai”), salah satunya adalah masyarakat nelayan. Masyarakat nelayan di Indonesia sampai saat ini masih tergolong masyarakat miskin, ini suatu keironisan. Padahal wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman sumber daya alamnya, baik sumbe rdaya yang dapat pulih (seperti perikanan, hutan mangrove dan terumbu karang) maupun sumber daya yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi, gas dan barang tambang lainnya). Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari lebih kurang 17.500 pulau dengan garis pantai kira-kira sepanjang 81.000 km dan luas laut sekitar 5,8 juta km² yang terdiri dari 0,3 juta km² perairan teritorial, 2,8 juta km² perairan nusantara dan 2,7 juta km² Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Romimohtarto & Juwana, 2001). Namun saat ini terdapat kecenderungan yang mengancam kapasitas berkelanjutan (sustainable capacity) dari ekosistem tersebut, seperti pencemaran perairan, kondisi tangkap lebih (overfishing), degradasi fisik habitat pesisir utama (mangrove dan terumbu karang), dan abrasi pantai.
Salah satu konsep konservasi alam adalah bahwa “alam ini merupakan pinjaman anak cucu kita”. Kita harus dapat memanfaatkan alam secara lestari tanpa harus mengganggu bahkan merusak kesempatan anak cucu kita untuk memanfaatkannya juga. Kata kuncinya adalah keberlanjutan atau sustainability. Usaha yang digunakan untuk dapat digunakan untuk mensosialisasikan konsep-konsep konservasi alam kepada masyarakat adalah melalui pendidikan. Pendidikan dan konservasi alam itu mempunyai satu kesamaan yaitu jangka panjang, apa yang kita lakukan sekarang baru dapat tampak hasilnya beberapa tahun mendatang.
Istilah konservasi alam yang dimaksud di sini adalah konservasi sumber daya alam hayati. Berdasarkan UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, yang dimaksud dengan konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Sedangkan yang dimaksud dengan sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.
Salah satu ujung tombak yang dapat menyampaikan atau menularkan konsep-konsep konservasi alam adalah melalui peran wanita, yang dimulai dari “dunia kecil”-nya yaitu keluarga. Pemberdayaan wanita nelayan yang berkaitan dengan konservasi alam sangat perlu dilakukan untuk mencegah kerusakan lingkungan pesisir dan laut semakin parah di masa mendatang.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dikaji lebih lanjut, antara lain sebagai berikut.
Mengapa wanita nelayan perlu diberdayakan melalui pendidikan?
Bagaimana pemberdayaan wanita nelayan melalui pendidikan sebagai usaha dalam konservasi alam pesisir secara preventif?
Tujuan Penulisan
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk mengulas pentingnya pemberdayaan wanita nelayan dalam pemanfaatan sumber daya alam hayati pesisir dan laut secara lestari melalui jalur pendidikan.
Tujuan Khusus
Untuk mengetahui perlunya pemberdayaan wanita nelayan melalui pendidikan.
Untuk mengetahui tujuan dan teknis pemberdayaan wanita nelayan melalui pendidikan sebagai usaha dalam konservasi alam pesisir secara preventif.
Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang diharapkan adalah tulisan ini dapat memberi masukan untuk mendorong pemberdayaan wanita keseluruhan di Indonesia di era pembangunan berkelanjutan. Selain itu pula, tulisan ini juga bermanfaat untuk menambah informasi mengenai aspek-aspek yang menjadi tujuan penulisan di atas.
BAB II
PEMBAHASAN
Wanita Nelayan: Komunitas Kecil Berperan Besar
Budaya dan Ideologi Patriarki: Diskriminasi Kaum “Hawa”
Sebagaimana kita ketahui bersama di dunia Barat ataupun di Timur, perkembangan peradaban manusja tumbuh dalam lingkup budaya dan ideologi patriarki. Di negara-negara Barat, Amerika Serikat, dan Eropa Barat, budaya tersebut terlebih dahulu terkikis sejalan dengan perkembangan teknologi, demokrasi dan lain-lain yang mendudukan persamaan dan keadilan sebagai nilai yang sentral. Di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, budaya dan ideologi tersebut masih sangat kental dan mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat serta menciptakan ketimpangan-ketimpangan gender.
Budaya dan ideologi bukan satu hal yang turun dari langit. Ia dibentuk oleh manusia dan disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Koentjaraningrat mengatakan nilai budaya adalah faktor mental yang menentukan perbuatan seseorang atau masyarakat (Koentjaraningrat, 1974). Dalam budaya kita, seperti juga di banyak negara dunia ketiga lain, budaya patriarki masih sangat kental. Dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan terlebih lagi dalam budaya, keadaan ketimpangan, asimetris dan subordinatif terhadap perempuan tampak sangat jelas. Dalam kondisi yang seperti itu proses marjinalisasi terhadap perempuan terjadi pada gilirannya perempuan kehilangan otonomi atas dirinya. Eksploitasi serta kekerasan terjadi terhadap perempuan, baik di wilayah domestik maupun publik. Dalam situasi demikian, maka perbedaan, diskriminasi, dan ketidakadilan gender tumbuh dengan suburnya. Meskipun secara formal, dalam UUD 1945, hak laki-laki dan perempuan tidak dibedakan, tetapi dalam kenyataannya sangat berbeda.
Bagi masyarakat tradisional, patriarki di pandang sebagai hal yang tidak perlu dipermasalahkan, karena hal tersebut selalu dikaitkan dengan kodrat dan kekuasaaan adikodrat yang tidak terbantahkan. Kepercayaan bahwa Tuhan telah menetapkan adanya perbedaan laki-laki dan perempuan, sebingga perbedaan dalam kehidupan manusia pun diatur berdasarkan perbedaan tersebut. Tambah lagi, faktor agama telah digunakan untuk memperkuat kedudukan kaum laki-laki. Determinise biologis juga telah memperkuat pandangan tersebut. Artinya. karena secara biologis perempuan dan laki-laki berbeda maka fungsi-fungsi sosial ataupun kerja dengan masyarakat pun di ciptakan berbeda. Laki-laki selalu dikaitkan dengan fungsi dan tugas di luar rumah, sedangkan perempuan yang berkodrat melahirkan ada di dalam rumah, mengerjakan urusan domestik saja.
Perempuan bertugas pokok membesarkan anak, laki-laki bertugas mencari nafkah. Perbedaan tersebut di pandang sebagai hal yang alamiah. Itu sebabnya ketimpangan yang melahirkan subordinasi perempuan pun dipandang sebagai hal yang alamiah pula. Hal tersebut bukan saja terjadi dalam keluarga, tetapi telah melebar ke dalam kehidupan masyarakat. Dalam pendidikan yang merupakan proses yang sangat penting bagi pertumbuhan nalar seseorang, juga masih sangat patriarkis. Satu keluarga biasanya akan lebih memberikan prioritas kepada anak laki-Iaki karena ia adalah penerus keluarga sedangkan anak perempuan akan pindah dan masuk ke dalam keluarga lain. Pendidikan dalam keluarga pun mensosialisasikan bahwa bapak adalah sentral, sehingga secara tidak disadari akan mengecilkan peran perempuan dalam keluarga. Anak perempuan jarang dilibatkan dalam pembicaraan kebijakan keluarga sehingga sosialisasi pada norma-norma yang semacam itu akan berdampak pada pembentukan kepribadian dan sikapnya yang cenderung tidak terbuka.
Dalam bidang teknologi, hingga sekarang tidak cukup ramah terhadap perempuan. Anggapan bahwa teknologi merupakan tugas laki-laki saat ini trend dunia teknologi masih male dominated, padahal dalam kemampuan perempuan tidak kalah, tetapi apakah masyarakat memberi peluang, kesempatan kepada perempuan, selain kaum perempuan diposisikan dipinggir "di kelas dua", karenanya harus ada perjuangan keras melawan ideologi patriarkhi yang mengungkung perempuan.
Ketimpangan hubungan dalam keluarga juga tampak melalui pengaturan kehamilan. Menerima atau tidaknya untuk ber-KB lebih sering ditentukan oleh suami, yang "mengijinkan" isterinya menjadi akseptor. Menolak hubungan badan dengan suami jarang terjadi karena doktrin agama yang menganggap isteri akan berdosa bila menolak. Dalam masyarakat Jawa, umpamanya, masih berlaku nilai-nilai yang mencerminkan subordinasi perempuan, seperti ungkapan "kanca wingking" (teman pendamping) atau swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka terbawa). Ungkapan tersebut mengandung arti bahwa perempuan tidak dapat melampaui suaminya dan perempuan tidak berdaya dan tidak berkuasa atas dirinya.
Pada pola asimetris/ketidaksetaraan antara suami isteri, mengasumsikan satu pihak sebagai kepala/pemimpin, pelindung, penanggungjawab, oleh karena ia yang kuat. memiliki akses keluar, pemilik kuasa (informasi, ekonomi) sekaligus kontrol, pengambilan keputusan. Sementara pihak lain dianggap lemah, sub-ordinat, yang harus dikepalai/pengikut (karenanya harus patuh), dilindungi, dibatasi ruang lingkupnya. Maka, dengan pola hubungan seperti ini akan memberi peluang munculnya kekerasan terhadap perempuan, terutama bila salah satu pihak mengikuti atau keluar dari pola yang ada. Dalam hukum waris pengaruh adat dan agama tidak dapat diabaikan. Salah satu aturan gender dalam adat dapat kita lihat dalam soal pewarisan di tiga bentuk sistem masyarakat adat, yakni patrilineal, matrilineal dan bilateral.
Dalam masyarakat patrilineal, seperti diwakili oleh suku Batak, Lampung dan juga di Flores dalam kasus di atas, anak laki-laki akan tetap menuntut rumah keluarga sebagai bagian warisan. Sekalipun dalam kenyataannya saudara perempuanlah yang mengurus rumah, bahkan ikut bekerja keras membantu orang tua guna menghidupi saudara laki-lakinya, termasuk membiayai sekolah/ perantauannya. Sedangkan dalam masyarakat matrilineal, yang diwakili oleh suku Minangkabau, warisan "pusaka tinggi" diwariskan kepada anggota keluarga menurut garis ibu. Sekalipun demikian mamaklah (paman laki-laki) yang memiliki kekuasaan pengaturannya. Seringkali mamak juga ikut mengambil bagian dari warisan tersebut, dan bahkan menguasainya. Adapun dalam masyarakat bilateral, seperti di Jawa, pembagian warisan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1, atau di kenal dalam istilah "sepikul segendong". Namun sering kali anak perempuan yang terkecil di biarkan menguasai rumah keluarga dan kelak dijadikan sebagai miliknya. Terhadap hal ini, saudara laki-akinya tidak akan menuntut.
Di bidang ekonomi, krisis ekonomi telah memarjinalkan perempuan dengan berbagai kebijakan pemerintah yang lebih ditujukan kepada kaum laki-laki dengan anggapan bahwa mereka adalah pencari nafkah. Sebagai contoh, kebijakan pekerjaan padat karya yang hanya melibatkan kaum laki-laki saja. Contoh lain, dalam data statistik, kita tidak menjumpai pendapatan selalu yang diciptakan oleh perempuan seperti menjahit, katering, atau pekerjaan dalam sektor informal. Selama ini data pendapatan selalu diambil dari para suami sebagai kepala keluarga, baik yang memiliki kerja formal ataupun informal. Padahal kita tahu banyak perempuan yang berhasil mendapatkan uang dengan cara kerja informal. Semestinya Biro Pusat Statistik memiliki data-data tersebut supaya kerja perempuan pun di hargai oleh negara dan masyarakat.
Reformasi yang sedang berlangsung ini bukan hanya gerakan memerangi penindasan, otoritarianisme, ketidakadilan, dan sebagainya, yang bersifat non demokratis, tetapi kita harus melihatnya sebagai proses transisi menuju demokrasi. Sekarang inilah kesempatan bagi kaum perempuan untuk mengaktualisasikan diri, serta segala bentuk subordinasi dan marjinalisasi bukan waktunya lagi tetap melekat pada diri kaum perempuan. ldeologi patriarkhis telah melahirkan ketimpangan dan ketidakadilan gender dalam berbagai bidang.
Kekhasan Entitas Sosial Wanita: Terkait Peran dan Kedudukan serta Petensi dan Peluang
Peran dan kedudukan merupakan dua aspek penting dalam hubungan sosial masyarakat. Peran merupakan perilaku individu dalam struktur sosial, dan merupakan aspek dinamis dari kedudukan, yang akhirnya akan memberikan fasilitas tertentu sesuai dengan peranan (role) tersebut. Sedangkan posisi mengindikasikan status sosial individu di masyarakat. Dengan kata lain, kedudukan memberikan seseorang sebuah peran sebagai pola interaksi dalam bersosialisasi (bermasyarakat). Seseorang dinilai telah berperan, bilamana ia telah melakukan hak dan kewajiban sesuai dengan statusnya.
Potensi yang dimiliki individu, akan berkaitan kemampuan mengakses dan memanfaatkan peluang yang ada. Masyarakat belum tentu memberi peluang yang seimbang meski seseorang mampu berperan sesuai peranannya. Bahkan masyarakat seringkali ”terpaksa” membatasi peluang-peluang tersebut, seperti halnya yang terjadi pada kaum wanita tani di perdesaan, karena keterkaitannya dengan potensi diri. Potensi membuat individu mampu berperan sesuai ataupun tidak dengan kedudukannya, karena merupakan daya dukung yang dimiliki secara khas oleh masing-masing individu.
Perubahan peran dan status wanita umumnya disebabkan oleh perkembangan masyarakat dan wilayah di lingkungannya. Perubahan masyarakat tersebut makin dipacu oleh pertumbuhan ekonomi, akibat beralihnya sistem perekonomian dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian. Perubahan tersebut akan berdampak pada perubahan sosial dan budaya masyarakatnya. Perkembangan ekonomi dan sosial menimbulkan desintegrasi pembagian kerja antar jender yang secara tradisional telah terbentuk sejak dulu. Pola kerja produktif yang baru antar ataupun lintas jender mengarah pada diskriminasi pembagian kerja antar pria-wanita (Sajogyo, 1984). Selama masa transisi tersebut, bukan suatu keniscayaan bilamana berbagai fungsi produktif wanita tani akan tercabut, yang berdampak pada perlambatan proses pertumbuhan pembangunan pertanian.
Dalam semua strata, terindikasi bahwa peran dan status wanita dalam mengurus keberlangsungan rumah tangga lebih tinggi dibanding pria (kepala keluarga). Dominasi peran dan status tersebut menunjukkan tingginya potensi wanita untuk mengendalikan dan mengarahkan rumah tangganya, ke arah lebih baik atau menjadi semakin buruk. Hal tersebut diperkuat bahwa pada kenyataannya lebih 50 persen dari total penduduk Indonesia adalah wanita (BPS, 1990-2006), dimana lebih dari 70 persen (atau sekitar 82,6 juta orang) berada di pedesaan termasuk pesisir (Elizabeth, 2007b).
Data tersebut menunjukkan betapa besarnya potensi wanita tani sebagai tenaga kerja yang perlu dioptimalkan pemanfaatannya. Meski demikian, dominasi peran wanita tersebut berpeluang untuk mengalami perubahan, misalnya yang terjadi pada suami berstatus duda. Pada kondisi tersebut, mengatur dan menstabilkan kebutuhan rumah tangga akan dikendalikan oleh suami (meski terdapat anak perempuan yang sudah dewasa, saudara perempuan, ataupun ibu kandung/mertua sekalipun). Perbedaan status/posisi setiap anggota rumah tangga merupakan pengkajian diferensiasi peranan, berdasarkan perbedaan umur, jenis kelamin, status perkawinan, status/ posisi sosial ekonomi, generasi, ataupun kekuasaan. Perbedaan tersebut merupakan analisis struktural, yang sebagian besar disebabkan oleh alasan biologis dan sosial budaya lingkungan suatu rumah tangga.
Teridentifikasi bahwa pada dasarnya wanita memiliki peranan ganda dalam rumah tangga. Peran ganda kaum wanita tersebut terimplikasi pada: (1) peran kerja sebagai ibu rumah tangga (mencerminkan feminimine role), meski tidak langsung menghasilkan pendapatan, secara produktif bekerja mendukung kaum pria (kepala keluarga) untuk mencari penghasilan (uang); dan (2) berperan sebagai pencari nafkah (tambahan ataupun utama).
Dalam pengembangan citra dan prospek wanita abad XXI, terbentuk beberapa peran, antara lain: (1) Peran tradisi, yang menempatkan wanita dalam fungsi reproduksi, dimana seratus persen hidupnya untuk mengurusi keluarga, dan patron pembagian kerja jelas (wanita di rumah/domestik, pria di luar rumah/publik); (2) Peran transisi, mengutamakan peran tradisi lebih dari yang lain, pembagian kerja menuruti aspirasi jender, keharmonisan dan urusan rumah tangga tetap tanggungjawab kaum wanita; (3) Dwiperan, memposisikan wanita dalam dua dunia kehidupan (peran domestik-publik sama penting), dukungan moral dan perhatian suami menjadi pemicu ketegaran taupun keresahan; (4) Peran egalitarian, kegiatan di publik menyita waktu dan perhatian wanita, dukungan moral dan tingkat kepedulian pria sangat hakiki untuk menghindari konflik; (5) Peran kontemporer, merupakan dampak pilihan wanita untuk mandiri dalam kesendirian. Jumlah golongan ini belum banyak, namun berbagai benturan dari dominasi pria (yang belum tentu peduli pada kepentingan wanita) akan meningkatkan populasinya (Vitayala dalam Hastuti, 2004).
Pada era globalisasi, peran transisi dan egalitarian diprediksi akan menimbulkan berbagai kondisi, yaitu: (1) dengan potensi dan kemampuan sebagai indikator penentu, keajegan penajaman peran pria dan wanita akan memudar sehingga tidak jelas lagi pembedanya; (2) wanita pekerja akan meningkat sedangkan pria pengangguranpun akan meningkat; (3) mobilitas sosial dan geografis memisahkan tempat tinggal suami-isteri, orangtuaanak, sehingga keluarga menjadi tidak utuh (Vitayala, 1995). Berbagai kemungkinan tersebut mengindikasikan wanita dan pria dapat berperan setara, sebagai pencari nafkah di berbagai bidang, kegiatan rumah tangga, dan dalam bersosialisasi di masyarakat (Elizabeth, 2007b).
Wanita Nelayan: Peran dan Tujuan Pemberdayaannya Melalui Pendidikan
Wanita nelayan adalah suatu istilah untuk wanita yang hidup di lingkungan keluarga nelayan, baik sebagai istri maupun anak dari nelayan pria. Kaum wanita di keluarga nelayan umumnya terlibat dalam aktivitas mencari nafkah untuk keluarganya (Soenarno, 2009). Selama ini wanita nelayan bekerja menjadi pengumpul kerang-kerangan, pengolah hasil ikan, pembersih perahu yang baru mendarat, pengumpul nener, membuat/memperbaiki jaring, pedagang ikan dan membuka warung. Namun peran wanita di lingkungan nelayan ini belum dianggap berarti, sebagai penghasil pendapatan keluarga pun dianggap income tambahan. Selain itu wanita nelayan pun menanggung resiko tinggi akibat tingginya kecelakaan kerja di usaha penangkapan ikan laut ini. Berdasarkan data Departement for International Development (DFID) – WorldFish Center (2003), diperkirakan terjadi 24.000 kematian nelayan per tahun di seluruh dunia. Ditambah lagi kemungkinan penularan penyakit kelamin pun tinggi akibat lamanya nelayan melaut dan jauh dari rumah yang menyebabkan mereka berhubungan dengan pekerja seks komersial (PSK). Sebagai contoh kematian nelayan akibat penyakit HIV-AIDS di Tanzania lima kali lipat dibandingkan kematian di kalangan petani. Sedangkan data sejenis di Indonesia belum ada, hanya diberitakan masuknya penyakit HIV-AIDS di beberapa kawasan Indonesia melalui PSK di daerah pesisir yang berhubungan dengan nelayan Thailand, yang kemudian menular ke penduduk lokal.
Kerusakan lingkungan pesisir banyak diakibatkan oleh sedemikian pesatnya pengelolaan sumber daya alam yang mengabaikan prinsip kelestarian alam yang berkelanjutan. Akibat tebang habis hutan mangrove untuk dikonversi menjadi kawasan lainnya, seperti kawasan budidaya, pariwisata dan pemukiman, menyebabkan banyak kawasan yang terkikis oleh abrasi air laut. Selain itu hilangnya tempat pemijahan dan asuhan biota laut ini pun mengurangi keberadaan biota-biota tertentu seperti udang dan ikan, yang tadinya dapat ditangkap dekat pesisir, sehingga timbul kelangkaan di kawasan tersebut. Kerusakan ini mengakibatkan nelayan harus pergi melaut untuk menangkap ikan atau hewan lainnya semakin jauh dan semakin lama. Kondisi ini menambah beban berat kepada keluarga yang ditinggalkannya. Dapat dikatakan bahwa kaum wanitalah yang pertama-tama akan merasakan dampak dari adanya masalah lingkungan hidup.
Dalam rangka mengantisipasi keadaan tersebut di atas maka perlu diupayakan program pemberdayaan wanita nelayan. Program ini pada hakekatnya diarahkan untuk mengembangkan dan mematangkan berbagai potensi yang ada pada diri mereka sehingga dapat terlibat dalam penyelenggaraan pembangunan perikanan secara sejajar dengan kaum prianya (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001).
Tujuan dari pemberdayaan wanita nelayan ini menurut Petunjuk Teknis Departemen Kelautan dan Perikanan (2001) adalah:
Meningkatkan kemampuan wanita nelayan dalam manajemen usaha dan teknologi tepat guna untuk memfasilitasi wanita nelayan mengembangkan usaha.
Meningkatkan akses wanita nelayan terhadap sumber daya, modal, pasar dan teknologi.
Meningkatkan pengetahuan dan kepedulian wanita nelayan terhadap kesehatan keluarga dan sanitasi lingkungan.
Meningkatkan peranan wanita nelayan sebagai salah satu pengambil keputusan dalam usaha perikanan.
Meningkatkan kualitas peran dan kemandirian kelembagaan wanita nelayan dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber daya alam di kawasan perikanan.
Meningkatkan kesejahteraan wanita dan keluarga nelayan.
Pemberdayaan Wanita Nelayan Melalui Pendidikan Untuk Kelestarian Pesisir
Pembangunan sumber daya alam melalui usaha menjaga kelestariannya merupakan suatu keharusan bagi semua kegiatan yang mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam. Menjaga kelestarian sumber daya alam, apapun bentuknya, tidak lain merupakan suatu usaha yang perlu dilakukan secara berkelanjutan. Artinya, karena menjaga kelestarian sumber daya alam tidak hanya dilakukan sekali atau dua kali saja, tetapi perlu dilakukan selama manusia masih menghuni bumi ini, agar kelestariannya tetap terjaga untuk anak cucu kita di masa yang akan datang.
Pemikiran ini sesuai dengan konsep pembangunan jangka panjang yang sering dikenal dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan (Emil Salim,1990) bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia. Pembangunan yang berkelanjutan pada hekekatnya ditujukan untuk mencari pemerataan pembangunan antar generasi pada masa kini maupun masa mendatang. Menurut KLH (1990) pembangunan (yang pada dasarnya lebih berorientasi ekonomi) dapat diukur keberlanjutannya berdasarkan tiga kriteria yaitu : (1) Tidak ada pemborosan penggunaan sumber daya alam atau depletion of natural resources; (2) Tidak ada polusi dan dampak lingkungan lainnya; (3) Kegiatannya harus dapat meningkatkan useable resources ataupun replaceable resource.
Senada dengan konsep diatas, Sutamihardja (2004), menyatakan sasaran pembangunan berkelanjutan mencakup pada upaya untuk mewujudkan terjadinya:
Pemerataan manfaat hasil-hasil pembangunan antar generasi (intergenaration equity) yang berarti bahwa pemanfaatan sumberdaya alam untuk kepentingan pertumbuhan perlu memperhatikan batas-batas yang wajar dalam kendali ekosistem atau sistem lingkungan serta diarahkan pada sumberdaya alam yang replaceable dan menekankan serendah mungkin eksploitasi sumber daya alam yang unreplaceable.
Safeguarding atau pengamanan terhadap kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup yang ada dan pencegahan terjadi gangguan ekosistem dalam rangka menjamin kualitas kehidupan yang tetap baik bagi generasi yang akan datang.
Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam semata untuk kepentingan mengejar pertumbuhan ekonomi demi kepentingan pemerataan pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan antar generasi.
Mempertahankan kesejahteraan rakyat (masyarakat) yang berkelanjutan baik masa kini maupun masa yang mendatang (inter temporal).
Mempertahankan manfaat pembangunan ataupun pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang mempunyai dampak manfaat jangka panjang ataupun lestari antar generasi.
Menjaga mutu ataupun kualitas kehidupan manusia antar generasi sesuai dengan habitatnya.
Sesuai dengan konsep di atas, maka pelestarian sumber daya alam laut (pesisir) sangat menunjang program pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan tersebut, maka perlu dikembangkan melalui pendekatan yang tepat. Salah satunya adalah pemberdayaan masyarakat pesisir, khususnya kaum wanita (wanita nelayan), melalui pendidikan sehingga pola pikir mereka lebih berkembang tentang pentingnya pelestarian sumber daya alam di daerah pesisir.
Pemberdayaan wanita nelayan melalui jalur pendidikan sangat diperlukan, karena melalui pendidikan akan mampu membentuk sumber daya wanita melalui penanaman paradigma secara enkulturatif. Pendidikan di sini dapat berupa pendidikan formal melalui jalur sekolah untuk generasi muda nelayannya, selain itu melalui pendidikan non formal berupa penyuluhan atau pelatihan, juga melalui pendidikan informal berupa ceramah-ceramah di kalangan pengajian atau arisan, juga melalui percakapan-percakapan informal lainnya yang berupa informasi-informasi. Di kalangan keluarga, orang tua melakukan pendidikan informal ini kepada anaknya. Orang tua adalah guru pertama bagi anak-anaknya dan rumah adalah sekolah pertama bagi anak tersebut. Di sinilah peran wanita nelayan sangat penting di dalam menyampaikan informasi tentang pemanfaatan secara lestari sumber daya alam (SDA) kepada generasi mudanya. Pendidikan sejak dini akan memberikan hasil yang lebih baik sehingga generasi mudanya sudah dapat merubah usaha-usaha yang merusak lingkungan menuju cara-cara yang bersahabat dengan alam, diantaranya tidak melakukan penangkapan ikan dengan pengeboman, tidak menggunakan jaring trawl (pukat harimau) yang tidak mengindahkan ukuran-ukuran tangkapannya, selain itu dikembangkan pula budidaya yang berazaskan panen berkelanjutan.
Menurut WorldFish Center (2003), perikanan adalah pengekspoitasi kehidupan liar yang terbesar di dunia saat ini. Pada tahun 2000, produksi hasil ikan, crustacea, mollusca sedunia mencapai 129,3 juta ton. Namun permintaan melebihi pasokan dan masalah yang timbul adalah 74% dari 129,3 juta ton tersebut berasal dari stok dari alam yang sekarang sudah mulai menipis. Di India dan Bangladesh, hampir 40% tenaga kerja dalam usaha budidaya perikanan adalah wanita.
Di Indonesia pun budidaya perikanan perlu digalakkan lebih lanjut untuk menjaga kelestarian sumber daya itu sendiri. Wanita nelayan Indonesia dapat dilibatkan dalam usaha pembudidayaan ini, sebagaimana yang telah dilakukan oleh wanita nelayan di India dan Bangladesh. Semuanya ini dapat dilakukan melalui pendidikan non formal berupa penyuluhan-penyuluhan baik kepada nelayan dan wanita nelayan. Penyuluhan kepada wanita nelayan pun harus langsung ditujukan kepada wanita itu sendiri, bukan dengan mewakilkannya kepada kaum prianya.
John McCarthy (dalam Soerjani & Hale, 1997) menuliskan bahwa ada beberapa alasan untuk melibatkan penduduk lokal dalam pendidikan konservasi, yaitu:
Awareness programmes aim to help solve problems involving the management of natural resources. Ultimately local people may have to change the way they do things. People are far more likely to be committed to carrying out a solution if they have helped identify the problem and developed remedial action;
Villagers know more about local conditions than we do. They are often good reasons why they are doing things in a certain way. We need to draw on this knowledge;
If awareness programmes are to be relevant and stimulating, they need to engage peoples’ curiosity and interest;
If printed material alone is relied upon, it is not known if we are helping. How can evaluation be carried out? If people are directly engaged their reaction can be observed.
Peran ilmuwan dalam hal ini, sesuai dengan pesan Albert Einstein di awal tulisan ini, adalah (1) bagaimana cara meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan selain melalui pemanfaatan hasil laut dari stok alam dan cara budidaya yang bersahabat dengan alam; (2) bagaimana caranya untuk mengembangkan potensi wanita nelayan ini melalui pendidikan konservasi alam. Rendahnya pendidikan formal yang dimiliki oleh wanita nelayan akan mempengaruhi kemampuannya dalam menyerapkan informasi yang sering kali disampaikan dengan metode penyampaian yang tidak tepat di samping materi yang terlalu tinggi untuk kemampuan mereka, kadangkala mereka masih banyak yang buta huruf. Pengembangan teknik inilah membutuhkan kerjasama dari para ahli beberapa disiplin ilmu. Teknik penyampaian kepada wanita nelayan ini berlandaskan ilmu dan seni (science and art) agar menarik minat dan dapat meletakkan dasar-dasar pengetahuan yang kuat dan kelak dapat membentuk kesadaran mereka untuk melakukan aksi (action) yang berlandaskan pemanfaatan yang lestari.
Salah satu program pendidikan ini berupa program interpretasi lingkungan. Program ini merupakan suatu pendekatan untuk mengkomunikasikan sesuatu dimana penekanannya adalah pada transfer gagasan dan relasi/hubungan. Pada tahun 1957, Freeman Tilden (Ham, 1992) mendefinisikan interpretasi lingkungan sebagai suatu aktivitas pendidikan yang tujuannya untuk melahirkan arti dan hubungan melalui penggunaan obyek sesungguhnya, melalui tangan pertama yang berpengalaman, dan melalui media ilustratif. Tujuan dari interpretasi ini (Sharpe, 1982) adalah: (i) untuk membimbing pendengar untuk mengembangkan pemahamannya, apresiasi dan kesadaran tentang obyek yang sedang dibicarakan; (ii) dapat digunakan untuk mengurangi dampak kerusakan oleh manusia terhadap lingkungan alam dalam berbagai cara; (iii) mengembangkan pemahaman masyarakat terhadap tujuan pelestarian ini.
Dalam program interpretasi lingkungan ini, wanita nelayan sebagai audiens diajak untuk mengenal lingkungannya dari sudut pandang yang berbeda, yaitu sudut pandang pelestarian alam. Audiens selain diberi informasi, juga diajak ke lokasi yang dibahas seperti hutan mangrove, kawasan terumbu karang, dan sebagainya. Bila memungkinkan, mereka diajak ke lokasi yang berbeda untuk membuka wacana mereka lebih lanjut. Dengan program ini wanita nelayan diharapkan dapat berubah sikap ke arah yang mendukung pelestarian alam.
Masyarakat nelayan pada umumnya merupakan masyarakat agamais. Banyak upacara-upacara berbentuk melarungkan sesaji ke laut yang dilaksanakan oleh masyarakat nelayan yang berhubungan dengan aktivitas usahanya itu, walaupun upacara tersebut tidak berlandaskan ajaran agama yang dianutnya sekarang. Pendekatan agamais pun perlu dilakukan agar mereka lebih menyadari bahwa tindakan yang merusak lingkungan alam itu adalah tindakan yang dimurkai Tuhan. Wanita nelayan umumnya aktif dalam kegiatan keagamaan seperti pengajian-pengajian dalam kehidupannya sehari-hari. Pemuka agama pun dapat dilibatkan dalam usaha pemberdayaan ini, selain pemuka adat yang masih banyak berperan dalam kehidupan masyarakat tradisional.
Dalam usaha pemberdayaan sumber daya manusia agar berhasil dalam mencapai tujuannya menyejahterakan hidup mereka diperlukan landasan-landasan keilmuan, teknologi, agama dan disampaikan dalam bentuk yang menarik dengan seni. Keempat komponen ini digambarkan oleh M.T. Zen (1982) dalam suatu segitiga hubungan timbal balik. Zen menggambarkan segitiga tersebut di bawah ini:
Sains
Teknologi
Kesenian
Agama
Keterangan gambar :
Tujuan dari kesenian adalah mencari keindahan untuk mengenal apa dan siapa saya/engkau. Agama/teologi/filsafat bertujuan untuk mengetahui apa yang harus dan apa yang jangan dilakukan. Selanjutnya, sains teoritis bertujuan untuk mengetahui kenapa; dan sains terapan atau teknologi bertujuan untuk mengetahui bagaimana melakukan sesuatu.
Dituliskan oleh Zen (1982), bahwa sains dan teknologi saling membutuhkan, karena sains tanpa teknologi bagaikan pohon tak berbuah, sedangkan teknologi tanpa sains bagaikan pohon tidak berakar (science without technology has no fruit, technology without science has no root). Sains bersifat obyektif, netral dan bebas nilai. Sedangkan teknologi (appplied science) yaitu penerapan sains bagi kesejahteraan manusia. Teknologi pada dasarnya netral, dalam situasi tertentu dapat tidak netral lagi karena mengandung potensi merusak dan potensi kekuasaan. Sains hanya mampu mengajarkan fakta dan non-fakta kepada manusia. Ia tidak dapat mengajarkan apa yang seharusnya dilakukan atau yang jangan dilakukan orang. Sedangkan hubungan antara sains dan agama ialah bahwa sains dan teknologi membutuhkan bimbingan moral dari agama (science witout religion is blind, and religion without science is lame). Melalui kesenian manusia mencari identitas dirinya, untuk akhirnya memberi jawaban pada pertanyaan: siapa dia? Unsur-unsur yang diperoleh melalui kesenian merupakan pelengkap yang mutlak. Tanpa unsur kesenian, hidup bagaikan gurun belaka, suatu oasis tanpa air. Satu sama lain keempat unsur tersebut harus berhubungan dan terpadu dalam seorang manusia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
Dalam usaha pelestarian alam wilayah pesisir dan laut, perlu dilibatkan dan perlu diberdayakan peran wanita nelayan dengan harapan mereka dapat merubah sikap terhadap konservasi alam dan mewujudkannya dalam aksi.
Melalui pendidikan informal yang dilakukan wanita nelayan kepada keluarga dan lingkungan sekitarnya, diharapkan di kemudian hari akan terbentuk generasi muda yang berwawasan lingkungan dengan melakukan pemanfaatan SDA secara lestari.
Pendidikan lingkungan tersebut sebaiknya menggunakan landasan keilmuan, teknologi, agama dan kesenian agar lebih menarik perhatian audiens dan membentuk sikap baru yang positif.
Saran-saran
Setelah didapatkannya hasil dari penulisan di atas, maka dapat penulis sarankan hal-hal sebagai berikut.
Kepada pemerintah, disarankan agar menciptakan program-program alternatif bagi pengembangan masyarakat yang belum tersentuh oleh pendidikan formal. Dalam program ini nantinya bisa diselipkan program yang secara implisit mengusahakan pelestarian sumber daya alam melalui ekses pendidikan tersebut.
Kepada instansi terkait agar lebih mengoptimalkan peran masyarakat lokal dalam kegiatan yang berkaitan dengan pelestarian sumber daya alam, karena masyarakat lokal merupakan komponen kunci dalam usaha tersebut secara berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen for International Development (DFID) -WorldFish Center. 2003. Calendar 2003. London
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2001. Petunjuk Teknis Pemberdayaan Wanita Nelayan. Jakarta: Bagian Proyek Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir, Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan
Elizabeth, R. 2007b. Peran Ganda Wanita Tani sebagai Pelaku Usaha Mencapai Strategi Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani di Perdesaan. (sedang proses publish). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Ham, Sham H. 1992. Environmental Interpretation. Colorado: North American Press
Hastuti, E. L. 2004. Pemberdayaan Petani dan Kelembagaan Lokal dalam Perspektif Gender. Working Paper. No.50. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Romimohtarto, Kasijan & Sri Juwana. 2001. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan tentang Biologi Laut. Jakarta:Penerbit Djambatan
Sajogyo, P. 1984. Peranan Wanita dalam Perkembangan Ekonomi. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia
Sharpe, Grant W. 1982. Interpreting The Environment. New York: John Wiley & Sons
Soerjani, Mohamad & Monica Hale (Eds). 1997. Environmental Education for Biodiversity and Sustainable Development. Jakarta – London: University of Indonesia-London Guildhall University
Soenarno, Sri Murni. 2009. Pemberdayaan Wanita Nelayan Melalui Pendidikan. Bogor: Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Program Pascasarjana IPB
Suriasumantri, Jujun S. (Ed). 1983. Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia-Leknas LIPI-PT. Gramedia.
Sutamihardja, 2004. Perubahan Lingkungan Global: Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana. Bogor: IPB
Syukrie, Erna Sofyan. 2003. Pemberdayaan Perempuan dalam Pembangunan Berkelanjutan. Denpasar: -
Undang-undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya.
Vitayala, A. S. 1995. “Posisi dan Peran Wanita dalam Era Globalisasi: dalam E. L. Hastuti, 2004. Pemberdayaan Petani dan Kelembagaan Lokal dalam Perspektif Gender. Bogor:Working Paper No. 50. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian
Zen, M.T. (Ed). 1982. Sains, Teknologi dan Hari Depan Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-PT. Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar