Label

Adi Sanjaya

Adi Sanjaya

Senin, 21 Juni 2010

Sumpah Pemuda

SUMPAH PEMUDA: ANTARA CITA DAN REALITA

(SUATU REFLEKSI PERAN PEMUDA INDONESIA MASA KINI)[1]

Oleh:

Putu Adi Sanjaya[2]

”Dalam setiap kebangkitan sebuah peradaban di belahan dunia manapun maka kita akan menjumpai bahwa pemuda adalah salah satu irama rahasianya”

(Hasan Al Banna)

”Bukan rakyat sebagai alat demokrasi, tapi demokrasi sebagai alat rakyat. Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat, aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat, dan aku penyambung lidah rakyat. Pemuda adalah pengemban amanat kemerdekaan”

(Suprianto, SL)

A. Pendahuluan

Dalam kancah pergumulan bangsa Indonesia kurun waktu 11 tahun terakhir ini (pasca runtuhnya Orde Baru) kehidupan para pemuda kita tidak lepas dari berbagai pengaruh, baik pengaruh dari dalam maupun dari luar, yang telah melemahkan rasa nasionalisme-nya. Sebagian di antaranya ialah akibat merebaknya pola hidup materialistik, individualistik, hedonis, dan radikalisme golongan di kalangan pemuda. Pola hidup materialis dan hedonis, misalnya, telah membuat pemuda menjadi apatis atau "cuek" terhadap persoalan-persoalan kebangsaan. Sehingga bagaimana mungkin seorang pemuda yang telah terlibat dalam dunia narkoba maupun kehidupan "free sex" dapat diharapkan berperan dalam memikirkan penguatan nasionalisme pemuda. Atau, bagaimana mungkin nasionalisme pemuda bisa menguat kalau mereka hanya mementingkan dan memperjuangkan individu dan golongannya masing-masing.

Padahal, tugas dan tantangan pemuda di era sekarang kian berat, sehingga diperlukan suatu kebersamaan dan komitmen para pemuda dalam menghadapinya. Jangan dikira bahwa persoalan kebangsaan hanya menyangkut persatuan bangsa semata. Akan tetapi persoalan kebangsaaan memiliki cakupan yang sangat luas dan sangat kompleks, menyangkut persoalan rasa keadilan masyarakat, demokrasi dan penghargaaan atas hak-hak asasi manusia. Tiga hal inilah yang paling rentan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Misalnya, munculnya keinginan sebagian Rakyat Aceh dan Irian Jaya untuk melepaskan diri dari negara kesatuan RI tidak lepas dari faktor keadilan.

Untuk itulah sebagai generasi muda Indonesia yang menjadi tulang punggung bangsa ini perlu sejenak merenung dan melihat ke belakang, untuk bisa memaknai dan merevitalisasi peran dan cita-cita pemuda masa lalu sehingga bisa menentukan arah mengenai peran generasi muda, termasuk mahasiswa, di era globalisasi sekarang ini. Makalah sederhana ini disampaikan tidak lain adalah untuk mengajak generasi muda sekarang flashback sejenak ke belakang sehingga bisa membandingkan cita-cita perjuangan pemuda masa lalu dengan realita pemuda masa kini, serta mampu merevitalisasi makna dari Sumpah Pemuda 1928 untuk dapat dijadikan pedoman dan motivasi dalam membangun bangsa Indonesia.

B. Pemuda dalam Bingkai Sejarah

Dalam sebuah tulisan seorang aktivis kepemudaan mengatakan bahwa generasi muda tidak bisa tidak bisa dilepaskan dari pembangunan negara kita ini karena memiliki empat hal yang ada pada dirinya yaitu semangat mudanya,sifat kritisnya dan kematangan logikanya serta kearifan untuk melihat problem yang sesuai dengan tempatnya.
Maka tak salah kemudian dalam setiap momen bersejerah bangsa ini kita akan menjumpai para pemuda yang melakukan sebuah ”revolusi” peradaban mengatasnamakan Nasionalisme. Dalam sejarah bangsa kita yang mulia ini para pemuda menorehkan tinta emas sebagai garda terdepan perubahan.

Nasionalisme Gelombang Pertama: Kebangkitan Nasional 1908

Berdasarkan sejarah, gerakan kebangkitan nasionalisme Indonesia diawali oleh Boedi Oetomo di tahun 1908, dengan dimotori oleh para mahasiswa kedokteran Stovia, sekolahan anak para priyayi Jawa, di sekolah yang disediakan Belanda di Djakarta. Jadi patut dipertanyakan sebagai tonggak kebangkitan nasional Indonesia. Para mahasiswa kedokteran di Stovia, merasa muak dengan para penjajah (walaupun mereka sekolah di sekolah penjajah) dengan membuat organisasi yang memberi pelayanan kesehatan kepada rakyat yang menderita.

Nasionalisme Gelombang Kedua: Soempah Pemoeda 1928

Setelah Perang Dunia I, filsafat nasionalisme abad pertengahan, mulai merambat ke negara-negara jajahan melalui para mahasiswa negara jajahan yang belajar ke negara penjajah. Filsafat nasionalisme itu banyak mempengaruhi kalangan terpelajar Indonesia, misalnya, Soepomo ketika merumuskan konsep negara integralistik tentang prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat dan persatuan dalam negara seluruhnya. Demikian pula, pada masa ini banyak diciptakan lagu-lagu kebangsaan yang sarat dengan muatan semangat nasionalisme seperti Indonesia Raya, Dari Sabang Sampai Merauke, Padamu Negeri, dan sebagainya.

Di dalam negeri sendiri, Soekarno sejak remaja, masa mahasiswanya bahkan setelah lulus kuliahnya, terus aktif menyuarakan tuntutan kemerdekaan bagi negerinya, 20 tahun setelah kebangkitan nasional, kesadaran untuk menyatukan negara, bangsa dan bahasa ke dalam 1 negara, bangsa dan bahasa Indonesia, telah disadari oleh para pemoeda yang sudah mulai terkotak-kotak dengan organisasi kedaerahan seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatera dan sebagainya, kemudian diwujudkan secara nyata dengan menggelorakan Soempah Pemoeda di tahun 1928 yang mengikrarkan berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu, yaitu Indonesia, serta menyatakan lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan.

Nasionalisme Gelombang Ketiga: Kemerdekaan 1945

Pada nasionalisme gelombang ketiga ini, peran nyata para pemuda yang menyandra Soekarno-Hatta ke Rengas-Dengklok agar segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, dapat kita baca dari buku-buku sejarah. Kurang dari 20 tahun (hanya 17 tahun), sejak Soempah Pemoeda dikumandangkan. Berkat tindakan kaum muda yang menginginkan proklamasi dikumandangkan sesegera mungkin, bangsa kita sampai kini dapat menikmati kemerdekaan.

Nasionalisme Gelombang Keempat: Lahirnya Orde Baru 1966

Tepat 20 tahun setelah kemerdekaan, terjadi huru-hara pemberontakan G30S yang menurut versi Soeharto didalangi oleh PKI. Disini kembali pemuda memperlihatkan kembali aksinya dengan melakukan tuntutan untuk membubarkan PKI yang disinyalir menjadi otak G 30 S tersebut.

Nasionalisme Gelombang Kelima: Lahirnya Orde Reformasi 1998

Gelombang krisis moneter yang melanda Asia Tenggara, dimanfaatkan dengan baik oleh para mahasiswa dan pemuda kaum muda sekali lagi memperlihatkan nasionalismenya dengan menurunkan Soeharto sekaligus mengakhiri 32 tahun jaman kejayaannya.

C. Sumpah Pemuda 1928: Antara Cita dan Realita

Semua momentum perubahan diatas sama-sama digerakkan oleh cita-cita bersama, yaitu kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Bukan ambisi pribadi yang menggerakkan anak-anak muda tersebut membangun gerakan perlawanan. Bahkan terkadang mereka harus mengorbankan ego dan kepentingan pribadinya. Terkadang mereka juga rela menempuh jalan penderitaan, hidup dari penjara ke penjara dan hidup dalam pengasingan guna memperjuangkan cita-cita mulia tersebut.

Mari kita renungkan semangat berkorban yang dinyalakan oleh Soekarno lewat pidato pembelaannya Indonesia Menggugat:


Memang tanah air Indonesia, bangsa Indonesia, Ibu Indonesia, adalah mengharap dari semua putera-putera dan puteri-puterinya pengabdian yang demikian itu, penyerahan jiwa-raga yang tiada batas, pengorbanan diri walau yang sepahit-pahitnyapun kalau perlu, dengan hati yang suci dan hati yang ikhlas. Putera-putera dan puteri-puteri Indonesia haruslah merasa sayang, bahwa mereka untuk pengabdian ini, masing-masing hanya bisa menyerahkan satu badan saja, satu roh saja, satu nyawa saja, --dan tidak lebih.

Namun mengapa meskipun sudah tiga kali para kaum muda menghadirkan momentum perubahan kekuasan politik, kehidupan sebagian besar rakyat Indonesia masih jauh dari sejahtera? Masih banyak rakyat yang harus hidup di bawah garis kemiskinan, kesulitan memperoleh layanan kesehatan yang layak dan berjarak terhadap layanan pendidikan berkualitas. Mengapa cita-cita yang melandasi perjuangan untuk menghadirkan semua momentum perubahan tersebut tak kunjung tercapai?

Persoalannya adalah pada saat para aktivis muda tersebut sudah memperoleh kekuasaan setelah berhasil menumbangkan kekuasaan sebelumnya yang sewenang-wenang, biasanya mereka mulai beranjak lupa terhadap cita-cita perjuangannya. Rutinitas kekuasaan seringkali membuat mereka semakin hari semakin berjarak dengan cita-cita bersama. Kursi kekuasaan memang cenderung melenakan. Seolah-olah kursi kekuasaan memiliki kemampuan luar biasa dalam mencuci otak manusia-manusia yang duduk di atasnya. Kursi kekuasaan sering kali merampas jati diri orang yang berada di atasnya. Ego dan kepentingan pribadi yang dahulu berhasil mereka kalahkan demi kepentingan bangsa, kembali bertahta. Hal tersebutlah yang menyebabkan kesejahteraan rakyat tak kunjung meluas.

Memang terlihat sebuah keironian bila kita melihat kondisi para pemuda sekarang. Tingkat permisivitas gaya hidup dan derasnya arus globalisasi, termasuk globalisasi budaya asing, menyebabkan pemuda kerap lengah dan akhirnya tergoda untuk melakukan tindakan-tindakan yang fatal, baik bagi masa depan dirinya maupun keluarga,masyarakat bangsa. Persoalan-persoalan tersebut, lebih bersifat non-ideologis, tapi justru ini bisa direfleksikan lebih lanjut ke persoalan ideologis, yakni penumbuhan kesadaran akan peran-peran pemuda secara ideal dalam bingkai hubungan masyarakat, bangsa dan negara.

Namun jika kita mampu mengkritisi perjuangan dan pergerakan pemuda saat ini, maka semuanya akan berpangkal dari peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928. Jika kita tarik lurus dari pertalian peristiwa sumpah pemuda dan realitas (pergerakan) pemuda (mahasiswa) saat ini. Setidaknya ada dua point catatan penting yang harus kita renungi yang mudah-mudahan menjadi(kan) spirit (pemuda) untuk menjadi dasar pada setiap perjuangan dan pergerakan menuju ke arah yang lebih baik. Pertama, menjadikan intelektual dan moralitas sebagai modal dasar. Yang menjadi ciri khas pergerakan pemuda pada Konggres Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 adalah dengan menjadikan intelektual dan moralitas sebagai modal dasar pergerakan. Maka tidak heran jika dari ikrar persatuan tersebut kemerdekaan dapat diraih bangsa Indonesia, sebab pada dasarnya pengangkatan senjata bukan modal utama dalam merebut kemerdakaan itu, namun pemanfaatan intelektual dan morallah yang menjadi motor penggerak pengangkatan senjata yang pada akhirya kemerdekaan dapat diraih.
Sebab modal tersebut menuntut mahasiswa untuk tampil pada garda terdepan sebagai agen pembaharuan (agent of change). Pada akhirnya kesadaran akan wawasan kebangsaan itulah yang mengharuskan mahasiswa berjuang secara holistik, menyeluruh dalam perspektif kerakyatan, solidaritas, dan keadilan sosial.

Kedua, Pesan sumpah pemuda kepada – meminjam istilah group Slank untuk menyebut generasi era globaliasasi sekarang ini -- generasi biru adalah memberikan kesadaran akan pentingnya persatuan dan kesatuan. Kesadaran bahwa pada masa itu perjuangan secara parsial-kedaerahan ternyata telah menemui kegagalan. Oleh karena itu usaha menggalang persatuan dan kesatuan seluruh elemen masyarakat merupakan sebuah keniscayaan. Dengan semangat kesadaran akan pentingnya persatuan dan kesatuan inilah walaupun secara faktual-objektif masyarakat Indonesia terdiri dari pluralitas suku, ras, agama, budaya dan bahasa dapat meraih kemerdekaan.

D. Revitalisasi Peran Pemuda

Menyikapi kompleksitas problematika bangsa ini maka harus ada revitalisasi peran pemuda. Para pemuda harus melakukan peran perubahan (agent of change) yang meliputi Pertama, revitalisasi peran dalam menyikapi beragam persoalan secara objektif, dalam kedudukannya sebagai subjek (bukan objek) pembangunan nasional. Kedua, Peningkatan peran pemberdayaan pemuda secara internal dan eksternal. Ketiga, peran pemuda senantiasa mengedepankan daya kritis dan inisiatifnya, yang perlu direaktualisasikan secara konkret. Keempat, Pemuda Indonesia memiliki peran penting dalam proses pencerahan guna pencerdasan masyarakat. Kelima, Pemuda Indonesia harus meningkatkan dirinya atau merevitalisasi perannya sebagai anggota masyarakat global. Karenanya di samping peningkatan kualitas komunikasi dengan publik internasional, juga mengerti akan problematika-problematika global dan dampaknya bagi kepentingan nasional dan lokal (dalam konteks otonomi daerah).
 Mahasiswa sebagai bagian dari pemuda Indonesia pun mempunyai peran yang penting. Sebagian besar momentum nasionalisme yang digambarkan di atas dimotori oleh mahasiswa. Mahasiswa memang menjadi komunitas yang unik di mana dalam catatan sejarah perubahan selalu menjadi garda terdepan dan motor penggerak perubahan. Mahasiswa di kenal dengan jiwa patriotnya serta pengorbanan yang tulus tanpa pamrih. Dalam tulisan ini penulis memetakan ada ada empat peran mahasiswa yang menjadi tugas dan tanggung jawab yang akan dipikul.

Peran moral

Mahasiswa yang dalam kehidupanya tidak dapat memberikan contoh dan keteladanan yang baik berarti telah meninggalkan amanah dan tanggung jawab sebagai kaum terpelajar . Jika hari ini kegiatan mahasiswa berorientasi pada hedonisme (hura – hura dan kesenanggan) maka berarti telah berada di persimpangan jalan. Jika mahasiswa hari ini lebih suka mengisi waktu luang mereka dengan agenda rutin pacaran tanpa tahu dan mau ambil tahu tentang perubahan di negeri ini, jika hari ini mahasiswa lebih suka dengan kegiatan festival musik dan kompetisi (entertaiment) dengan alasan kreativitas, dibanding memperhatikan dan memperbaiki kondisi masyarakat dan mengalihkan kreativitasnya pada hal-hal yang lebih ilmiah dan menyentuh ke rakyat maka mahasiswa semacam ini adalah potret “generasi yang hilang “yaitu generasi yang terlena dan lupa akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pemuda dan mahasiswa.

Peran sosial

Mahasiswa harus menumbuhkan jiwa-jiwa sosial yang dalam atau dengan kata lain solidaritas sosial. Solidaritas yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat kelompok, namun solidaritas sosial yang universal secara menyeluruh serta dapat melepaskan keangkuhan dan kesombongan. Mahasiswa tidak bisa melihat penderitaan orang lain, tidak bisa melihat poenderitan rakyat, tidak bisa melihat adanya kaum tertindas dan di biarkan begitu saja. Mahasiswa dengan sifat kasih dan sayangnya turun dan memberikan bantuan baik moril maupun materil bagi siapa saja yang memerlukannya. Sebagai contoh di Kalimantan Barat pada tahun 1998 s/d 2000 pernah terjadi gelombang pengungsian besar-besaran akibat konflik sosial di daerah ini maka mahasiswa musti ikut memperhatikan masalah ini dengan memberikan bantuan baik secara moril maupun meteriil serta pemikirannya serta ikut mencarikan solusi penanganan bencana kemanusiaan ini. Betapa peran sosial mahasiswa jauh dari pragmatisme, dan rakyat dapat merasakan bahwa mahasiswa adalah bagian yang tak dapat terpisahkan dari rakyat, walaupun upaya yang sistematis untuk memisahkan mahasiswa dari rakyat telah dan dengan gencar dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak ingin rakyat ini cerdas dan sadar akan problematika ummat yang terjadi.

Peran Akademik

Sesibuk apapun mahasiswa, turun kejalan, turun ke rakyat dengan aksi sosialnya, sebanyak apapun agenda aktivitasnya jangan sampai membuat mahasiswa itu lupa bahwa ia adalah insan akademik. Mahasiswa dengan segala aktivitasnya harus tetap menjaga kuliahnya. Setiap orang tua pasti ingin anaknya selesai kuliah dan menjadi orang yang berhasil. Maka sebagai seorang anak berusahalah semaksimal mungkin untuk dapat mewujudkan keinginan itu, untuk mengukir masa depan yang cerah. Peran yang satu ini teramat sangat penting bagi kita, dan inilah yang membedakan kita dengan komunitas yang lain, peran ini menjadi simbol dan miniatur kesuksesan kita dalam menjaga keseimbangan dan memajukan diri kita. Jika memang kegalan akademik telah terjadi maka segeralah bangkit,”nasi sudah jadi bubur” maka bagaimana sekarang kita membuat bubur itu menjadi “ bubur ayam spesial “. Artinya jika sudah terlanjur gagal maka tetaplah bangkit seta mancari solusi alternatif untuk mengembangkan kemampuan diri meraih masa depan yang cerah dunia dan akhirat.

Peran politik

Peran politik adalah peran yang paling berbahaya karena disini mahasiswa berfungsi sebagai presseur group (group penekan) bagi pemerintah yang zalim. Oleh karena itu pemerintah yang zalim merancang sedemikian rupa agar mahasiswa tidak mengambil peran yang satu ini. Pada masa orde baru dimana daya kritis rakyat itu dipasung, siapa yang berbeda pemikiran dengan pemerintah langsung dicap sebagai makar dan kejahatan terhadap negara. Pemerintahan Orba tidak segan-segan membumihanguskan setiap orang-orang yang kritis dan berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Dalam dunia kampus pada tahun 1984 lewat mentri pendidikan Daud Yusuf pemerintah mengeluarkankebijakan NKK/BKK (Normalisasis Kehidupan Kampus). yang melarang keras mahasiswa beraktifitas politik. Dan kebijakan ini terbukti ampuh memasung gerakan-gerakan mahasiswa yang membuat mahasiswa sibuk dengan kegiatan rutinitas kampus sehingga membuat mahasiswa terpenjara oleh sistem yang ada.

Mahasiswa adalah kaum terpelajar dinamis yang penuh dengan kreativitas. Mahasiswa adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rakyat. Sekarang mari kita pertanyakan pada diri kita yang memegang label “mahasiswa”, sudah seberapa jauh kita mengambil peran dalam diri kita dan lingkungan.
Saatnya kita semua pemuda Indonesia, harus melakukan reaktualisasi peran, tidak saja mampu memahami persoalan, namun juga bisa mengimplementasikan dengan baik.

Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya.... “
Penggalan syair lagu Indonesia raya di atas haruslah menjadi pemicu bagi negeri ini untuk sadar diri.
Sadar bahwasanya apapun yang terjadi negeri ini rakyat harus bangun dan bangkit. Maka dari itu Indonesia harus menatap ke depan, menganalisis situasi dan bahu-membahu siapapun dia

E. Penutup

Peringatan sumpah pemuda kali ini harus dijadikan momentum oleh segenap kaum muda untuk kembali memperbaharui komitmen terhadap idealisme dan cita-cita perjuangan reformasi. Sumpah pemuda bukan sekedar deklarasi komitmen untuk bertanah air, berbangsa dan berbahasa Indonesia. Sumpah pemuda adalah sebuah semangat bahwa kepentingan nasional dan kepentingan bangsa harus diletakkan di atas kepenting pribadi, golongan dan kelompok. Revitalisasi semangat kaum muda untuk bersatu melawan kejahatan korupsi menjadi agenda yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Seluruh potensi kaum muda perlu untuk disatukan kembali guna memperkokoh agenda reformasi menghadirkan Indonesia baru yang bebas dari praktek KKN dan terbebas dari praktek kekuasaan yang tidak berpihak pada rakyat banyak.

Bahan Bacaan

Anonim. 2007. Empat Peran Mahasiswa. Terdapat dalam http://kammipolban. wordpress.com/2007/05/03/4-peran-mahasiswa/ (diakses pada 17 Oktober 2009)

Budiman, Arief, dkk. 2000. Harapan dan Kecemasan: Menatap Arah Reformasi Indonesia. Yogyakarta: Bigraf Publishing

Dekker. I Njoman. 1971. Sedjarah Indonesia Baru 1900-1945 (Pergerakan Nasional). Malang: IKIP Malang

Diskusi KOMPAS. 1999. Refleksi Agenda Reformasi: Membangun Masyarakat Madani. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Malik, Kholis. 2002. Memandu Reformasi: Antologi Catatan Harian. Jakarta: Insani Press

Purnawati, Desak Made Oka. “Revitalisasi Nilai-nilai Sejarah dari Peringatan Hari Sumpah Pemuda dan Pahlawan” dalam Tim Penyusun. 2009. Jurnal Sejarah Candra Sangkala. Singaraja: Jurusan Pendidikan Sejarah Undiksha

Pratiwi, Endah Dwi (ed.). 2001. Indonesia Menggugat. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia

Simanjutak, Augustinus. 2000. Refleksi 72 Tahun Sumpah Pemuda: Seputar Nasionalisme Pemuda Kita. Terdapat dalam http://www.mail-archive.com/ eskolnet-l@linux.mitra.net.id/msg01201.html (diakses pada 17 Otober 2009)

Sudiro. 1972. Pengalaman Saya Sekitar 17 Agustus 1945. Jakarta: CV Haji Masagung

Sudiyo, Drs. 2002. Pergerakan Nasional: Mencapai & Mempertahankan Kemerdekaan. Jakarta: PT Rineka Cipta

Suhartono, Dr. 1994. Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Tono, Suwidi (ed.). 2003. Bung Karno: Lahirnya Pancasila. Depok: Vision03



[1] Makalah disampaikan dalam Seminar Kepemudaan dalam rangka peringatan Hari Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan oleh HMJ Pendidikan Sejarah pada tanggal 27 Oktober 2009 di Ruang Seminar Undiksha Singaraja.

[2] Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah dan aktivis organisasi kemahasiswaan.

Tidak ada komentar: