Oleh : Putu Adi Sanjaya
I. PENDAHULUAN
Demokrasi adalah kata kunci dalam mewujudkan sistem kedaulatan rakyat. Demokrasi dan kesejahteraan rakyat tidak perlu dipertentangkan, karena demokrasi dan kesejahteraan rakyat dapat berjalan bersamaan dalam mencapai cita-cita kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Membangun sistem demokrasi yang ideal adalah dengan membangun kesadaran politik masyarakat, mewujudkan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan dan penegakan HAM dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kekuasaan politik yang diraih melalui proses demokrasi yang baik dapat menciptakan harmoni dalam mencapai kesejahteraan rakyat sebagai tujuan dari negara.
Tahun 2009 merupakan tahun yang penuh arti bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri karena pada tahun ini Indonesia dituntut untuk melaksanakan pesta demokrasi, yaitu Pemilihan Umum untuk memilih anggota legislatif dan memilih Presiden dan Wakil Presiden RI secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Demokrasi dan politik lazimnya ditentukan oleh beberapa faktor yaitu: partai politik, sistem pemilihan, kelompok-kelompok partai yang berkuasa (ruling party group and party caucus), dan anggota-anggota DPRD (councilors) (Stoker, 1991). Dan semua komponen itu akan bersinergi atau bahkan bersaing satu sama lain dalam putaran Pemilu 2009.
Pemilu 2009 dalam pelaksanaannya dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pertama yang bertujuan untuk memilih anggota legislatif, dari tingkat DPRD II, DPRD I, DPR-RI, dan anggota DPD RI. Sedangkan tahap kedua bertujuan memilih Presiden dan Wakil Presiden RI untun masa jabatan lima tahun ke depan sampai tahun 2014. tahap pertama, yaitu Pemilu Legislatif telah diselenggarakan pada tanggal 9 April 2009 lalu.
Seperti biasa setiap pemilih akan melakukan hak pilihnya secara langsung di tiap-tiap TPS yang sudah di tentukan. Banyak argumen akan pemilihan kali ini, apakah pemilihan ini akan mensejahterakan atau malah menyengsarakan masyarakat, atau bahkan pemilu kali ini hanya prosedural semata yang bisanya hanya menghabiskan anggaran triliunan rupiah. Argumen seperti itu bukan hanya dari kalangan pengamat politik saja akan tetapi masyarakat awampun berpendapat demikian (http://www. analisadaily.com/).
Para calon legislatif (caleg) yang mencalonkan diri berasal dari berbagai kalangan dan berbagai profesi, demokrasi yang tiada batas membuat banyak pihak turut ambil bagian dalam pencalonan kali ini, tidak penting sebuah kualitas akan caleg tersebut asalkan ijazah SMA telah mereka kantongi yang merupakan salah satu syarat utama untuk pencalonan. Jadi tidak jarang terdengar ucapan dari berbagai masyarakat yang mengatakan apakah mereka mengerti akan dunia politik, apakah mereka layak jadi wakil rakyat atau apakah nantinya mereka-mereka mampu melaksanakan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat. Beribu keraguan akan kualitas dan akuntabilitas dari Caleg tersebut pun bermunculan melihat keseharian mereka yang tidak pernah bersentuhan dengan politik.
Kehidupan politik sejatinya adalah untuk mewujudkan idealisme bagi masyarakat dan negara. Namun dalam prakteknya politik adalah untuk mempengaruhi dan menggiring pilihan dan opini masyarakat dengan segala cara. Sehingga, seseorang dan sekelompok orang bisa meraih kekuasaan dengan pilihan dan opini masyarakat yang berhasil di bangunnya atau dipengaruhinya. Ini memerlukan modal atau dukungan pemilik modal. Sehingga wajar jika seseorang dan partai perlu mengarahkan dana yang tidak sedikit. Oleh karena itulah muncul suatu fenomena yang kita kenal dengan politik uang (money politic). Pemilu, termasuk tahun 2009 ini, menjelma menjadi ajang pertaruhan yang besar. Namun sangat sulit untuk mengharapkan ketulusan dan ketidakpamrihan dari investasi dan resiko yang ditanggung politisi.
Money politic merupakan bagian integral dari kehidupan modern. Keberadaannya, sering dinistakan karena dalam banyak hal melahirkan malapetaka kehidupan bersama. Di sisi lain, manusia modern mempraktikannya atas dasar kesadaran dan keyakinan filosifinya agar dapat memenangkan persaingan. Dijelaskan Sudjito (2009), filosofi manusia modern mempunyai beberapa ciri. Di antaranya, pertama, manusia modern hidup berdasarkan rasionalitas yang tinggi. Kedua, kebutuhan manusia terfokus pada materi kebendaan. Di antara materi kebendaan yang dipandang memiliki nilai tertinggi adalah uang.
Edy Suandi Hamid (2009) yang melihat dari kacamata ekonomi, menilai money politic muncul karena adanya hubungan mutualisme antara pelaku (partai, politisi, atau perantara) dan korban (rakyat). Keduanya saling mendapatkan keuntungan dengan mekanisme money politic. Bagi politisi, money politic merupakan media instan yang dengan cara itu suara konstituen dapat dibeli. Sebaliknya, bagi rakyat, money politic ibarat bonus rutin di masa Pemilu yang lebih riil dibandingan dengan program-program yang dijanjikan.
Jika dilihat dari Undang-undang yang berlaku, money politic sebenarnya adalah suatu pelanggaran Pemilu karena tidak dibenarkan ”membeli” suara rakyat oleh peserta Pemilu. Namun di lain pihak baik politisi maupun konstituennya tidak mempermasalahkan hal itu karena antara politisi yang bersaing terdapat konflik kepentingan untuk merebut kursi dewan dengan suara rakyat sebanyak-banyaknya. Di lain pihak, antara politisi dan rakyat mempunyai peran dan fungsi masing-masing dalam suatu struktur politik berdemokrasi. Rakyat sebagai pemilik suara tentu akan dibutuhkan oleh politisi, dan akan diperoleh lebih banyak suara rakyat jika Caleg bersangkutan bisa memberikan ”imbalan” kepada rakyat.
Melihat fenomena di atas, sekiranya dapat kita kaji lewat pendekatan keilmuan. Dalam perspektif keilmuan sosial, maka permasalahan tersebut dapat dikaji melalui pendekatan teori konflik dan struktural fungsional. Sebelum kita melihat konflik yang terjadi, maka lebih dulu kita harus melihat aturan yang berlaku secara normatif, khususnya mengenai sistem Pemilu 2009 ini. Dengan melihat adanya pergeseran dari pagu yang ada, maka akan terjadi suatu fenomena konflik yang dapat dikaji melalui pendekatan konflik. Setelah melihat tentang aturan main Pemilu 2009, maka kita perlu mengkaji tentang bagaimana fenomena money politic itu terjadi dalam masyarakat. Setelah kita membahas kedua hal itu, barulah kita bisa mengkajinya melalui pendekatan konflik maupun struktural fungsional. Kajian ini akan penulis batasi dalam hal tempat, yaitu di Desa Perancak, Jembrana, Bali. Kajian ini sebagai suatu telaah teoretis mengenai fenomena sosial politik dalam sistem demokrasi rakyat sekarang ini.
II. PEMBAHASAN
1. Sistem Pemilu 2009: Landasan dan Fakta
Ketika kita melihat Pemilu tahun 2009, maka sedikit agak berbeda dengan Pemilu 2004, terutama dari sistem yang digunakan dalam menentukan Caleg yang lolos ke dewan. Dalam Pemilu 2004 menggunakan sistem proporsional terbuka, yaitu rakyat masih memilih gambar, dan penentuan Caleg yang lolos ditentukan oleh nomor Caleg itu sendiri. Namun, pada Pemilu 2009, khususnya Pemilu Legislatif, yang menentukan Caleg tersebut lolos ke kursi parlemen atau tidak adalah seberapa besar Caleg itu sendiri mampu mengummpulkan suara rakyat, atau dengan kata lain “tarung bebas”.
Dalam pelaksanaan Pemilu 2009, dasar pelaksanaannya akan menggunakan Undang-undang Nomor 02 Tahun 2008 tentang partai politik serta Undang-undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu. Pemberlakuan Undang-undang tersebut merupakan penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilu anggotan DPR-RI, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota.
Konsekuensi Undang-undang (UU) No. 02/2008 tentang partai politik dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu dalam penentuan partai politik untuk Pemilu 2009 adalah pertama, partai yang berbadan hukum langsung mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan verifikasi partai. Jika lolos verifikasi, maka partai tersebut dapat maju dalam Pemilu 2009. Kedua, partai yang memiliki kursi di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) secara otomatis menjadi kontestan Pemilu 2009. Ketiga, partai yang tidak memiliki kursi di DPR langsung mendaftar ke KPU untuk melakukan verifikasi partai dan jika lolos, maka berhak maju ke Pemilu 2009. Pengaturan demikian sebenarnya hanya menguntungkan partai-partai politik (parpol) besar saja.
UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu mengamanatkan bahwa Pemilu sekarang ini menggunakan sistem proporsional terbuka. Penentuan perolehan suara ditentukan berdasar partai politik yang memenuhi ambang batas 2,5 % dari jumlah suara sah secara nasional. Kemudian, ditentukan bilangan pembagi pemilih (BPP) dengan cara membagi jumlah suara sah Parpol peserta Pemilu dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan. Penetapan perolehan kursi terbagi dalam tiga tahap. Tahap pertama, membagi jumlah suara sah yang diperoleh parpol dengan BPP. Tahap kedua, jika masih ada sisa kursi, maka diberikan kepada parpol yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50 %. Tahap ketiga, jika masih terdapat sisa kursi dari tahap kedua, maka seluruh sisa suara dikumpulkan di provinsi untuk menentukan BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan. Dalam hal penetapan calon anggota legislatif yang terpilih ditentukan berdasarkan perolehan suara 30 % dari BPP, jika tidak terpenuhi, akan ditentukan oleh nomor urut yang ditetapkan parpol. Penggunaan nomor urut sebagai penentu terakhir jika terdapat kondisi di luar butir a (“calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30 % dari BPP”) dalam penentuan calon terpilih ini menunjukkan bahwa sebenarnya sistem pemilu yang ditawarkan UU Pemilu yang baru ini merupakan kombinasi sistem proporsional setengah terbuka dan proporsional terbuka, dan mungkin yang lebih dominan adalah proporsional setengah terbuka. Hal ini berarti tidak berbeda dengan UU Pemilu sebelumnya yang menggunakan sistem proporsional setengah terbuka (Administrator, 2009).
Sistem Pemilu sebagaimana yang ditetapkan dalam UU Pemilu yang baru ini diakui lebih rumit daripada UU yang lama, yaitu UU No.12/2003. Di samping itu, UU Pemilu yang baru ini juga mengandung sejumlah kelemahan sebagaimana yang diungkapkan sebelumnya, termasuk nihilnya kajian akademis berdasarkan sensus penduduk dalam penentuan jumlah kursi per daerah pemilihan dan potensi konflik yang ditimbulkannya. Selain itu pula ditemukan cukup banyak pelanggaran-pelanggaran pelaksanaan Pemilu, salah satunya adalah pelanggaran klasik, Money politic.
Undang-Undang Pemilu No. 10 tahun 2008 pasal 84 telah diperingatkan bahwa:
Dalam hal terbukti pelaksana kampanye menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar: memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota tertentu; atau memilih calon anggota DPD tertentu (huruf d dan e), dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Hal yang dilakukan oleh para penjual suara dan para pembeli suara di pasar politik, sangat bertentangan dengan peraturan yang ada. Namun sampai saat ini belum ada tindakan yang signifikan terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut, bahkan seakan-akan legal-legal saja. Untuk itu, untuk mencegah praktek-praktek money politic yang sudah semakin merajalela, seharusnya semua pihak bersama-sama saling mengingatkan akan dampak dan bahaya yang luar biasa akibat praktek money politic ini. Dan juga, untuk mencegah terampasnya arti demokrasi yang selama ini sudah mulai kita rasakan.
Sejumlah pengamat juga meragukan hasil kualitas pemilu 2009. Hal ini dikarenakan praktek money politic yang semakin merebak sebagai buntut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang perolehan suara terbanyak. Partai politik telah bersekongkol dengan menganggap money politic merupakan hal biasa dan wajar. Sebab, yang terjadi saat ini praktik money politic sudah terdidik dan terkoordinir. Mahkamah Konstitusi (MK) juga dinilai telah berperan melanggengkan praktek money politic ini dengan menetapkan suara terbanyak berbasis individu sebagai pemenang bagi caleg yang akan terpilih nantinya. Hal ini akan membuat caleg akan bersikap pragmatis hanya untuk sekadar memenangkan pemilu tanpa melihat kepentingan rakyat (http://pkntradisimoneypolitik.blogspot.com).
Anggapan ini secara otomatis juga akan semakin menurunkan kualitas hasil pemilu. KPU dan Panwaslu juga dianggap tidak memiliki ketegasan menindak hal ini. Padahal mereka adalah lembaga yang memiliki otoritas sebagai penyelenggara serta pengawas pemilu. Fenomena yang mungkin terjadi dari imbas putusan MK itu adalah caleg terpilih tak lagi berhutang budi kepada parpol. Dalam lima tahun ke depan caleg tak lagi tertarik mengurus parpol, barulah setelah mendekati pemilu, ia kembali lagi masuk ke parpol.
Saat ini, Indonesia membutuhkan pergantian elite politik karena kalangan atas yang ada saat ini luar biasa korupsi. Penegakan hukum saat ini bisa dikatakan terhenti. Namun, format pemilu yang ada saat ini tidak memungkinkan partai kecil dan kandidat perorangan untuk tampil dalam kepemimpinan nasional. Praktis pemilihan presiden mendatang hanya akan didominasi kandidat yang dicukongi kelompok atau grup bisnis tertentu dengan timbal balik yang besar. Para tokoh ini selanjutnya akan memodali para ulama, pendeta, tokoh adat, ormas, dan tokoh hegemoni untuk mendapatkan dukungan konstituen. Akibatnya, money politic akan semakin menjamur di negeri kita ini.
2. Money politic: Sebuah Public Secret dalam Praktek Demokrasi
Hari-hari terakhir masa kampanye Pemilu Legislatif pada April yang lalu, dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya bagi para calon anggota legislatif (caleg) untuk memikat massa. Termasuk melakukan money politic. Demokrasi memang tidak bisa dipisahkan dari money politic atau politik uang (Harmiyani, 2008).
Perjuangan para caleg untuk bisa merebut kursi wakil rakyat pada pemilu 2009 ini sungguh teramat berat dibanding pemilu-pemilu tahun sebelumnya. Selain harus menyiapkan modal yang lebih besar untuk membiayai sosialisasi dan kampanye, juga harus siap menghadapi aneka sanksi yang akan menjerat dirinya manakala melanggar aturan. Belum lagi persiapan menata mental untuk siap menerima kekalahan dan menghapus harapan berlebihan menjadi wakil rakyat. Kalau tidak, bisa-bisa ia malah menjadi penghuni rumah sakit jiwa (RSJ).
Apalagi, amanah dan tanggung jawab yang diemban sebagai seorang legislator di tahun mendatang rupanya semakin ketat dan berat. Mereka yang suka mempermainkan amanah, suka dengan uang abu-abu atau uang yang tak jelas asal usulnya, termasuk suka menerima gratifikasi, akan semakin terbatas ruang geraknya. Sebab, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin semangat bergerilya mencari ‘'perampok'' uang rakyat. Anehnya, para caleg yang konon jumlahnya se-Indonesia mencapai sebelas ribu orang lebih itu begitu bersemangat memburu kursi legislatif.
Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan perubahan perolehan kursi legislatif berdasarkan hasil suara terbanyak, para caleg yang semula banyak mengandalkan berkah dari nomor urut, terpaksa harus kerja ekstra keras. Dia yang semula tidak terlalu dikenal oleh konstituennya, terpaksa harus turun menyapa, memaparkan visi misi, dan memberi bantuan. Dengan kata lain, para caleg harus lebih rajin turun ke daerah pemilihannya untuk bertemu sekaligus mengurus konstituennya. Sebagian caleg ada yang melakukan sosialisasi jauh hari sebelum masa kampanye dimulai. Banyak pula yang baru melakukannya saat masa kampanye Pileg dimulai pada 16 Maret 2009 yang lalu. Mereka yang telah melakukan penggalangan lebih awal, tentu harus mengeluarkan biaya besar. Sebab, mereka harus membiayai pertemuan dengan konstituen. Mulai dari sewa tempat, konsumsi, alat peraga hingga memberi uang hadir, uang transportasi ditambah souvenir. Apalagi, pertemuan seperti itu harus dilakukan beberapa kali dan di beberapa tempat. Tanpa ada uang hadir, transport, uang lelah, hadiah atau souvenir, jangan harap calon pemilih mau datang. Padahal, meski sudah mendapat bantuan dari caleg, belum tentu mereka akan memilihnya. Sebab, di antara mereka juga ada yang menerima bantuan serupa dari caleg lain. Prilaku pragmatis para pemilih ini sebagian menganggap sebagai sesuatu yang wajar dalam memanfaatkan momen akbar pesta demokrasi. Dalam benak para konstituen mungkin berkata, ‘'kapan lagi kita bisa mempermainkan politisi, masa kita terus yang dipolitisasi oleh dia.''
Banyak pelanggaran dari Parpol maupun caleg-calegnya yang dicatat oleh Bawaslu. Dalam http://www.balipost.co.id, ditemukan data bahwa dalam Pileg 2009 ini ditemukan 9 kasus money politic di seluruh Bali, dan ini termasuk di Kabupaten Jembrana (lihat pula www.selebzone.com; www.okezone.com). Kampanye memang merupakan suatu hal yang perlu dalam sistem demokrasi, namun yang menjadi sorotan tajam adalah sistem kampanye dari para caleg tersebut yang tidak bersifat mendidik atau membangun, yang terjadi malah merusak moral dan pola pikir masyarakat. Sistem kampanye para caleg ini kerap kali menjadi bahasan perbincangan di tengah-tengah masyarakat, ataupun bagi para pengamat politik.
Pada umumnya caleg DPRD TK II/kab/kota, DPRD TK I/provinsi DPD dan caleg DPR-RI mempunyai sistem atau metode kampanye yang hampir sama yaitu dengan sistem money politic atau yang sering disebut dengan politik uang (Mawardi, 2008) yang sangat luar biasa (lihat pula Sihite, 2009). Misalnya saja di daerah kabupaten/kota money politic terlihat sangat kontras, para caleg langsung membeli suara dari tiap masyarakat dengan cara membagi-bagikan uang tunai puluhan ribu sampai ratusan ribu rupiah untuk perorangnya. Dalam situasi di atas, rakyat sebagai konstituen menjadi memiliki harga tawar yang cukup tinggi. Pertarungan para caleg untuk menggaet dan memiliki suara rakyat semakin menuju puncaknya ketika waktu telah mendekati pada hari H pemilihan umum pada tanggal 09 April 2009 yang lalu, dengan melakukan “serangan fajar”, yaitu membelokkan pendukung rival politik caleg lain untuk memilih dirinya, dengan membagikan uang kepada masyarakat.
Bukan hanya itu syukuran besar-besaranpun dibuat guna memperoleh suara terbanyak di pemilu nanti. Sistem seperti ini memang sangat disukai orang, khususnya masyarakat awam yang kehidupannya dilengkapi dengan penderitaan kemiskinan. Bahkan orang-orang seperti ini mengharapkan maunya pemilu dilaksanakan sebulan sekali. Mengapa tidak, karena hanya di saat seperti ini mereka memperoleh penghasilan tambahan dari para Caleg tersebut. Sehingga tidak jarang satu orang pemilih mengikuti syukuran dan menerima uang dari dua orang atau bahkan tiga orang caleg yang berbeda, mereka tidak berpikir jauh akan perbuatan tersebut. Kampanye seperti ini jelas merusak moral bangsa menjadi bangsa yang materialistis. Yang menjadi sangat aneh yaitu mengapa setiap orang mau menerima pemberian dari setiap caleg yang menawarkan pemberian tersebut? Bukankah nantinya mereka menjadi bingung menjatuhkan pilihan, atau jangan-jangan mereka menjadi Golput karena bingung dengan fenomena siraman uang tersebut.
Fakta ini memunculkan pertanyaan, benarkah masyarakat kita materialistis? Pola pikir masyarakat yang mengatakan, siapa caleg yang memberi uang dengan jumlah yang paling besar maka akan menjadi pilihan di saat pemilu nanti. Bukan hanya caleg DPRD TK II akan tetapi caleg DPRD TK I, DPR RI dan DPD pun turut meramaikan pembagian uang tersebut secara kontras dan terang-terangan. Kampanye kali ini seolah berubah menjadi sebuah pasar tempat jual beli, dimana suara masyarakat menjadi objek jual beli
Apa yang menjadi alasan masyarakat menerima uang dari setiap caleg yang menawarkan uang itu? Mungkinkah itu semata-mata karena kodrat manusia yang haus akan uang karena juga didesak berbagai kebutuhan, atau mungkin juga itu sebuah kekesalan masyarakat akan kinerja wakil rakyat selama ini, masyarakat berpikir bilamana mereka telah duduk di tahtanya otomatis mereka akan lupa terhadap janji-janji dan harapan-harapan yang telah mereka orasikan, kedekatan semasa kampanye akan berakhir secara spontan, jadi masyarakat seolah berpikir ada baiknya para caleg di manfaatkan sewaktu masa kampanyenya.
Bilamana hal seperti ini membudaya di sela kehidupan bangsa ini, maka jelaslah bangsa kita akan tidak beradab dan bermoral, wakil kita di parlemen nantinya adalah sekelompok orang yang terpilih karena memiliki uang paling banyak semasa kampanye yang kualitas dan akuntabilitas mereka tidak teruji. Malahan bisa jadi sistem pemerintahan kita akan lebih parah dari sekarang ini.
Yang menjadi pertanyaan besar pula, mengapa politik uang yang mewabah di dalam masyarakat justru sedikit sekali yang luput dari pengawasan Bawaslu? Jawaban sementara yang dapat kita berikan adalah politik uang ini sudah menjadi sebuah rahasia umum di dalam masyarakat karena antara caleg dan rakyat itu sendiri sama-sama memperoleh keuntungan.
Gambaran fenomena politik di atas ternyata terjadi pula di desa Perancak, Jembrana. Seperti pada daerah-daerah lain, di Desa Perancak juga terjadi politik uang (money politic) yang melibatkan salah satu oknum Caleg DPR-RI dari Partai Golkar dan calon anggota DPD. Oknum caleg tersebut meminta kepada seseorang untuk mencari suara yang akan memilih dirinya sebanyak100 suara di Desa Perancak, dengan bayaran Rp. 35.000,- untuk setiap suaranya. Orang yang mencarikan itu mendapatkan imbalan Rp. 5.000,- untuk setiap suaranya .
Berbeda dengan Caleg tersebut, ada juga calon anggota DPD yang lebih memilih untuk mendekati Bendesa Adat untuk mengumpulkan suara. Caranya, adalah dengan memberikan bantuan dana mendirikan Pura Prajapati di areal Desa Perancak. Dan lewat Bendesa Adat oknum calon anggota DPD tersebut meminta masyarakat Desa Perancak untuk memilih dirinya dalam pemilihan DPD tanggal 9 April 20092.
Masyarakat awam menanggapi fenomena tersebut dengan memilih Caleg ataupun calon DPD yang memberikan uang. Memang kedua oknum tersebut tidak mampu lolos ke kursi parlemen, namun di Desa Perancak mereka mampu memperoleh suara yang dominan dibandingkan Caleg yang lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Desa Perancak khususnya belum memiliki kesadaran politik yang cukup baik, karena dalam prakteknya masyarakat hanya mau memilih calon wakil rakyatnya yang mau memberikan imbalan untuknya.
Padahal, pelanggaran dalam bentuk money politic itu telah diatur dalam UU Pemilu Legislatif No. 10/2008 pasal 274. Isinya, seperti yang terjadi di Desa Perancak, Jembrana, pelaksana kampanye terselubung yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau memilih peserta pemilu tertentu, atau menggunakan haknya untuk memilih dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Selain itu, juga masih dikenai denda paling sedikit Rp 6.000.000 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 24.000.000 (dua puluh empat juta rupiah). Serta dalam kegiatan tersebut caleg tersebut terancam pasal 84 ayat 1 UU No 10 tahun 2008 tentang politik uang dengan ancaman maksimal 2 tahun penjara. Dari Panwaslu sendiri, sehingga caleg yang bersangkutan terancam dicoret dari pencalonannya.
Implikasi dari ketiadaan hal di atas, adalah banyaknya masyarakat yang lebih memilih Golput dalam pemungutan suara pada 9 April 2009. Ini terjadi karena masyarakat lebih materialistis dalam menentukan pilihannya. Selain itu kebanyakan pemilih juga tidak mengetahui calon wakil rakyat yang akan dipilihnya sehingga mereka bersikap realistis saja dengan memilih Caleg yang mampu memberikan uang.
3. Money Politic dalam Pendekatan Konflik dan Struktural Fungsional
a. Pendekatan Konflik
Terjadinya money politic salah satunya disebabkan oleh adanya suatu persaingan antara caleg-caleg yang bersaing bebas dalam Pileg 2009. Caleg-caleg tersebut bersaing untuk mendapatkan suara pemilih sebanyak-banyaknya. Namun cara untuk mendapatkan suara sering tidak sesuai dengan pagu yang ada, karena masyarakat dipandang sebagai suatu komunitas yang materialistis. Pandangan para caleg yang seperti itu cukup wajar karena masyarakat kebanyakan tidak mengetahui profil caleg yang akan dipilihnya.
Di sisi lain berdasarkan Undang-undang Nomor 02 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-undang Nomor 10 tentang Pemilu, sangat dilarang untuk menggunakan politik uang seperti yang telah banyak terjadi, karena politik uang sama saja dengan “membeli” suara rakyat. Politik uang tidak akan memberikan pendidikan politik yang baik bagi rakyat yang notabene baru masuk era demokratisasi sekarang ini.
Kesenjangan kepentingan antara Caleg dan aturan (undang-undang) yang berlaku dapat dilihat dari kacamata teori ilmu sosial. Fenomena di atas dapat dikaji dengan menggunakan pendekatan atau teori konflik. Teori konflik ini salah satunya mengkaji penyebab timbulnya konflik dalam masyarakat. Salah satu teori yang menyebabkan timbulnya konflik adalah teori kebutuhan masyarakat.
Teori Kebutuhan Manusia berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental, dan sosial) yang tidak terpenuhi atau dihalangi (Navastara, 2007). Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan. Sasaran dari teori ini adalah membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, dan agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.
Dalam tataran pendekatan di atas, money politic dapat dilihat dari latar belakang terjadinya. Caleg dalam kasus di atas melakukan politik uang karena mereka membutuhkan sesuatu dari usahanya membagi-bagikan uang kepada konstituennya tersebut. Adapun kebutuhan yang mereka inginkan adalah kedudukan dan uang, yang (mungkin) akan mereka dapatkan setelah menjadi salah satu pemilik kursi di parlemen. Mungkin ketika seorang caleg tidak akan bersaing jika ia dipilih karena dukungan murni dari konstituennya. Namun yang banyak terjadi pada Pileg 2009, termasuk di Desa Perancak, adalah dominan konstituen yang mempunyai hak pilih tidak mengenal calon wakil rakyat yang akan dipilihnya. Ditambah lagi banyaknya caleg yang menjadi calon wakil rakyat. Inilah sebenarnya dapat dipandang sebagai konflik yang terjadi antara caleg yang bersaing dalam Pemilu tahun ini. Karena mereka merasa bahwa dirinya tidak terlalu dikenal oleh konstituennya, maka para caleg tersebut melakukan politik uang (money politic) seperti pada fenomena yang terjadi di Desa Perancak di atas.
Bentuk konflik yang terjadi dalam fenomena money politic ini adalah konflik laten, karena konflik yang terjadi tidak dapat dilihat dengan kasat mata, namun dapat dirasakan dari fenomena yang terjadi, yaitu persaingan para caleg yang berusaha memperoleh suara konstituen dengan membagi-bagikan uang. Namun ada kalanya bentuk konflik tersebut berubah menjadi konflik over (manifest) ketika money politic ini muncul ke permukaan dan menimbulkan konflik secara nyata, seperti saling menjatuhkan antara caleg, dan bentuk persaingan lain yang tidak sehat. Belum lagi konflik antara pendukung salah satu caleg yang agak fanatis untuk memenangkan calegnya, tentu akan menghalalkan segala cara, termasuk dengan politik uang yang dianggap paling efektif dalam mengumpulkan suara untuk para caleg yang sedang bersaing.
Teori konflik yang lain yang dapat digunakan untuk mengkaji fenomena di atas adalah teori hubungan masyarakat. Teori hubungan masyarakat menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan/persaingan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat (Anonim, 2008). Fakta dari teori di atas dapat dilihat dari fenomena money politic, seperti yang terjadi di Desa Perancak, dari tidak adanya hubungan yang baik secara berkelanjutan antara caleg dan konstituennya. Dalam artian sebelum kampanye dimulai, antara caleg dan masyarakat yang diharapkan bisa memilih dirinya tidak pernah saling ada hubungan, atau bahkan tidak saling mengenal.
Hubungan seperti ini tentu saja mengancam posisi seorang caleg, yang kemungkinan akan gagal karena tidak mendapat suara dalam Pemilu yang digelar karena para konstituen tidak mengenal dirinya. Sosialisasi baik melalui media massa, spanduk, baliho, SMS, ataupun di internet, juga tidak begitu efektif untuk mengumpulkan suara karena masyarakat merasa tidak memiliki ikatan emosional dengan caleg yang bersangkutan. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk mendapat dukungan suara dari masyarakat yang realistis dan (mungkin saja) materialistis adalah dengan politik uang, yaitu membagikan uang kepada konstituen dengan timbal balik masyarakat mau memilih caleg yang memberikan uang.
Seharusnya politik uang tersebut tidak akan terjadi, jika seseorang yang akan menjadi caleg memang mempunyai hubungan yang baik dengan masyarakat. Jika hubungan tersebut baik secara berkelanjutan dan ikhlas tanpa ada kepentingan tertentu, maka tanpa dimintapun masyarakat pasti akan memilih orang tersebut jika ia mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Namun di jaman sekarang ini mungkin sulit sekali untuk mencari orang yang demikian karena masyarakat lebih percaya kepada uang (moneytheisme), dibandingkan dengan caleg yang mengumbar janji belaka, tanpa ada perjuangan nyata untuk rakyat yang memerlukan. Dalam hal ini Prof Dr. Nengah Bawa Atmadja dalam seminar bertajuk ‘Sisi Lain Pemilu’ yang diselenggarakan oleh Program Kajian Budaya Universitas Udayana pada 28 Oktober 2008 di Denpasar menyoroti mengenai perbedaan makna pemilu antara para elite politik dan pemilih akar rumput. Di tubuh pemilih akar rumput, terjadi fenomena logika pasar yang membuat rakyat berpikir instan dan makin menguatnya budaya uang dalam politik (Anonim, 2008).
b. Pendekatan Struktural Fungsional
Teori struktural fungsional mengasumsikan bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut berfungsi dalam segala kegiatan yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem. Fokus utama dari berbagai pemikir teori fungsionalisme adalah untuk mendefinisikan kegiatan yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup sistem sosial. Terdapat beberapa bagian dari sistem sosial yang perlu dijadikan fokus perhatian, antara lain : faktor individu, proses sosialisasi, sistem ekonomi, pembagian kerja dan nilai atau norma yang berlaku.
Talcott Parsons melahirkan teori fungsional yang dalam pemikirannya mempunyai komponen utama adanya proses diferensiasi. Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan (Widodo, 2008).
Bahasan tentang struktural fungsional Parsons ini akan diawali dengan empat fungsi yang penting untuk semua sistem tindakan. Suatu fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan pada pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Parsons menyampaikan empat fungsi yang harus dimiliki oleh sebuah sistem agar mampu bertahan, yaitu :
1. Adaptasi, sebuah sistem harus mampu menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.
2. Pencapaian, sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya.
3. Integrasi, sebuah sistem harus mengatur hubungan antarbagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus dapat mengelola hubungan antara ketiga fungsi penting lainnya.
4. Pemeliharaan pola, sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.
Francesca Cancian memberikan sumbangan pemikiran bahwa sistem sosial merupakan sebuah model dengan persamaan tertentu. Model ini mempunyai beberapa variabel yang membentuk sebuah fungsi. Penggunaan model sederhana ini tidak akan mampu memprediksi perubahan atau keseimbangan yang akan terjadi, kecuali kita dapat mengetahui sebagian variabel pada masa depan. Dalam sebuah sistem yang deterministik, seperti yang disampaikan oleh Nagel, keadaan dari sebuah sistem pada suatu waktu tertentu merupakan fungsi dari keadaan tersebut beberapa waktu lampau.
Tataran teoretis di atas mengenai struktural fungsional dapat digunakan untuk mengkaji fenomena money politic yang juga terjadi di Desa Perancak tersebut. Sesuai dengan teori ini, masyarakat maupun caleg dari partai tertentu serta penyelenggara pemilu (KPU), merupakan bagian atau subsistem dari suatu sistem politik di Indonesia. Dahl (1994; lihat pula Fatah, 1994), mengemukakan salah satu kriteria penting dalam sistem demokrasi, termasuk Indonesia, adalah adanya partisipasi rakyat dalam pemilihan umum, selain kriteria yang lain. Masing-masing dari subsistem tersebut mempunyai fungsi tertentu yang sesuai dengan kedudukannya di dalam masyarakat. Masing-masing fungsi dan peran dari suatu subsistem akan saling berinteraksi dan saling melengkapi dengan subsistem yang lain.
Dalam suatu sistem politik, khususnya di Indonesia, rakyat sebagai konstituen mempunyai peran sebagai pemilih yang memiliki suara. Sedangkan caleg berperan sebagai peserta yang ikut dalam Pemilu pada suatu partai tertentu yang akan menuju kursi parlemen. Dan untuk menuju ke kursi parlemen seorang caleg memerlukan dukungan suara dari konstituen yang memiliki hak suara. Dan KPU sebagai penyelenggara KPU adalah lembaga yang berperan dalam memfasilitasi kedua kepentingan di atas serta melegalisasi hasil dalam Pemilu. Oleh karena itu, untuk menghasilkan sesuatu yang berarti bagi sistem demokratisasi politik Indonesia, maka komponen atau subsistem tersebut harus bekerjasama dalam mencapai suatu sinergi dalam mencapai kepentingan masing-masing.
Seorang caleg yang membutuhkan dukungan suara dari konstituennya tentu harus bisa berdaptasi dengan lingkungan masyarakat yang kini semakin realistis, bahkan materialistis. Caranya adalah dengan memenuhi keinginan dari calon pemilih, terutama yang bersifat material. Adaptasi dimaksudkan adalah untuk penyesuaian diri seorang caleg yang ingin memenangkan pemilihan umum, dengan kondisi masyarakat yang dapat dikatakan semakin realistis. Terlebih lagi permainan politik uang yang sudah menjadi tradisi dari setiap penyelenggaraan Pemilu, walaupun memang dilarang menurut undang-undang, sehingga menjadi sebuah rahasia umum dalam setiap pelaksanaan Pemilu.
Usaha dari seorang caleg yang melakukan money politic merupakan suatu cara yang salah menurut undang-undang pemilu, namun itu merupakan usaha yang dilegalisasi oleh dirinya sendiri bahkan konstituennya, untuk pencapaian tujuan utama, yaitu menuju kursi parlemen.
Antara caleg dan konstituennya harus menciptakan integrasi antarbagian. Integrasi tersebut diciptakan secara disengaja karena masing-masing komponen dalam sistem politik uang itu sama-sama diuntungkan. Pemilik hak suara mendapatkan uang, dan caleg mendapatkan suara atau dukungan. Selain itu pula integrasi antarbagian sistem tersebut diperlukan agar money politic yang dilakukan antara caleg dan konstituen tidak muncul ke permukaan. Dalam artian, karena praktek ini dilarang oleh undang-undang, maka perlu untuk saling menjaga rahasia.
Rahasia umum dalam praktek money politic tidak dapat dipungkiri merupakan bagian dari masyarakat Indonesia. Dalam masyarakat, money politic sudah menjadi tradisi dan memiliki pola tersendiri. Pola-pola tersebut dipraktekkan oleh semua komponen dalam sistem politik yang demikian itu. Antara keempat fungsi yang telah disebutkan di atas, semua subsistem harus mampu bersinergi untuk mampu bertahan dalam gelombang politik di Indonesia.
III. PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pemilu Legislatif tahun 2009 diselenggarakan dengan berlandaskan pada Undang-undang nomor 02 tahun 2008 tentang partai politik dan Undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu. Pemilu dilaksanakan dengan suatu mekanisme tertentu sesuai dengan landasan hukum tentang Pemilu. Dalam aturan pelaksanaan Pemilu juga dijelaskan mengenai hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Salah satu larangan dalam pelaksanaan Pemilu 2009 adalah melakukan tindakan yang biasa disebut politik uang (money politic).
Fenomena money politic ini ternyata banyak terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu legislatif tahun 2009 kali ini, termasuk di Desa Perancak, Jembrana. Money politic terjadi dengan melibatkan beberapa oknum calon anggota legislatif (Caleg) dan calon anggota DPD. Tindakan ini dilakukan dengan cara dan prosedur yang cukup baik, sehingga Caleg yang melakukan money politic ini bisa mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya. Tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai suatu pelanggaran karena menyimpang dari Undang-undang yang berlaku, yaitu Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008.
Fenomena tersebut ternyata bisa dikaji dengan menggunakan pendekatan konflik dan struktural fungsional. Dengan menggunakan teori konflik, terjadinya money politik dikaji melalui pendekatan tentang kebutuhan manusia dan pendekatan hubungan masyarakat. Sedangkan melalui teori struktural fungsional, money politic dikaji dengan melihat beberapa fungsi suatu subsistem yang membentuk sistem tertentu agar dapat bertahan. Fungsi-fungsi tersebut antara lain: adaptasi, pencapaian, integrasi, dan pemeliharaan pola. Pendekatan-pendekatan tersebut digunakan untuk melihat terjadinya money politic dari semua subsistem yang terlibat dalam suatu sistem politik.
Betapapun money politic ini dicegah dengan berbagai cara, sulit untuk membersihkan praktek demokrasi Indonesia dari money politic. Money politic sudah menjadi suatu bagian yang terintegrasi dalam masyarakat Indonesia. Money politic ini dianggap sebagai sebuah fenomena biasa dalam sistem demokrasi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Administrator. 2009. Pemilu 2009: Sistem, Penyelenggara, dan Teknik Pembagian Kursi DPR. Jakarta: Pusat Penelitian Politik - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI)
Anonim. 2009. Fenomena di Balik Tradisi Money Politik dalam Proses Demokrasi Indonesia di Kelurahan Dinoyo. Tersedia pada http://pkntradisimoneypolitik. blogspot.com/2009/04/fenomena-di-balik-tradisi-money-politik_29.html (diakses pada 25 Juni 2009)
Anonim. 2008. Money Politik Hantui Pemilu. Terdapat dalam http://pemilu09.blogdetik.com/2008/10/28/money-politics-hantui-pemilu/ (Diakses pada 25 Juni 2009)
Anonim. 2001. Money Politik Bagian dari Partisipasi Masyarakat. Terdapat dalam http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2001/03/08/brk,20010308-12,id.html (Diakses pada 25 Juni 2009)
Anonim. 2009. Panwaslu Bali Temukan 9 Kasus Politik Uang. Terdapat dalam http://selebzone.com/2009/04/10/panwaslu-bali-temukan-9-kasus-money-politik.html (Diakses pada 25 Juni 2009)
Anonim. 2009. Panwaslu Bali masih Temukan Money Politik. Terdapat dalam http://www. kapanlagi.com/h/panwaslu-bali-masih-temukan-money-politics.html (Diakses pada 25 Juni 2009)
Anonim. 2008. Teori-teori Konflik. Tersedia dalam http://psychochanholic.blogspot.com/2008/03/teori-teori-konflik.html (diakses pada 25 Juni 2009)
Dahl, Robert. 1994. Demokrasi dan Pengkritiknya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Duverger, Maurice, 2005. Sosiologi Politik Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu social.
Fatah, R. Eep Saefullah. 1994. Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia
-------. 2009. Ekonomi Politik Kursi Pemilu. Terdapat dalam http://epajak.org/ada/politik-indonesia/ekonomi-politik-kursi-pemilu-87 (Diakses pada 25 Juni 2009)
Geventa, John, dkk, 2008. Demokrasi Deliberatif yang Mensejaterahkan (upaya Revitalisasi Demokrasi Lokal). Jakarta: Panitia Nasional Kaukus 17++.
Harmiyani, S.Pd. 2008. Demokrasi: Sebuah Paradoks. Tersedia dalam http://alpener.blogspot.com/2008/12/demokrasi-sebuah-paradoks.html (diakses pada tanggal 25 Juni 2009)
Mardika, I Nyoman. 2008. Demokrasi dan Pemilih Rasional. Terdapat dalam http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2008/1/15/o2.htm (Diakses pada 25 Juni 2009)
Mawardi, Irvan. 2008. Pilkada: Antara Money Politik dan Ongkos Politik. Tersedia dalam http://irvanogie.wordpress.com/2008/06/16/pilkada-antara-money-politik-dan-ongkos-politik/ (diakses pada 25 Juni 2009)
Navastara, Ardy Maulidy. 2007. Manajemen Konflik: Definisi dan Teori-teori Konflik. Tersedia dalam http://jepits.wordpress.com/2007/12/19/manajemen-konflik-definisi-dan-teori-teori-konflik/ (Diakses pada 25 Juni 2009)
Sihite, Harry Veryanto. 2009. Pemilu 2009: Masyarakat Materialistis Atau Caleg Money Politik?. Tersedia dalam http://www.analisadaily.com/index.php?option=com content&view=article&id=10518:pemilu-2009-masyarakat-materialistis-atau-caleg-money-politik&catid=250:30-maret-2009&Itemid=209 (Diakses pada 25 Juni 2009)
Sudjito. 2009. Money Politik: Penyakit Demokrasi Liberal. Tersedia dalam http://www. yogyakartaonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=363:pemilu&catid=1:latest-news (Diakses pada 25 Juni 2009)
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu anggotan DPR-RI, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota
Undang-undang Nomor 02 tahun 2008 tentang Partai Politik
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Widodo, Slamet. 2008. Perspektif Teori tentang Perubahan Sosial; Struktural Fungsional dan Psikologi Sosial. Tersedia dalam http://learning-of.slametwidodo.com/ 2008/02/01/perspektif-teori-tentang-perubahan-sosial-struktural-fungsional-dan-psikologi-sosial/ (Diakses pada 25 Juni 2009)
Windhu, I.M., 1992. Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung. Yogyakarta: Kanisius.
2 komentar:
cool.
blog ini, gimana membuat main menu banyak isinya?
ajari yaaa
Broker Terbaik – Dapatkan Banyak Kelebihan Trading Bersama FBS,bergabung sekarang juga dengan kami
trading forex fbsindonesia.co.id
-----------------
Kelebihan Broker Forex FBS
1. FBS MEMBERIKAN BONUS DEPOSIT HINGGA 100% SETIAP DEPOSIT ANDA
2. SPREAD DIMULAI DARI 0 Dan
3. DEPOSIT DAN PENARIKAN DANA MELALUI BANK LOKAL Indonesia dan banyak lagi yang lainya
Buka akun anda di fbsindonesia.co.id
-----------------
Jika membutuhkan bantuan hubungi kami melalui :
Tlp : 085365566333
BBM : d2e26405
Posting Komentar