Oleh: Adi Sanjaya
BAB I
PENDAHULUAN
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu faktor penentu yang menentukan kemajuan suatu bangsa. Tanpa Sumber Daya Manusia yang baik, suatu bangsa tidak akan mampu memajukan bangsanya sendiri, apalagi dituntut oleh perkembangan jaman di era globalisasi sekarang ini. Setiap individu dituntut untuk mampu menguasai IPTEK yang merupakan salah satu indikator untuk menentukan Sumber Daya Manusia.
Berbicara mengenai SDM, dalam hal ini perlu kita ketahui bagaimana cara meningkatkan kualitas SDM tersebut. Tentu saja diperlukan suatu proses yang berkesinambungan yang mampu merubah seorang individu dari tidak bisa menjadi bisa, dari kurang baik menjadi lebih baik. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan suatu lembaga pendidikan yang berisikan tenaga – tenaga pendidik profesional sehingga individu - individu yang masuk lembaga pendidikan tersebut bisa meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusianya secara bertahap.
Kita ketahui bahwa pendidikan dan agama adalah saling terkait. Terkait dengan pendidikan, dalam agama Hindu dikenal adanya Catur Guru yang terdiri dari Guru Rupaka, Guru Pengajian, Guru Swadiaya dan Guru Wisesa. Salah satu dari itu yang berperan secara langsung dalam membentuk SDM yang berkualitas yakni Guru Pengajian. Dalam kajian agama Hindu kita perlu ketahui bagaimana hakikat Guru Pengajian dari berbagai sudut pandang, karena Guru Pengajian mempunyai berbagai peran sehingga kita perlu lihat dari berbagai sisi.
Apabila agama tidak berperan dan berpengaruh dalam membentuk individu yang berkualitas dan berbudi luhur, maka kemungkinan besar akan timbul kekacauan dan permasalahan di masyarakat, salah satunya masalah Korupsi yang sangan marak terjadi dan terungkap dewasa ini. Bahkan negara kita tercinta, Indonesia, telah menduduki peringkat yang cukup tinggi dalam hal negara terkorup di dunia. Oleh karena itu kita sebagai generasi penerus bangsa hendaknya berusaha ikut serta dalam memecahkan masalah tersebut. Hal ini merupakan salah satu arah pembinaan Dharma Agama, yakni dengan mencintai dan berbakti kepada tanah airnya tempat mereka berpijak (PHDI, 1993 : 6).
Kita ketahui bahwa terjadinya korupsi adalah karena faktor manusia yang ingin memenuhi keinginannya, namun dengan cara yang salah. Namun dalam memenuhi keinginan tersebut hendaknya berdasarkan pada dharma (ibid, 1993 : 55), walaupun kita ketahui bahwa ketidaksempurnaan terdapat pada setiap makhluk ciptaan Tuhan, namun tidak ada salahnya kita senantiasa berperilaku sesuai dengan dharma.
Terkait dengan hal diatas penulis merasa tergugah untuk mengkaji persoalan – persoalan diatas sehingga nantinya meminimalisir masalah – masalah sosial yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Paling tidak tulisan sederhana ini bisa memberikan inspirasi yang berguna untuk membantu memecahkan masalah – masalah semacam itu. Tulisan ini juga penulis susun karena merupakan salah satu tugas sebagai salah satu persyaratan penilaian mata kuliah pendidikan agama pada akhir semester genap. Selain untuk mengetahui berbagai hal tentang hakikat guru pengajian yang cukup berpengaruh dalam membentuk manusia Indonesia yang maju dan berbudi luhur, serta bagaimana cara mengatasi permasalahan – permasalahan yang timbul akibat kekeliruan dalam melaksanakan pendidikan bagi masyarakat.
Dengan melihat latar belakang diatas pasti terdapat permasalahan – permasalahan yang muncul sebagai akibat kompleksnya sebab dan akibat yang ada. Dapat dirumuskan permasalahan – permasalahannya sebagai berikut :
1. Hakikat Guru Pengajian
a. Bagaimana pandangan agama Hindu tentang persyaratan Guru Pengajian?
b. Apakan tugas – tugas guru Pengajian menurut agama Hindu?
c. Bagaimana cara mendidik anak yang baik menurut agama Hindu?
d. Jika terjadi kelakuan anak yang menyimpang / nakal, menurut agama Hindu, apa penyebabnya?
2. Masalah Korupsi
a. Indonesia negara terkorupsi di dunia. Tinjaulah dari sudut pandang agama Hindu, mengapa korupsi merajalela di Indonesia?
b. Bagaimana cara mencegah korupsi menurut pandangan agama Hindu?
c. Bagaimana peran lembaga keagamaan dalam memberantas korupsi?
d. Menurut saudara bagaimana peran masyarakat dalam membrantas korupsi?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Hakikat Guru Pengajian
a. Pandangan Agama Hindu tentang Persyaratan Guru Pengajian
Bagi seorang guru yang mampu menggunakan kata – kata untuk memberikan pengatahuan langsung tidak hanya harus menghadirkan objek pengetahuan itu tetapi ia sendiri harus bebas dari kebodohan tentang objek dan mengetahui bagaimana menciptakan suatu konteks sedemikian rupa sehingga kata –kata dapat menghancurkan kebodohan atau ketidaktahuan murid (Saraswati, 1994 : 84). Bagi orang yang mampu mengunakan kata – kata untuk menyampaiakan pengetahuan langsung tentang orang kesepuluh, ia harus secara total dan langsung menghilangkan ketidaktahuannya mengenai identitas orang kesepuluh. Ia mungkin memiliki suatu teori yang masuk akal yang dapat dibuktikan kemudian. Akan tetapi, ia tidak akan memiliki jenis pengetahuan yang memungkinkan dia mengatakan secara kategori bahwa ia dengan langsung dapat mengahsilkan orang kesepuluh. Dengan gagalnya orang itu melihat orang kesepuluh , ia akan hanya punya kebodohan lebih yang ia ajarkan.
Bagi kata – kata yang tepat menghasilkan pengetahuan lansung, guru harus mengetahui dengan jelas apa yang ia rencanakan untuk disampaikan dengan kata – kata dan dalam kehadiran objek pengetahuan : konteks yang tepat harus dibangun.
Guru harus tahu kecukupan seperti dirinya sendiri. Untuk memperlihatkan kecukupan kepada pencari kebenaran, guru harus tahu kecukupan dirinya sendiri dan ia harus tahu bagaimana membangun konteks agar kecukupan itu dapat ditemukan. Dalam ayat Mundaka dijelaskan sebagai berikut :
Gurumeva abhigacchet
Srotriyam brahmanistham
Artinya :
Pergilah medekati seorang guru
yang mahir dalam bidangnya
dan mapan dalam pengetahuan
Guru yang kata – katanya bisa sebagai alat pengetahuan langsung adalah ia yang srotriyam dan brahmanistham. Srotriyam berarti orang yang menguasai ayat – ayat dari sumber pengetahuan, orang yang mengetahui isi dari sumber pengetahuan tersebut dan juga mengetahui metodologi penyampaian pengetahuan itu. Brahmanistham adalah orang yang mengetahui kesempurnaan yaitu orang yang benar – benar tahu “Aku adalah seorang makhluk yang sempurna”.
Guru yang dapat mengajar kita bahwa kita adalah makhluk sempurna harus mapan, tetap dalam pengetahuan mengenai makhluk sempurna seperti dirinya sendiri. Apabila ia tidak memiliki pengetahuan ini dalam semua pengajarannya yang mungkin maka akan menyebabkan kesempurnaan sesuatu diluar dirinya yaitu sesuatu yang harus diraih melalui usaha.
Pengajaran yang tidak dapat membuat permasalahan semakin buruk. Seorang guru yang tidak dapat menyampaikan pengetahuan tentang kesempurnaan kepada murid yaitu tidak dapat secara langsung mengajarkan bahwa murid adalah makhluk yang sempurna oleh karena guru itu tidak memiliki pengetahuan dalam metodologi pengajaran atau ia tidak mengetahui hakikat dirinya sendiri, maka keadaan ini dapat meperburuk permasalahan yang muncul. Dalam ayat Mundaka disebutkan :
brahmanistham gurum abhigacchet
artinya :
pergilah mendekati seorang guru yang mapan
dalam pengetahuan tentang dirinya sendiri
sebagai kesempurnaan.
Pergilah mendekati seorang guru ahli yang dapat mengatakan dengan meyakinkan, “Itu adalah kamu”. Jika ia melihat dirinya seperti apa adanya, maka guru tersebut tidak dapat membuat pernyataan dengan meyakinkan kepada murid – muridnya. Jadi pergilah mengahdap seorang guru yang brahmanistham yaitu ia yang telah tetap, mapan dalam pengetahuan atas dirinya sendiri.
Guru harus tahu metodologi tradisinal. Ayat Mundaka juga menatakan :
Srotriyam gurum abhigacchet
Artinya :
Pergilah mendekati guru yang mahir dalam bidangnya.
Agar mahir ia harus menguasai bidang pokok termasuk pengetahuan metodologi pengajaran. Seorang guru yang baik adalah ia yang terpelajar dari dirinya bagaimana caranya mengajar. Sebuah metode yang mapan disebut sampradaya, yaitu pengajaran trdisional secara turun – temurun.
b. Tugas – tugas Guru Pengajian menurut Agama Hindu
Pada dasarnya semua orang itu dilahirkan dalam keadaan bodoh, tidak tahu apa – apa (Saraswati, 1994 : 52). Akan tetapi tidak secara absolut bodoh atau tidak tahu karena seorang bayi yang baru lahir pun tahu sedikit yaitu hal – hal dasar seperti minta makanan, takut jatuh, mengerti senyuman walaupun ketidaktahuannya dalam jumlah yang sangat besar. Ketidaktahuan bayi yang begitu besar termasuk ketidaktahuannya mengenai dirinya. Ketidaktahuan itu termasuk pengetahuan tentang dirinya sendiri dan tentang hal – hal lain.
Disinilah peran seorang guru sangat diperlukan dalam membentuk siswa/individu agar ia menambah pengetahuannya tentang dirinya sendiri. Guru bertugas membuat seseorang yang tidak tahu menjadi tahu, oleh karena manusia sejak lahir dilahirkan dalam keadaan tidak tahu. Dalam proses perkembangan seorang siswa pasti akan melepaskan ketidaktahuannya. Ketidaktahuan dilepaskan begitu seseorang meraih pengetahuan sahih. Pengetahuan sahih memerlukan pramana yang cocok, instrumen yang sesuai dengan alat – alat untuk meraih pengetahuan. Alat – alat untuk meraih pengetahuan yaitu kelima organ tubuh yang didukung oleh pikiran diberikan untuk kita untuk mengetahui dunia. Jadi dalam fungsi ini seorang guru harus tahu bagaimana cara membuat seorang murid itu menjadi tahu, paling tidak mengenai dirinya sendiri.
Guru pengajian merupakan orang tua murid di pasraman atau sekolah. Jadi pembentukan karakter seseorang juga bisa dilakukan oleh guru karena sebagian waktunya dihabiskan untuk mencari pengetahuan di sekolah. Guru juga bertugas membentuk murid – muridnya agar menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur, santun dan terampil dalam mengelola dirinya. Dengan berbagai pengetahuan dan ketrampilan yang ia miliki, murid tersebut nantinya akan siap terjun langsung di dalam masyarakat dan masyarakat akan menerimanya.
c. Cara Mendidik Anak yang Baik Menurut Agama Hindu
Seperti yang sudah dikemukakan diatas bahwa untuk mewujudkan SDM yang berkualitas salah satunya harus ditempuh melalui proses pendidikan. Pendidikan tidak bisa diberikan secara cepat/ instan, namun harus secara berkesinambungan. Dalam proses yang cukup panjang tersebut seorang pendidik, yang dalam hal ini guru, harus mampu mendidik agar seorang anak mampu menjadi anak yang baik yang dapat diterima dalam pergaulan masyarakat.
Mendidik anak dalam agama Hindu pada dasarnya hampir sama dengan mendidik anak secara umum. Hanya saja mungkin cara dan hasil yang didapatkan agak berbeda sebagai akibat pandangan sebuah agama yang lebih mendalam dalam melihat sisi dan hasil dari pendidikan seseorang. Mendidik anak yang baik apabila hal – hal yang diajarkan itu sesuai dengan norma – norma yang berlaku, khususnya norma agama. Oleh karena itu anak harus juga diberikan pendidikan agama karena pendidikan agama adalah pendidikan seumur hidup (PHDI, 1993 : 7), maka oleh karena itu pelaksanaan pendidikan agama sebaiknya dilaksanakan semenjak anak masih kecil. Keteladanan adalah kunci mengembangankan jiwa keagamaan pada anak. Keimanan adalah suatu yang tumbuh dari pelaksanaan nyata dalam bentuk yang sederhana dari apa yang diajarkan. Pertumbuhan anak baik rohaniah atau jasmaniah membutuhkan sentuhan langsung dari ibunya dan orang – orang di sekelilingnya. Pengaruh lingkungan membentuk watak, perilaku dan pengembangan diri anak. Dengan cara mendidik anak yang baik diharapkan nantinya anak tersebut mampu diterima dalam masyarakat dan tentu saja mampu menjadi anak yang dalam agama Hindu disebut sebagai Suputra.
d. Penyebab Terjadinya Kelakuan Anak yang Menyimpang menurut Hindu
Anak yang nakal atau mempunyai perilaku yang menyimpang bisa terjadi karena berbagai hal, tergantung dari sudut pandang mana kita meninjaunya. Dalam pandangan agama Hindu, kelakuan menyimpang pada anak terjadi karena adanya karena adanya karma wesana, yakni sisa diri hasil perbuatan seseorang pada masa hidup sebelumnya. Dalam Wrhaspati tattwa disebutkan :
Asing sagawenya dadi manusa, ya ta mingetaken de
Bhatara Widhi, apan sira pinaka paracaya Bhatara ring
Cubhacubha karmaning janma
(Wrhaspati tattwa – 22)
Segala (apa) yang diperbuat di dalam penjelmaan (menjadi) manusia, (semua) itulah yang dicatat oleh Bhatara Widhi (Tuhan Yang Maha Kuasa) karena dia sebagai saksi (dari) baik buruk (amal dosa) perbuatan manusia.
Pengaruh Karma itu pulalah yang menentukan corak serta niai daripada watak mansuia. Oleh karena itu bermacam – macam jenisnya dan tak terhitung banyaknya, maka watak manusia pun beraneka macam pula ragamnya. Karma yang buruk menciptakan watak yang jelek dan jahat.
Selain dari faktor Karma diatas, faktor intern lainnya dari manusia itu sendiri juga cukup berpengaruh. Adanya keingintahuan yang dalam mencarinya tidak didasari atas dharma juga menyebabkan seorang anak bisa berperilaku menyimpang, yang dalam kenyataannya bisa memunculkan masalah – masalah lain. Adanya unsur Sad Ripu yang berpengaruh dalam diri manusia juga bisa menyebabkan anak tersebut berkembang menjadi anak yang nakal bahkan mungkin melakukan suatu Patologi sosial. Apabila Sad Ripu dibiarkan menguasai sifat – sifat manusia, maka seseorang pasti akan melakukan perilaku – perilaku yang tidak akan disenangi oleh masyarakat.
2. Masalah Korupsi
a. Tinjauan Agama Hindu tentang Merajalelanya Korupsi di Indonesia
Korupsi merupakan suatu kasus yang sedang gencar diberantas oleh negara kita pada saat ini. Bahkan korupsi merupakan satu dari tiga prioritas yang harus sesegera mungkin diberantas oleh negara, selain teroris dan narkoba. Rasanya malu kita menjadi warga negara Indonesia jika bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang religius (beragama) justru subur dengan praktek – praktek korupsi. Dimanakah kredibilitas kita sebagai bangsa yang religius, tetapi malah mentolerir praktek – praktek korupsi? (Zada, 2003 : 1).
Kita tahu bahwa korupsi merupakan salah satu dari tindak kriminal yang bisa merugikan negara. Dan kita tahu bahwa korupsi sampai batas tertentu, tidak saja mengancam lingkungan hidup, hak asasi manusia, lembaga – lembaga demokrasi dan hak – hak dasar dan kemerdekaan, tetapi juga menghambat pembangunan dan memperparah kemiskinan jutaan orang di seluruh dunia. Jika dibiarkan terus menjangkiti dan menciptakan pemerintahan yang irasional, pemerintah yang didorong keserakahan, bukan oleh tekad memenuhi kebutuhan rakyat, dan yang mengacaukan pembangunan di sektor swasta, maka korupsi akan menjauhkan kita bahkan dari kebutuhan manusia yang peling mendasar.
Kita ketahui bahwa catatan sejarah pembangunan bangsa ini dalam kuruh waktu 25 tahun terakhir membuktikan bahwa proses pembangunan yang telah dan sedang berlangsung, telah memberikan sumbangan yang amat besar dalam mengurangi jumlah pemduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (Bagus, 1995 : 44). Apabila kita sebagai warga negara Indonesia sendiri yang melakukan tindak korupsi, berarti sama juga dengan mengahncurkan semua usaha dan cita – cita para pendiri bangsa. Apakah manusia Indonesia sekarang sudah tidak mempunyai hati dan tidak berperasaan?
Agama apapun termasuk agama Hindu sangat mengharamkan tindak korupsi, karena korupsi adalah sama saja dengan mengambil bahkan mencuri hak orang lain dengan cara yang salah. Dalam ajaran Catur Purusa Artha sebagai tujuan hidup manusia dalam pandangan agama Hindu, tindak korupsi terjadi karena adanya unsur keinginan (kama) yang ingin dicapai yaitu artha, namun cara mencapai artha tersebut tidak berdasarkan jalan yang benar atau dengan kata lain tidak berdasarkan dharma. Catur Purusa Artha yang seharusnya terdiri dari Dharma, Artha, Kama dan Moksa ternyata telah disalah artikan menjadi Artha, Kama, Dharma dan Moksa. Pola ini adalah untuk membina kehidupan yang seimbang material – spiritual, dan menuju hidup yang sejahtera di dunia ini, dan di dunia yang akan datang, sekala dan niskala (Mantra, 1990 : 22). Namun sering kali harapan tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi, banyak terjadi penyimpangan – penyimpangan di berbagai lapisan kehidupan. Bahkan di dalam birokrasi pemerintah yang kita harapkan mampu berperan sebagai wakil kita di tingkat daerah dan pusat pun dengan tega menghabiskan uang negara yang seharusnya dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat, untuk memuaskan kepentingan pribadi.
Orang yang lebih mementingkan keinginan atau nafsunya daripada orang lain, maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut telah dipebudak oleh nafsu, serta orang yang tidak bisa mengontrol pikirannya. Dalam sloka dijelaskan :
“yas tu awijnanawan bhawaty amanaskas sadasucih, na sa tat padam apnoti samsaram cadhi gacchati”
“yas tu wijnanawan bhawati samanaskas sada ‘sucih, sa tu tat padam apnoti yasmat bhuyo na jayate”
Artinya :
Ia, yang tidak mempunyai pengertian, yang tidak punya kontrol terhadap pikirannya, yang selalu tidak suci, ia tidak mencapai tujuannya dan kembali lahir ke dunia fana ini.
Tetapi, ia yang mempunyai pengertian, yang punya kontrol terhadap pikirannya, yang selalu suci, ia mencapai tuuannya, dari mana ia tidak lahir ke dunia fana ini lagi (Sudharta, 1990 : 34 – 35).
Dalam sloka tersebut juga tersira bahwa pentingnya panca indriya dalam mengendalikan keinginan atau nafsu sampai pada bagaimana cara mencapainya. Jadi merajalelanya korupsi yang terjadi di Indonesia dewasa ini terjadi karena manusia sekarang sudah tidak mempunyai pengertian, sudah tidak mampu lagi mengendalikan indriya-nya sehingga melihat atau mendengar orang korupsi yang hasilnya milyaran bahkan triliyun orang juga ingin melakukannya walaupun ia tahu hal tersebut salah dan merugikan orang banyak. Di sinilah letak keserakahan manusia sebagai akibat diperbudak oleh nafsu.
Dalam tinjauan mengenai korupsi hendaknya orang – orang memahami tentang adanya hukum karma phala, bahwa semua perbuatan yang tidak sesuai dengan dharma akan mandapatkan hasil yang setimpal. Walaupun tidak terlihat pada kehidupannya, bisa saja akan terlihat pada kehidupan keturunan – keturunannya kelak. Dalam Cantiparwa 129. 12 disebutkan :
Papam karma krtam kimcid;
Vadi tasmin na drasyate nrpate tasya putresu
Putreswapi ca naptran
Artinya :
Walaupun pahala kejahatan perbuatan seseorang tiada terlihat pada orang itu sendiri; (meskipun) raja, namun (pasti) terlihat) pada anak cucu sampai buyutnya juga.
Oleh karena itu ajaran Agama (Dharma) menekankan benar; hendaknya manusia berlaku tidak menyimpang dari petunjuk kerohanian atau Dharma; karena akibat perbuatan jahat atau dosa itu sangat berat hukumannya dan hukum itu akan dijatuhkan dari suatu pengadilan yang tiada kelihatan (Punyatmadja, 1992 : 66-67).
b. Cara Mencegah Korupsi Menurut Hindu
Dalam hal ini ternyata agama juga ternyata cukup berperan dalam mencegah tindak korupsi. Jika kita melihat sepintas tentang sejarah Indonesia, khususnya Bali, yaitu sesuai dengan tugas raja adalah menata kehidupan rakyat, bangsa dan negaranya tentu sangat logis kebudayaan Hindu dipergunakan sebagai pedoman dalam menata kehidupan kenegaraan dan rakyat tentu mengikuti segala petunjuk kerajaan. Raja dengan otoritasnya mempunyai hak mengatur atas sebagian dari hasil rakyatnya yang berupa materi yang harus diserahkan kepadanya. Hak raja ini dalam sumber – sumber prasasti disebut dengan istilah :drwyahaji”, yang berarti milik raja, karena mereka mengatur dan menguasai pemerintahan (Dharmayuda, 1995 : 42-43). Di jaman kerajaan Majapahit dan Gelgel di Bali sebagai kerajaan Hindu, menurut Ida Pandhita Nabe Shri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi yang sebagai ketua PHDI Buleleng dalam TEMPO Interaktif, pencegahan korupsi dilakukan antara lain dengan pengambilan sumpah jabatan yang secara khusus dilakukan oleh seorang pandhita di sebuah pura yang sakral. Sumpah itu disebut sebagai sumpah Hari Camdani yang berarti sumpah yang sangat kuat dan kokoh. Oleh masyarakat luas, sumpah ini dikenal sebagai “Sumpah Cor” yang berarti balasan atas pelanggaranya akan langsung dijatuhkan oleh Oda Sang Hyang Widhi Wasa (Tempo, 05 September 2004).
Ajaran Hindu mengenal yang namanya Tri Upasaksi/tiga saksi, yaitu : dewa saksi/bersaksi di hadapan Tuhan, manusa saksi/saksi manusia, dan butha saksi/saksi makhluk yang diyakini berada di bawah manusia. Sumpah termasuk bagian dari dewa saksi. Dewa saksi yang lainnya adalah : mengening – ening dan cor atau sumpah cor (Windia, 1997 : 13). Memang kelihatan masih diluar logika dalam usaha mencegah korupsi, namun sumpah semacam ini sepertinya harus kembali dilakukan daripada hanya sumpah jabatan yng seremonial belaka (Tempo, 2004).
Selain cara diatas, dapat juga dilakukan sedini mungkin pendidikan agama dan budi pekerti kepada generasi muda agar nantinya mereka tidak mempraktekan tindakan sejenis yang dapat merugikan orang banyak. Kenyataan antara yang normatik dengan yang empirik/ operasional nampak perbedaan. Masyarakat belum mampu mengamalkan semua yang bersifat normatik itu (PHDI, 1993 : 16). Oleh karena itulah agama sangat berperan karena agama adalah gagasan yang ideal dalam memberantas korupsi.
c. Peran Lembaga Keagamaan dalam memberantas Korupsi
Lembaga keagamaan merupakan salah salah satu lembaga yang ada di dalam masyarakat yang membidangi masalah keagamaan di suatu wilayah tertentu. Dalam hindu lembaga yang kita kenal seperti Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Peran agamawan Hindu dinilai sangat strategis di tengah pesimisme terhadap upaya – upaya pemberantasan korupsi (Tempo, 2004). PHDI sebagai lembaga keagamaan tertinggi dari umat Hindu dirasakan masih efektif untuk mengurangi perilaku korupsi karena lembaga tersebut relatif masih didengar oleh umat Hindu secara keseluruhan. PHDI sebagai lembaga keagamaan yang memiliki suatu kewenangan bisa mengeluarkan suatu fatwa (bhisama) mengenai pemberantasan korupsi di Indonesia, khususnya di Bali.
Lembaga keagamaan juga berperan dalam memberikan pembinaan – pembinaan terhadap umatnya. Guna mencapai sasaran pembinaan umat sebagaimana tujuan untuk pembinaan umat Hindu dharma, dapat ditempuh berbagai usaha dengan mempergunakan perangkat, sarana dan jalur pembinaan yang ada sesuai dengan Desa, Kala dan Patra. Salah satunya adalah melalui lembaga keagamaan seperti PHDI, selain lembaga lain seperti Dirjen Bimas Hindu dan Budha, Rohaniawan Hindu ABRI, Generasi Muda Hindu Pusat, Wanita Hindu Dharma Pusat, dan lembaga – lembaga lainnya (PHDI, 1993 : 24).
d. Peran Masyarakat dalam Memberantas Korupsi
Dewasa ini korupsi sudah merajalela di negara kita, bahkan negara kita dicap sebagai negara terkorup di Asia Tenggara. Korupsi telah menjadi gejala yang sistematik dan dipraktekan secara bersama – sama oleh lembaga eksekutif, legislatif bahkan yudikatif. Akibatnya, penanganannya pun harus bersifat lintas sektoral dan tidak hanya mengandalkan jajaran penegak hukum atau LSM anti korupsi. Di atas telah dijelaskan harus adanya dukungan kaum agamawan melalui lembaga keagamaan untuk memberantas korupsi. Namun semua itu tidak akan mencapai hasil yang memuaskan apabila tidak didukung oleh peran serta masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini peran masyarakat sangat penting sebagai pihak yang melakukan kontrol sosial (social control) terhadap kinerja pemerintah. Dengan peran seperti itu, pemerintah tentu saja akan berusaha menjalankan amanat dari rakyat sebaik – baiknya dan sesuai dengan norma yang berlaku.
Merajalelanya korupsi dewasa ini sebagai akibat lemahnya kontrol masyarakat terhadap pemerintah karena masyarakat sudah disibukkan dengan masalah – masalah yang dihadapi seperti bencana alam, kemiskinan, kriminal, dan lain – lain. Hal seperti inilah yang menyebabkan para koruptor dengan leluasa melakukan aksinya tanpa menghiraukan dampak serius yang ditimbulkan dari tindakannya mengambil hak rakyat itu.
BAB III
PENUTUP
Dengan melihat fenomena – fenomena sosial yang terjadi di sekitar kita dewasa ini, sedikit banyaknya dapat kita simpulkan sementara bahwa moral bangsa Indonesia sedang mengalami posisi yang cukup jatuh dibawah. Banyak tindak kriminal yang terjadi sebagai akibat suatu kesengajaan atau ketidaksengajaan.
Kondisi sosial masyarakat yang demikian harus mendapat perhatian yang cukup serius sebelum, terjadi hal – hal yang lebih parah. Disinilah peran guru sebagai pendidik yang senantiasa harus mengajarkan hal – hal positif dan sesuai dengan norma – norma yang berlaku di masyarakat. Anak harus dididik sedini mungkin agar norma – norma serta nilai yang ditanamkan bisa dipahami dan dipraktekan secara lebih mayang di dalam pergaulan masyarakat. Kesalahan dalam memberikan didikan kepada anak akan terus dibawanya sampai ia dewasa. Hal ini bisa saja mengakibatkan anak bisa melakukan tindak yang tidak sesuai dengan norma, seperti tindak kriminal karena tidak ada nilai – nilai yang didapatkannya semasa kecilnya tentang larangan melakukan hal tersebut.
Korupsi merupakan salah satu fenomena yang terjadi sebagai akibat dari kemerosotan moral masyarakat jaman sekarang. Kemerosotan moral bisa terjadi karena tidak terjadinya penanaman nilai dan norma secara permanen pada masa kecilnya. Tindak korupsi sekarang sudah mendarah daging di dalam birikrasi pemerintahan. Korupsi tidak hanya harus diberantas tapi juga harus dicegah. Peran lembaga keagamaan sebagai wadah dari umat beragama serta masyarakat sebagai pihak yang melakukan kontrol sosial sangat diperlukan sehingga korupsi dapat dicegah sedini mungkin. Kita sebagai generasi muda hendaknya bisa turut serta dalam membangun bangsa kita dengan melakukan berbagai hal yang bersifat positif dan berguna bagi khalayak banyak, bukan melakukan hal yang bisa merugikan orang banyak. Dan hendaknya pemerintah bekerjasama dengan lembaga terkait dan masyarakat harus dengan serius membasmi dan mencegah tindak korupsi yang terjadi di negara kita ini.
Demikian makalah singkat ini, semoga dengan segala keterbatasan yang ada bisa bermanfaat bagi orang lain, setidaknya mampu memberikan inspirasi dalam merencanakan rencana pembangunan ke depan.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, I Gusti Ngurah. 1996. Hindu Dharma. Denpasar : Upada Sastra
Dharmayuda, I Made Suasthawa, SH. 1995. Kebudayaan Bali : Pra-Hindu, Masa Hindu dan Pasca Hindu. Denpasar : Kayumas Agung
Mantra, I.B,Prof. Dr. 1990. Bali : Masalah Sosial Budaya dan Modernisasi. Denpasar : Upada Sastra
Parisadha Hindu Dharma Indonesia Pusat. 1993. Pedoman Pembinaan Umat Hindu Dharma Indonesia. Denpasar : Upada Sastra
Punyatmadja, I.B Oka,Dr,M.A. 1992. Panca Sradha. Jakarta : Yayasan Dharma Sarathi
Saraswati, Swami Dayananda. 1994. Vedanta. Denpasar : Upada Sastra
Sudharta, Tjok. Rai. 1993. Nasihat Sri Rama Sampai Masa Kini. Denpasar : Upada Sastra
Tempointeraktif. 2004. PHDI Didesak Keluarkan Fatwa Anti Korupsi. Harian Tempo
Windia, Wayan P. 1997. Sumpah Cor. Denpasar : Upada Sastra
Zada, Khamami.2003. Agama dan Pemberantasan Korupsi. Harian Suara Pembaruan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar