Label

Adi Sanjaya

Adi Sanjaya

Sabtu, 02 Oktober 2010

Seka dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Bali

Oleh: Putu Adi Sanjaya
1.Seka: Wujud dan Pengertiannya
Untuk mendapatkan gambaran pengertian tentang seka-seka yang ada di Bali, perlu dilihat dahulu kehidupan secara umum organisasi kemasyarakatan yang ada, dimana ­seka-seka merupakan bagian yang lebih kecil (atau mencakup bagian-bagian tertentu). Adalah desa dan banjar. Desa sebagai kesatuan hidup masyarakat didasarkan atas kesatuan tempat tinggal dengan batas-batas yang jelas, dimana tanah pertanian, pekarangan, perumahan dan tempat pemujuaan menjadi satu kesatuan yangkhas dan mengikat seluruh warga desa dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Batas-batas desa selain ditandai dengan batas-batas fisik yang jelas, juga ditandai dengan adanya batas wilayah pemujaandalam satu kesatuan pura atau adanya Kahyangan Tiga.1
Sementara itu dari segi administrasi pemerintahan dan pengaturan yang menyangkut aktivitas warga desa, dikenal adanya kesatuan desa adat dan desa dinas. Bagi warga desa (krama desa), perbedaan pengertian yang terkandung dalam desa adat ataupun desa dinas tidaklah terlalu ketat batasannya, karena dalam pelaksanaannya atau aktivitas yang dilakukan bagi kepentingan desa, keduanya memberikan hak yang sama serta tuntutan kewajiban yang sama, yang tercakup dalam satu peranan sebagai anggota banjar.
Seka adalah lembaga atau kelompok sosial yang lebih kecil sifat, ruang lingkup dan keanggotaannya dari banjar; dan pada kasus-kasu tertentu ada juga seka yang mempunyai lingkup yang lebih luas dan melampaui wilayah satu banjar. Seka merupakan kesatuan dari beberapa orang anggota banjar yang menghimpun diri atas dasar kepentingan yang sama dalam beberapa hal. Kegiatan seka itu sendiri, di samping aktivitas yang menyangkut kepentingan anggotanya juga banyak membantu kegiatan banjar bahkan untuk beberapa hal dimanfaatkan oleh banjar. Seperti halnya banjar, seka mempunyai anggota, struktur pimpinan, hubungan berpola antaranggota, aturan atau awig-awig dan fungsi tertentu dalam kaitannya dengan kelompok sosial dan kelompok kepentingan yang sama di lingkungan banjar desa adat, dan desa dinas.
Clifford Geertz dalam penelitiannya di Desa Tihingan, Klungkung, Bali, menemukan seka sebagai lembaga atau kelompok social yang ia rumuskan sebagai berikut:
“seka itu merupakan suatu organisasi yang dibentuk untuk mencapai suatu tujuan atau maksud yang khusus. Kelompok-kelompok seperti itu didirikan untuk sementara waktu saja, tetapi ada pula yang hidup bertahun-tahun bahkan untuk beberapa angkatan lamanya. Bias didirikan untuk satu tugas saja, berlangsung dari satu tugas ke tugas yang lain; ada yang amat luas sifatnya dan ada juga yang terdiri dari beberapa anggota saja. Adapun seka tidak pernah sejajar tetapi selalu melintang batas-batas kesatuan social yang lain, seolah-olah mempersatukan orang-orang dari berbagai golongan, semata-mata atas dasar pertalian persahabatan yang punya persamaan kebutuhan”
Temuan Geertz tersebut tentu didasarkan atas pengalamannya di Tihingan, dengan berbagai bentuk seka yang dijumpainya pada waktu itu. Dengan berbagai bentuk kepentingan dalam kehidupan pedesaan mungkin saja dapat terwujud kelompok-kelompok yang membentuk seka-seka, seperti misalnya seka di bidang pertanian, seka dalam kegiatan upacara adapt dan keagamaan, seka dalam kegiatan banjar dan desa, dan lain-lain.
Melihat seka di Bali sebagai lembaga atau kelompok social (social group), ada baiknya dilihat pengertian yang diberikan oleh John M. Shepard (1974) tentang kelompok social sebagai berikut.
‘…is a type of social structure that is created through the patterned interaction of a relatively few persons who share a common identity, goals, rules of thinking, feeling, and behaving and direct or indirect lines of communication…’2
Pada bentuknya yang umum, cirri seka mencakup apa yang disampaikan oleh Shepard itu: pola interaksi antaranggota yang sangat dekat, dengan cirri dan tujuan yang khusus, serta mengembangkan pola komunikasi langsung ataupun tidak langsung. Tentunya dalam pola komunikasi ini juga dikembangkan komunikasi yang dapat meneruskan atau menyosialisasikan seka antargenerasi seperti yang ditemukan Geertz di Desa Tihingan, Bali. Sementara itu adanya pembagian kerja yang jelas, pimpinan kelomok yang berfungsi mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi secara periodik, alih generasi dan sebagainya memberikan cirri yang memperkuat bagi terbentuknya kelompok social sebagaimana dinyatakan Etzioni3; cirri-ciri mana dapat terlihat pada wujud sebuah seka di Bali.
Keberadaan sekadi lingkungan banjar atau desa biasanya mengikuti pola aturan atau bentuk organisasi social banjar atau desa tersebut, seperti system aturan atau awig-awig, keanggotaan, pemilikan, kas dan pendanaan, inventaris atau peralatan, bahkan kadang-kadang kegiatan seka juga mengambil tempat di lingkungan banjar atau desa. Kalau banjar mempunya kulkul (kentongan) untuk memanggil atau menginformasikan sesuatu, maka seka mempunyai kentongan yang lebih kecil atau nengnengan seka.

2.Seka dalam Kehidupan Masyarakat Bali
Dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat yang berkembang di Bali, ada berbagai jenis seka, satu dengan yang lainnya kadang-kadang menunjukkan suatu perbedaan yang jeas, tetapi kadang-kadang pula sulit untuk dibedakan. Misalnya saja kelompok seka yang bergerak di bidang kesenian (seka gong, seka angklung, seka bleganjur), juga mempunyai peranan dalam aspek kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Karena itu klasifikasi jenis seka pada nama dan jenis kegiatannya mungkin lebih mudah, sedangkan klasifikasi aspek kehidupan mana ia berada sudah menjadi lebih sulit. Demikian juga halnya untuk memberikan klasifikasi pada fungsi dan peranan yang dapat diwujudkan, dapat dilakukan secara lebih longgar dan tidak harus ketat.
Untuk dapat melihat berbagai jenis seka dalam kehidupan masyarakat Bali, ada baiknya dikembangkan klasifikasi sederhana dari aspek kehidupan terhadap seka yang ada. Sesuai dengan jenis-jenis seka yang ada maka klasifikasi tersebut dibatasi hanya pada beberapa aspek-aspek kehidupan berikut.
a.Aspek Kehidupan Ekonomi
Kehidupan ekonomi masyarakat dapat berkembang berupa kegiatan di bidang pertanian, nelayan, perdagangan dan juga kesenian yang bisa dipertunjukkan untuk mendapatkan upah atau nafkah. Di bidang pertanian, sebelum masuknya teknologi pertanian yang maju seperti sekarang, dikenal adanya seka numbeg (kelompok petani yang bersama-sama menghimpun diri dan mencangkul lahan milik anggota dalam batasan tertentu, secara bergiliran dan selanjutnya juga mencari upahan dari petani di luar anggota), seka nengala (untuk membajak), seka majukut, dan mamula (menyiang dan menanam), seka manyi dan seka mekajang (memanen dan mengangkut padi dari sawah ke rumah pemilik), dan seka nebuk (menumbuk padi).
Sebelum irigasi ditata dengan baik ada seka yeh (pengatur air), dan setelah padi jenis baru dipakai ada seka nigtig (kelompok memanen yang baru, tanpa menggunakan ani-ani, melainkan dengan sabit dan langsing merontokkan padi menjadi gabah)
Pada kehidupan nelayan dikenal adanya seka jukung (kelompok perahu), seka ngujur (kelompok yang membantu nelayan membersihkan perahu dan mengangkut ikan, dengan mendapat upah atau imbalah berupa ikan yang dapat dijual), seka panganyar (kelompok yang menjual ikan hasil tangkapan ke pasar).
Di bedang perdagangan dicatat adanya seka pengetengan, yaitu kelompok pedagang yang secara bersama-sama mempercayakan pada salah seorang diantara anggota untukmenyimpan ituran harian sejumlah uang yang telah disepakati. Seka pengetengan ini ternyata sangat berperan dalam membantu anggota dan masih berkembang sebelum bank pasar dan para rentenir mengembangkan usaha simpan pinjamnya.
Unsur penunjang kegiatan ekonomi khususnya di pasar juga sempat mengenal adanya seka sampat (kelompok pemersih pasar), seka suwun (kelompok pengangkut barang dagangan), seka payung (kelompok yang menyiapkan tempat berjualan dan menyewakan gedeg pelindung bagi para pedagang). Semua seka itu tentunya berfungsi ketika pasar belum ditata dan dikelola seperti sekarang. Karena sekarang walaupun ada seka ojek (untuk transportasi motor) bantuknya tidak lagi murni sebagai seka tetapi sudah lebih banyak berbentuk organisasi yang modern.
Di bidang kegiatan seni berorientasi ekonomi (upah dan kerja) dikenal misalnya seka barong (kelompok yang mempertunjukkan barong untuk pariwisata), seka gong (kelompok penabuh gong yang dapat disewa untuk mengiringi upacara yadnya), seka janger (tari janger), dan seka ngukir (pembuat ukiran). Semua seka tersebut selain berorientasi kepada kerja dan upah, juga berorientasi pada keuntungan, sehingga semua perlengkapan seka,kemampuan anggota, dan mencari pasar dipersiapkan seara profesional. Pembagian hasil usaha, pengupahan, dan pembukaan usaha dilakukan secara tertib berdasarkan kesepakatan bersama.
