BAHASA MELAYU LOLOAN BALI:
SEBUAH SOSIOFACT INTEGRASI ETNIS BUGIS MELAYU
DAN PENDUDUK PRIBUMI DI KABUPATEN JEMBRANA
Oleh : Putu Adi Sanjaya
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan sebuah bangsa yang berasal dari rumpun masyarakat Melayu Austronesia. Dalam sejarah perkembangan sejarah umat manusia, khususnya Indonesia, interaksi antara suatu kelompok orang dengan kelompok lain menggunakan alat komunikasi, yaitu bahasa, yang juga merupakan salah satu dari wujud universal budaya.
Melayu menjadi salah satu dari etnis terbesar di Indonesia setelah suku Jawa. Etnis Melayu sebagai etnis yang dulunya lahir dari bangsa penjelajah (pelaut dan pedagang), membentuk karakteristik orang Melayu secara khas dan tersebar di seluruh Indonesia, termasuk di Bali. Sebuah kampung Melayu yang terkenal di Bali adalah kampung Loloan, yang terletak di Kabupaten Jembrana.
Loloan secara administratif merupakan sebuah kelurahan yang terletak di pinggiran Kota Negara. Wilayahnya dibelah oleh sebuah sungai besar, dan merupakan bagian dari sejarah Loloan, yaitu Sungai Ijo Gading. Berbeda dengan daerah lain di sekitarnya, Loloan sebagai kampung Melayu, khususnya Bugis Makassar, memiliki keunikan-keunikan yang sangat khas dan menggambarkan karakteristik orang Melayu pada umumnya. Keunikan-keunikan tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek, seperti seni arsitektur rumah panggung yang ada di Loloan, adat istiadat, dan bahasa.
Aspek yang disebut terakhir ini (bahasa), di Loloan masih menggunakan kebiasaan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar sehari-hari, walaupun kampung itu berada di Bali. Penduduk kampung itu merupakan keturunan para penyebar Islam permulaan di Bali. Unik memang, di Bali yang terkenal dengan Hindunya justru dijumpai sekelompok masyarakat yang konsisten menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-hari. Namun bahasa Melayu yang digunakan tidaklah sama persis dengan bahasa Melayu di daerah asalnya. Bahasa Melayu yang digunakan di Loloan ini sudah mendapat pengaruh dari bahasa-bahasa lainnya, seperti bahasa Indonesia murni dan bahasa daerah Bali. Oleh karena itu bahasa Melayu yang digunakan di Loloan ini sering disebut dengan Bahasa Melayu Loloan Bali (BMLB).
Kampung Loloan memang merupakan sebuah perkampungan Melayu, yang dihuni suku Melayu dan menggunakan Bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar pergaulan keseharian, walaupun kampung itu berada di Bali. Namun terbentuknya sebuah bahasa Melayu yang disebut dengan Bahasa Melayu Loloan Bali tersebut merupakan sebuah keunikan yang perlu dikaji lebih jauh lagi. Namun, jawaban sementara yang dapat kita simpulkan adalah terbentuknya bahasa tersebut karena interaksi orang Bugis Melayu dengan penduduk pribumi/lokal.
Jika kita asumsikan demikian, maka dapat dikatakan bahwa Bahasa Melayu Loloan Bali merupakan sebuah fakta sosial (sosiofact) yang ada dalam komunitas masyarakat Melayu Loloan. Fakta sosial dapat dikatakan sebagai suatu kenyataan yang dapat ditemukan di lapangan berdadasarkan suatu pengamatan dan mempengaruhi kehidupan suatu kelompok manusia. Dalam hal ini BMLB ini merupakan bahasa yang jelas banyak dipakai oleh komunitas masyarakat Loloan, baik Loloan Barat maupun Loloan Timur.
Di sisi yang tidak jauh berbeda, BMLB merupakan sebuah bukti nyata hasil dari adanya interaksi dan integrasi antara orang Melayu Loloan dengan penduduk Pribumi. Perjalanan sejarah membawa suatu bentuk pola interaksi di antara kedua pihak dalam menjalin hubungan secara baik. Pola interaksi tersebut dapat terjadi melalui beberapa aspek kehidupan, seperti aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, serta geografis. Hubungan tersebut terjadi sangat baik, seiring dengan perkembangan wilayah dan sosial masyarakat.
Bagaimanapun uniknya hasil dari jalinan sosial yang terjadi pada masyarakat Loloan, tidak dapat dipungkiri bahwa keunikan tersebut merupakan suatu hasil dari hubungan yang harmonis antara orang Bugis Melayu dengan orang pribumi (Bali). Proses ini terjadi dalam waktu cukup panjang. Proses yang panjang ini perlu ditelusuri melalui suatu kajian secara ilmiah. Dalam paparan ini, informasi yang perlu diketahui adalah (1) bagaimana sejarah masuknya orang Bugis Melayu ke Jembrana; (2) Pola interaksi orang Bugis Melayu dengan penduduk pribumi; dan (3) kajian singkat mengenai Bahasa Melayu Loloan Bali sebagai sosiofact hubungan etnis Melayu dengan Pribumi. Paparan ini ditulis berdasarkan hasil penelusuran pustaka dan hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyakat Kelurahan Loloan yang dilakukan beberapa saat lalu.
II. PEMBAHASAN
1. Sejarah Singkat Masuknya Orang Bugis Melayu ke Jembrana
Suku Melayu merupakan salah satu suku terbesar di Indonesia setelah Suku Jawa dan Sunda. Ciri khasnya, mereka bermukim di pesisir-pesisir pantai khususnya Sumatera dan Kalimantan. Namun menjadi basis kuatnya adalah Pulau Sumatera dimana mereka diyakini berasal.
Nama Melayu mulai dikenal pada masa berdirinya kerajaan Melayu di wilayah Sungai Batanghari yang kini membelah Propinsi Jambi. Dari sini kemudian kemungkinan tersebar hingga ke semenanjung Melayu. Kerajaan-kerajaan Melayu pernah ada dan tersebar hingga ke Pulau Kalimantan (Borneo).
Persebaran suku Melayu di Indonesia secara umum terdapat di pesisir pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi (http://www.mail-archive.com). Sedangkan di Bali, suku Melayu dapat ditemukan di Kelurahan Loloan, Kota Negara, Jembrana, Bali. Keberadaan suku Melayu di Loloan tidak terlepas dari sejarah masuknya orang Melayu ke Bali.
Cukup banyak kajian tentang masuknya orang Melayu, khususnya orang Bugis Makassar. Sebuah kutipan singkat mengenai sejarah masuknya orang Bugis Makassar dapat dilihat dalam tulisan I Wayan Reken di bawah ini,
…orang-orang Bugis/Makassar tersebut pertama kali memperkenalkan ajaran-ajaran agama Islam kepada masyarakat Jembrana yang beragama Hindu Bali. Seiring dengan waktu, maka semakin kuat persatuan di antara kedua belah pihak, muslim dan warga asli Bali yang beragama Hindu. Bahkan, tercatat, ada juga seorang anggota keluarga I Gusti Ngurah Pancoran yang memasuki agama Islam. Menyusul kemudian beberapa penduduk dan wanita…. (Reken, 1979:5).
Dari paparan di atas dapat dilihat suatu gambaran adanya integrasi hubungan antara orang Bugis Makassar di Kabupaten Jembrana. I Gusti Ngurah Pancoran sebagai Raja Jembrana saat itu sangat senang dengan keberadaan orang-orang Bugis. Pasalnya, mereka adalah tentara-tentara yang terlatih dan memiliki persenjataan lengkap (Anonim, 2005). Situasi makmur dan aman pun bisa terwujud.
Islam pertama kali masuk Jembrana sekitar tahun 1653 hingga 1657. Mereka yang datang pada masa itu adalah penduduk Sulawesi Selatan (Bugis Melayu). Diperkirakan mereka dikejar-kejar tentara VOC, tetapi karena kalah persenjataan, mereka memilih pergi .
Berdasarkan buku kecil “Sejarah Masuknya Islam di Bali II”, setelah Makassar jatuh ke tangan VOC pada tahun 1667, Belanda menjadikan keturunan Sultan Wajo sebagai lawan yang harus dibasmi. Di bawah tekanan Belanda, serombongan laskar Sultan Wajo, yang dipimpin Daeng Nahkoda melarikan diri dari tanah Sulawesi hingga akhirnya bermukim di suatu tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Bajo, termasuk ke daerah yang sekarang yang bernama Loloan.
Atas izin I Gusti Ngurah Pancoran yang berkuasa di Jembrana, pelabuhan tempat mereka berlabuh diberi nama Bandar Pancoran (kini bekas pelabuhan lama itu terletak di Loloan Barat) .
Sejak kedatangan yang pertama itu, berdatanganlah orang-orang Bugis ke Jembrana dengan menggunakan perahu Pinisi dan perahu Lambo (Lambau). Selain dari Bugis, dua ratus tahun kemudian, ada pula orang Melayu yang datang dari Pontianak seiring dengan kedatangan Syarif Abdullah bin Yahya Al-Qadry dari Pontianak pada abad ke-18 masehi. Dalam rombongan Syarif Abdullah Yahya al-Qadri itu terdapat seorang Melayu asal Terengganu bernama Ya’qub, yang kemudian menikah dengan penduduk Melayu tempatan.
Ya’qub inilah yang disebut-sebut dalam Prasasti Melayu yang disimpan di Masjid Al-Qadim, Loloan. Di pelataran masjid itu pula Ya’qub dimakamkan. Dalam prasasti tersebut tertulis: “Satu Dzulqa’dah 1268 H, hari Itsnin. Encik Ya’qub orang Terengganu mewaqafkan akan barang istrinya serta mewaqafkan dengan segala warisnya yaitu al-Qur’an dan sawah satu tebih (petak) di Mertasari. Perolehannya 40 siba’ (ikat) dalam Masjid Jembrana di Kampung Loloan ketika Pak Mahbubah menjadi penghulu dan Pak Mustika menjadi Perbekel. Saksi: Syarif Abdullah bin Yahya al-Qadri dan Khatib Abdul Hamid.” Menurut salah seorang takmir Masjid Al-Qadim, H. Fathurrahim, masjid itu dibangun pada tahun 1600-an Masehi.
Selain catatan tersebut, juga dijumpai informasi sahih tentang ketibaan orang-orang Bugis di Bali di seputar tahun itu. Menurut informasi itu, disebutkan bahwa ulama-ulama dari negeri Kucing dan Serawak (sekarang di Malaysia Timur) juga berdatangan ke Loloan. Setelah mereka, kemudian datang berdakwah Syakh Ahmad Bawazir dari Yaman. Mereka mengajar agama Islam kepada warga Loloan dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa Melayu, sesuai dengan bahasa pengantar di Loloan pada masa itu. Hal inilah yang kemudian membuat bahasa Bugis lambat laun tersisih, hingga akhirnya hanya bahasa Melayu yang digunakan di Loloan.
Tahun 1670, Kerajaan Buleleng yang iri melihat keberadaan Jembrana, melakukan penyerangan. Jembrana pun takluk. Selanjutnya, Buleleng mengatur pasar. Mereka membuat dermaga baru di Tibu Sungai Ijo Gading. Dermaga ini dibuat sekitar tahun 1671 dan dinamai Tibu Bunter. Beberapa perahu yang ada di Air Kuning (salah satu desa di pesisir pantai selatan, sekitar 6 km selatan Loloan) dipindahkan ke Tibu Bunter. Pemukiman dan pasar rakyat juga dibuat di sekitar daerah tersebut. Lama-kelamaan pemukiman ini menjadi kampung muslim yang dikenal dengan Kampung Pancoran karena lokasinya juga dekat Tibu (Bandar) Pancoran dan ada juga yang menyebut Kerobokan. Sekarang tempat ini disebut Lingkungan Terusan (lihat pula Saidi & Anshori, 2002).
Tahun 1798, datang rombongan dari Pontianak yang merapat di Pancoran. Sebelumnya mereka berada di Lombok, perang melawan Belanda. Rombongan dipimpin Syarif Abdullah bin Yahya Maulana Al Qodri yang bergelar Syarif Tua. Anak buah Syarif Tua berasal dari Bugis, Melayu bahkan dari Arab (Sumarja, 2008).
Syarif Tua lalu berkenalan dengan penguasa Jembrana Gusti Putu Handul. Sebagai pendatang, Syarif Tua dan rombongan diberi tempat di sisi timur dan barat Sungai Ijo Gading. Mereka pun melakukan perabasan selama dua tahun untuk membuka pemukiman.
Pada saat melakukan perabasan, rombongan ini menyusuri Sungai Ijo Gading yang berliku-liku. Dalam bahasa Banjarmasin, liku-liku itu sama dengan liluan. Lama-kelamaan liluan itu menjadi Loloan. Di bagian barat sungai dinamakan Loloan Barat sedangkan di timur Loloan Timur.
Versi kedua menyebutkan, Loloan berarti tibu yang sangat dalam yang difungsikan sebagai dermaga. Versi ketiga, Loloan berasal dari kata loloh (jamu). Ketika itu, di Tibu Pancoran banyak pedagang jamu (loloh). Karena di wilayah tersebut banyak ditanami bahan loloh, maka daerahnya dikenal sebagai Lolohan atau Loloan. Versi kedua adalah yang paling mendekati, kenapa Loloan dinamakan Loloan.
Berdasarkan catatan sejarah, pada tahun 1697 terjadi banjir besar. Air Sungai Ijo Gading meluap. Banyak rumah penduduk yang hanyut. Sejak saat itu, penduduk membuat rumah panggung untuk mengurangi resiko hanyut. Selain itu, rumah panggung juga dibuat berdasarkan faktor keamanan. Rumah panggung yang dibangun pun sesuai dengan suku asal para pendatang itu. Sampai tahun 1700-an, rumah panggung mulai bermunculan di wilayah Loloan, baik di Loloan Barat maupun di Loloan Timur.
Rumah-rumah pada perkampungan itu tak memiliki pura, seperti halnya kebanyakan rumah di Bali. Justru, rumah-rumah itu merupakan rumah panggung, ciri khas perumahan orang Melayu.
Eksistensi budaya Melayu di Bali itu bertambah kuat dan bertambah kokoh setelah generasi-generasi muda Loloan mulai dikirim belajar hingga ke Mekkah. Bahkan, di antara mereka ada yang berkhidmat di Mekkah hingga 30 tahun, seperti H. Agus Salam, H. Muhammad Said dan H.M. Asad yang sempat mondok di sekitar Masjid al-Haram sebelum Wahabi masuk ke Arab. Sepulang dari jazirah Arab, mereka kemudian membangun pesantren-pesantren di Loloan.
Masyarakat Melayu Islam di Loloan pada masa itu sangat diterima oleh penguasa Bali, bahkan tidak berlebihan jika disebut “sangat akrab”. Hal itu tidak terlepas dari kesediaan para muslim warga Jembrana untuk ikut memperkuat armada kerajaan-kerajaan Hindu Bali di sana. Setiap kali ada serangan dari kerajaan lain, warga Jembrana dari kalangan muslim turut membantu. Sebagai imbalannya, mereka diberikan hadiah tanah seluas 200 hektare sebagai pemukiman khas bagi orang Melayu . Saat itu pula, dibuat sebuah konvensi tak tertulis tentang penggunaan bahasa: bahasa Bali digunakan dari daerah Air Kuning ke arah timur, sedangkan bahasa Melayu digunakan mulai dari Jembrana hingga ke daerah Melaya. Walaupun demikian, dalam kenyataannya tak sekaku konvensi itu (lihat Suryawati, 2008).
Dari segi arsitektur bangunan, kesan Bugis juga sangat tampak dalam desain bangunan rumah-rumah asli masyarakat Melayu Loloan, terutama di daerah sekitar Masjid Al-Qadim. Juga, simbol keislaman seperti tulisan Allah dan Muhammad pada dinding rumah-rumah itu. Simbol inilah yang membuat Loloan tampak seperti bukan di Bali yang terkenal dengan sebutan Pulau Seribu Pura itu
2. Pola Interaksi Orang Bugis Melayu dengan Penduduk Pribumi
Loloan merupakan sebuah kampung yang sebagian besar dihuni oleh etnis Melayu, khususnya dari Bugis Makassar. Melayu dapat dikatakan sebagai suatu etnis besar di Nusantara ini karena dapat dilihat dari pendekatan tertentu. Dalam antropologi ada tiga perspektif teori utama yang digunakan untuk membahas mengenai etnisitas, selain teori primordial, dua lainnya adalah teori situasional, dan teori relasional. Teori situasional berseberangan dengan teori primordial. Teori situasional memandang bahwa kelompok etnis adalah entitas yang dibangun atas dasar kesamaan para warganya, bagi mereka yang lebih penting bukan wujud kesamaan itu sendiri melainkan perihal penentuan dan pemeliharaan batas-batas etnis yang diyakini bersifat selektif dan merupakan jawaban atas kondisi sosial historis tertentu (Barth dalam Simatupang, 2003). Teori ini menekankan bahwa kesamaan kultural merupakan faktor yang lebih besar dibanding kesamaan darah dalam penggolongan orang-orang ke dalam kelompok etnik.
Menurut perspektif teori relasional, etnik merupakan hasil dari adanya pengaruh yang berasal dari luar kelompok. Salah satu faktor luar yang sangat berpengaruh terhadap etnisitas adalah kolonialisme, yang demi kepentingan administratif pemerintah kolonial telah mengotak-ngotakkan warga jajahan ke dalam kelompok-kelompok etnik dan ras (Rex dalam Simatupang, 2003). Untuk seterusnya sisa warisan kolonial itu terus dipakai sampai sekarang.
Pendekatan yang lebih sesuai dengan kondisi Loloan dulu dan sekarang adalah teori relasional dan situasional. Berdasarkat teori situasional, masyarakat Loloan dibangun atas dasar kesamaan latar belakang sosio-historis serta memiliki batas-batas tertentu yang cukup tegas, yang membedakannya dengan etnis lain di sekitarnya. Misalnya digunakannya bahasa melayu seperti di daerah asalnya, adat istiadat khas etnis Melayu, serta rumah panggung, sebagai jawaban atas kondisi sosio-historisnya pada masa lampau.
Sedangkan melalui pendekatan relasional, Loloan memiliki bahasa Melayu campuran (yang disebut dengan Bahasa Melayu Loloan Bali) merupakan adanya faktor eksternal dalam perjalanan sejarahnya. Orang Bugis Makassar yang baru menetap di Loloan mendapat serangan dari Kerajaan Buleleng sehingga sedikitnya dapat mempengaruhi bahasa Melayu yang ada di Loloan. Namun orang Melayu Loloanpun menjadi terintegrasi dengan penduduk pribumi dalam proses perkembangannya.
Perjalanan sejarah membuat kampung ini memiliki berbagai keunikan tersendiri, yang sangat berbeda dengan penduduk pribumi (Bali) dan penduduk kampung Islam lainnya di Kabupaten Jembrana. Beberapa keunikan khas dari Loloan adalah dari segi arsitektur bangunan, adat istiadat dan bahasa yang sering disebut dengan Bahasa Melayu Loloan Bali (BMLB) (Swarsi, 2008).
Kebudayaan khas Loloan yang berupa seni arsitektur bangunan dan adat istiadat lainnya merupakan sebuah pemertahanan tradisi asli budaya Melayu yang memang berasal dari daerah asal sebelum masyarakat Melayu datang ke Loloan, seperti Bugis Makassar dan Pontianak. Yang paling khas dari kedua aspek ini adalah keberadaan rumah panggung, yang sampai saat ini hanya segelintir orang saja yang mau mempertahankannya (Hartono, 2008; lihat pula Suteja, 2008).
Gambar 01: Rumah panggung di Loloan
Sedangkan Bahasa Melayu yang digunakan di Loloan saat ini merupakan akulturasi antara Bahasa Melayu dengan Bahasa Indonesia dan Bahasa Bali. Pengaruh bahasa-bahasa tersebut tidak dapat dihindari karena bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat penting dalam proses integrasi antara orang Melayu dengan penduduk setempat yang lebih dulu menempati daerah sekitarnya. Bahasa Melayu tersebut digunakan dalam hubungan/interaksi orang Melayu Loloan dengan penduduk sekitar dalam berbagai aspek, terutama aspek hubungan ekonomi. Karena banyak bergaul dan berinteraksi dengan penduduk setempat, khususnya suku Bali di Jembrana. Interaksi yang terjadi dapat berupa hubungan sosial seperti upacara adat, kerukunan bermasyarakat, gotong royong, pendidikan, dan lain-lain. Dalam bidang ekonomi seperti interaksi jual beli di pasar, wiraswasta, dan lain-lain. aspek-aspek pendukung lainnya seperti aspek administratif, politik, budaya, dan lainnya.
Interaksi-interaksi yang terjadi tidak saja dengan sesama orang Loloan, tetapi juga dengan penduduk di luar Loloan, khususnya orang Bali. Interaksi-intraksi yang terjadi membentuk suatu pola-pola tertentu yang dapat menentukan bentuk-bentuk keunikan yang terjadi di Loloan. Adapun pola interaksi yang terjadi antara lain pola tertutup dan pola terbuka. Pola-pola tersebut terjadi sesuai dengan bentuk komponen budaya yang berinteraksi.
Pola interaksi tertutup terjadi pada suatu bentuk kepercayaan, budaya, atau tradisi, yang secara prinsip tidak boleh dicampuri oleh pihak-pihak luar. Misalnya tradisi khas masyarakat Loloan, tentu harus sesuai dengan tradisi dari leluhur atau pendahulunya. Tradisi agama Islam yang kental mengilhami setiap tradisi dan adat istiadat masyarakat Loloan juga dapat dikategorikan ke dalam pola interaksi tertutup, karena tidak boleh dicampuri oleh masyarakat lain di luar Loloan (lihat Sumerta, 2008). Dapat dikatakan pola yang demikian ini menyangkut hal-hal yang sangat fundamental, yang terkait dengan identitas etnik. Agama juga terkadang dapat menjadi sebuah bentuk identitas etnik, walaupun itu tidak mutlak dapat terjadi.
Sedangkan pola interaksi terbuka terjadi pada wujud budaya yang sering digunakan berinteraksi dengan penduduk pribumi non-Melayu. Salah satu contoh adalah Bahasa Melayu yang digunakan masyarakat Loloan, sering dicampuradukkan dengan Bahasa Indonesia atau Bahasa Bali sebagai bahasa kebanyakan suku Bali di Jembrana. Bahasa Melayu sering digunakan untuk berkomunikasi dengan orang Bali di Jembrana, dan begitu pula sebaliknya, Bahasa Bali digunakan untuk berkomunikasi dengan orang Melayu Loloan. Dan tidak jarang pula orang Loloan yang berdialek dasar Melayu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Akibatnya, bahasa-bahasa tersebut mengalami pembauran yang di Loloan tetap didasari oleh Bahasa Melayu. Oleh karena itu Bahasa Melayu yang berkembang di Loloan merupakan Bahasa Melayu campuran yang disebut dengan Bahasa Melayu Loloan Bali (BMLB).
Dalam perjalanan sejarah (seperti yang dijelaskan dalam sejarah masuknya Islam ke Jembrana), I Gusti Ngurah Pancoran menerima dengan baik suku Bugis Makassar, yang nota bene etnis Melayu, di wilayah Kerajaan Jembrana. Itu menjadi sebuah gambaran bagaimana integrasi tersebut tercipta antara masyarakat Loloan sebagai pendatang dari etnis Melayu, dengan penduduk pribumi yang nota bene dominan suku Bali. Seiring dengan perkembangan sejarahnya, antara orang Melayu Loloan dan orang Bali di Jembrana masih menjaga bentuk integrasi tersebut sebagai sebuah komitmen untuk menciptakan hubungan yang harmonis dan toleransi dalam sebuah pluralisme.
Terjadinya sebuah interaksi dan integrasi yang melahirkan sebuah bahasa yang berdialek khas Loloan (BMLB) merupakan sebuah kekayaan unik dan khas yang dimiliki oleh Loloan sebagai etnis minoritas di tengah suku Bali. Tidak dapat dipungkiri bahwa keunikan bahasa tersebut merupakan bukti bahwa telah terjadi integrasi yang sangat baik antara masyarakat Bugis Melayu di Loloan dengan penduduk pribumi (suku Bali) di Jembrana. Bahasa Melayu Loloan Bali merupakan sebuah fakta sosial (sosiofact) yang dimiliki, diketahui, dan digunakan oleh orang Bugis Melayu di Kelurahan Loloan secara umum.
3. Bahasa Melayu Loloan Bali: Sebuah Sosiofact Integrasi Etnis Bugis Melayu dan Penduduk Pribumi
Bahasa hanya bisa eksis bila ada penuturnya dan digunakan sebagai alat komunikasi. Bahasa yang merupakan sebuah pranata sebagai hasil dari kehidupan bermasyarakat (bukan bahan dasar) tidaklah tetap/statis. Bahasa, seperti pranata lain, dapat berubah/dinamis di bawah tekanan berbagai kebutuhan dan di bawah tekanan masyarakat lain (Suparwa, 2007).
Etnis pendukung bahasa ini adalah campuran etnis, seperti Melayu-Pontianak (Kalimantan Barat), Bugis (Sulawesi), Trengganu (Malaysia), Arab, Jawa, dan Bali. Pemakaian BMLB sebagai bahasa pengantar antaretnis tersebut tidak terlepas dari kenyataan bahwa etnis Melayu-Pontianak dan Malaysia merupakan pemimpin (agama, perdagangan, pasukan perang) kelompok tersebut, di samping faktor lain seperti bahasa Melayu merupakan lingua franca dan secara intralinguistik bahasa Melayu lebih sederhana daripada bahasa daerah lain di Indonesia karena bahasa ini tidak memiliki tingkatan bahasa yang rumit.
Secara historis-filologis, bahasa Melayu berasal dari daerah Riau (sepanjang pantai timur Sumatra) karena di daerah tersebut ditemukan sebuah sungai, yaitu “Melayu”. Nama sungai itu dihubungkan dengan kata melaju, deras, atau kencang (Saidi, 2003:22). Selain pendapat lain yang mengatakan bahasa Melayu berasal dari Pontianak-Kalimantan Barat (Collin, 2005:4) atau dari daerah sebaran dari daerah Sumatra, bahasa tersebut kemudian tersebar ke Singapura, Malaysia, dan daerah-daerah Nusantara. Bahasa Melayu yang tersebar sampai ke Bali itu tergolong ke dalam bahasa Melayu klasik karena bahasa itu datang ke Bali sekitar abad ke-17. Menurut Kridalaksana (1986:50), perkembangan bahasa Melayu dibedakan atas empat periode, yaitu (1) periode bahasa Melayu Kuna (abad ke-7—abad ke-14); (b) bahasa Melayu Tengahan/Klasik (abad ke-14—abad ke-18); (c) bahasa Melayu Peralihan (abad ke-19); dan (d) bahasa Melayu Baru (abad ke-20 sampai sekarang).
Ciri utama bahasa Melayu Klasik adalah telah masuknya unsur-unsur bahasa Arab dan dipakainya bahasa tersebut dalam naskah perjanjian (Kridalaksana, 1986:51). Unsur bahasa Arab banyak ditemukan dalam pemakaian bahasa Melayu Loloan Bali karena bahasa itu juga digunakan dalam pengajian dan sebagai lambang identitas Islam di Jembrana. Selain itu, bahasa Melayu tersebut juga ditemukan dalam naskah perjanjian, yaitu naskah Encik Ya’qub yang berangka tahun 1268 Hijriah atau 1848 Masehi. Naskah tersebut berbahasa Melayu dan menggunakan huruf Arab. Naskah itu berisi pesan (wasiat) Encik Ya’qub yang mewaqafkan sebidang sawah dengan penghasilannya untuk mesjid Jembrana atau mesjid Baitul Qadim sekarang (Brandan, 1995:22).
Kini, setelah 500 tahun berselang, ada juga unsur bahasa Bali yang terserap dalam kosakata Melayu yang dipergunakan oleh masyarakat Loloan. Oleh karena itu, tak salah jika mereka menyebut dirinya sebagai Melayu Bali. Seperti halnya, orang Melayu kebanyakan, Melayu Bali di Loloan juga gemar berpantun. Namun, sepertinya hanya generasi tua saja yang masih piawai melafalkannya.
Bahasa Melayu Loloan Bali merupakan bahasa sebaran (migran) dari bahasa Melayu Pontianak (Kalimantan Barat) yang datang ke Bali sekitar abad ke-17. Migrasi penduduk tersebut sebagai akibat peperangan Kesultanan Pontianak melawan penjajah Belanda. Walaupun kelompok pendatang itu merupakan campuran dari beberapa kelompok etnis (seperti Bugis, Arab, dan Melayu) yang memiliki bahasa masing-masing, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa antaretnis karena etnis Melayu sebagai pemimpin kelompok tersebut (Prasasti Encik Ya’kub di Desa Loloan, Negara, Jembrana, Bali menguatkan dugaan tersebut). Saat ini, Bahasa Melayu tersebut digunakan sebagai bahasa sehari-hari dalam hubungan informal di samping digunakan juga bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi serta kadang-kadang bahasa Bali ketika berkomunikasi dengan etnis Bali.
Bahasa Melayu Loloan Bali sebagai warisan sejarah sangat menarik untuk dikaji. Bahasa Melayu Loloan Bali sampai saat ini masih digunakan sebagai salah satu bahasa daerah di Indonesia. Keterkaitan Bahasa Melayu Loloan Bali dengan Bahasa Melayu Kuno dan Bahasa Melayu Klasik serta Bahasa Indonesia merupakan fenomena yang menarik untuk dibahas, karena keterkaitan tersebut terjadi sebagai hasil dari adanya proses interaksi dan integrasi antara orang Melayu dengan orang Bali (Armini, 2008). Perkembangan Bahasa melayu tersebut tentu tidak lepas dari adanya daya sentripetal dan sentrifugal (Kridalaksana, 1996:1). Daya sentripetal merupakan usaha penutur bahasa untuk mempertahankan bahasanya karena Bahasa Melayu Loloan Bali itu merupakan ciri dari identitas Melayu Islam di Jembrana. Sedangkan daya sentrifugal merupakan usaha akomodasi bahasa tersebut dalam perkembangannya sebagai alat komunikasi di dalam pergaulan intraetnis dan antaretnis. Dalam hal ini pengaruh Bahasa Bali sebagai bahasa dominan di Jembrana dan di Bali serta Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional di Indonesia tidak dapat dihindari.
Terkait dengan itu, Haugen (1972: 327) mengatakan bahwa kehidupan sebuah bahasa di lingkungan bahasa-bahasa lainnya atau ekologi bahasa tidak bisa menghindarkan diri dari pengaruh unsur-unsur kebahasaan. Terjadinya pengaruh tersebut tidak lepas dari faktor ekstralinguistik dan kebahasaan (intralinguistik). Situasi kebahasaan (ekstralinguistik) yang terkait dengan orang yang diajak bicara, topik pembicaraan, dan dorongan dari dalam diri pembicara, seperti dorongan untuk sejajar/diterima dalam penggunaan bahasa oleh penutur bahasa lain merupakan alasan sosial kebahasaan seseorang menggunakan unsur bahasa lain. selain itu pula faktor kesiapan dan kemudahan penggunaan unsur bahasa tertentu merupakan unsur kebahasaan seseorang menggunakan bahasa lainnya.
Dalam interaksinya dengan bahasa lain, Bahasa Melayu Loloan Bali terbentuk karena dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Bahasa Melayu Loloan Bali antara lain faktor lingkungan alam, faktor religi, , dan faktor hubungan sosial.
Lingkungan alam (fisik dan biologi) sangat berpengaruh pada perkembangan Bahasa Melayu Loloan Bali. Penutur bahasa ini merupakan kelompok etnik yang bermukim di daerah pesisir dan pinggir sungai dengan mata pencaharian utama sebagai nelayan (walaupun saat ini sudah mulai beralih menjadi pedagang dan swasta). Lingkungan alam seperti dijelaskan di atas menyebabkan penutur Bahasa Melayu Loloan Bali sangat akrab dan banyak kata-kata yang terkait dengan laut dan nelayan, seperti di bawah ini:
Beje = ikan asin
Brayungan = brayungan (tangkai katir pada jukung)
Gadangan = nama sejenis pancing sebagai penangkap ikan
Lendrong = alat penggulung tali kail; dan lain-lain.
Gambar 02: Sungai Ijogading
Sejalan dengan adanya perubahan alamiah seperti berkurangnya jumlah curah hujan yang menyebabkan berkurangnya ketinggian air di sungai Ijogading, menyebabkan sungai tersebut tidak bisa dilayari kapal lagi. Hal itu saat ini berimplikasi pada beralihnya profesi masyarakat Loloan dari dominan nelayan menjadi perdagangan dan jasa. Rumah-rumah panggungpun semakin jarang digunakan karena masyarakat telah membangun rumah-rumah biasa seperti daerah sekitarnya.
Dalam hal hubungan religi, Bahasa Melayu Loloan Bali dapat dipengaruhi karena manusia, termasuk di Loloan, pada dasarnya adalah makhluk religi yang mempercayai adanya kekuatan lain di luar diri manusia. Hubungan religi yang terjadi terkait dengan tuturan ritual. Peran masjid dalam hubungan religi di Loloan juga menjadi penting. Saat ini Loloan memiliki dua masjid besar, salah satu yang paling disakralkan adalah Masjid Agung Baitul Qodim.
Gambar 03: Masjid Agung Baitul Qodim di Loloan Timur
Bahasa dalam tutur ritual memiliki ciri-ciri khusus, yaitu mempunyai bentuk yang cenderung tetap, dituturkan oleh orang-orang tertentu, dituturkan pada upacara ritual atau tindakan lain yang bernilai sakral, digunakan untuk berkomunikasi dengan Tuhan atau roh leluhur, dan kata-katanya berdaya magis. Dalam kaitan ini, bahasa merupakan daya pengungkap sistem religi suatu masyarakat yang berhubungan dengan kebudayaan. Perubahan sistem religi/kepercayaan akan berpengaruh pada berubahnya piranti bahasanya. Beberapa khazanah Bahasa Melayu Loloan Bali yang dipengaruhi oleh hubungan religi antara lain:
Awik = kerudung wanita
Kuare = tali selempang saat upacara
Ruah = selamatan
Tungsten = upacara adapt
Nela’i/kepus pungsed = upacara mulai bersih atau putus tali pusar pada bayi
Lepas kambuan = upacara 40 hari setelah bayi lahir; dan lain-lain.
Pada awal keberadaan masyarakat Loloan di Jembrana, Bali, mereka menganut kepercayaan Islam, tetapi Islam yang disebut sebagai Islam Nusantara (Brandan, 1995: 8). Islam ini memiliki kemiripan dengan cara pandang kulturalnya. Dalam budaya menurut Agama Hindu dikenal istilah des¬a dan kala (tempat dan waktu). Dalam hal ini pelaksanaan kegiatan keagamaan disesuaikan dengan tempat dan waktu. Pada batas tertentu, Islam pun menganut paham seperti itu. Dengan demikian terjadi toleransi yang cukup tinggi yang terbina dengan baik antara masyarakat Bali (Hindu) dengan masyarakat Loloan (Islam).
Perkembangan Bahasa Melayu Loloan Bali juga dipengaruhi oleh adanya hubungan sosial. Bahasa itu hidup, tumbuh, dan bekembang karena digunakan sebagai alat komunikasi oleh penuturnya. Proses komunikasi adalah hubungan sosial antara manusia (individu) dengan manusia (individu) lainnya. Hubungan horizontal dengan sesama umat manusia tersebut menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya, sehingga melahirkan hubungan dialogis.
Kehidupan Bahasa Melayu Loloan Bali sebagai alat komunikasi dalam hubungan sosial sangat dipengaruhi oleh kehidupan sosial masyarakat penuturnya. Lingkungan sosial masyarakat Melayu Loloan adalah masyarakat Bali sebagai masyarakat mayoritas di kota Negara, Kabupaten Jembrana, dan Provinsi Bali, yang merupakan masyarakat penutur Bahasa Bali. Kontak sosial antara penutur Bahasa Melayu Loloan dengan penutur Bahasa Bali tidak dapat dihindarkan karena mereka hidup berdampingan dan kontak tersebut telah berlangsung sejak pertama kalinya penutur Bahasa Melayu tinggal di daerah itu. Kontak sosial terjadi baik dalam hubungan ekonomi (jual beli di pasar/warung/toko), pendidikan (di sekolah dan lembaga pendidikan lain), pemerintahan/politik (seperti di kantor desa, kantor camat, dan seterusnya), kesehatan (di puskesmas), maupun dalam organisasi kemasyarakatan (seperti saling kunjungi dalam kegiatan upacara).
Di lain pihak, Bahasa Melayu Loloan Bali merupakan bahasa daerah yang umumnya digunakan dalam situasi nonresmi. Dan dalam situasi resmi/formal digunakan Bahasa Indonesia. Dengan demikian, situasi kebahasaan tersebut membuat masyarakat Loloan merupakan penutur bahasa yang bilingual. Dalam hubungan itu secara psikologis masyarakat Loloan akan menggunakan Bahasa Melayu Loloan dan Bahasa Indonesia serta minimal paham Bahasa Bali dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam kaitan tersebutlah sering terjadi saling pengaruh unsur bahasa, baik dalam kosakata, bunyi maupun bidang bahasa lainnya. Dinamika sosial masyarakat penutur Bahasa Melayu Loloan Bali berpengaruh pada perkembangan Bahasa Melayu Loloan Bali yang terlihat dalam perubahan bahasa bersangkutan. Sikap akomodatif orang Loloan dalam pergaulan dengan masyarakat Bali menyebabkan beberapa unsur bahasa Bali terserap ke dalam Bahasa Melayu Loloan. Di bawah ini beberapa contoh kosakata Bahasa Melayu yang mendapat pengaruh Bahasa Bali:
Mayah = membayar
Pancing = kail
Kebus = panas
Sidu = sendok
Subeng Sobeng = giwang
Asem Asam = asam
Due Duo = dua
Sedangkan beberapa contoh Bahasa Melayu yang mendapat pengaruh dari Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:
Tidur Tedur = tidur
Lain Laen = lain
Air Aer = air
Dalam penggunaannya, kata-kata yang dipengaruhi oleh Bahasa Bali dan Bahasa Indonesia tersebut diungkapkan dalam kalimat-kalimat komunikasi dalam komunikasi yang bersifat horizontal, yang beberapa diantaranya dapat dilihat pada contoh berikut:
Saya mau pergi ke sekolah - awak nak pergi ke sekolah
Jangan bermain di situ - jangan sini kau mainan!
Kamu hebat sekali - aeng le kau!
Aku pukul kamu - ta' antem kau!
Aku marah padamu - gedeg le awak sama kau
Apa kabar? - Gi'ane kabar kau?
Dari sedikit contoh kalimat yang sering digunakan di atas, dapat kita cermati bahwa adanya pengaruh dari unsur-unsur bahasa non-Melayu, seperti Bahasa Bali dan Bahasa Indonesia. Melihat cukup kentalnya pengaruh bahasa lain, khususnya Bahasa Bali dalam tutur kata orang Loloan menjadi suatu bukti yang cukup untuk menggambarkan terjadi hubungan yang cukup baik dan toleransi antara orang Melayu Loloan dengan orang Bali (pribumi) yang tinggal di sekitar Loloan.
Bukti integrasi masyarakat Melayu Loloan dengan masyarakat Bali di Jembrana menjadi sebuah kenyataan sosial (fakta sosial) yang terjadi di dalam masyarakat Kabupaten Jembrana. Fakta sosial (sosiofact) seperti yang digambarkan di atas tidak terjadi begitu saja, namun merupakan suatu proses sejarah yang lama dan terbentuk karena adanya hubungan yang baik dan toleransi yang terjadi dalam masyarakat pluralis di Kabupaten Jembrana. Dan kekayaan sosial budaya tersebut perlu dilestarikan dan dijaga eksistensinya sehingga dapat dinikmati oleh anak cucu kita di masa yang akan datang.
III. PENUTUP
Loloan sebagai sebuah kampung Melayu memiliki perjalanan sejarah yang cukup berwarna. Karakter orang Melayu sebagai etnik pelaut membawanya ke sebuah daerah yang kini dinamakan Loloan. Kampung Loloan sebagai kampung Melayu ternyata memiliki banyak keunikan dilihat dari seni arsitektur, adat istiadat, dan bahasa yang digunakan.
Namun di antara keunikan yang ada di Loloan, bahasa yang digunakan merupakan bukti yang paling menggambarkan adanya hubungan yang harmonis dan toloransi antara masyarakat Melayu Loloan dan masyarakat Bali di Jembrana. Hubungan baik tersebut terjadi dari pertama kalinya orang Melayu datang ke Bali (Jembrana) sampai saat ini. Hubungan atau interaksi tersebut membentuk pola-pola tertentu yang dapat menentukan adanya pengaruh lain yang mempengaruhi terjadinya keunikan-keunikan di Loloan. Pola tersebut ada yang bersifat tertutup dan ada pula yang bersifat terbuka. Pola terbuka cenderung memberikan kemungkinan untuk terjadinya saling mempengaruhi antara budaya Melayu Loloan dengan Budaya Bali di sekitarnya. Bentuk budaya yang paling mungkin terjadinya saling mempengaruhi tersebut adalah pada Bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat Loloan.
Bahasa Melayu Loloan Bali merupakan sebuah sosiofact terjadinya integrasi hubungan antara etnis Melayu yang tinggal di Loloan dengan etnis Bali di Jembrana. Bahasa Melayu Loloan Bali terbantuk dari interaksi antara Bahasa Melayu Loloan dengan Bahasa Bali sebagai lingkungan sosial masyarakat penutur Bahasa Melayu Loloan. Selain itu perkembangan bahasa Melayu Loloan Bali juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor lingkungan alam, faktor hubungan religi, dan faktor hubungan sosial. Ketiga faktor tersebut sangat mempengaruhi perkembangan Bahasa Melayu Loloan Bali dalam berbagai aspek kebahasaan.
Keunikan Loloan sebagai kampung Melayu di daerah Jembrana Bali merupakan kekayaan sosial budaya yang juga secara otomatis menjadi kekayaan budaya Bali. Sebagai generasi penerus bangsa, kita hendaknya bisa turut aktif untuk bisa melestarikan unsur budaya yang sangat unik di Loloan. Kajian mengenai Loloan sudah banyak dilakukan. Namun untuk keperluan untuk mengembangkan khazanah keilmuan, hendaknya penulis lain bisa mengkajinya dari aspek yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Bahasa Melayu Bali (Base Loloan). Tersedia dalam http://www.kapasitor. net/community/post/643 (Diakses pada 25 Juni 2009)
Anonim. 2009. Siapa Melayu?. Tersedia dalam http://www.mail-archive.com/ekonomi-nasional@yahoogroups.com/msg02713.html (Diakses pada 25 Juni 2009)
Anonim. 2005. Loloan dan Rumah Panggung. Tersedian dalam http://www.balipost. co.id/balipostcetak/2005/6/30/pr1.htm (Diakses pada 25 Juni 2009)
Armini, I Gusti Ayu. 2008. Akulturasi Budaya Masyarakat Loloan. Denpasar: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bali, NTB, NTT Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
Brandan, Arifin. 1995. Loloan: Sejumlah Potret Ummat Islam di Bali. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal II.
Collins, James T. 2005. Bahasa Melayu Bahasa Dunia. Alih bahasa Alma Evita Almanar. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hartono, S.S. 2008. Potensi kampong Loloan dalam Bidang Kebudayaan dan Pariwisata di Kabupaten Jembrana. Denpasar: Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bali, NTB, NTT
Haugen, Einar. 1972. Ekologi Bahasa. California: Stanford University Press
Kridalaksana, Harimurti. 1986. “Pendekatan Historis dalam Kajian Bahasa Melayu dan Indonesia”; makalah dalam Masyarakat Linguistik Indonesia Th. 4 No. 8 Desember 1986. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia.
Pariawan, I Wayan. 2008. Sikap Bahasa Dalam Kajian Sosiolinguistik. Singaraja: Jurusan PBSID Undiksha
Reken, I Wayan. 1979. Sejarah Perkembangan Islam di Bali, Khususnya di Kabupaten Jembrana. Negara: -
Saidi, H. Saleh, dan Yahya Anshori. 2002. Sejarah Keberadaan Umat Islam di Bali. Denpasar: Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali
Saidi, Saleh. 2003. Melayu Klasik: Khazanah Sastra Sejarah Indonesia Lama. Denpasar: Larasan-Sejarah.
Simatupang, Lono Lastoro. 2003. Meninjau Ulang Etnik dan Ras. Makalah Diskusi Komunitas Studi Budaya Etnik (Komsbat), 28 Maret 2003.
Sumarja, I Made. 2008. Syarif AbdullahYahya Al Qadri (Syarif Tua) Tokoh Pendiri Kampung Loloan Jembrana. Denpasar: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bali, NTB, NTT Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
Sumerta, I Made, Drs. 2008. Deskripsi Kesenian Suku Bangsa Loloan di Kelurahan Loloan Timur Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana Bali. Denpasar: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bali, NTB, NTT Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
Suparwa, I Nyoman. 2007. Persoalan Ortografi Untuk Bunyi Hambat-Glotal dalam Bahasa Melayu Loloan Bali. Denpasar: Universitas Udayana
-------. 2008. Fonologi Posleksikal dalam Bahasa Melayu Loloan Bali. Denpasar: Universitas Udayana
-------. 2009. Ekologi Bahasa dan Pengaruhnya dalam Dinamika Kehidupan Bahasa Melayu Loloan Bali. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana
Suryawati, Cok Istri. 2008. Kehidupan Masyarakat Kampung Loloan Masa Kerajaan Jembrana pada Abad ke-19. Denpasar: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bali, NTB, NTT
Suteja, I Made Dharma. 2008. Keunikan Budaya Sebagai Daya Tarik Pariwisata di Desa Loloan, kabupaten Jembrana. Denpasar : Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bali, NTB, NTT Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
Swarsi, S, Dra., M.Si. 2008. Identitas Budaya Masyarakat Loloan Jembrana. Denpasar: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bali, NTB, NTT Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
2 komentar:
ini semunye berdasarken ape..?? ato metode untuk mendapet ken informasinye gek mane..???? banyak kesalahan dalem pembuatan nye ......klo nak tau lebih lanjut bise ke http//loloanberkarya.blogspot.com
apakah anda masih aktif melihat blog yang anda tulis...
Posting Komentar