b.Aspek Kehidupan Sosial
Dalam kehidupan sosial masyarakat Bali, wujud tolong-menolong dan saling membantu di antara tetangga dan kerabat dekat, terlihat pada adanya seka patus (kelompok tetangga yang saling membantu jika terjadi musibah kematian), seka tempek (kelompok tetangga dalam wilayah tertentu di lingkungan banjar, yang saling membantu jika ada kegiatan baik suka maupun duka), dan seka sambang (kelompok yang saling mendatangi anggota bila ada kegiatan). Tujuan dari adanya seka untuk saling membantu, pertukaran tenaga dalam kehidupan sehari-hari, serta wadah interaksi dan partisipasi. Seka yang lain dalam kehidupan sosial adalah seka teruna (kelompok pemuda banjar, yaitu anak-anak dari seluruh anggota banjar), yang pada mulanya hanya terdiri dari pemudanya saja, tetapi belakanganditambah dengan para gadis-gadisnya sehingga namanya menjadi seka teruna-teruni (STT).
Sebagai panak banjar (anak banjar), kelompok itu bertugas membantu kegiatan-kegiatan orang tua di banjar, karena itu menjadi kelompok multifungsi dalam berbagai kegiatan banjar. Dalam perkembangannya kemudian, beberapa kegiatan yang lebih bercirikan kegiatan anak muda menjadi tugas utama dari seka ini, seperti kegiatan olah raga, kesenian, keagamaan, yang sering diperlombakan antar- seka; dan juga kegiatan mencari dana untuk menunjang aktivitas mereka.
c.Aspek Kehidupan Adat dan Keagamaan
Aspek kehidupan budaya khususnya kehidupan adat dan agama cukup banyak mengikat partisipasi anggota masyarakat dalam wujud seka baik lingkungan banjar maupun desa. Sejumlah upacara dan kegiatanlain yang menunjang kehidupan adat dan agama ini memerlukan partisipasi dan aktivitas dari sejumlah besar warga masyarakat. Seka maksan atau seka pemaksan sebuah pura misalnya, adalah sekelompok orang yang terhimpun dalam seka karena secara bersama-sama mengorganisasikan dan menggiatkan upacara pada leluhur yang sama. Mereka yang tergabung dalam seka ini biasanya masih ada hubungan kerabat yang dekat dan pura dimana mereka menjadi seka maksanadalah Pura Dadia atau Pura Ibu.
Selain itu, dikenal pula adanya seka mebat (kelomopok yang secara bersama-sama menyiapkan makanan untuk upacara dengan memasak, meracik bumbu, menata, dan menghidangkan makanan). Seka mebat biasanya mempunyai kaitan erat dengan kegiatan lain yaitu mapatung (makan bersama dari makanan yang disiapkan dan dibiayai secara berkelompok), baik dalam suatu kegiatan adat atau agama maupun kegiatan penyaluran hoby atau kesenangan saja.
Bentuk lain dari seka- seka dalam kehidupan adat dan agama adalah: seka pesantian (kelompok belajar dan memperdalam agama), seka kidung (kelompok pengiring upacara dengan alunan nyanyian suci dan lagu-lagu pujaan), seka makekawin (kelompok pengiring upacara adat dengan pembacaan dan terjemahan terjemahan cerita berupa kekawin, babad, geguritan, dan sebagainya). Demikian juga beberapa kelompok kesenian sebagai pengiring dalam upacara dan acara persembahyangan di pura seperti: seka gender, seka angklung, seka pendet, dan seka lelambatan. Atau seka kesenian yang secara khusus ada hubungannya dengan kegiatan pura tertentu seperti seka sangiang, seka barong, dan seka pagulingan dengan wujud magis yang kuat.
d.Aspek Kehidupan Berkesenian
Kehidupan berkesenian masyarakat Bali sepertinya menjadi satu aspek yang sangat menonjol dalam kehidupan sehari-hari, karena sebagian besar dari wujud hidup keseharian itu dibarengi dengan penyertaan unsur-unsur benda, aktivitas, dasar filosofis yang bernilai seni. Terbentuknya kelompok-kelompok kesenian seperti: seka gong, seka barong, seka janger, dan sebagainya, seperti yang telah disebutkan di depan menunjuk pada aspek kesenian yang bernilai dan berorientasi ekonomi. Seka yang sama ditambah dengan beberapa dengan beberapa seka lain seperti seka sangiang, seka angklung, seka gambang, seka gender, semar pagulingan, seka arja, seka parwa, seka pendet, baris jago, danlain-lain, menunjukkan kelompok seka yang bernilai magis dan banyak dihubungkan dengan ketakson atau taksu. Dalam rangka menguatkan solidaritas dan interaksi sosial, sejumlah kelompok kesenian yang berbebntuk seka juga dapat disebutkan antara lain seka bleganjur, seka janger, seka gong, seka layangan, seka pencak, seka kidung, dan seka makekawin. Wujud seka ini selain untuk kegiatan kesenian juga dapat mengefektifkan anggota dalam aktivitas latihan, solidaritas dan kekompakan, menunjukkan kreativitas, dan kerjasama kelompok yang kuat. Karena itu rasa persatuan dan sentimen kelompok pada seka ini menjadi kuat sebagai perwujudan aktualisasi diri para anggotanya.
e.Aspek Penyaluran Kreativitas, Hoby, dan Waktu Luang
Kegiatan kehidupan masyarakat Bali masih menyisakan waktu istirahat dan juga untuk menyalurkan kreativitas yang dapat berwujud aktivitas kesenian, hiburan, hoby, atau kesenangan, atau sekadar pengisi waktu. Dalam usaha mengisi waktu luang tersebut beberapa kegiatan bersama yang akhirnya juga membentuk seka dapat diwujudkan seperti seka layangan (bersama-sama membuat dan memainkan layang-layang tradisional, seperti be-bean, janggan, pecukan, yang kemudian meningkat menjadi layangan kreasi baru yang diperlombakan). Seka semal (kelompok pemburu tupai), dan seka mancing (kelompok pemancing) adalah kelompok penyalur hoby yang kontemporer sifatnya: terbentuk kalau ada kegiatan dengan jumlah anggota yang tidak tetap, tetapi dapat terorganisasi karena adanya kesenangan yang sama.
Kelompok yang lebih melembaga seperti seka pencak (kelompok bela diri) dan berbagai kelompok olahraga lainnya, seka tuak (kelompok minum tuak bersama yang disertai dengan kegiatan arisan dan menabung), seka tajen (kelompok penyelenggara sabung ayam), berkembang cukup lama sebagai kelompok yang terdiri atas para anggota yang mempunyai kesenangan atau hoby yang sama. Selain mengembangkan hoby, mengisi waktu dan pertukaran informasi, kelompok seka tersebut juga mempunyai kegiatan yang dapat memberikan pertolongan bagi anggotanya seperti bantuan keuangan yang mendadak, jual beli barang, ikut meramaikan upacara, atau mengembangkan usaha bagi orang lain yang bukan anggota.
Sebagai sarana penyaluran bakat dan kesenangan maka ke dalam kelompok ini dapat juga dimasukkan seka layangan, seka mebat, seka mapatung, seka semal, dan seka mancing, karena pada awal pembentukannya seka- seka tersebut dimulai oleh adanya kegemaran yang sama dari para anggotanya. Pada bentuk yang sangat tidak mengikat masih bisa disebutkan keberadaan dari seka- seka jongkok, seka tebuan, dan seka megecel (kelompok pria yang duduk-duduk bersama sambil ngobrol dan mengelus serta melatih ayam jago).
Demikian keberadaan seka yang ada di dalam kehidupan sosial masyarakat Bali. Jika ditinjau lebih jauh lagi, maka keberadaan seka cukup berperan dalam perubahan sosial di dalam masyarakat dari berbagai aspek kehidupan. Namun dewasa ini keberadaan seka terancam punah sebagai akibat modernisasi kelembagaan sosial yang semakin banyak muncul sehingga menggeser keberadaan seka sebagai lembaga sosial tradisional yang turut “membentuk” identitas Bali sebagai suatu komunitas yang kaya akan nilai-nilai budaya dan sakral.

Tidak ada komentar: